Anda di halaman 1dari 31

MODUL PELATIHAN SPARK

(Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)

Penyusun:
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN., PhD.
Dr. Christantie Effendy, S.Kp., MKes.
Dr. Sri Setiyarini, S.Kp., M.Kes
Ema Madyaningrum, S.Kep., Ns., MKes., PhD
Suis Galischa Wati, S.Kep., Ns., M.Kep

Editor:
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN., PhD

DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021
MODUL 2.
PENDEKATAN KEPERAWATAN
DALAM PELAYANAN PALIATIF
Bab 2.1 Instrumen-instrumen
Dr. Christantie Effendy, S.Kp., MKes.
Bab 2.2 Asuhan keperawatan paliatif
Suis Galischa Wati, S.Kep., N.s, M.Kep.
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN., PhD.
Bab 2.3 Pengkajian dan manajemen gejala
Dr. Sri Setiyarini, S.Kp., M.Kes.
Bab 2.4 Dukungan nutrisi pada pasien terminal
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN., PhD.
Suis Galischa Wati, S.Kep., Ns, M.Kep.
Bab 2.5 Basic care training
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN., PhD
Bab 2.1
Instrumen-Instrumen
Dr. Christantie Effendy, S.Kp., M.Kes

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 79


BAB 2.1 INSTRUMEN-INSTRUMEN

INTISARI
Beberapa format dapat digunakan untuk pengkajian paliatif
Perawat perlu memahami jenis dan fungsi masing-masing format
dalam upaya memberikan pelayanan paliatif sesuai dengan
kebutuhan pasien

TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran selama 60 menit, peserta
pelatihan mampu:
1. Memahami pentingnya instrumen dalam pelayanan paliatif
2. Memahami berbagai instrumen untuk screening kebutuhan
perawatan paliatif
3. Memahami berbagai instrumen untuk mengukur masalah bio-
psiko-sosio-spiritual dalam perawatan paliatif
4. Memahami peranan perawat pada screening paliatif

PENTINGNYA INSTRUMEN DALAM PERAWATAN PALIATIF


Dalam merawat pasien dengan berbagai penyakit terutama
penyakit tidak menular yang mengakibatkan pasien mengalami berbagai
masalah baik fisik, maupun non fisik, tenaga Kesehatan memerlukan
alat ukur/instrument yang dapat membantu untuk menentukan kondisi
pasien saat dirawat sehingga tenaga Kesehatan dapat mengambil
sikap dan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
Instrumen terkait perawatan pasien yang dapat digunakan untuk
menentukan seorang pasien membutuhkan perawatan paliatif atau
tidak, untuk menentukan apakah pasien mengalami masalah fisik dan
psikologis tertentu dapat sangat membantu dalam rencana perawatan
lanjut sehingga pasien dapat menerima perawatan paliatif lebih awal
yang pada akhirnya akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien.

80 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


SCREENING PASIEN PALIATIF
Selama menjalani perawatan di rumah sakit, pasien umumnya
mendapatkan hasil perawatan yang sangat bervariasi dan berisiko
mengalami berbagai komplikasi bahkan sampai kematian. Beberapa
faktor diketahui dapat meningkatkan risiko kematian yaitu usia,
beratnya penyakit akut, kondisi medis pasien. Melakukan screening
pada pasien terkait kondisi paliatif merupakan hal yang penting untuk
dilakukan sehingga perencanaan perawatan pasien dapat dilakukan
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
Monitoring masalah dan kebutuhan pasien serta mengukur
prognosis secara kontinyu pada pasien paliatif sangat penting dilakukan
karena keakuratan penilaian prognosis dapat digunakan untuk:
1) Membantu klinisi berdiskusi dengan keluarga
2) membantu klinisi dalam membuat keputusan akan terapi
3) Membantu dokter mengevaluasi dan memperkirakan hasil
perawatan
4) Membantu tim paliatif untuk merencanakan intervensi yang sesuai
bagi pasien
Pertimbangan pasien atau keluarga untuk menghentikan
atau meneruskan terapi yang agresif atau hanya memilih terapi
meningkatkan kenyamanan (mengawali pemberian perawatan paliatif)

INSTRUMEN UNTUK SCREENING PASIEN PALIATIF


Terdapat berbagai format yang dapat digunakan untuk screening
pasien paliatif.
1. Eastern Cooperation Oncology Group (ECOG)
ECOG merupakan penilaian terhadap level fungsionalitas
berdasarkan kemampuan merawat diri sendiri, aktivitas sehari-hari,
dan kemampuan fisik (bekerja, berjalan). Skala dan kriteria digunakan
oleh klinisi dan peneliti untuk menilai perkembangan penyakit pasien,
menilai efek penyakit terhadap kemampuan beraktivitas sehari-hari,
dan menentukan prognosis dan pengobatan yang tepat (Takahashi,
2017).

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 81


Gambar 5.1. ECOG performance

2. Palliative Performance Scale (PPS)


Untuk melakukan screening terkait dengan kondisi umum pasien
dapat digunakan PPS (Palliative Performance Scale) yang terdiri dari
8 level PPS mulai 30%-100% dengan melihat aspek ambulasi, aktifitas
dan bukti sakit, self care, intake dan tingkat kesadaran pasien.

