Anda di halaman 1dari 22

Machine Translated by Google

Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara


Volume 1 Edisi 1 (Januari-Juni 2022), hlm.43-64
ISSN XXXX-XXXX (Cetak) XXXX-XXXX (Online)
https://doi.org/10.15294/ildisea.v1i1.56872
Published biannually by the Faculty of Law, Universitas Negeri Semarang, Indonesia and managed by
Southeast Asian Studies Center, Universitas Negeri Semarang, INDONESIA

Tersedia online sejak 31 Januari 2022

Pengungsi Internasional dalam Perlindungan


Hak Asasi Manusia: Wacana Internasional
Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia

Slamet Supriadi*
Legal Aid Center, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

ABSTRAK: Pengungsi diartikan sebagai orang-orang yang karena


rasa takut yang wajar terhadap penganiayaan, yang disebabkan
oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok
sosial dan partai politik tertentu, berada di luar kewarganegaraannya
dan tidak menginginkan perlindungan dari negara. Ketika pengungsi
meninggalkan negara asal atau tempat tinggalnya, mereka
meninggalkan kehidupan, rumah, harta benda dan keluarga mereka.
Para pengungsi tidak dapat dilindungi oleh negara asalnya karena
terpaksa meninggalkan negaranya. Oleh karena itu, perlindungan
dan bantuan kepada mereka adalah tanggung jawab masyarakat
internasional. Di negara-negara penerima pengungsi, seringkali
mereka mengalami perlakuan tidak manusiawi seperti pemerkosaan,
penyerangan, diskriminasi, dipulangkan secara paksa, yang berujung
pada pelanggaran hak asasi manusia. Telah terdapat pengaturan
hak asasi manusia dalam permasalahan pengungsi baik secara
internasional maupun regional, misalnya saja Konvensi terkait Status
Pengungsi 1951 dan Protokol terkait Status Pengungsi 1967.
Setidaknya ada lima hak dasar pengungsi, yaitu hak untuk
mendapatkan perlindungan. dilindungi untuk tidak kembali ke negara
asal secara paksa (non refoulement), hak untuk mencari suaka, hak
untuk memperoleh kesetaraan dan non-diskriminasi, hak untuk hidup
dan mendapatkan rasa aman, serta hak untuk kembali ke negara asal.

* Email penulis terkait: slametupriadi@gmail.com


Dikirim: 19/9/2021 Ditinjau: 28/9/2021 Direvisi: 11/07/2021 Diterima: 27/12/2021
Machine Translated by Google

44 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

KATA KUNCI: Konflik Palestina-Israel, Konflik Bersenjata,


Hukum Humaniter, Perlindungan Hak Asasi Manusia

CARA MENGUTIP:
Supriadi, Slamet. "Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia: Wacana Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi
Manusia". Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara (2022): 43-64.
1, TIDAK. 1
https://doi.org/10.15294/ildisea.v1i1.56872

Hak Cipta © 2022 oleh Penulis. Karya ini dilisensikan di bawah Lisensi Internasional Creative Common Attribution-
ShareAlike 4.0. Seluruh tulisan yang dimuat di jurnal ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili
pandangan jurnal ini dan institusi afiliasi penulis.

I. PENDAHULUAN

Permasalahan pengungsi dan migrasi dalam negeri merupakan permasalahan


tersulit yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi yang dilakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terus mencari cara yang lebih
efektif untuk melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini.
Permasalahan pengungsi merupakan permasalahan klasik yang sering muncul
dalam sejarah peradaban umat manusia. Ada berbagai macam penyebab yang
membuat masyarakat mengungsi. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh rasa
takut yang mengancam keselamatannya.1

1 Pencari suaka merupakan isu kritis dalam hubungan internasional, akibat dari faktor-
faktor yang mendorong seseorang untuk pindah ke negara lain. Faktor tersebut
merupakan keadaan yang tidak aman baginya jika tetap berada di negara asalnya,
sehingga warga negara tersebut pindah ke negara yang lebih aman demi
keselamatannya. Pada akhir tahun 2016, Presiden Republik Indonesia
menandatangani Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar
Negeri. Perpres tersebut memuat definisi pokok dan mengatur tentang
pendeteksian, penampungan, dan perlindungan pencari suaka dan pengungsi.
Berbagai ketentuan yang tertuang dalam Perpres tersebut diharapkan dapat
segera diimplementasikan. Hal ini akan memungkinkan Pemerintah Indonesia dan
UNHCR untuk bekerja lebih erat, termasuk dalam bidang pendaftaran bersama
pencari suaka. Sebagai salah satu negara penerima pencari suaka dan pengungsi
dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, Indonesia terus menerus terkena dam
Machine Translated by Google

45 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Pada awalnya migrasi penduduk hanya merupakan permasalahan domestik suatu


negara namun seiring dengan banyaknya negara yang menaruh perhatian
terhadap permasalahan ini sehingga menjadi permasalahan bersama. Pengungsi
yang melintasi batas negara dan memasuki wilayah kedaulatan patut mendapat
perhatian karena merupakan persoalan universal. Pengungsi yang meninggalkan
tempat asalnya disebabkan oleh berbagai macam faktor yang biasanya
disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan nyawa pengungsi jika masih
tinggal di daerah asalnya seperti perang atau penganiayaan. Mereka tidak
mendapatkan perlindungan dari negaranya sendiri, dan seringkali pemerintah
mereka sendiri mengancam akan menganiaya mereka. Hal ini sama saja dengan
memberikan putusan mati kepada mereka untuk hidup sengsara dalam bayang-
bayang kehidupan tanpa sarana penghidupan dan tanpa hak apapun terhadap
mereka, jika negara lain tidak menerimanya, dan tidak membantu mereka setelah memasuki nega
negara.

