Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial


yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang
menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas,
dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga,
masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya
belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah
amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang
menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Pada tahun 2008 jumlah anak jalanan sekitar 8.000 orang, pada tahun 2009
jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Dan pada tahun 2010, ketika pertama
kali dilakukan pendataan secara nasional, ditemukan ada sekitar 240.000 anak jalanan
di 12 kota besar di Indonesia. Angka yang fantastik jika sekarang pada tahun 2011 ini
angka tersebut mengalami kenaikan lagi. Padahal, Pemprov DKI menjadikan
penekanan jumlah anak jalanan sebagai salah satu agenda kerja prioritas tahun lalu.
Oleh karena itu, sebagai sesama manusia sudah selayaknyalah kita membuat suatu
kontribusi yang dapat membantu anak-anak kurang beruntung tersebut dengan cara
apapun yang dapat kita usahakan sebagai suatu penghormatan terhadap sesama
manusia ciptaan-Nya.

Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD 1945
pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Artinya sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak jalanan) juga harus
menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah angkat tangan dalam
menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah melakukan razia baik untuk
gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun anak jalanan. Padahal sebenarnya hal itu
bukanlah solusi, karena akar dari permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah
kemiskinan. Jadi kalau ingin tidak ada anak jalanan ataupun gepeng pemerintah
harusnya memikirkan cara mengentaskan mereka dari kemiskinan. Mengentaskan
kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain dengan cara meningkatkan pendidikan
pada anak jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain.

Di ibukota Jakarta pun bahkan sampai ada perda yang mengatur tentang
pemberian uang di jalanan kepada anak-anak jalanan yaitu Perda No 8 tahun 2007
tentang Ketertiban Umum. yang dalam pelaksanaannya masih belum sesuai dengan
harapan, bahkan hingga saat ini masih banyak pro dan kontra. “Namun akan kita
usahakan agar semuanya tepat sasaran. Tujuannya melindungi anak-anak tersebut dan
juga pengendaranya,” jelas Supeno, Kepala Biro Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ketua Satgas PA Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Muhammad Ichsan mengatakan, harus ada
solusi konkret dari pemerintah terkait pengentasan anak-anak jalanan dengan cara
menempatkan petugas Satpol PP, dan memonitor masyarakat yang memberikan uang
kepada anak-anak di jalanan. “Satpol PP harus memberikan sanksi kepada yang
memberikan uang kepada mereka. Karena uang yang diberikan itu yang membuat
mereka bertahan di jalanan. Kalau mau memberikan jangan di jalanan,” tegasnya
seperti dilansir situs berita Jakarta.

B. Rumusan Masalah

1. Apa defenisi dari anak jalanan?


2. Apa Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya anak jalanan?
3. Apa jenis-jenis anak jalanan?
4. Apa saja karakteristik anak jalanan?
5. Bagaimana perlindungan dan pemberdayaan anak jalanan?
6. Bagaimana model penanggulangan anak jalanan?
7. Bagaimana layanan yang dibutuhkan anak jalanan?
8. Bagaimana asuhan keperawatan terhadap anak jalanan?

C. Tujuan

1. Mengetahui defenisi dari anak jalanan


2. Memgetahui faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya anak jalanan
3. Mengetahui jenis-jenis anak jalanan
4. Mengetahui perlindungan dan pemerdayaan anak jalanan
5. Mengetahui perlindungan dan pemberdayaan anak jalanan
6. Mengetahui model penanggulangan anak jalanan
7. Mengetahui layanan yang dibutuhkan anak jalanan
8. Mengetahui asuhan keperawatan terhadap anak jalanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Anak Jalanan

Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang
mengacu pada anak anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun
masih memiliki hubungan dengan keluarganya (Suyanto, 2010).

Anak jalanan atau gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat
tinggal tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili secara otentik. Disamping itu
mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak,
menurut ukuran masyarakat pada umumnya dan sebagian besar dari mereka tidak
mengenal nilai-nilai keluhuran (Sudarsono, 2009).

Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-
hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-
tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai
dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.