82 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


Tabel 5.1. Palliative performance scale (PPS)

PPS Ambulasi Aktivitas dan bukti Self-care Intake Tingkat


Level sakit kesadaran
100% Penuh Aktivitas & kerja Penuh Normal Penuh
normal
Tidak ada bukti sakit
90% Penuh Aktivitas & kerja Penuh Normal Penuh
normal
Ada beberapa bukti
sakit
80% Penuh Aktivitas normal Penuh Normal atau Penuh
dengan usaha menurun
Beberapa bukti sakit
70% Menurun Tdk mampu kerja & Penuh Normal atau Penuh
beraktivitas normal menurun
Penyakit signifikan
tampak
60% Menurun Tdk dpt melakukan Kadang Normal atau Penuh atau
hobi/pekerjaan rumah membutuhkan menurun bingung
Penyakit signifikan bantuan
tampak
50% Banyak Tdk mampu Sering Normal atau Penuh atau
duduk/ melakukan kerja membutuhkan menurun bingung
berbaring Sakit berat bantuan
40% Banyak di Tdk dpt melakukan Banyak Normal atau Penuh
tempat tidur aktivitas membutuhkan menurun atau sll
Sakit berat bantuan mengantuk
Bingung +/-
30% Di tempat Tdk dpt melakukan Total care Normal atau Penuh
tidur aktivitas menurun atau sll
Sakit berat mengantuk
Bingung +/-
20% Di tempat Tdk dpt melakukan Total care Minimal Penuh
tidur aktivitas menyedot atau sll
Sakit berat mengantuk
Bingung +/-
10% Di tempat Tdk dpt melakukan Total care Perawatan Mengantuk/
tidur aktivitas mulut saja koma
Sakit berat Bingung +/-
0% Meninggal - - - -

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 83


3. The RADboud indicators for PAlliative Care needs (RADPAC)
RADPAC merupakan instrument yang dapat digunakan untuk
screening paliatif pada pasien dengan penyakit kanker, COPD dan CHF.
Instrumen RADPAC dibuat oleh tim peneliti dari Radboud University
untuk menskreening kebutuhan paliatif pada pasien kanker dan non
kanker. Pada bab ini dipaparkan hanya sebagian instrumen yang terkait
dengan pasien kanker saja.

Tabel 5.2. Kuesioner The RADboud indicators for PAlliative Care needs
(RADPAC)*

NO ITEM-ITEM YA TIDAK
1 Pasien memiliki tumor primer dengan prognosis
buruk
2 ketidakmampuan pasien dalam kategori
cukup, tergantung; membutuhkan bantuan

50%)
3 Pasien mengalami penurunan fungsi fisik yang
progresif
4 Pasien hanya mempu terbaring di tempat tidur yang
terjadi secara progresif
5 Keterbatasan asupan makanan pasien berkurang
6Pasien mengalami penurunan berat badan
secara progresif
7 Terjadi sindrom anoreksia-cachexia (kurang
nafsu makan, kelemahan umum, emaciating,
atrofi otot)
* hanya untuk pasien kanker

4. Supportive and Palliative Care Indicator Tools (SPICT)


Instrument SPICT dapat digunakan untuk mengukur atau
menskrining pasien untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien
akan perawatan paliatif. SPICT memiliki cara perhitungan yang
mudah, sehingga petugas kesehatan tidak mengalami kesulitan

84 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


mempraktikannya. SPICT membantu profesional kesehatan untuk
mengidentifikasi orang dengan indikator umum yang terganggu
kesehatannya, dan tanda klinis yang menunjukkan kondisi keterbatasan,
pengkajian dan perencanaan perawatan (Litle, 2016).
Menurut Mason (2015), manfaat penggunaan SPICT di antaranya
adalah:
1. Membantu klinisi mengidentifikasi pasien penyakit kronis dengan
risiko gangguan kesehatan dan kematian dengan satu atau lebih
kondisi progresif atau penyakit dengan keterbatasan hidup.
2. Membantu klinisi untuk memutuskan waktu yang baik untuk
kebutuhan perawatan holistik.
3. Membantu klinisi untuk meninjau pasiennya dan mengambil
keputusan mengenai individu yang melakukan penilaian dan
rencana perawatan lanjutan.
Instrument ini terdiri dari 2 indikator utama yaitu skor indikator
umum dan indikator klinis. SPICT mempunyai 6 pertanyaan umum dan
21 pertanyaan klinis. Skrining positif ditunjukkan dengan 2 atau lebih
indikator umum dan 1 atau lebih indikator khusus. Dengan demikian,
skrining hanya ditekankan pada indikator umum dan khusus (De Bock,
2018).
SPICT terdiri atas 3 komponen, yaitu : 1) bagian pertama dengan
indikator klinis umum, misalnya status penampilan buruk, mendapatkan
perawatan gawat darurat atau gejala yang menetap, 2) bagian kedua
dengan indikator kondisi klinis khusus, misalnya penyakit kanker,
demensia, jantung, paru, atau ginjal, dan 3) bagian ketiga dengan
rekomendasi untuk tindakan , misalnya percakapan tentang gangguan
kesehatan dan kematian, rencana perawatan lanjut, meninjau tujuan
perawatan dengan pasien dan keluarganya dan melakukan rujukan
kepada spesialis (Boyd, 2018).

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 85


Gambar 5.2. SPICT

86 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


4. APACHE II (Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation)
APACHE II merupakan instrument yang dapat digunakan untuk
menilai kondisi pasien di UPI (Unit Perawatan Intensif). Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation (APACHE) II adalah sistem penilaian
penyakit secara spesifik dan telah divalidasi baik. Dari penelitian Chen,
et al. (2007) diketahui bahwa nilai APACHE II maksimal adalah 71

Tabel 5.3. Nilai APACHE II dibandingkan dengan prediksi kematian

Nilai APACHE II Prediksi Kematian


<17 9.4 %
=/> 17 37.3%
25 50%
>35 80%

Tabel. 5. 4. Kriteria masing-masing tahap perawatan paliatif di UPI

KRITERIA PERAWATAN PALIATIF DI UPI


Tahap -1 (paliatif) Tahap–2 (siptom Tahap -3 (Terminal
paliatif) Paliatif)
Prognostic score Pasien tidak/ Prognostic score
sedikit bereaksi
(setara dengan skor terhadap terapi (setara dengan
(berdasar penilai skor APACHE II
memenuhi 1 DPJP dan atau
diagnosis mayor tim interdisiplin) Memenuhi 1
atau diagnosis atau
2 diagnosis minor kondisi pasien

Kriteria faktor pencetus untuk konsultasi Ke Tim Paliatif Rumah


Sakit
Apabila pasien terdapat:
1. Nyeri atau gejala lain yang tidak dapat dikontrol selama lebih dari
24 jam
2. Adanya masalah psikososial atau spiritual yang tidak terkontrol

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 87


3. Riwayat dirawat di Rumah sakit dalam jangka lama tanpa kemajuan
4. Riwayat pasien sering masuk UGD (>1 X/bulan dengan diagnosis
sama)
5. Riwayat sering masuk rumah sakit ( >1 X/bulan dengan diagnosis
sama)
6. Riwayat pasien dirawat di lamaUPI atau dengan masalah yang
kompleks
7. Dirawat di UPI dengan prognosis buruk atau terapi yang sia-sia
8. Adanya permintaan tim interdisiplin UPI atau keluarga untuk
konsultasi ke tim paliatif rumah sakit.