Perlindungan terhadap Pengungsi Internasional berangkat dari an

gerakan. Setelah mengalami penurunan jumlah pada akhir tahun 1990an, jumlah
kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat pada tahun 2000, 2001 dan 2002.
Meskipun jumlah kedatangan kembali menurun pada tahun 2003-2008, namun tren
kedatangan kembali meningkat pada tahun 2009. Pada tahun 2015 dan seterusnya
hingga tahun 2020, kedatangan tahunan kembali mengalami penurunan. Hingga akhir
Desember 2020, jumlah kumulatif pengungsi di Indonesia tercatat sebanyak 13.745
orang yang berasal dari 50 negara dan lebih dari separuh penduduknya berasal dari
Afghanistan. Lihat Peter Gatrell, Pembuatan Pengungsi Modern. (Oxford: OUP Oxford, 2013);
Richard Black, "Lima puluh tahun studi pengungsi: Dari teori ke kebijakan." Tinjauan
Migrasi Internasional 35, No. 1 (2001): 57-78; Guy S. Goodwin Gill, dan Jane McAdam.
Pengungsi dalam Hukum Internasional. (Oxford: Oxford University Press, 2021). Lihat
juga Savitri Taylor, dan Brynna Rafferty-Brown.
"Difficult journeys: Accessing refugee protection in Indonesia." Monash University Law
Review 36, No. 3 (2011): 138-161; Atin Prabandari, and Yunizar Adiputera. "Alternative
paths to refugee and asylum seeker protection in Malaysia and Indonesia." Asian and
Pacific Migration Journal 28, No. 2 (2019): 132-154; J. M. Krustiyati, "Kebijakan
Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian dari Konvensi Pengungsi 1951 dan
Protokol 1967." Law Review 12, No.
2 (2012): 171-192.
Machine Translated by Google

46 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

pengertian hak asasi manusia secara umum bahwa setiap manusia mempunyai hak
dan kewajiban yang sama. Demikian pula undang-undang yang mengatur perlakuan
terhadap pengungsi berangkat dari hukum internasional tentang hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pembicaraan mengenai pengungsi tidak dapat dipisahkan dari
pembahasan mengenai hak asasi manusia.2

Saat ini dampak perang terhadap hak asasi manusia juga terjadi di negara-negara di
Timur Tengah seperti Suriah, Afganistan, Irak, dan Iran, dimana penduduk negara-
negara tersebut mengungsi ke negara tetangga bahkan mencari suaka ke negara
lain seperti Australia. Contoh di atas menggambarkan bagaimana dampak perang di
suatu negara yang mengabaikan aspek penting dalam kehidupan yaitu hak asasi
manusia.

Hak dasar adalah hak atas rasa aman. Hak tersebut tidak tersedia di negaranya
sehingga para korban ingin mencari perlindungan di negara lain yang mereka anggap
aman dan dapat menampung mereka sebagai pengungsi untuk melanjutkan hidup.
Negara tujuan yang dituju umumnya adalah negara yang telah meratifikasi konvensi
pengungsi seperti Australia. Untuk mencapai negara tersebut mereka umumnya
menggunakan jalur laut tetapi dengan keamanan dan pengetahuan pelayaran yang
minim serta perbekalan yang tidak mencukupi.3

2 Vincent Chetail, "Apakah hak pengungsi merupakan hak asasi manusia? Sebuah pertanyaan
yang tidak lazim mengenai hubungan antara hukum pengungsi dan hukum hak asasi
manusia." Hak Asasi Manusia dan Imigrasi 19 (2014): 63-84; James C.Hathaway,
"Memahami kembali hukum pengungsi sebagai perlindungan hak asasi manusia." Jurnal
Studi Pengungsi 4, No.2 (1991): 113-131; Bishupal Limbu, "Kemanusiaan yang tidak
terbaca: Pengungsi, hak asasi manusia, dan pertanyaan tentang keterwakilan." Jurnal
Studi Pengungsi 22, No.3 (2009): 257-282; Seyla Benhabib, "Akhir dari konvensi pengungsi
tahun 1951? Dilema kedaulatan, teritorial, dan hak asasi manusia." Jus Cogens 2, No.1
(2020): 75-100.
3 Farida Fozdar, dan Lisa Hartley. "Pemukiman kembali pengungsi di Australia: Apa yang kita
ketahui dan perlu ketahui." Survei Pengungsi Triwulanan 32, No. 3 (2013): 23-51; Yohanes
Vrachnas, dkk. Hukum migrasi dan pengungsi: Prinsip dan praktik di Australia.
Machine Translated by Google

47 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Pada dasarnya setiap negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi orang-
orang yang berada di wilayahnya, baik warga negaranya maupun orang asing yang
berada di wilayah kedaulatannya, termasuk mereka yang mencari perlindungan
dengan status pengungsi atau pencari suaka. Bentuk perlindungan tersebut salah
satunya adalah perlindungan hukum dimana negara berkewajiban memenuhi hak-
hak hukum yang melekat pada subjek hukum perseorangan.

Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar warga
negaranya atau negara lain yang menolak kedatangan pengungsi akan diambil alih
oleh masyarakat internasional.
Komunitas internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menjamin
dan memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap terlindungi dan dihormati.
Dalam status perlindungan internasional tersebut, seseorang yang dalam kapasitasnya
sebagai pengungsi atau pencari suaka harus dilindungi haknya sebagai manusia.
Perlindungan hak asasi manusia merupakan hak mendasar dalam penanganannya.
Hal tersebut menjadi bagian dari kewajiban masyarakat internasional, di sisi lain juga
merupakan kewajiban nasional suatu Negara.

