Anda di halaman 1dari 7

PKN/Tugas Rutin/ESAI/BESP 2021

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

PARA PENGUNGSI DI INDONESIA DAN JERUJI TAK


BERWUJUDNYA

TUGAS RUTIN 9

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas KKNI


Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Aura Albizia Tanjung


4211141012
Program Studi Pendidikan Biologi Bilingual

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
MEDAN
AGUSTUS 2022
PARA PENGUNGSI DI INDONESIA DAN JERUJI TAK
BERWUJUDNYA

Pendahuluan
Peperangan dan kejahatan kemanusiaan lainnya di berbagai belahan dunia
tidak kunjung berhenti terjadi hingga saat ini. Hal ini tentu menimbulkan rasa
takut dan ketidaknyamanan terhadap masyarakat pada negara-negara yang
mengalami permasalahan tersebut. Akibat rasa takut serta ketidaknyamanan
tersebutlah, mereka terpaksa mencari perlingungan serta mengungsi ke negara-
negara tertentu, untuk dapat bertahan hidup sampai konflik di negara asalnya
berakhir. Keadaan tersebut telah menjadikan mereka layak untuk disebut sebagai
pengungsi dan pencari suaka, serta layak berada di bawah naungan UNHCR
(United High Commissioner for Refugees).

Indonesia adalah negara yang memiliki posisi strategis secara geografis.


Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang terletak di garis khatulistiwa
dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan
Smudera Hindia. Mengingat letaknya yang berada di antara dua benua dan dua
samudera, indoensia disebut juga
sebagai nusantara terbesar di dunia.
Posisi yang sangat strategis tersebut
menyebabkan Indonesia menjadi
salah satu negara yang sering
dibanjiri para pencari suaka dan
pengungsi. Menurut data UNHCR
pada januari 2012 misalnya, terdapat
3275 pencari suaka dan 1052
pengungsi yang terdaftar di UNHCR Jakarta. Keberadaan pencari suaka dan
pengungsi di Indonesia sebenarnya telah ada sejak puluhan tahun lalu, pada era
kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia menjadi tujuan pencari suaka dan
pengungsi Vietnam pada tahun 1979, tepatnya setelah jatuhnya ibukota Saigon
(Vietnam Selatan) ke tangan Vietnam Utara. Ratusan ribu orang meninggalkan

2
wilayah ini untuk mencari perlingungan di negara lain dengan berbagai cara baik
lewat menyusuri sungai, jalur udara, maupun melalui laut.

Pembahasan

Pengungsi adalah seseorang yang mempunyai rasa takut yang beralasan


karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaannya dalam kelompok
sosial tertentu atau pandangan politiknya berada di luar negara asalnya, dan tidak
dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan negara asalnya atau kembali ke
negara tersebut karena takut terhadap persekusi.

Pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia menyebar di berbagai


tempat. Data keberadaan pengungsi di Indonesia tahun 2013 lalu menunjukkan
bahwa terdapat 5.761 pengungsi yang tinggal secara mandiri, 2381 tinggal di
community house Organisasi Migrasi Internasional (IOM), dan 1921 orang
ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Menempatkan pencari suaka dan
pengungsi dalam rudenim adalah sesuatu yang melanggar hukum internasional,
karena prinsipnya keberadaan mereka dalam rudenim mengurangi hak-hak
sejatinya dapat dimiliki. Sebagaimana diketahui pula, pencari suaka dan
pengungsi sekalipun masuk ke wilayah Indonesia dengan dokumen yang tidak sah
atau tanpa dokumen haruslah mendapatkan perbedaan perilaku dengan mereka
yang merupakan imigran ilegal lainnya.

Kota medan sendiri memiliki jumlah pengungsi mencapai 2.080 orang,


survey 2019 menyatakan Sebagian anak-anak yang berkesempatan menimba ilmu
di beberapa tempat pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) dan
sekolah menengah pertama (SMP). International Organization of Migration
(IOM) mengatakan, pihaknya mendapat dukungan dari walikota Medan dan Dinas
Pendidikan dengan lahirnya kesepakatan sehingga anak-anak pengungsi di
fasilitasi untuk belajar di beberapa sekolah. Hak tersebut tidak terlepas dari sisi
kemanusiaan yang dimiliki Walikota Medan. Sedangkan kepala Rudenim Medan
menyatakan, menyekolahkan anak merupakan pilihan bagi pengungsi itu sendiri.
Sesuai dengan ketentuan yang ada, Rudenim memfasilitasi pengungsi dengan
pendidikan yang bersifat Home-schooling, bukan sekolah formal.

3
Indoensia berkewajiban untuk melindungi pengungsi yang dipertegas
dengan adanya Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang memiliki standar dari Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia), sedangkan untuk perlindungan anak
pengungsi dipertegas dengan adanya Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang
Dungandungan anak yang merupakan penandatanganan dan ratifikasi dari
konvensi hak anak dan Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang
penanganan Pengungsi dari luar negeri yang secara khusus mengatur tentang
pengungsi.

Siapa yang harus menangani pengungsi ?

Pemandangan pengungsi yang melakukan aksi massa di beberapa kota di


Indoensia menuntut kepastian status mereka, terus terjadi. Hampir semua frustasi
dan depresi karena terlalu lama berada di Indonesia tanpa kepastian.

