Anda di halaman 1dari 21

ASKEP KEPERAWATAN KOMUNITAS

POPULASI TERLANTAR, MISKIN & TUNAWISMA

Disusun Oleh :
Kelompok 2
 Damaris Taruk
 Fransiska Dias Paginta
 Leonardus
 Muh. Ilyas
 Oci OrlIana
 Rinna Merlin Sorongan
 Yulita Gustin Token

STIK STELLA MARIS MAKASSAR PRODI SI

KEPERAWATAN TAHUN 2018/2019


A. DEFINISI

Populasi berasal dari Bahasa latin yaitu populous (rakyat,berarti penduduk) .


jadi populasi adalah kumpulan indivudu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan
waktu tertentu
Komunitas pada populasi terlantar, Gelandangan adalah orang-orang yang
hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan
yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan
layak, orang yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau
orang yang berpindah-pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan
dan minum disembarangan tempat.
Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna wisma
merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam
kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu
faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah
kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap
meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga
terjadi kepadatan penduduk. Terbatasnya lapangan pekerjaan, pengetahuan dan
keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk
mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi gelandangan.
Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok yang
terisolasi, terpinggirkan, tidak beruntung dan kelompok rentan. Definisi
pemerintah tentang gelandangan atau tuna wisma yang dapat diterima secara luas
pada saat sekarang adalah orang yang kekurangan suatu tempat tinggal permanen
pada malam hari, atau yang memiliki tempat tinggal hanya pada saat malam hari
sebagai tempat bermukim sementara seperti pada fasilitas publik atau tempat–
tempat pribadi / swasta yang tidak dirancang sebagai akomodasi tempat tidur bagi
manusia (Situmorang, 2008 ).
Tunawisma atau gelandangan ada yang berusia produktif, ada pula yang lanjut
usia. Tunawisma atau gelandangan lanjut usia adalah orang atau lanjut usia yang
tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus
tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai,
stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan
kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma
sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran
plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan
geografis dan negara tempat tunawisma berada.Untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai
pemulung
Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur dalam Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi, “Fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya menjamin nasib kaum ini.
Namun Undang-Undang belum dapat terlaksanakan di seluruh lapisan masyarakat,
dikarenaka bahwa kebijakan pemerintah selama ini hanyalah kebijakan yang
menyentuh dunia perkotaan secara makroskopis dan bukan mikroskopis.
Pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak
memberikan mekanisme lanjutan kepada para stakeholder sehingga terkesan demi
menjadikan sesuatu lebih baik, mereka mengorbankan hak-hak individu orang
lain.
B. PREVELENSI
Penanganan masalah gelandangan dilakukan dengan melibatkan Dinas Sosial
beserta Satuan Polisi Pamong Praja yaitu dengan melakukan razia, kemudian yang
tertangkap dilakukan pembinaan serta pelatihan ketrampilan, dan dikirim ke
tempat asal mereka. Masalah gelandangan masih relatif tinggi, hal ini dibuktikan
dengan data pada tahun 2004-2009 jumlah populasi gelandangan dan fakir miskin
di Indonesia tercatat 36,10 juta, sedangkan tahun 2009 berjumlah 32, 5 juta orang
(Badan Pusat Statistik, Februari 2009)
Menurut data Dinas Sosial di seluruh Indonesia yang dihimpun Kementerian
Sosial (Kemensos), angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
pada 2017 ada sebanyak 23.595 pengemis dan 30.019 gelandangan. Sedangkan
data PMKS 2018, ada sebanyak 22.797 pengemis dan 56.785 gelandangan.
Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak
26.766 orang gelandangan dari 2017 ke 2018. Kata Dirjen Rehabilitasi
Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Edi Suharto, sebetulnya ada empat faktor
permasalahan adanya PMKS, Pertama adalah kemiskinan, tingkat pendidikan,
rendahnya keterampilan dan moralitas,"
Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos)
menyebut, jumlahnya mencapai 4,1 juta anak, dan jumlah itu bertambah. Kondisi
tersebut mencerminkan amanat Konstitusi agar fakir miskin dan anak telantar
dipelihara negara belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, Kemsos juga menyebut
sedikitnya 35.000 anak mengalami eksploitasi. Keberadaan anak-anak telantar
tersebut, antara lain masih minimnya rumah singgah atau Rumah Perlindungan
Sosial Anak (RSPA). Belum semua provinsi memiliki RSPA.
Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar
tersebut mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini
tercatat masih relatif tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan
kesejahteraan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan.
Data terbaru yang dirilis secara resmi oleh Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengenai jumlah anak
jalanan pada tahun 2007 di seluruh Indonesia mencapai 104.497 anak. Provinsi
dengan jumlah anak jalanan terbanyak berturut-turut adalah Jawa Timur, yaitu
sebanyak 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307 anak, dan Nusa Tenggara
Timur 11.889 anak, sedangkan 3 provinsi dengan jumlah anak jalanan paling
sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan
Kepulauan Riau 186 anak.12 Data tersebut adalah data yang paling baru yang
dirilis resmi, dan untuk Tahun 2014 ini belum ada data terbaru yang dirilis secara
resmi oleh kementrian manapun terkait dengan jumlah anak jalanan. Dalam
sebuah wawancara dengan salah satu media cetak nasional pada tahun 2011
Menteri Sosial Dr. Salim Segaf Al-Jufri, M.A menyatakan bahwa saat itu jumlah
anak jalanan Indonesia mencapai 230.000 anak namun, belum ada rilis resmi atas
data yang mencengangkan tersebut terkait peningkatan jumlah anak jalanan
Indonesia yang sangat besar.
Kota Makassar yang merupakan satu dari empat kota di Indonesia telah
menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan namun berdasarkan data
jumlah pengemis serta gelandangan sekitar 42.986 orang.