II. METODE

Merujuk pada rumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan membahas
bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian hukum ini membahas tentang norma (hukum dalam kitab) dan
menggunakan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama. Melalui ini

(Cambridge: Cambridge University Press, 2011). Lihat juga Jean Martin, Refugee
Settlers: A Study of Displaced Persons in Australia. (Canberra: Universitas Nasional
Australia, 1965); Susan Kneebone, "Australia sebagai pialang kekuasaan dalam
perlindungan pengungsi di Asia Tenggara: Hubungannya dengan Indonesia."
Pengungsi: Jurnal Pengungsi Kanada 33, No.1 (2017): 29-41.
Machine Translated by Google

48 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui dan menganggap


hukum Indonesia mengenai tidak adanya Konvensi Jenewa 1951 dan
Protokol New York 1967 dapat dijelaskan secara akurat dan mendalam.

Paradigma penelitian ini, dimana secara etimologis kata paradigma


sebenarnya berasal dari kata campur, gabungan dari bahasa yunani
paradeigma yang artinya bersebelahan, di samping, berdampingan atau di
tepian. Sedangkan deiknunai atau deigma berarti pemandangan atau pertunjukan. Lincoln,
Lynham, dan Guba dalam Handbook of Qualitative Research, paradigma
adalah suatu sistem filosofis utama, induk atau payung, yang mencakup
ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak dapat dipertukarkan
begitu saja, mewakili suatu sistem kepercayaan tertentu, yang memberikan
jalan di mana dunia berada. dilihat, dipahami, dan dipelajari, dengan kata
lain mengasosiasikan penganutnya dengan pandangan dunia tertentu. 4 FX.
Adji Samekto menyebutkan bahwa untuk menentukan penelitian bersifat normatif atau

empiris dilihat dari tujuan yang ingin dicapai. 5 Soetandyo Wignyosoebroto


disebut metode doktrinal adalah suatu metode penelitian hukum yang
didasarkan pada kaidah-kaidah yang menghendaki ketaatannya dapat
ditegakkan dengan menggunakan kekuasaan negara (normatif), bertindak
dalam dunia keperluan (das sollen), dan produknya juga religius. 6 Dalam
penelitian hukum ini metode pengumpulan data dilakukan dengan Studi
Kepustakaan, penulis mengumpulkan semua referensi, membaca, mempelajari, dan memah

4 Yvonna S. Lincoln, Susan A. Lynham, dan Egon G. Guba, "Kontroversi


Paradigmatik, Kontradiksi, dan Pertemuan yang Muncul, Ditinjau Kembali",
dalam The SAGE Handbook of Qualitative Research (London: SAGE Publication, 2017).
5 FX Adji Samekto, "Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam
Perspektif Realitas"." Jurnal Dinamika Hukum 13, No. 1 (2013): 89-98.
6 Nurul Qamar, and Farah Syah Rezah. Metode Penelitian Hukum: Doktrinal dan
Non-Doktrinal. (Makassar: CV. Social Politic Genius SIGn), 2020). See also
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma: Metode dan Dinamika
Masalahnya. (Jakarta: ELSAM, 2002); Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran
Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. (Malang: Setara Press, 2013.
Machine Translated by Google

49 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

buku-buku tersebut, menguraikan, mensistematisasikan, menganalisis, menafsirkan,

dan menilai peraturan perundang-undangan dengan menggunakan penalaran hukum

yang berkaitan dengan topik yang diangkat oleh penulis. Data yang diperoleh dianalisis

secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data

yang dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran masalah atau masalah.
keadaan yang dipelajari. Metode yang digunakan untuk menarik kesimpulan adalah

metode berpikir deduktif.

AKU AKU AKU. PENGUNGSI INTERNASIONAL: SEJARAH DAN HUKUM

RINGKASAN

Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol7 tahun 1967 pada prinsipnya hampir

sama. Ada tiga poin utama yang menjadi landasannya

7 Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 merupakan dokumen hukum
utama yang menjadi dasar kerja kami. Dengan 149 Negara yang menjadi anggota salah
satu atau keduanya, mereka mendefinisikan istilah 'pengungsi' dan menguraikan hak-hak
pengungsi, serta kewajiban hukum Negara untuk melindungi mereka. Prinsip intinya
adalah non refoulement, yang menyatakan bahwa seorang pengungsi tidak boleh
dikembalikan ke negara dimana mereka menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan
atau kebebasan mereka. Hal ini sekarang dianggap sebagai aturan hukum kebiasaan
internasional. Lihat Jane McAdam, "Relevansi abadi Konvensi Pengungsi 1951." Jurnal Internasional Pengun
UU 29 Nomor 1 (2017): 1-9; Alice Edwards, "Perlindungan sementara, penghinaan dan
Konvensi Pengungsi 1951." Melbourne Journal of International Law 13, No.2 (2012):
595-635; Tom Clark, dan François Crépeau. "Pengarusutamaan Hak Pengungsi: Konvensi
Pengungsi 1951 dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional." Quarterly Hak Asasi
Manusia Belanda 17, No. 4 (1999): 389-410.
Lihat juga Andreas Zimmermann, Jonas Dörschner, dan Felix Machts, eds. Konvensi 1951
Terkait Status Pengungsi dan Protokol 1967: Sebuah Komentar. (Oxford: Oxford University
Press, 2011); Dita Liliansa, dan Anbar Jayadi. "Haruskah Indonesia Menyetujui Konvensi
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967?" Tinjauan Hukum Indonesia 5, No. 3 (2015): 324-346;
Helene Lambert,
"Status Pengungsi, Perampasan Kewarganegaraan Secara Sewenang-wenang, dan
Tanpa Kewarganegaraan dalam Konteks Pasal 1A (2) Konvensi 1951 dan Protokol 1967
terkait Status Pengungsi." Makalah UNHCR, Seri Penelitian Kebijakan Hukum dan
Perlindungan, Divisi Perlindungan Internasional, Jenewa (2014).
Machine Translated by Google