IMPLIKASI UNTUK PERAWAT KOMUNITAS


Seperti yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, perawat
memegang peranan penting dalam pemberian perawatan paliatif.
Keterlibatan perawat sebagai bagian integral dalam tim paliatif
dimulai sejak proses screening pasien, dilanjutkan dalam identifikasi
masalah dan kebutuhan pasien dan berdasarkan berbagai masalah
dan kebutuhan pasien, maka perawat dan tim paliatif menyusun
rencana tindak lanjut (advanced planning) untuk dapat melakukan
implementasi perawatan paliatif secara personal baik langsung maupun
tidak langsung.
Untuk dapat berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka
perawat hendaknya mendapatkan bekal ilmu pengetahuan dan
ketrampilan yang cukup. Salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang
perlu dimiliki adalah melakukan screening pasien paliatif sebagai awal
pelaksanaan perawatan paliatif dalam upaya meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarganya.

KESIMPULAN
Dalam memberikan pelayanan paliatif, perawat akan terbantu
dengan adanya instrumen-instrumen yang digunakan untuk melakukan
screening dan penilaian lainnya.

88 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


DAFTAR PUSTAKA
Boyd, K. (2018). SPICT Goes Global, (February). Identifying people for
integratedPalliative Care. SPICT International Conference – Edinburgh,
February 2018. www.spict.org.uk [diakses 5/1/19]
Bregje Thoonsen, Yvonne Engels, Eric van Rijswijk, Stans Verhagen, Chris van
Weel, Marieke Groot and Kris Vissers. Early identification of palliative
care patients in general practice: development of RADboud indicators
for PAlliative Care Needs (RADPAC) . Br J Gen Pract 2012; 625-631
Downing, M.G (2014). Palliative Performance Scale (PPS): A new tool. https://
www.researchgate.net/publication/14348689 [diakses 12/1/19]
National Consensus Project for Quality Palliative Care. 2004. Clinical
Practice Guidelines for Quality Palliative Care. Available at: www.
nationalconsensusproject.org
Mc Adam, J., Puntillo, K., 2010. Oxford Textbook of Palliative Nursing.
Takahashi M, Komine K, Yamada H, Kasahara Y, Chikamatsu S, et al (2017).
The G8 screening tool enhances prognostic value to ECOG performance
status in elderly cancer patients. A retrospective, single institutional
study. PLOS ONE 12(6): e0179694. doi: 10.1371/journal.pone.0179694
Vijayganapathy, S., Karthikeyan, V. S., Sreenivas, J., & Mallya, A. (2017).
Validation of APACHE II scoring system at 24 hours after admission
as a prognostic tool in urosepsis : A prospective observational study,
453–459. Investig Clin Urol 2017;58:453-459.
World Health Organization: WHO Definition of Palliative Care, 2005. Available
at: http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/

Bab 2.1 Instrumen-Instrumen 89


Bab 2.4
Dukungan Nutrisi
Martina Sinta Kristanti, S.Kep, Ns, MN, PhD
Suis Galischa Wati, S.Kep, Ns, M.Kep

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 133


BAB 2.4 DUKUNGAN NUTRISI

INTISARI
Dukungan nutrisi pada kondisi paliatif: hidrasi, terapi nutrisi oral,
enteral dan parenteral
Tugas dan kewenangan perawat dalam perawatan paliatif
berhubungan dengan status nutrisi
Edukasi dan optimalisasi peran pemberi perawatan keluarga
(family caregiver) dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada
pasien dengan perawatan paliatif.

PENDAHULUAN
Kondisi defisit nutrisi adalah hal paling umum yang dialami
oleh 15-40% pasien kanker (de Las Peñas et al., 2019). Kondisi ini
tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup serta dapat mengganggu
keberhasilan regimen perawatan yang saat itu tengah dijalani oleh
pasien, misalnya proses kemoterapi. Selain itu beberapa regimen terapi
onkologis seperti kemoterapi dan radiasi juga dapat menyebabkan
status nutrisi menurun akibat mual, muntah yang dirasakan membuat
pasien merasa tidak nyaman sehingga mengalami penurunan nafsu
makan. Kondisi tersebut dapat menurunkan imunitas tubuh yang akan
berbahaya bagi pasien dengan keganasan (kanker).

TUJUAN TERAPI NUTRISI


Tujuan dari terapi nutrisi dalam pelayanan paliatif adalah untuk
meningkatkan status fungsional pasien lebih dari kebutuhan untuk
memperpanjang kehidupan. Menjaga kualitas hidup dan kenyamanan
pasien menjadi pertimbangan yang utama. Dalam kaitannya dengan
filosofi paliatif ini, sebenarnya juga masih menjadi perdebatan apakah
terapi nutrisi artifisial mampu meningkatkan kualitas hidup pasien
(Bozzetti, 2020). Dalam banyak studi juga dikatakan bahwa intervensi
nutrisi (bahkan yang radikal sekalipun) tidak banyak memberi manfaat

134 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


pada pasien pada kondisi akhir hayat. Oleh karena itu, screening dan
pengkajian nutrisi hendaknya dilakukan pada semua pasien dengan
kondisi paliatif, namun keputusan pemberian terapi nutrisi (enteral atau
parenteral) hanya diberikan saat mempertimbangkan keuntungan lebih
dari komplikasi yang mungkin dialami (de Las Peñas et al., 2019).
Pemenuhan nutrisi pada pasien paliatif, meliputi dua aspek yakni
hidrasi dan nutrisi, yang akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:

HIDRASI
Air merupakan komponen penting dalam tubuh manusia. Fungsi
sel kompleks termasuk sintesis protein dan metabolisme nutrisi akan
bergantung pada status hidrasi. Menjaga hidrasi meliputi menjaga
keseimbangan antara input dan output (Betty Ferrell & Coyle, 2010).
Dehidrasi adalah kondisi dimana tubuh mengalami kekurangan cairan.
Disebut sebagai dehidrasi isotonic bila pasien mengalami kehilangan
cairan elektrolit berupa air dan sodium. Dehidrasi terjadi pada kondisi
puasa (tidak ada asupan makanan) atau kehilangan cairan karena
muntah dan diare. Tanda dehidrasi mencakup: mukosa mulut kering,
penurunan jumlah ekskresi keringat, munculnya rasa haus, kelelahan,
demam, perubahan status fungsi/mental, kebingungan, dan lain-lain.
Pengkajian dehidrasi mencakup pencatatan keseimbangan intake
dan output cairan, mengkaji turgor kulit dan mukosa membrane, monitor
status mental dan tekanan darah. Data subjektif pada pengkajian
dehidrasi meliputi: kelelahan, kelemahan otot, anorexia, dan perubahan
sensasi rasa. Treatment dehidrasi dapat diawali dengan mengkaji
medikasi yang mungkin berpengaruh, misalnya pemberian diuretik.
Pada pasien dengan dehidrasi maka perawatan oral perlu secara rutin
diberikan. Ajarkan kepada keluarga mengenai mouth care/oral care,
dimana cara teraman untuk hidrasi adalah dilakukan secara oral.

NUTRISI
Terdapat 2 pemicu kehilangan berat badan pada pasien dengan
kondisi akhir hayat yaitu kelaparan dan refraktori cachexia. Seperti

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 135


dijelaskan lebih lanjut dalma gambar 1 bahwa cachexia primer
merupakan akibat dari respon inflammatory, perubahan hormonal dan
kurangnya napsu makan. Sedangkan refraktori anoreksi disebabkan
oleh respon inflamatori, hypermetabolism dan status katabolic dengan
hilangnya kekuatan otot.
Gejala yang berhubungan dengan nutrisi pada pasien dengan
kondisi kanker stadium lanjut: Chacexia, Penurunan BB lebih dari
10% dari BB normal, Perasaan penuh setelah makan, perut terasa
sebah (Bloating), Anorexia, Konstipasi, Mulut kering, Perubahan rasa,
Nausea, Mual. Gejala-gejala ini akan memberikan dampak mayor pada
status nutrisi pasien baik secara langsung ataupun tidak langsung akan
menurunkan intake nutrisi, menyebabkan dehidrasi dan penurunan
berat badan serta penurunan kualitas hidup.

Gambar 8.1. Faktor penurunan intake oral di akhir hayat


(Hui, Dev, & Bruera, 2015)

136 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


Tenaga Kesehatan sangat perlu untuk dapat mengenali kondisi
pasien di akhir hayat karena banyak gejala atau komplikasi akut yang
tidak lagi bila dikembalikan seperti semula (irreversible) bahkan dengan
intervensi yang agresif sekalipun. Oleh karena itu sangat penting bagi
tenaga kesehatan untuk berkomunikasi dengan keluarga mengenai
hal ini. Pengkajian umum mengenai nutrisi harus dilakukan di setiap
saat perjumpaan dengan pasien dengan menggunakan alat yang
valid. Pengkajian umum adalah dengan melakukan evaluasi asupan
nutrisi, perubahan BB dan BMI. Kebutuhan nutrisi pasien kanker
sama dengan kebutuhan populasi sehat yaitu sebanyak 25-30 kcal/
kg/hari dengan mempertimbangkan keseimbangan derajat aktivitas
fisik (de Las Peñas et al., 2019). Protein yang dibutuhkan sebanyak
1.2-1.5 g/kg/hari. Nilai ini harus dihitung dengan mempertimbangkan
fungsi ginjal dan gangguan metabolic lainnya. Pemberian vitamin
dosis tinggi tidak direkomendasikan kecuali pada kasus-kasus deficit
(de Las Peñas et al., 2019). Dukungan nutrisi diperlukan saat terjadi
malnutrisi atau resiko malnutrisi, saat pasien tidak mampu makan
dalam waktu 1 mg atau lebih atau bila intake mereka kurang dari 60%
dalam 1-2 minggu (de Las Peñas et al., 2019). Kondisi malnutrisi akan
berdampak pada beberapa hal yaitu imunokompetens pada pasien,
Ketidakmampuan mentoleransi perawatan antineoplastic, ataupun
menimbulkan komplikasi post operasi (infeksi luka, penyembuhan,
QOL, pembiayaan).

TERAPI NUTRISI
Tenaga Kesehatan berkewajiban untuk mengidentifikasi serta
memberikan terapi nutrisi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Peran terapi nutrisi untuk pasien kondisi paliatif adalah:
1. Untuk membantu menjaga berat badan dan kekuatan
2. Untuk mencegah rusaknya lapisan kulit dan membangunnya
lapisan baru
3. Untuk melawan dengan infeksi
4. Untuk mencegah dan deficit nutrisi

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 137


5. Membantu pasien toleransi lebih baik dengan treatment
6. Untuk meminimalkan komplikasi berhububungan dengan nutrisi
Klasifikasi terapi nutrisi mencakup nutrisi oral dan nutrisi artificial.