B. Tanda dan Gejala Anak Jalanan


1) Orang dengan tubuh yang kotor sekali,
2) Rambutnya seperti sapu ijuk
3) Pakaiannya compang-camping dengan membawa bungkusan besar yang
berisi macam- macam barang
4) Bertingkah laku aneh seperti tertawa sendiri
5) Sukar diajak berkomunikasi
6) Pribadi tidak stabil
7) Tidak memiliki kelompok (Suyanto, 2010)
C. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Anak Jalanan

Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab keberadaan


anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro (immediate causes),
faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan faktor pada tingkat makro (basic
causes).

a. Tingkat Mikro (Immediate Causes)


Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan
keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada
tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan
tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
1) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah
putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2) Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua
menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau
kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga,
terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak,
keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah
fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya
masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran,
perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.
3) Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi
membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh
pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan
pemerintah.
4) Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua
sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah
menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.
Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) menyebutkan pula faktor-faktor yang
disebabkan oleh keluarga yakni sebagai berikut:
1) Keluarga miskin
Hampir seluruh anak jalanan berasal dari keluarga miskin. Sebagian besar
dari mereka berasal dari perkampunganperkampungan urban yang tidak
jarang menduduki lahan-lahan milik negara dengan membangun rumah-
rumah petak yang sempit yang sewaktu-waktu dapat digusur. Anak jalanan
yang berasal dari luar kota, sebagian besar berasal dari desa-desa miskin.
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang medorong anak-anak menjadi
anak jalanan. Anak dari keluarga miskin, karena kondisi kemiskinan kerap
kali kurang terlindungi sehingga menghadapi risiko yang lebih besar untuk
menjadi anak jalanan.
2) Perceraian dan kehilangan orang tua
Perceraian dan kehilangan orang tua menjadi salah satu faktor risiko yang
mendorong anak-anak pergi ke jalanan. Perceraian atau perpisahan orang
tua yang kemudian menikah lagi atau memiliki teman hidup baru tanpa
ikatan pernikahan seringkali membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi
ini akan semakin bertambah ketika anak dititipkan ke salah satu anggota
keluarga orang tua mereka atau tatkala anak yang biasanya lebih memilih
tinggal bersama ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian, justru
menghadapi perlakuan buruk ayah tiri atau pacar ibunya.
3) Kekerasan keluarga
Kekerasan keluarga merupakan faktor risiko yang paling banyak dihadapi
oleh anak-anak sehingga mereka memutuskan untuk keluar dari rumah dan
hidup di jalanan. Berbagai faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan
hubungan antara anak dengan keluarga, tidak lepas dari persoalan
kekerasan. Seperti kasus eksploitasi ekonomi terhadap anak yang dipaksa
menyerahkan sejumlah uang tertentu setiap harinya, akan menghadapi
risiko menjadi korban kekerasan apabila tidak memenuhi target tersebut.
Kekerasan dalam keluarga tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan juga
bersifat mental dan seksual.
4) Keterbatasan ruang dalam rumah
Keterbatasan ruang dalam rumah bisa menimbulkan risiko anak-anak turun
ke jalan. Biasanya ini dialami oleh anak-anak yang berada di beberapa
perkampungan urban yang menduduki lahan milik negara. Banyak
dijumpai adanya rumah-rumah petak yang didirikan secara tidak permanen
dan sering kalimenggunakan barang-barang bekas seadanya dengan ruang
yang sangat sempit, kadang hanya berukuran 3 X 4 meter saja. Dengan
bentuk dan bangunan yang tidak layak disebut rumah itu, kenyataannya
dihuni oleh banyak orang. Misalkan saja sebuah keluarga, termasuk
hubungan suami istri berlangsung dalam ruangan yang terbatas itu, tentunya
hal itu akan berpengaruh buruk terhadap anak-anak, biasanya yang berumur
lebih dari 5 tahun memilih atau dibiarkan oleh orang tuanya untuk tidur di
luar rumah, seperti di tempat ibadah (mushola atau masjid) yang ada di
kampung tersebut, pos ronda, atau ruang-ruang publik yang berdekatan
dengan kampung mereka.
5) Eksploitasi ekonomi
Anak-anak yang turun ke jalan karena didorong oleh orang tua atau
keluarganya sendiri atau biasanya bersifat eksploratif. Anak ditempatkan
sebagai sosok yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga.
Eksploitasi ekonomi oleh orang tua mulai marak terjadi ketika pada masa
krisis, dimana anak-anak yang masih aktif bersekolah didorong oleh orang
tuanya mencari uang dan ditargetkan memberikan sejumlah uang yang
ditentukan oleh orang tua mereka.
6) Keluarga homeless
Seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan karena terlahirkan
dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal
tetap.
Dijelaskan pula mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keluarga
dan anaknya terpisah (BKSN, 2000: 111), yaitu:
1) Faktor pendorong:
a) Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh
besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga sehingga
banyak dijumpai kepala keluarga tidak mampu memenuhi
kebutuhan keluarga, karena itu banyak anak-anak yang disuruh
ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi
tersebut dengan mencari uang di jalanan.
b) Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak tidak betah
tinggal di rumah atau anak lari dari keluarga.
c) Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua
terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.
d) Kesulitan hidup di kampung, anak melakukan urbanisasi
untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.
2) Faktor penarik:
a) Kehidupan jalanan uang menjanjikan, dimana anak mudah
mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan
bebas.
b) Diajak oleh teman.
c) Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.
b. Tingkat Messo (Underlying Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini
yaitu faktor yang ada di masyarakat. Menurut Departemen Sosial RI (2001:
25-26), pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi
meliputi:
1) Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu
peningkatan pendapatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang
menyebabkan drop out dari sekolah.
2) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi menjadi kebiasaan dan anak-
anak mengikuti kebiasaan itu.
3) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon
kriminal.

Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71) juga memaparkan faktor


lingkungan munculnya anak jalanan yang bisa dikategorikan dalam faktor
pada tingkat messo yakni sebagai berikut.

a) Ikut-ikutan teman
Ikut-ikutan teman berdasarkan pengalaman pendampingan dari
studi yang ada menjadi salah satu faktor risiko yang membuat
anak turun ke jalanan. Teman di sini bisa berarti teman-teman di
lingkungan sekitar tempat tinggal anak atau teman-teman
disekolahnya yang telah lebih dahulu melakukan aktivitas atau
kegiatan di jalanan. Keterpengaruhan akan sangat cepat apabila
sebagian besar teman-temannya sudah berada di jalanan.
Awalnya mereka mungkin hanya menonton saja ketika diajak
untuk mengikuti temannya. Secara perlahan, anak mulai
ditawari atau terdorong untuk ikut terlibat dalam kegiatan di
jalanan ketika mengetahui teman-temannnya bisa menghasilkan
uang. Keterpengaruhan dari teman akan semakin tinggi apabila
pihak keluarga dan komunitas sekitar tidak memiliki kepedulian
terhadap keberadaan anak-anak di jalanan. Sehingga ketika anak
mereka turun ke jalanan, tidak ada upaya untuk mencegahnya.
b) Bermasalah dengan tetangga atau komunitas
Anak yang turun ke jalan karena memiliki masalah dengan
tetangga atau komunitasnya, biasanya berawal dari tindakan
anak yang melakukan tindakan kriminal seperti melakukan
pencurian.
c) Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan
anak jalanan
Ketidakpedulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau
adanya toleransi dari mereka terhadap keberadaan anak-anak di
jalanan menjadi situasi yang sangat mendukung bertambahnya
anak-anak untuk turut ke jalan. Biasanya ini terjadi pada
komunitas-komunitas masyarakat miskin yang sebagian besar
warganya bekerja di jalanan terutama sebagai pengemis.
c. Tingkat Makro (Basic Causes)

Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro


yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Departemen Sosial RI
(2001: 25-26) menjelaskan bahwa pada tingkat makro (struktur masyarakat),
sebab yang dapat diidentifikasi adalah:

1) Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak


terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan
meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang
mendorong urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mencari kerja, yang
diakibatkan kesenjangan pembangunan desakota, kemudahan
transportasi dan ajakan kerabat, membuat banyak keluarga dari desa
pindah ke kota dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini
mengakibatkan anak-anak mereka terlempar ke jalanan.
2) Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka
dengan alasan “demi pembangunan”, mereka semakin tidak berdaya
dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih
memguntungkan segelintir orang.
3) Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang
diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang
mengalahkan kesempatan belajar. Meningkatnya angka anak putus
sekolah karena alasan ekonomi, telah mendorong sebagiananak untuk
menjadi pencari kerja dan jalanan mereka jadikan salah satu tempat
untuk mendapatkan uang.
4) Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan
antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan
kesejahteraan) dam pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai
trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan
keamanan).
5) Adanya kesenjangan sistem jaring pengamanan sosial sehingga jaring
pengamanan sosial tidak ada ketika keluarga dan anak menghadapi
kesulitan.
6) Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak
(lapangan, taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa
pada daerah-daerah kumuh perkotaan, dimana anak-anak menjadikan
jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja.