50 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

isi konvensi tersebut, yaitu: Pertama, definisi dasar pengungsi,


yang mana definisi dasar Pengungsi didefinisikan dalam Konvensi
1951 dan Protokol 1967 penting karena diperlukan penetapan
status seorang pengungsi (termasuk pengungsi atau tidak). ).
Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat orang tersebut
berada dan bekerja sama dengan United Nations High
Commissioner for Refugee (UNHCR) yang menangani masalah
pengungsi dari PBB. Kedua, status hukum pengungsi, hak dan
kewajiban pengungsi di negara pengungsi (hak dan kewajiban
yang berlaku di tempat pengungsian berada).
Ketiga, implementasi perjanjian khususnya mengenai administrasi
dan hubungan diplomatik. Di sini penekanannya adalah pada
administrasi dan hubungan diplomatik. Di sini penekanannya
adalah pada hal-hal yang melibatkan kerja sama dengan UNHCR.
Dengan demikian, UNHCR dapat menjalankan tugasnya sendiri
dan melaksanakan tugas pengawasan, khususnya terhadap
negara tempat pengungsi berada. Selain ketentuan Konvensi
1951 dan Protokol 1967, Pengungsi internasional juga diatur oleh
Konvensi Organisasi Persatuan Afrika (OAU) 8 dan Deklarasi Cartagena.

8 Konvensi Organisasi Persatuan Afrika (OAU) yang Mengatur Aspek Khusus


Masalah Pengungsi di Afrika, juga disebut Konvensi Pengungsi OAU, atau
Konvensi Pengungsi 1969, adalah instrumen hukum regional yang mengatur
perlindungan pengungsi di Afrika. Konvensi ini terdiri dari 15 pasal dan disahkan
di Addis Ababa pada tanggal 10 September 1969, dan diberlakukan pada
tanggal 20 Juni 1974. Konvensi ini merupakan kelanjutan dari Konvensi
Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 serta mempengaruhi Deklarasi
Cartagena tahun 1984 dan Konvensi Kampala tahun 2009. . Konteks sejarah
Konvensi Pengungsi 1969 adalah era dekolonisasi, Apartheid, serta pemberontakan politik dan m
Perjanjian ini ditandatangani oleh 41 negara bagian atau pemerintahan dan saat ini telah diratifikasi
oleh 46 dari 55 negara anggota Uni Afrika. Konvensi ini merupakan satu-satunya instrumen hukum
regional yang mengikat mengenai permasalahan pengungsi di negara berkembang dan merupakan
pelengkap regional dari Konvensi Pengungsi tahun 1951. Lihat JO Moses Okello, "The 1969
Machine Translated by Google

51 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tahun 1969 mengatur masalah


pengungsi di kawasan Afrika dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
bagi kawasan Afrika. Konvensi OAU lebih lanjut mengatur pengertian
pengungsi, yaitu seseorang yang meninggalkan negaranya karena agresi
eksternal, pendudukan, dominasi asing atau peristiwa-peristiwa yang
secara serius mengganggu ketertiban umum di sebagian atau seluruh
negara asal atau kebangsaannya. Peraturan tersebut memiliki implikasi
hukum bahwa orang-orang yang melarikan diri ke luar negeri karena
kerusuhan sipil, kekerasan yang meluas, dan perang berhak untuk
mengklaim status pengungsi di wilayah negara tuan rumah terlepas dari
apakah mereka takut akan penindasan atau penganiayaan yang
mendasar. Diputuskan bahwa kelompok individu tertentu yang takut akan
penganiayaan karena status sipil atau politik dan yang meninggalkan
negaranya harus dianggap sebagai pengungsi dan diberi serangkaian
hak tertentu yang membedakan mereka dari orang asing lainnya.

Seperti Konvensi OAU, Deklarasi 9 Cartagena tahun 1994 juga demikian

Konvensi OAU dan tantangan yang terus berlanjut bagi Uni Afrika." Tinjauan Migrasi
Paksa 48 (2014): 70-73; Colin Legum, "Organisasi Persatuan Afrika-sukses atau gagal?."
Hubungan Internasional (Royal Institute of International Affairs 1944- ) 51, No.2 (1975):
208-219; Katherine Mathews, "Organisasi Persatuan Afrika." India Quarterly 33, No.3
(1977): 308-324.
9 Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi merupakan perjanjian tidak mengikat yang
diadopsi oleh Kolokium Perlindungan Internasional Pengungsi di Amerika Latin, Meksiko
dan Panama, yang diadakan di Cartagena, Kolombia pada tanggal 19-22 November
1984. Deklarasi Cartagena tentang Pangkalan Pengungsi prinsip-prinsipnya mengenai
“komitmen sehubungan dengan pengungsi” yang didefinisikan dalam Undang-Undang
Contadora tentang Perdamaian dan Kerjasama (yang didasarkan pada Konvensi
Pengungsi PBB tahun 1951 dan Protokol tahun 1967). Kesepakatan ini dirumuskan pada
bulan September 1984 dan mencakup serangkaian komitmen rinci terhadap perdamaian,
demokratisasi, keamanan regional, dan kerja sama ekonomi. Perjanjian ini juga mengatur
komite-komite regional untuk mengevaluasi dan memverifikasi kepatuhan terhadap
komitmen-komitmen ini. Lihat José H. Fischel de Andrade, "Deklarasi Cartagena 1984:
Tinjauan Kritis terhadap Beberapa Aspek Kemunculan dan Relevansinya." Survei Pengungsi Triwulanan 38
Machine Translated by Google

52 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

mendukung definisi Pengungsi dalam Konvensi 1951. “...karena nyawa, keselamatan atau

kebebasan mereka terancam oleh kekerasan yang meluas, agresi asing, konflik internal,

pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia atau keadaan-keadaan lain yang

sangat mengganggu ketertiban umum”. Berdasarkan definisi di atas, secara umum pengungsi

adalah orang-orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena

takut dihukum dan mengalami persekusi (persekusi). Ketakutan mendasar inilah yang

membedakan pengungsi dengan migran jenis lain, apa pun situasinya, dan juga dengan orang

lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Dengan adanya pengaturan mengenai

pengungsi internasional, maka perlindungan pengungsi telah mempunyai kekuatan hukum

dalam hukum internasional.