C. KARAKTERISTIK POPULASI TERLANTAR


Indonesia masih tergolong Negara yang berkembang dan belum mampu
menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang
ada sampai saat ini pengemis, gelandangan dan orang terlantar adalah masalah
yang harus di perhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut
sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar. Keberadaan PGOT saat ini
semakin banyak dan sulit diatur, Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan,
perempatan, lampu merah dan tempat umum di kota-kota besar, bahkan di
kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka menjadikan mengemis sebagai
profesi.
Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat.
Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang
tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja
yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa
karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau
pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan
maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri
dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan
menambah tenaga yang tidak produktif di kota. Akibatnya, untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk
meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka 2
memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman
kumuh dan lain sebagainya untuk beristirahat, mereka tinggal tanpa
memperdulikan norma social.
Karakteristik dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :
1. Tidak memiliki tempat tinggal Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini
mereka tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal mereka ini
biasa mengembara di tempat umum.
2. Hidup di bawah garis kemiskinan, Para gepeng mereka tidak memiliki
pengahsialn tetap yang bis amenjamin untuk kehidupan mereka kedepan
bahkan untuk sehari hari saja mereka harus mengemis atau memulung
untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3. Hidup dengan penuh ketidak pastian, Para gepeng mereka hidup
mengelandang dan mengemis di setiap harinya mereka ini sangat
memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat
jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu BPJS
untuk berobat dan lain lain.
4. Memakai baju yang compang camping, Gepeng bisanya tidak pernah
mengunakan baju yang rapi atau berdasi melaikan baju yang kumal dan
dekil.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP POPULASI