Di tengah ‘kekosongan hukum’ ini, praktik penanganan pengungsi di


Indonesia terjadi secara bervariasi dan tidak memiliki pola yang sama. Misalnya
apabila pengungsi/pencari suaka (boat people) masuk ke perairan Aceh atau
Sumatera Utara. Ada kalanya mereka boleh masuk perairan Indonesia, dan ada
kalanya diusir oleh aparat. Lalu, nelayan dan masyarakat setempat juga lazimnya
akan menolong mereka untuk mendarat dan adakalanya aparat negara akan
membiarkan mereka melakukannya. Tapi juga ada saat-saat aparat membatasi
aktivitas tersebut.

Tidak ada badan nasional yang bertanggung jawab penuh untuk


menangani pengungsi, Lalu, pemerintah daerah merasa kesulitan untuk
menangani pencari suaka dan pengungsi yang terdampar di daerah mereka.
Badan-badan internasional, seperti UNHCR dan IOM, juga memiliki mandat dan
anggaran yang terbatas.

Penjelasan mengenai teknis pertolongan pengungsi di wilayah batas-batas


negara, pemindahan, penempatan, penyediaan fasilitas selama di penampungan
juga dijelaskan. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 mengakui kebutuhan

4
khusus yang diperlukan oleh kelompok pengungsi rentan seperti orang sakit,
wanita hamil, penyandang disabilitas, anak-anak, dan orang lanjut usia.

Perpres ini bagaimanapun juga telah memberikan kepastian hukum walau


secara parsial tentang proses penanganan pencari suaka dan pengungsi di
Indonesia, termasuk mekanisme penampungan sementara dan tanggung jawab
berbagai aktor. Namun, itu saja tidak cukup.

Bagaimana kondisi para pengungsi ?

Untuk air bersih, mereka kesulitan. Merasa menunggu dalam


ketidakpastian karena mereka yang datang untuk mendapat status sebagai
pengungsi juga harus diseleksi dilihat dari kerentanannya dan jika ada yang lebih
rentan maka bagi para pengungsi yang terlebih dahulu tiba mereka akan tergusur,
serta terlunta-lunta tanpa penghasilan dan hanya dari bantuan saja. Bantuan IOM
Indonesia meliputi penyediaan rumah penampungan bagi para pengungsi, biayay
berobat di rumah sakit, dan tunjangan bulanan untuk para pengungsi. Selain itu,
organisasi juga menyediakan program kejuruan untuk memberdayakan
keterampilan pengungsi, dan bantuan Kesehatan mental.

Akses pendidikan juga terbatas, pengungsi anak tidak bisa mendapatkan


ijazah jika mereka telah menyelesaikan masa sekolah. Sebagai gantinya, mereka
akan memperoleh surat keterangan hasil belajar. Namun, negara sebenarnnya
tidak menanggung pendidikan para pengungsi anak itu. Sebagai gantinya, IOM
yang bertanggung jawab mendanai biaya sekolah mereka. Dan pada akhirnya,

5
para pengungsi dewasa menyediakan sendiri pendidikan bagi pengungsi anak
yang gurunya terkadang Lembaga atau individu yang berkunjung kesana.

Sejauh ini sudah ada 14 pengungsi yang meninggal akibat bunuh diri di
Indoensia. Sebaganyak 13 orang berasal dari Afghanistan, seorang sisanya berasal
dari Myanmar. Para pengungsi merasa mereka diasingkan, tidak dapat
berpartisipasi dalam kehidupan publik Indonesia secara penuh sebagai seorang
manusia.

Penutup

Faktor ekonomi merupakan alasan utama Indonesia yang juga belum


meratifikasi konvensi pengungsi hingga saat ini. Peraturan nasioanl yang ada telah
menyebutkan pencari suaka dan pengungsi, namun sesungguhnya belum ada
pengaturan dalam satu instrument yang memadai. Ketiadaan pengaturan ini
menyebabkan tidak adanya standar penangan pencari suaka dan pengungsi yang
baku. Nampaknya, pemerintah dan DPR merasa dengan melibatkan organisasi
internasional, seperti IOM dan UNHCR, upaya menanggulangi masalah
pengungsi dan pencari suaka dinilai sudah memadai. Padahal, masih terdapat
kendala di lapangan yang tidak terhindarkan. Pertama, pemerintah tidak mampu
mengontrol sepenuhnya kehadiran pencari suaka dan pengungsi di Indonesia.
Sebagian pencari suaka dan pengungsi saat ini ditempatkan di Rudenim, Sebagian
lain dari mereka berada di bawah supervise community house IOM, Sebagian lain
berbaur Bersama masyarakat, dan Sebagian lain mengontrak Bersama sesame
pencari suaka dan pengungsi. Kedua, direktorat keimigrasian kementrian hukum
dan HAM merupakan institusi utama yang menangani kehadiran pencari suaka
dan pengungsi, namun kenyataannya permasalahan pencari suaka dan pengungsi
sangat kompleks sehingga memerlukan keterlibatan lintas instansi. Ketiga, kondisi
politik dan keamanan global menunjukkan, bahwa pilihan repatriasi (pemulangan
Kembali orang ke tanah airnya/ negara aslinya) dan resettlement (pemukiman
Kembali) menjadi sulit dilakukan sehingga integrasi dengan masyrakat adalah
pilihan yang tidak bisa dihindarkan.

6
7

Anda mungkin juga menyukai