Perlindungan yang diberikan oleh UNHCR dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan

pencari suaka terpenuhi hak-hak dasar hidupnya dan dilindungi dari refoulement (yaitu

perlindungan dari pemulangan paksa ke tempat asal mereka di mana kehidupan atau

kebebasan mereka berada dalam bahaya atau penganiayaan). Selain melindungi hak-hak

dasar pengungsi, UNHCR juga memiliki tujuan utama untuk mencari solusi jangka panjang

bagi pengungsi yang akan memberikan mereka kesempatan untuk membangun kembali

kehidupan mereka dengan damai. Solusi jangka panjang yang ada mencakup integrasi lokal,

repatriasi sukarela, atau penempatan di negara ketiga.

Dalam konteks lebih jauh, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang terkena dampaknya

oleh gerakan pengungsi internasional, kedatangan mereka merupakan konsekuensi dari

Kondisi geografis Indonesia, Indonesia paling potensial

(2019): 341-362; Luisa Feline Freier, Isabel Berganza, dan Cécile Blouin.
"Definisi Pengungsi Cartagena dan Pengungsi Venezuela di Amerika Latin
1." Migrasi Internasional 60, No.1 (2022): 18-36; Cécile Blouin, Isabel
Berganza, dan Luisa Feline Freier. "Semangat Cartagena? Menerapkan
definisi pengungsi yang diperluas kepada warga Venezuela di Amerika
Latin." Tinjauan Migrasi Paksa 63 (2020): 64-66.
Machine Translated by Google

53 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

negara yang dikunjungi pengungsi dan pencari suaka menuju Australia


melalui jalur laut8, keberadaan kantor UNHCR di Indonesia, juga menjadi
menjadi daya tarik atau memberikan kesempatan bagi mereka yang berstatus
pengungsi atau ingin menjadi pengungsi untuk datang, berusaha agar
permasalahannya dapat diproses di Indonesia. Indonesia juga merupakan
salah satu negara yang menerima dan meratifikasi Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (UDHR), Indonesia mengakui haknya untuk mencari suaka di
negara lain, dengan meratifikasi UUD Indonesia secara otomatis Indonesia
harus memberikan perlindungan kepada para pengungsi yang masuk ke
wilayah negara tersebut. kedaulatan Indonesia.

Hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan pencari suaka yang
terdaftar di UNHCR di Indonesia, yang terdiri dari 6.286 orang pencari suaka
dan 3.830 orang pengungsi. Dari jumlah tersebut, laki-laki 7.910 orang dan
perempuan 2.206 orang. Di antara pengungsi dan pencari suaka yang
terdaftar, terdapat 2.507 anak dan 798 diantaranya adalah anak-anak tanpa pendamping.
Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan, Iran, dan Irak merupakan negara
asal utama pengungsi dan pencari suaka yang berlokasi di Indonesia seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.

TABEL 1 Data kedatangan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia


Jumlah Pengungsi Tahunan
2010 3.905
2011 4.052
2012 7.223
2013 8.322
2014 5.659
Sumber: UNCHR

Para korban ini sebagian besar gagal mencapai negara tujuannya dan
terdampar di kepulauan Indonesia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan
sehingga sebagian besar dari mereka kehilangan nyawa sebelum mencapai
tujuan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Machine Translated by Google

54 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memfasilitasi para korban


tersebut dengan pihak imigrasi yang kemudian menampung mereka di kantor
imigrasi tempat mereka terdampar. Imigrasi tidak dapat segera mengambil
tindakan untuk menjalankan prosedur internasional karena Indonesia belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Meski bukan bagian dari Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967,
Indonesia tetap harus mematuhi standar perlindungan pengungsi yang
tertuang dalam konvensi tersebut, namun pengungsi telah menjadi bagian
dari hukum internasional secara umum, karena konvensi tersebut telah menjadi jus cogens.
Dalam Konvensi tahun 1951 dan Protokol Pengungsi tahun 1967, prinsip
non-refoulement diadopsi. “Non-refoulement adalah prinsip dimana suatu
negara tidak boleh memulangkan atau mengusir pengungsi yang tiba di
negaranya. Indonesia menganut prinsip tersebut dan menampung para
pengungsi dan pencari suaka, meskipun Indonesia bukan negara tujuan para
pengungsi tersebut.

IV. ANCAMAN MANUSIA PENGUNGSI INTERNASIONAL


PELANGGARAN HAK

Fakta menunjukkan jutaan anak, pria, dan wanita mengalaminya


menderita akibat eksploitasi konflik etnis atau agama akibat perang saudara.
Jumlah ini dari tahun ke tahun meningkat tajam, misalnya pada periode
1992-1995 terdapat 180 juta pengungsi akibat bencana alam. Melihat hal
tersebut Majelis Umum PBB mencanangkan periode 1990-2000 sebagai
“Dekade Internasional untuk Pengurangan Bencana Alam”. Saat ini
perlindungan pengungsi masih menjadi alasan keberadaan United Nations
High Commissioner for Refugees (UNHCR). Sekitar 26 juta orang di dunia
prihatin dengan UNHCR. Jumlah tersebut mencakup lebih dari 13,2 juta
pengungsi, setidaknya 4,7 juta pengungsi internal, dan 8,1 juta lainnya
menjadi korban.
Machine Translated by Google