TERLANTAR
Menurut Parsudi Suparlan (1984: 2009) mengemukakan bahwa standar
kehidupan yang rendah ini secara langsung mempengaruhi tingkat kesehatan,
kehidupan moral dan rasa percaya diri mereka yang tergolong orang miskin.
Mereka diwarnai oleh mentalitas yang mendambakan pola kehidupan bebas tanpa
diikat oleh norma-norma sosial yang ada sehingga dengan pola pikir yang
demikian mereka serasa bebas untuk memenuhi setiap kehendaknya misalkan:
kawin tanpa harus mengurus surat nikah, dengan begitu pun masyarakat tidak ada
yang menggunjingnya sebagai kumpul kebo. Kemiskinan sebagai realitas pada
kaum tuna wisma sebenarnya bukan sesuatu yang dikehendakinya. Unsur
keterpaksaan lebih menunjukkan unsur relevansinya.
Hal-hal yang melatar belakangi tuna wisma atau gelandangan disebabkan
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: malas, tidak mau
bekerja keras, mental yang tidak kuat, sedangkan faktor eksternal yaitu: faktor
ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, kultural, lingkungan, dan agama.
Artidjo Alkotsar (Suroto, 2004: 56) mengemukakan bahwa yang melatar
belakangi gelandangan dan tuna wisma yaitu:
1. faktor ekonomi (kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan perkapita
dan tidak tercukupi kebutuhan hidup); daerah asal yang minus dan tandus,
sehingga tidak memungkinkan untuk pengolahan lahan;
2. faktor sosial, arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya
partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial;
3. faktor pendidikan, relatif rendahnya pendidikan sehingga kurangnya bekal
ketrampilan untuk hidup layak dan kurangnya bekal pendidikan informal
dalam keluarga;
4. faktor psikologis, adanya perpecahan dalam keluarga dan keinginan untuk
melupakan masa lalu yang menyedihkan serta kurangnya semangat kerja;
5. faktor kultural, pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang merupakan
rintangan dan hambatan mental;
6. faktor lingkungan, khususnya pada tuna wisma yang berkeluarga atau
mempunyai anak secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan
tuna wisma;
7. faktor agama, kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan
tipisnya iman membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau
berusaha.
Gelandangan tidak saja merupakan penyakit sosial, tetapi juga merupakan
suatu masalah yang memerlukan penanganan dan pembinaan yang cukup serius.
Oleh karena ini apabila tidak segera ditangani maka penyakit masyarakat ini akan
merajarela, sehingga diperlukan suatu langkah positif yang berupa tindakan
penanganan dari pemerintah.
Gambaran latar belakang timbulnya gelandangan dan tuna wisma tersebut di
atas jelas ada banyak faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh antara lain:
faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesiapan kerja
(intern dan ekstern). Faktor yang berhubungan dengan urbanisasi yang masih
ditambah lagi dengan faktor pribadi, tidak perlu mengindahkan kaidah normatif
yang barlaku umum, biasanya hidup sesuai dengan keinginan sendiri, biasanya
memuaskan kebutuhan secara cepat, dapat dikatakan mereka hidup dalam taraf
primer.