NUTRISI ORAL
Termasuk di dalamnya adalah dengan pemberian suplemen nutrisi.
Pemberian nutrisi secara oral menjadi pilihan utama dan pertama bagi
pasien paliatif. Terapi nutrisi per-oral ini harus mampu menyediakan
kebutuhan nutrisi pasien secara kualitatif dan kuantitatif. Pasien dengan
intervensi nutrisi oral ini hanya diberikan pada pasien dengan kondisi
mampu untuk mengunyah. Pemberian nutrisi oral biasanya terhalang
karena adanya kondisi mual, kehilangan rasa ataupun kesulitan
menelan (disfagia). Untuk dapat menyediakan nutrisi oral maka perlu
modifikasi antara lain melakukan perubahan konsistensi dan pemberian
suplemen cair, penurunan densitas dan pemberian nutrisi dengan
frekuensi yang sedikit tapi sering.

NUTRISI ARTIFISIAL (ENTERAL DAN PARENTERAL)


Terapi nutrisi artifisial mencakup terapi nutrisi enteral (EN) dan
nutrisi parenteral (PN). Mengenai apakah nutrisi artifisial berperan
signifikan di akhir hayat, dalam suatu studi systematic review masih
berkesimpulan bahwa bukti-bukti empiris mengenai hal ini masih sangat
terbatas (Hui et al., 2015). Yang juga selalu menjadi perdebatan juga
manakah diantara kedua terapi yang lebih efektif (Cotogni, 2016).
Sehingga pada prinsipnya, baik parenteral maupun terapi enteral
keduanya sebenarnya cukup efektif untuk menjaga dan meningkatkan
status nutrisi pasien yang mengalami resiko ketidak cukupan nutrisi
(Cotogni, 2016) namun yang juga perlu dicatat adalah bahwa terapi
nutrisi aritifisial pada akhir hidup berupa enteral dan parenteral juga
akan memberikan komplikasi yang cukup signifikan (Hui et al., 2015).
Komplikasi tersebut dapat berupa perdarahan pada area insersi,
blok pada selang, diare, konstipasi, aspirasi, defisit elektrolit dan
hiperglikemia (Hui et al., 2015). Pemberian parenteral nutrisi akan

138 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


memberikan efek samping berupa sepsis, hipoglikemia, disfungsi
hepar, abnormalitas elektrolit, overload volume dan kolesistisist (Hui
et al., 2015). Fokus utama terapi nutrisi berfokus pada penurunan
komplikasi dan gejala paliatif lainnya yaitu stimulasi nafsu makan,
pengelolaan mual dan muntah, kesulitan makan terkait dengan kondisi
fisik pasien atau pengasuh (Cotogni, 2016).

Nutrisi enteral
Pilihan pemberian nutrisi enteral diberikan saat pemberian nutrisi
secara oral tidak lagi mampu diberikan atau bila dengan pemberian
nutrisi dengan oral tidak adekuat. Indikasi ini diberikan bila intake oral
adalah bila: 60% dari kebutuhan nutrisi dan fungsi gastrointestinal
masih adekuat (de Las Peñas et al., 2019). Pemberian nutrisi dengan
enteral juga dilakukan saat perlu memberi kesempatan bagi usus
untuk kembali berfungsi dengan normal. Terapi nutrisi enteral bisa
bersifat jangka pendek (dengan NGT) ataupun jangka panjang (dengan
gastrotomi dan jejunostomy). Bila diberikan selama lebih dari 4-6
minggu maka terapi ostomy diperlukan. Saat pasien mendapatkan
EN, waspadai adanya resiko reflux, dll. Kontraindikasi pemasangan
EN adalah pada kondisi dimana pasien mengalami obstruksi bowel,
distensi abdominal dan ketidakmampuan menyerap nutrisi karena
gangguan GI track. Pasien dengan bowel syndrome dan diare yang
parah juga perlu mendapatkan pertimbangan untuk tidak dipasang EN.

Nutrisi parenteral
Diberikan bila terapi nutrisi secara oral dan enteral tidak bisa lagi
diberikan atau pada kondisi dimana gastrointestinal tidak lagi berfungsi
dengan adekuat. Pada awalnya, di tahun 1960an, PN menjadi standar
pelayanan saat pasien membutuhkan AN. PN kala itu sangat membantu
saat kondisi operasi dan pasien dengan kondisi kritis dalam masa
penyembuhan dari kondisi mengancam jiwa (Cotogni, 2016). PN dapat
diberikan secara perifer dan central. Pada terapi cairan pekat, maka
pasien membutuhkan pemasangan IV central dalam pemberian terapi

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 139


PN. Pada kondisi pasien yang mendapatkan radioterapi, pemberian
PN terbukti kurang efektif. PN hanya direkomendasikan bila terapi oral
dan EN tidak memungkingkan (misalnya pada kondisi enteritis karena
radiasi atau malabsropsi) (de Las Peñas et al., 2019)

PEMILIHAN PARENTERAL NUTRITION DAN ENTERAL


NUTRITION
Mengenai keefektifan PN atau EN disampaikan pada beberapa
penelitian bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam 30 hari
kematian yang dihubungkan dengan rute pemberian pada pasien kritis
dan dukungan nutrisi baik PN dan EN keduanya memberikan manfaat
yang sama (Cotogni, 2016). Pada umumnya pemilihan PN atau EN
tergantung pada kondisi pasien karena pada kebanyakan kasus pasien
mengalami masalah intake makanan karena efek samping treatment
(pembedahan, kemo, radiasi). Contohnya pada kondisi dimana
pasien mengalami toksik gastrointestinal karena radiasi, maka PN
yang sifatnya short term biasanya akan lebih mudah ditoleransi dan
lebih efektif daripada EN untuk memulihkan kondisi usus sekaligus
mencegah kekurangan nutrisi (Cotogni, 2016). Dalam pemilihan EN
atau PN, keinginan pasien juga menjadi salah satu pertimbangan
(Cotogni, 2016) tentunya setelah mendapatkan penjelasan mengenai
kelebihan dan kekurangan masing-masingnya.