55 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

perang dan pengungsi yang kembali. Jumlah terbesar berasal dari Afghanistan
(2,3 juta), Rwanda (1,7 juta), Bosnia dan Herzegovina (1,3 juta), Liberia
(750,000), Irak (630,000), Somalia (466,000), Sudan (424,000), Eritrea
(362,000), Angola (324.000), dan Sierra Leone (320.000).
Pembahasan mengenai pengungsi tidak akan lepas dari hak asasi manusia.
Hal ini beralasan karena pengungsi merupakan masyarakat yang sangat
rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi baik di negara asal maupun di
negara penerima. Keberangkatan pengungsi ke negara lain karena keadaan
sangat terpaksa dan memungkinkan tidak mempunyai dokumen.
Perlakuan yang paling umum adalah penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi,
repatriasi paksa (refoulement). Hal ini menjelaskan bahwa ancaman terhadap
hak asasi manusia memaksa masyarakat untuk menyeberang ke negara lain
untuk mencari perlindungan. Oleh karena itu, perlindungan hak asasi manusia
di negara asal sangat penting untuk mencegah gelombang pengungsi. “Jika
kondisi negara asal telah berubah maka para pengungsi dapat kembali ke
negara asalnya atau membangun komunitas sendiri untuk menikmati hak asasinya”.

Perlindungan hak asasi manusia merupakan hal yang penting dalam suatu
negara. Persoalan pelanggaran HAM hampir selalu lepas dari istilah pengungsi
karena para pengungsi diasumsikan dalam keadaan bersalah sehingga mereka
mengungsi sendiri. Tren yang ada saat ini adalah integrasi hak asasi manusia,
hukum humaniter dan hukum pengungsi, karena masalah pengungsi kini
menjadi sangat kompleks dalam hal jumlah, ukuran dan kompleksitas masalah
pengungsi yang terbatas pada pendekatan pasca Perang Dunia II yang
membahas keselamatan dan kesejahteraan. permasalahan tersebut sebagai
pertimbangan terbesar tanpa mempertimbangkan permasalahan negara tuan
rumah apakah negara tersebut telah melindungi para pengungsi atau tidak.
Hakikat hukum hak asasi manusia internasional mengatur kemanusiaan
universal tanpa terikat pada atribut ruang dan waktu tertentu. Hak asasi
manusia dalam konteks hukum pengungsi berkaitan dengan tiga hal:
perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata, perlindungan umum yang diberikan
Machine Translated by Google

56 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

dalam keadaan normal, dan perlindungan terhadap pengungsi baik Internal Displaced

Persons (IDPs) maupun pengungsi lintas batas.

Permasalahan global permasalahan pengungsi saat ini bukan hanya permasalahan individu

namun juga permasalahan hubungan internasional antara negara asal dengan negara tuan

rumah atau suaka, oleh karena itu diperlukan suatu undang-undang yang tidak hanya

berkaitan dengan status hukum dan perlindungan terhadap para pengungsi tersebut tetapi

mencakup keseluruhan hukum yang mencakup solusi dan tanggung jawab kolektif semua

negara. Hal ini diyakini dapat melindungi pengungsi dalam kaitannya dengan hak asasi

manusia dan merestrukturisasi RUU Pengungsi, namun juga dapat memberikan kesadaran

bagi negara-negara miskin dalam menjamin hak asasi manusia dalam permasalahan

pengungsi. Ada tiga poin penting yang harus diambil suatu negara dalam melindungi

pengungsi internasional. Pertama, meningkatnya tuntutan terhadap birokrasi negara untuk

mengatur masyarakat dan sebagian besar lembaga negara yang lemah dalam memberikan

bantuan. Kedua, meningkatnya tuntutan terhadap aparatur negara untuk menguasai dan

mengelola sumber daya, dan Ketiga, meningkatnya tuntutan terhadap aparat keamanan

negara untuk mengendalikan perbatasan dan ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh

masuknya pengungsi.

V. BEBERAPA ASPEK HAK ASASI MANUSIA DALAM MASALAH PENGUNGSI

Ada beberapa aspek penting mengenai pengungsi dalam konteks hak asasi manusia,

sebagai berikut.

1. Perlindungan Hak Pengembalian ke Negara Asal Secara Paksa (Non Refoulement)

Ketika seseorang atau beberapa orang melarikan diri dari negara asal, maka negara

tersebut harus memberikan perlindungan untuk kepulangannya ke negara asalnya, hal

ini diperlukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut. Karena

takut akan penganiayaan yang dapat membahayakan nyawa, keamanan, dan integritasnya.
Machine Translated by Google

57 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Kedua, menolak pengusiran dan pelarangan masuknya pengungsi ke suatu


negara. Hal ini sudah sesuai dengan konsep kembar dalam menjamin hak atas
kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia dalam payung hak asasi manusia.

2. Hak untuk mencari suaka

Setelah seseorang atau sekelompok orang terkena pelanggaran HAM di


negaranya, maka yang paling ia cari adalah suaka.
Suaka merupakan suatu perlindungan yang diberikan oleh jurisdiksi suatu
negara dalam wilayahnya terhadap orang yang datang mencarinya. Suaka
diperlukan tidak hanya untuk menjamin hak untuk hidup tetapi juga untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, oleh karena itu
pemberian suaka kepada pengungsi korban pelanggaran hak asasi manusia
merupakan salah satu aspek penting dalam perlindungan hak asasi manusia,
maka dari itu pemberian suaka juga diperlukan. suaka harus dianggap sebagai
prinsip hukum internasional dalam piagam PBB. Pemberian suaka kepada
pencari suaka sesuai dengan pasal 14 (UDHR) tidak dapat dianggap sebagai
tindakan permusuhan oleh negara lain, khususnya negara asal pencari suaka.
Suaka telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (UDHR) yaitu setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di
negara lain dari penganiayaan. Prinsip yang mendasari UNHCR adalah “bila
ada pencari suaka dalam jumlah besar, negara setidaknya akan memberikan
perlindungan sementara”.