E. STATUS KESEHATAN TUNAWISMA


Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak
untuk menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma
juga merupakan klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat
kesehatan komunitas. Teori Perawatan Diri banyak digunakan dalam ilmu
keperawatan untuk memberikan kerangka kerja konseptual sebagai panduan
praktik dan membangun pengetahuan perawatan diri melalui riset. Orem
mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang berkesinambungan yang
diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk mempertahankan hidup,
kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini juga digunakan dalam konteks tuna wisma
oleh banyak ahli. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep Teori
Perawatan Diri Orem, mendeskripsikan kondisi perawatan diri tuna wisma, dan
mengaplikasikan Teori Perawatan Diri Orem dalam konteks tuna wisma.
Tuna wisma, dengan segala kondisi lingkungan dan kemampuan yang
seadanya, melakukan perawatan diri dengan seadanya pula. Hal ini menimbulkan
banyak masalah kesehatan yang muncul pada populasi tersebut. Setiap warga
negara berhak atas kesehatan tidak terkecuali tuna wisma. Kesehatan tuna wisma
menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak untuk menciptakan derajat
kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma juga merupakan klien yang
patut mendapat perhatian khusus bagi perawat kesehatan komunitas.
Kebutuhan Perawatan Diri pada Tuna Wisma Kebutuhan perawatan diri
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan mengingat kondisi minimnya
perlindungan dari segi fisik dan psikologis bagi mereka. Ditinjau dari jenis
kebutuhan perawatan diri Orem, tuna wisma mempunyai semua jenis kebutuhan
yang ada. Kebutuhan perawatan diri universal dibutuhkan oleh semua tuna wisma
sebagai manusia. Mulai dari kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat-
aktivitas, menyendiri dan interaksi sosial, serta pencegahan dari bahaya. Kondisi
tuna wisma membuat kebutuhan-kebutuhan perawatan tersebut terganggu. Udara
jalanan yang penuh dengan polusi, air yang kotor, makanan yang kurang higienis,
tempat eliminasi, interaksi sosial yang keras, serta bahaya-bahaya fisik dan
psikologis yang ditemui di jalanan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian
penting perawat. Kebutuhan perawatan diri perkembangan disesuaikan dengan
tahap perkembangan individu dan keluarga. Misalnya tahap perkembangan bayi
baru lahir hingga lansia sebagai individu, atau tahap perkembangan keluarga
pasangan baru menikah hingga keluarga dengan lansia. Tahap perkembangan ini
perlu diperhatikan karena masingmasing tahap perkembangan pada tuna wisma
mempunyai karakteristik misalnya anak jalanan yang sudah terbiasa bebas dan
tidak ingin terikat membutuhkan strategi untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri
mereka. Gagalnya memenuhi tugas perkembangan akan mempengaruhi tahap
perkembangan selanjutnya. Kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan
diperlukan sesuai dengan kondisi-kondisi masalah yang banyak ditemui pada tuna
wisma. Misalnya masalah anemia, malnutrisi, penyakit kulit, infeksi telinga,
gangguan mata, masalah gigi, infeksi saluran pernafasan atas, dan masalah
gastrointestinal. Masalah kesehatan mental yang ditemukan pada tuna wisma anak-
anak meliputi keterlambatan perkembangan, depresi, ansietas, keinginan bunuh
diri, gangguan tidur, pemalu, penarikan diri, dan agresi. Perawat perlu mencari
sumber masalah dan berusaha menyelesaikan penyebab untuk mengatasi masalah
yang ada.
Praktik keperawatan pada konteks tuna wisma dilakukan karena kurangnya
akses pelayanan kesehatan yang tersedia bagi mereka. Pelayanan yang dapat
diberikan kepada mereka mencakup pelayanan kesehatan primer, nutrisi,
pelayanan legal, peer education, bantuan finansial, dan konseling NARKOBA.
Perawat sebagai case manager melakukan home visit (kunjungan ke tempat
persinggahan mereka) untuk melakukan pengkajian, intervensi dan rujukan kepada
agen perawatan diri lain yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang
ditemui.
Mengingat keunikan kondisi klien tuna wisma, asuhan keperawatan yang
diberikan harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut ini :
a. Accessibility : kemampuan tuna wisma untuk menggunakan pelayanan,
meliputi jarak, usaha, biaya, dan kesadaran tentang butuhnya perawatan diri
sebagai kunci bagi para tuna wisma. Akses meliputi waktu dan lokasi
pelayanan.
b. Acceptability : tingkat penerimaan tuna wisma yang dapat mereka gunakan.
Hal ini ditinjau dari perspektif individu, keluarga, dan komunitas. Tuna wisma
akan memilih menggunakan pelayanan kesehatan berdasar persepsi
kompetensi perawatan, pengalaman sebelumnya, bahasa, dan budaya atau
sensitivitas perilaku pemberi pelayanan kesehatan (Magilvy, Congdon, &
Martinez, 1994).
c. Affordability : kesanggupan ekonomi. Kondisi tuna wisma yang kurang
mampu dalam perekonomian dapat dibantu oleh pemerintah. Diperlukan suatu
bentuk pelayanan yang optimal dengan dukungan dari pemerintah berupa
dana dan kebijakan.
d. Appropriateness : Bentuk asuhan keperawatan yang diberikan harus sesuai
dengan kebutuhan perawatan diri tuna wisma dan hal ini merasa dibutuhkan
sebagai kebutuhan utama bagi mereka. Perawat perlu menumbuhkan
kepedulian tuna wisma tentang kebutuhan perawatan diri yang diperlukan
mereka.
e. Adequacy : Keadekuatan intervensi keperawatan berbasis komunitas meliputi
kualitas dan kelengkapan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri sesuai dengan tingkat kebutuhannya (wholly compensatory, partially
compensatory, atau supportive-educative system). Diperlukan rancangan
program yang sangat bagus untuk dapat menghasilkan outcome yang optimal
pada populasi tuna wisma dengan segala kondisi yang ada.

F. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN


MASALAH KESEHATAN TUNAWISMA
1. Kemiskinan, Antara lain : makanan yang tidak cukup atau makanan yang
kurang gizi, persediaan air yang kurang, tidak mendapatkan pelayanan yang
baik.
2. Pendidikan yang rendah, kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua
tetapi tergantung dari kemampuan membiayai.
3. Kawin muda, hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum
menikah diusia tertentu diangap tidak laku. Ada juga karena faktor
kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawab dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya.
4. Seks bebas. Dari perilaku seksual usia dini anak jalanan perempuan, yang
mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahundan
ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri.
G. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNAWISMA
1. Pengkajian
a. Struktur dan sifat keluarga
- Kepala keluarga (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku,
pendidikan)
b. Kebutuhan Nutrisi
- Cara menyaji makanan
- Kebiasaan mengolah air minum
- Kebiasaan keluarga mengelolah makanan
c. Kebutuhan istirahat dan tidur
- Kebiasaan tidur dalam keluarga
d. Ekonomi
- Berapa pe
e. Sosial
f. Pendidikan
g. Psikologis
h. Spiritual
i. Faktor lingkungan
j. Pemeriksaan status mental:
- Tingkat kesadaran: sadar/ tidak sadar
- Memori : mampu mengingat memori jangka pendek/ panjang
- Konsentrasi atau kalkulasi: daya kemampuan berhitung dan fokus
- Informasi dan intelegensi
- Penilaian: mampu membuat keputusan sendiri berbagai pilihan dengan
alasan tertentu/ tidak
- Penghayatan atau insight: mampu memahami keadaan diri/ tidak
- Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
- Ketidak mampuan berhias atau berdandan ditandai dengan rambut acak –
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien
laki- laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.
- Ketidak mampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidak
mampuan mengambil makanan sendiri, makan bececeran dan tidak pada
tempatnya.
- Ketidak mampuan BAB/BAK secara mandiri, di tandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.

2. Diagnosa Keperawatan
a. defisit perawatan diri mandi atau kebersihan b.d hambatan lingkungan
b. Resiko kekerasan terhadap diri sendiri b.d kesehatan mental ( depresi
berat, psikokis, gangguan personalitas berat, penyalahgunaan
alcohol/obat).
c. Pola seksualitas tidak efektif b.d kurang pengetahuan/ ketrampilan
mengenai respon alternative terhadap kesehatan yang berubah.
3. Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


1 defisit perawatan diri mandi NOC : NIC :
atau kebersihan b.d Self care : Activity of Self Care assistane : ADLs
hambatan lingkungan Daily Living (ADLs)
- Monitor kemempuan klien
Setelah
Batasan karakteristik untuk perawatan diri yang
dilakukan intervensi mandiri.
- ketidakmampuan keperawatan - Monitor kebutuhan klien
selama …x 24 untuk alat-alat bantu untuk
untuk mandi
jam diharapkan klien kebersihan diri, berpakaian,
- ketidakmampuan
mampu mengontrol berhias, toileting dan makan.
untuk berpakaian
diri dan - Sediakan bantuan sampai
- ketidakmampuan klien mampu secara utuh
perilaku kekerasan tidak
untuk makan untuk melakukan self-care.
terjadi dengan kriteria
- ketidakmampuan - Dorong klien untuk
hasil :
untuk toileting melakukan aktivitas sehari-
- Klien terbebas dari hari yang normal sesuai
bau badan kemampuan yang dimiliki.
- Menyatakan - Dorong untuk melakukan
kenyamanan secara mandiri, tapi beri
terhadap bantuan ketika klien tidak
kemampuan untuk mampu melakukannya.
melakukan ADLs - Ajarkan klien/ keluarga
- Dapat melakukan untuk mendorong
ADLS dengan kemandirian, untuk
bantuan memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.
- Berikan aktivitas rutin
sehari- hari sesuai
kemampuan.
- Pertimbangkan usia klien
jika mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari-hari.
2 Resiko kekerasan terhadap Setelah dilakukan Emotional support
intervensi keperawatan
diri sendiri b.d kesehatan - Diskusikan dengan pasien
selama …x 24 jam
mental ( depresi diharapkan klien mampu tentang pengalaman emosi
mengontrol diri dan - Dukung penggunaan
berat, psikokis, mekanisme yang tepat
perilaku kekerasan tidak
gangguan terjadi dengan kriteria - Bantu pasien mengenali
perasaannya seperti cemas,
personalitas berat, hasil :
marah atau kesedihan
penyalahgunaan Impulse Control (1405): - Mendengarkan ungkapan
alcohol/obat ) - Mampu mengidentifikasi perasaaan klien dan
perilaku emosi menanamkan kepercayaan
- Diskusikan konsekuensi dari
- Mampu mengidentifikasi tidak menghadapi rasa
perasaan yang bersalah dan malu
mendorong kearah - Fasilitasi pasien untuk
kekerasan mengidentifikasi pola
respon yang biasa dilakukan
- Mampu mengidentifikasi
pada saat mengatasi rasa
konsekuensi dari perilaku
takut
kekerasan terhadap diri
- Sediakan dukungan selama
dan orang lain
penolakan, marah tawar
- Mampu menghindari menawar dan fase
situasi dan lingkungan penerimaan dari berduka
yang beresiko - Identifikasi fungsi marah,
menimbulkan perilaku frustasi, dan kegusaran klien
kekerasan\ - Dukung pembicaraan
atau biarkan pasien
- Menyatakan secara lisan
menangis sebagai alat
mampu mengendalikan
untuk menurunkan emosi
emosi
- Temani klien dan sediakan
- Mempertahankan jaminan keamanan selama
pengendalian diri tanpa periode cemas
adanya pengawasan - Sediakan bantuan dalam
membuat keputusan
Turunkan kebutuhan dalam
fungsi kognisi pada saat
pasien sakit atau lelah
Environmental management
- Ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien
- Identifikasi kebutuhan
keamanan pasien
berdasarkan tingkat fungsi
fisik dan cognitif dan riwayat
tingkah laku masa lalu
- Pindahkan lingkungan yang
berbahaya
- Pindahkan obyek yang
berbahaya dari lingkungan