Keuntungan dan kerugian pemberian nutrisi artifisial


Tentunya NA akan mendukung proses pemulihan pada banyak
pasien dengan banyak kasus dimana tanpa pemberian NA akan
berakhir dengan kematian (Guido, 2010). Misalnya pada kasus pasien
stroke akut, dengan gangguan menelan di fase awal terjadinya stroke,
dengan terapi NA yang adekuat maka status nutrisi pasien akan tetap
terjaga hingga saat kondisi akut berakhir dan bisa menyesuaikan
dengan asupan oral kembali. Ataupun pada kondisi dimana pasien
mengalami kanker tenggorokan sehingga terjadi gangguan menelan,
maka pemberian EN akan menjadi salah satu solusi yang baik. Namun

140 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


ada juga banyak kasus pada pasien paliatif dimana pemberian NA justru
akan memberikan kerugian dan komplikasi (Guido, 2010). Banyak
sekali miskonsepsi mengenai pemberian NA yang pertama adalah
bahwa NA dianggap memperpanjang kehidupan karena mensuplai
kalori dan memberikan dukungan nutrisi. Miskonsepsi yang kedua
adalah bahwa terapi NA meningkatkan QOL. Hal ini masih menimbulkan
perdebatan, karena terapi NA seringkali dirasakan tidak nyaman pada
pasien karena sifatnya invasif dan mengganggu pola gerak pasien,
dapat menimbulkan infeksi, nyeri saat pemasangan dll (Guido, 2010).
Yang perlu diingat adalah pasien dalam kondisi akhir hayat tidak lagi
mampu merasakan lapar dan haus (Guido, 2010).
Beberapa kriteria untuk menunda pemberian nutrisi artifisial pada
pasien kanker (Cotogni, 2016):
- Estimasi masa hidup rendah (dibawah 2-3 bulan)
- Karnofsky performance Scale < 50 (ECOG 3-4)
- Difungsi organ massif
- Gejala yang tidak terkontrol
- Keinginan pasien
Beberapa kriteria untuk menarik/menghentikan pemberian nutrisi
artificial pada pasien kanker (Cotogni, 2016):
- Estimasi kehidupan sesaat (hitungan hari)
- Gejala yang tidak terkontrol: nyeri, muntah, sesak nafas dan
delirium)
- Progesi penyakit ditunjukkan dengan: peningkatan test liver,
creatinine, kebutuhan supplu oksigen, hipotensi
- Penurunan status performance (KPS)
- Keinginan pasien

Panduan pemberian nutrisi dan hidrasi di akhir hidup (Hui et al.,


2015):
1. Tenaga kesehatan harus melakukan diskusi secara jujur kepada
pasien dan kelaurga mengenai prognosis dan tujuan perawatan.
2. Pada masa akhir hayat, pasien mungkin memiliki banyak gejala

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 141


yang membuat mereka tidak bisa makan misalnya karena disfagia.
Pasien sebaiknya tidak perlu merasa bersalah karena tidak bisa
makan/minum atau dipaksa untuk makan.
3. Bila menginginkan, pasien dapat mencoba untuk makan dan
minum dalam jumlah yang kecil secara oral sesuai dengan porsi
yang dapat ditoleransi dengan tujuan utama untuk meningkatkan
kenyamanan dan menurunkan resiko komplikasi (misalnya resiko
asporasi).
4. Penilaian aktif dapat dilakukan untuk mencegah adanya komplikasi
dan sejalan dengan tujuan perawatan. Misalnya kontrol nyeri harus
diberikan secara optimal dan pemberian oral care harus dilakukan
secara regular.
5. Ketidakmampuan pasien untuk makan atau minum berhubungan
dengan distress emosi yang signifikan antara pasien dan
caregiver. Untuk itu penting untuk menormalisasi reaksi mereka
dan memberikan edukasi serta konseling jangka panjang.
6. Untuk pasien di akhir hayat, nutrisi artifisial tidak direkomendasikan
sebab tidak memberikan keuntungan dan bahkan akan
menyebabkan komplikasi.
7. Mengenai hidrasi artifisial, dukungan empiris masih sangat
terbatas. Untuk itu hidrasi artificial dapat diberikan kepada pasien
tertentu setelah diskusi dan pengamatan serta menimbang resiko
dan keuntungan serta tujuan perawatan.

Panduan pengambilan keputusan dalam pengambilan


keputusan terkait nutrisi pada pasien kondisi paliatif
Hidrasi dan nutrisi dalam kondisi penyakit terminal seringkali
menjadi problematik bagi tenaga kesehatan maupun bagi keluarga
(Betty Ferrell & Coyle, 2010; Guido, 2010). Di satu sisi tentunya
keluarga dan tenaga kesehatan bermaksud memberikan yang terbaik,
di sisi lain pemberian terapi nutrisi artifisial dapat pula menimbulkan
komplikasi atau membatasi ruang gerak pasien dan keluarga di masa
akhir hayat (Betty Ferrell & Coyle, 2010).

142 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


Berikut merupakan beberapa panduan yang dapat dijadikan
panduan dalam pembuatan keputusan etik terkait nutrisi pada pasien
di kondisi akhir hayat. Yang pertama adalah bahwa semuanya
dalam kondisi akhir hayat sifatnya dalah irreversible, sehingga
semua keputusan terhadap perawatan harus berdasarkan pada
pertimbangan apakah dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan
apakah ini sesuai dengan keinginan pasien. Prinsip kedua adalah
perawatan yang diberikan akan dimonitor berdasarkan manfaat dan
kerugian baik secara fisik, psikologis dan spiritual. Pertimbangan
harus dilakukan dari sudut pandang pasien. Prinsip ketiga adalah
bahwa dehidrasi sebenarnya tidak membutuhkan treatment, namun
dampak dari dehidrasi yang membutuhkan pelayanan paliatif. Prinsip
keempat adalah bahwa ketika pasien tidak mampu mengekspresikan
keinginannya, bantuan dari orang terdekat sangat diperlukan untuk
mencari tahu apa yang sebetulnya diharapkan oleh pasien yang
mungkin diungkapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Prinsip terakhir
adalah walaupun focus pelayanan pada pasien, namun distress dari
keluarga perlu dipertimbangkan (Betty Ferrell & Coyle, 2010).