3. Hak atas Kesetaraan dan Non-diskriminasi

Pengungsi mempunyai hak untuk diperlakukan secara manusiawi oleh negara


suaka. Sebagai aturan umum, hak dan kebebasan yang diakui oleh hukum hak
asasi manusia internasional adalah milik semua orang termasuk pengungsi
yang berhak atas rasa hormat dan hak asasi manusia sebagai hak asasi manusia.
Machine Translated by Google

58 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

warga negara suaka. Perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan


pengungsi secara global dan regional sangatlah penting, karena di negara-
negara asing pengungsi paling rentan terhadap diskriminasi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa para pengungsi biasanya tidak membawa identitas atau
dokumen yang dapat menjadi masalah bagi pihak berwenang di negara
suaka. Tak jarang, para pengungsi diterima di negara penerima dengan
rasa curiga dan kurangnya kepastian hukum akan kehadiran mereka di
negara penerima.

4. Hak atas Hidup dan Keamanan

Pengungsi adalah kelompok masyarakat yang paling terancam di dunia.


Beberapa hak-hak dasar mereka terancam selama proses pengungsian
bahkan di negara asal mereka. Pada mulanya mereka merasa putus asa
karena kehilangan harta benda, rasa aman, keluarga bahkan nyawanya
sendiri. Gil Loescher menjelaskan situasi pengungsi sangat buruk bahkan
lebih buruk dibandingkan saat mereka berada di negara asalnya, karena
adanya keharusan untuk mengungsi. Seringkali pengungsi dipisahkan dari
anggota keluarganya, menjadi sasaran ancaman, menjadi objek eksploitasi
dan dihantui rasa takut untuk dipulangkan secara paksa ke negara asalnya.
Sebagian besar anak-anak yang tinggal di pengungsian tidak dapat hidup
normal seperti anak-anak pada umumnya. Seringkali juga pengungsi
berisiko mendapatkan kekerasan termasuk pembunuhan, pemerkosaan,
genosida, penghilangan paksa. Perempuan yang paling rentan adalah
korban kekerasan dan perlindungan terhadap genosida yang merupakan
bentuk pelanggaran hak hidup yang serius. Karena hak hidup merupakan
hak universal pengungsi yang harus dilindungi dari kesewenang-wenangan.
Deklarasi Wina (1993) tentang pengakuan pelanggaran HAM besar-besaran
berupa genosida dan pemerkosaan sistematis yang menegaskan bahwa
pelaku kejahatan ini harus dihukum Deklarasi ini menegaskan kepada
semua negara untuk
Machine Translated by Google

59 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

melakukan penyidikan apabila terdapat bukti adanya pelanggaran terhadap hak-hak

pengungsi yang dilakukan oleh siapapun. Sehubungan dengan pemerkosaan dan kekerasan

seksual mendorong semua negara untuk menerapkan undang-undang yang melindungi

perempuan termasuk perempuan pengungsi.

5. Segera Kembali ke Negara Asal

Pengungsi perlu mendapat jaminan jika ingin kembali ke negara asalnya secara

sukarela. Selain itu, pengungsi juga membutuhkan perlindungan dari kekerasan

saat kembali ke negara asalnya. Hak asasi manusia mengatur hak individu untuk

kembali ke negara asalnya Dewan Keamanan PBB telah menegaskan "pengungsi

dan pengungsi internal berhak untuk kembali ke negara asalnya".

Pengungsi berhak untuk kembali ke negara asalnya dan menikmati hidup. Dan

negara penerima dapat memulangkan pengungsi apabila diketahui di negara

asalnya bahwa situasi sudah kondusif, dan pengungsi tersebut dipulangkan secara

sukarela. UNHCR dan sejumlah organisasi lain yang bertanggung jawab atas

pelaksanaan konvensi pengungsi tahun 1951 secara konsisten menerima dan

menolak hak asasi manusia untuk kembali ke negara asalnya melalui repatriasi

sukarela.

GERGAJI. KESIMPULAN

Meskipun Indonesia belum meratifikasi persyaratan formal pengungsi internasional,

namun Indonesia tetap berkewajiban melindungi pengungsi internasional, berdasarkan

Hukum Adat Internasional yang menjadi dasar pemenuhan Hak Asasi Manusia, semua

negara mengikat secara hukum. Pemahaman yang komprehensif mengenai definisi dan

kualifikasi pengungsi dan pengungsi internasional sangat diperlukan, karena berbeda

dalam penegakan hak asasi manusia dalam hal penentuan status pengungsi, kejelasan

hak dan kewajiban internal.


Machine Translated by Google

60 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

pengungsi dan pencari suaka.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tidak ada.

KEPENTINGAN YANG BERSAING

Para Penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan bersaing.

REFERENSI

Benhabib, Seyla. “Akhir dari konvensi pengungsi tahun 1951? Dilema kedaulatan,
teritorial, dan hak asasi manusia.” Jus Cogens 2, No.1 (2020): 75-100.

Hitam, Richard. "Lima puluh tahun studi pengungsi: Dari teori hingga kebijakan." Tinjauan
Migrasi Internasional 35, No. 1 (2001): 57-78.
Blouin, Cécile, Isabel Berganza, dan Luisa Feline Freier. "Semangat Cartagena?
Menerapkan definisi pengungsi yang diperluas kepada warga Venezuela di
Amerika Latin." Tinjauan Migrasi Paksa 63 (2020): 64-66.

Chetail, Vincent. "Apakah hak-hak pengungsi merupakan hak asasi manusia? Sebuah
pertanyaan yang tidak lazim mengenai hubungan antara hukum pengungsi dan
hukum hak asasi manusia." Hak Asasi Manusia dan Imigrasi 19 (2014): 63-84.
Clark, Tom, dan François Crépeau. "Pengarusutamaan Hak Pengungsi:
Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional."
Dutch Quarterly of Human Rights 17, No. 4 (1999): 389-
410.