Activity Therapy
- Berkolaborasi dengan
terapis lain dalam
memberikan terapi aktivitas
- Ajak pasien untuk
berkomitmen tentang
peningkatan jumlah aktivitas
- Ajak pasien untuk mengenal
aktivitas yang disenangi
- Identifikasi adanya
penurunan minat pada saat
beraktivitas
- Ajak pasien untuk ikut serta
dalam terapi aktivitas
kelompok
- Berikan terapi yang tidak
berkompetisi dan aktif
- Bantu pasien dan keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam aktifitas
- Sediakan aktifitas motorik
untuk menghilangkan
ketegangan otot
- Bantu dalam aktifitas fisik
teratur
- Berikan reinforcement
positif atas apa yang telah
dicapai pasien
- monitor keadaan
respon emosional, fisik,
social, dan spiritual
terhadap aktivitas yang
dilakukan.

3 Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC:


kurang dari kebutuhan Nutrional status: food and - Kaji asupan nutrisi klien
tubuh b/d ketidakmampuan fluid intake - Monitor adanya penurunan
berat badan
untuk memasukan atau Weight control - Monitor lingkungan selama
mencerna nutrisi oleh makan
Setelah dilakukan - Monitor turgor kulit
karena faktor ekonomi intervensi keperawatan - Monitor kekeringan, rambut
selama …x 24 jam kusam
diharapkan klien mampu - Monitor pucat, kemerahan
mengontrol diri dan dan kekeringan jaringan
perilaku kekerasan tidak konjungtiva
terjadi dengan kriteria - Informasikan pada
hasil : klien tentang manfaat
nutrisi
- Albumin serum - Anjurkan banyak minum
- Pre albumin serum - Kolaborasi dengan team
- Hematokrit kesehatan yang lain untuk
- Hemoglobin memenuhi nutrisi pasien
- Total iron binding
capacity
- Jumlah limfosi
DAFTAR PUSTAKA

Riskawat. I., Syani. A.(2012). Faktor penyebab terjadinya gelandangan dan


pengemis.jurnal sosiologie. Vol.1.No.1:43-52

Anderson, Judith A. (2001). Understanding homeless adults by testing the theory of


self-care. Nursing Science Quarterly, 14(1), 59-67

Dianne, McCormack. (2003). An examination of the self-care concept uncovers a


new direction for healthcare reform. Nursing Leadership (CJNL), 16(4), 48-
65

Meleis, Afaf Ibrahim. (1997). Theoretical Nursing : Development and progress. (3rd
Ed.). Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher.
Orem, D. E., (1985). Nursing : Concept of practice. (3rd Ed.). New York :
McGraw-Hill.

Orem, D. E., (2001). Nursing : Concept of practice. (6th Ed.). St. Louis : Mosby Inc.
Perry, Merry Lynn & Jones, Polite Aretha. Project house call : Preventing
Homelessness through improved adherence and continuity of care. Savanah :
Union Mission, Inc. http://www.anacnet.org/media/docs/posterabstracts.htm.,
diperoleh 15 Desember 2006.

Parker, Marlin E. (Editor) (2006). Nursing theories and nursing practice. (2ndEd).
Philadelphia : F.A. Davis Company.

Nursing Diagnoses:Definition and Classification 2005-2006/NANDA:alih bahasa,


Budi Santosa:editor, Budi Santosa:Prima Medika,2005

Anda mungkin juga menyukai