Peran Perawat sebagai educator bagi family caregiver dalam


upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien dengan perawatan
paliatif.
Pemberi perawatan pasien di rumah (family caregiver) sering kali
merasa tidak siap untuk memberikan perawatan paliatif pada anggota
keluarganya. Keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana cara
pemberian perawatan, minimnya pendampingan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan saat dan setelah pasien pulang dari rumah
sakit, seringkali menjadi kendala yang menimbulkan kebingungan
bagi keluarga mengenai perawatan apasaja yang dibutuhkan oleh
pasien di rumah, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien
(Newbury, 2011).
Terlepas dari niat baik dan upaya yang dilakukan oleh family
caregiver untuk membantu anggota keluarganya, jika tidak disertai

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 143


dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup maka tindakan yang
dilakukan bisa saja tanpa sengaja mencederai atau membahayakan
kondisi pasien. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kejadian
terlepasnya selang, sumbatan, infeksi, dan dehidrasi seringkali
ditemukan pada pasien yang terpasang Nasogastric tube (NGT) di
rumah, yang kemudian mengakibatkan pasien harus dibawa lagi ke
rumah sakit. Hal tersebut akibat family caregiver tidak memiliki bekal
pengetahuan dan keterampilan yang cukup (Reinhard et al., 2011).

IMPLIKASI UNTUK PERAWAT KOMUNITAS


Perawat di komunitas memiliki peran penting dalam membantu
keluarga untuk mengidentifikasi kebutuhan nutrisi pasien, seperti diit
yang diresepkan, jumlah nutrisi yang dibutuhkan, jadwal pemberian,
dan mengidentifikasi apakah pasien memerlukan alat bantu makan
atau tidak. Jika pasien memerlukan alat bantu makan seperti NGT,
perawat harus mengedukasi keluarga tentang tujuan pemasangan
NGT, fungsinya, bagaimana cara pemberian nutrisi yang tepat melalui
jalur tersebut, serta cara membersihkan dan merawatnya. Perawat
komunitas juga menginformasikan kepada keluarga tentang indikator
kecukupan kebutuhan nutrisi pasien, kapan nutrisi pasien dikatakan
tercukupi dan kapan nutrisi pasien di rumah dikatakan belum terpenuhi,
serta komplikasinya (Grant et al., 2013). Perawat komunitas juga harus
siap mendampingi keluarga dan pasien jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

KESIMPULAN
Pasien dengan kondisi paliatif membutuhkan dukungan nutrisi baik
secara oral, enteral dan parenteral. Perawat bertugas untuk mengkaji
kebutuhan dan memberikan dukungan nutrisi pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Bozzetti, F. (2020). Is there a place for nutrition in palliative care? Support Care
Cancer, 28(9), 4069-4075. doi:10.1007/s00520-020-05505-x

144 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


Cotogni, P. (2016). Enteral versus parenteral nutrition in cancer patients:
evidences and controversies. Ann Palliat Med, 5(1), 42-49. doi:10.3978/j.
issn.2224-5820.2016.01.0
de Las Peñas, R., Majem, M., Perez-Altozano, J., Virizuela, J. A., Cancer, E.,
Diz, P., . . . Ocon, M. J. (2019). SEOM clinical guidelines on nutrition in
cancer patients (2018). Clin Transl Oncol, 21(1), 87-93. doi:10.1007/
s12094-018-02009-3
Ferrell, B., & Coyle, N. (2010). Oxford textbook of palliative nursing (3rd ed.).
Guido, G. W. (2010). Nursing care at the end of life: Pearson education inc.
Grant, M., Sun, V., Fujinami, R., Sidhu, R., Green, S., Juarez, G., Klein, L.,
Ferrell, B. (2013). Family caregiver burden, skills preparedness, and
quality of life in Non-small-cell lung cancer. Oncol Nurs Forum, 40(4),
337-346. doi:10.1188/13.ONF.337-346
Hui, D., Dev, R., & Bruera, E. (2015). The last days of life: symptom burden and
impact on nutrition and hydration in cancer patients. Curr Opin Support
Palliat Care, 9(4), 346-354. doi:10.1097/spc.0000000000000171.
Newbury, J. (2011). The drama of end of life care at home. Nurs Times,
107(11), 22-28.
Reinhard, SC., Given, B., Petlick, NH., Bernis, A. (2011). Patient safety and
quality: an evidence based handbook for nurses-Chapter 14. Supporting
caregivers in providing care. Rockville: USA.

Bab 2.4 Dukungan Nutrisi 145


Bab 2.5
Basic Care Training
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., MN, PhD

Bab 2.5 Basic Care Training 147


BAB 2.5 BASIC CARE TRAINING

INTISARI:
BCT merupakan metode pendampingan edukasi keluarga untuk
memberikan bantuan personal hygiene pada pasien di rumah
Perawat komunitas dapat memberikan pendampingan BCT saat
kunjungan rumah

PENDAHULUAN
Personal hygiene merupakan hal yang sederhana, namun pada
pasien kanker, karena keterbatasan kondisi fisiknya, mereka mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan pribadi ini. Yang
kami maksud dengan personal hygiene adalah kebersihan diri dasar
yang mencakup mandi, keramas, sikat gigi, toileting (BAB dan BAK)
dan memberikan bantuan makan baik dengan oral atau dengan NGT.
Pada bab ini, kami akan memaparkan mengenai pemberian edukasi
dengan Basic Care Training (BCT). Metode edukasi ini diberikan
dengan modul dan video. Kami akan mengajarkan kepada perawat
tentang bagaimana melakukan screening terhadap kebutuhan keluarga
serta mengajarkan BCT.