Edwards, Alice. "Perlindungan sementara, pengurangan dan Konvensi Pengungsi 1951."


Jurnal Hukum Internasional Melbourne 13, No.2 (2012): 595-635.
Machine Translated by Google

61 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Fischel de Andrade, José H. "Deklarasi Cartagena 1984: Tinjauan Kritis terhadap


Beberapa Aspek Kemunculan dan Relevansinya." Survei Pengungsi
Triwulanan 38, No. 4 (2019): 341-362.
Fozdar, Farida, dan Lisa Hartley. "Pemukiman kembali pengungsi di Australia:
Apa yang kita ketahui dan perlu ketahui." Survei Pengungsi Triwulanan 32,
No.3 (2013): 23-51.
Freier, Luisa Feline, Isabel Berganza, dan Cécile Blouin. "Definisi Pengungsi
Cartagena dan Pengungsi Venezuela di Amerika Latin 1." Migrasi
Internasional 60, No.1 (2022): 18-36.
Gatrell, Peter. Pembentukan Pengungsi Modern. (Oxford: OUP Oxford, 2013).

Goodwin-Gill, Guy S., dan Jane McAdam. Pengungsi dalam Hukum Internasional.
(Oxford: Oxford University Press, 2021).
Hathaway, James C. "Memahami kembali hukum pengungsi sebagai perlindungan
hak asasi manusia." Jurnal Studi Pengungsi 4, No.2 (1991): 113-131.
Tulang lutut, Susan. “Australia sebagai perantara dalam perlindungan pengungsi
di Asia Tenggara: Hubungannya dengan Indonesia.” Pengungsi: Jurnal
Pengungsi Kanada 33, No.1 (2017): 29-41.
Krustiyati, J. M. "Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian dari
Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967." Law Review 12, No. 2
(2012): 171-192.
Lambert, Helene. "Status Pengungsi, Perampasan Kewarganegaraan Secara
Sewenang-wenang, dan Tanpa Kewarganegaraan dalam Konteks Pasal 1A
(2) Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terkait Status Pengungsi." Makalah
UNHCR, Seri Penelitian Kebijakan Hukum dan Perlindungan, Divisi
Perlindungan Internasional, Jenewa (2014).
Kacang-kacangan, Colin. "Organisasi Persatuan Afrika-sukses atau gagal?."
Urusan Internasional (Royal Institute of International Affairs 1944-) 51, No.2
(1975): 208-219.
Liliansa, Dita, dan Anbar Jayadi. "Haruskah Indonesia Menyetujui Konvensi
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967?" Tinjauan Hukum Indonesia 5, No.3
(2015): 324-346.
Machine Translated by Google

62 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

Limbu, Uskup. "Kemanusiaan yang tidak terbaca: Pengungsi, hak asasi


manusia, dan pertanyaan tentang keterwakilan." Jurnal Studi Pengungsi 22, No.
3 (2009): 257-282.
Lincoln, Yvonna S., Susan A. Lynham, dan Egon G. Guba,
"Kontroversi Paradigma, Kontradiksi, dan Pertemuan yang Muncul,
Ditinjau Kembali", dalam Buku Panduan Penelitian Kualitatif SAGE
(London: SAGE Publication, 2017).
Martin, Jean. Pemukim Pengungsi: Studi tentang Pengungsi di Australia.
(Canberra: Universitas Nasional Australia, 1965).
Mathews, Katherine. "Organisasi Persatuan Afrika." India
Triwulanan 33, No.3 (1977): 308-324.
McAdam, Jane. "Relevansi abadi dari Konvensi Pengungsi 1951." Jurnal
Internasional Hukum Pengungsi 29, No.1 (2017): 1-9.

Oke, JO Moses. “Konvensi OAU tahun 1969 dan tantangan berkelanjutan bagi
Uni Afrika.” Tinjauan Migrasi Paksa 48 (2014): 70-73.

Prabandari, Atin, dan Yunizar Adiputera. “Jalur alternatif menuju perlindungan


pengungsi dan pencari suaka di Malaysia dan Indonesia.” Jurnal Migrasi
Asia dan Pasifik 28, No. 2 (2019): 132-154.

Qamar, Nurul, and Farah Syah Rezah. Metode Penelitian Hukum: Doktrinal
dan Non-Doktrinal. (Makassar: CV. Social Politic Genius SIGn), 2020).

Samekto, FX Adji. "Relasi Hukum dengan Kekuasaan: Melihat Hukum dalam


Perspektif Realitas". Jurnal Dinamika Hukum 13, No. 1 (2013): 89-98.

Taylor, Savitri, dan Brynna Rafferty-Brown. “Perjalanan yang sulit: Mengakses


perlindungan pengungsi di Indonesia.” Tinjauan Hukum Monash University
36, No.3 (2011): 138-161.
Vrachnas, John, dkk. Hukum migrasi dan pengungsi: Prinsip dan praktik di
Australia. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011).
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Paradigma: Metode dan Dinamika
Masalahnya. (Jakarta: ELSAM, 2002).
Machine Translated by Google

63 | Wacana Hukum Internasional di Asia Tenggara

Wignjosoebroto, Soetandyo. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian


Sosial dan Hukum. (Malang: Setara Press, 2013.
Zimmermann, Andreas, Jonas Dörschner, dan Felix Machts, penyunting.
Konvensi 1951 Terkait Status Pengungsi dan Protokol 1967: Sebuah
Komentar. (Oxford: Oxford University Press, 2011).
Machine Translated by Google

64 | Pengungsi Internasional dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pengungsi bukanlah
teroris. Mereka seringkali
menjadi korban
pertama terorisme.

António Manuel de Oliveira Guterres

Anda mungkin juga menyukai