TUJUAN PEMBELAJARAN
Di akhir sesi pembelajaran selama 60 menit, peserta pelatihan
diharapkan mampu untuk:
1. Memahami manfaat BCT
2. Mengajarkan BCT baik dengan memperagakan sendiri atau
dengan video BCT yang telah disediakan

BASIC CARE TRAINING


Basic Care Training (BCT) adalah pendampingan yang diberikan
oleh perawat kepada keluarga pasien dengan kondisi paliatif. Jenis
ketrampilan yang termasuk dalam BCT ini adalah ketrampilan

148 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


memandikan, keramas, oral hygiene, BAB, BAK dan memberikan
bantuan makan baik secara oral ataupun dengan NGT yang semuanya
dilakukan di atas tempat tidur pasien. Program BCT ini kami awali
pada tahun 2011 dengan mendapatkan pendanaan dari Australia dan
kegiatan ini telah kami buktikan secara empiris mampu meningkatkan
kualitas hidup pasien paliatif secara umum. Dari penelitian ini juga
doimain sosial serta domain emosi pasien meningkat secara signifikan
setelah keluarga diajarkan BCT. Hasil penelitian BCT ini telah kami
publikasikan dalam jurnal Internasional (Kristanti, Setiyarini, & Effendy,
2017).
Rasionalisasi pemberian pendampingan BCT ini adalah sebagai
berikut: yang pertama adalah bahwa budaya pengasuh keluarga
menjadi bagian yang kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Bahwa keluarga akan terlibat baik secara psikologis maupun fisik
untuk perawatan angggota keluarga yang sakit. Yang kedua adalah
bahwa baik pasiebn maupun keluarga merasa lebih nyaman bila
dibantu kebutuhan dirinya oleh pengasuh keluarga dibandingkan
dengan perawat baik di RS apalagi di Rumah. Yang ketiga, personal
hygiene sering menjadi bagian penting yang terlupakan dalam
discharge planning, adanya gap dalam perawatan saat di RS dan di
rumah bila tidak disiapkan dengan baik. Personal hygiene adalah hal
yang sederhana, namun tanpa pendampingan yang baik, maka hal ini
seringkali terabaikan. Dan apabila personal hygiene tidak dijaga dengan
baik, maka kondisi personal hygiene yang buruk akan memperburuk
kondisi pasien. Sedangkan kondisi personal hygiene yang baik maka
akan meningkatkan mood dan kenyamanan pasien.
Oleh karena itu, tujuan pemberian BCT adalah supaya keluarga
dapat dapat melakukan bantuan kebutuhan diri pasien di rumah.

MANFAAT BCT
BCT merupakan metode pendampingan keluarga untuk dapat
memberikan bantuan perawatan diri (personal hygiene) bagi pasien
secara mandiri, terlebih bila pasien sudah berada di rumah. Dengan

Bab 2.5 Basic Care Training 149


memberikan BCT pada keluarga, maka diharapkan kepercayaan diri
keluarga meningkat dan personal hygiene pasien juga tetap terjaga.
Manfaat dari BCT adalah secara empiris terbukti dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien paliatif. Dari penelitian yang kami
laksanakan, setelah 1 bulan pendampingan BCT, kualitas hidup pasien
secara umum meningkat. Aspek kualitas hidup lain yaitu emosi dan
sosial juga mengalami peningkatan signifikan secara statistic.

SCREENING PEMBERIAN BCT


Perawat akan melakukan screening tentang kondisi pasien yang
membutuhkan bantuan untuk personal hygiene. Namun dari penelitian
yang kami lakukan, akan lebih baik bila diberikan pada saat kondisi
pasien masih cukup baik fungsionalnya, hingga saat dibutuhkan nanti
(kondisi fiungsional pasien menurun), maka keluarga dapat secara aktif
memberikan bantuan perawatan diri.
Untuk screening, maka perawat dapat menggunakan instrument
Barthel Index dan Paliatif Performance Scale yang selanjutnhya telah
dibahas pada Bab 5 mengenai instrument dalam pelayanan paliatif.
Penetapan keluarga yang dapat diberikan pendampingan BCT adalah
pada kondisi pasien: instrument Barthel Index (skort < 79) dan Paliatif
Performance Scale (< 60%). Namun tidak ada salahnya bila keluarga
tetap diajarkan sebelum pasien masuk dalam tahap tersebut.

PROSEDUR PEMBERIAN BCT


Pada kondisi non pandemic, BCT sebaiknya diberikan secara
langsung saat melakukan kunjungan rumah, akan tetapi, dalam kondisi
pandemic maka perawat dapat mengoptimalkan penggunaan teknologi.
Perawat dapat memberikan informasi awal dengan membagikan
video BCT, lalu pada pertemuan berikutnya, perawat dapat menjawab
pertanyaan dari keluarga mengenai BCT. Lalu pada pertemuan virtual
berikutnya, keluarga dapat mempraktekkan pelaksanaan BCT secara
virtual dan perawat memberikan feedback.

150 SPARK (Sinau PAliatif Rame-rame karo eloK)


Tahap kerja pemberian BCT
1. Mengkaji Barthel index dan PPS/KPS pasien
2. Mengajarkan BCT secara langsung/video
3. Pertemuan berikutnya perawat dapat melihat demonstrasi dari
keluarga kepada pasien, perawat memberikan feedback
4. Pertemuan berikutnya, perawat melakukan eksplorasi bagaimana
perasaan keluarga dan pasien

IMPLIKASI UNTUK PERAWAT KOMUNITAS


BCT merupakan intervensi keperawatan yang aplikatif bisa
digunakan oleh para perawat di komunitas.

KESIMPULAN
Keluarga perlu mendapatkan dukungan dalam proses perawatan
pasien di rumah. Kebersihan personal adalah hal sederhana
namun fundamental bagi kondisi pasien secara fisik dan psikologis.
BCT merupakan salah satu intervensi keperawatan mandiri yaitu
mengajarkan keluarga melakukan bantuan perawatan diri bagi pasien.
Tujuan BCT adalah untuk membantu keluarga serta meingkatkan
kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Kristanti, M. S., Setiyarini, S., & Effendy, C. (2017). Enhancing the quality
of life for palliative care cancer patients in Indonesia through family
caregivers: a pilot study of basic skills training. BMC Palliat Care, 16(1),
4. doi:10.1186/s12904-016-0178-4

Bab 2.5 Basic Care Training 151

Anda mungkin juga menyukai