Selain itu, dari paparan Odi Shalahudin (2004:71) tentang faktor-faktor


yang menyebabkan anak turun ke jalan, beberapa yang merupakan foktor
pada tingkat makro yaitu:

1) Dampak program
Niat baik tidaklah selalu menghasilkan hal baik. Programprogram
anak jalanan yang dilangsungkan oleh berbagai pihak tentunya
tidak dimaksudkan untuk mempertahankan anak-anak jalanan
melainkan dimaksud sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan, kesempatan mendapatkan hak-haknya dan
yangterpenting adalah untuk mengeluarkan anak-anak jalanan dari
dunia jalanan yang dinilai sangat tidak layak untuk diarungi oleh
mereka. Salah satu faktor yang dapat dikatakan sebagai faktor
penarik bagi anak untuk pergi ke jalanan adalah adanya program
untuk anak jalanan. Hal ini sangat mengejutkan dan kiranya dapat
menjadi bahan evaluasi dan refleksi yang hasilnya dapat digunakan
untuk mendesain program secara lebih berhati-hati di dalam
memproyeksikan dampak terhadap anak-anak.
2) Korban bencana
Bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi dan
sebagainya ataupun bencana yang terjadi karena disebabkan oleh
suatu akibat dari kebijakan pembangunan seperti penggusuran
perkampungan miskin ataupun bencana yang ditimbulkan dari
adanya konflik bersenjata antar kelompok masyarakat, negara
dengan kelompok masyarakat, atau antar negara yang kesemuanya
menyebabkan komunitas tersebut harus pindah dari tempat tinggal
asalnya dan menjadi pengungsi. Situasi di dalam pengungsian yang
terbatas dengan fasilitas dan persediaan bahan pangan
menyebabkan anak-anak melakukan kegiatan di jalanan seperti
menjadi pengemis.
3) Korban penculikan
Korban penculikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
anak-anak berada di jalanan. Kasus penculikan yangmenimpa anak-
anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi setiap
tahun. Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat jumlah
kasusnya memang tidak besar. Dari banyak uraian yang berasal dari
berbagai sumber di atas dapat diketahui bahwa terdapat banyak
faktor yang menyebabkan anak-anak pada akhirnya bisa turun ke
jalan dan menjadikan jalanan sebagai pusat aktivitas mereka baik
faktor pada tingkat mikro, messo, maupun makro. Permasalahan
yang mereka hadapi begitu kompleks, baik dari segi keluarga,
lingkungan sekitar, masyarakat, hingga kebijakan-kebijakan
makro.

D. Karakteristik Anak Jalanan

Karakteristik Anak Jalanan Berdasarkan intensitasnya di jalanan, anak jalanan


dapat dikelompokkan menjadi tiga karakteristik utama yaitu:

a) Chidren of the street


Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan dengan
keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal, stasiun kereta api,
emperan toko dan kolong jembatan.
b) Children on the street
Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak putus sekolah,
masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak teratur yakni mereka
pulang ke rumahnya secara periodik.
c) Vulberable children to be street children
Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka masih sekolah dan
putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur (tinggal) dengan orang tuanya.
Jenis pekerjaan anak jalanan dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1) Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran, majalah,
serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2) Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus, pengelap kaca mobil,
pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu
dan kenek.
3) Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat
musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan
lain-lain.
4) Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap,
dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan mereka

Lebih jelasnya lagi kategori dan karakteristik anak jalanan di bedakan menjadi
4 macam:

1) Kelompok Anak Yang Hidup Dan Bekerja Di Jalanan

Karakteristiknya:

a) Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan.


b) Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan.
c) Tidur di ruang-ruang/cekungan di perkotaan, seperti: terminal,
emper toko, kolong jembatan, dan pertokoan.
d) Hubungan dengan orang tuanya biasanya sudah putus.
e) Putus sekolah.
f) Bekerja sebagai: pemulung, ngamen, mengemis, semir, kuli angkut
barang.
g) Berpindah-pindah tempat.
2) Kelompok Anak Jalanan Yang Bekerja Di jalanan Dan masih Pulang Ke
Rumah Orang Tua mereka Setiap Hari.

Karakteristiknya:

a) Hubungan dengan kedua orang tua masih ada tetapi tidak harmonis.
b) Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan
untuk meninggalkan bangku sekolah.
c) Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali ke rumah.
d) Bekerja sebagai: pengemis, pengamen di perempatan, kernet,
asongan Koran dan ojek payung.
3) Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan pulang ke desanya
antara 1 hingga 2 bulan sekali.

Karakteristiknya:

a) Bekerja di jalanan sebagai: pedagang asongan, menjual makanan


keliling, kuli angkut barang.
b) Hidup berkelompok bersama dengan orang-orang yang berasal dari
satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di
saranasarana umum/tempat ibadah seperti masjid.
c) Pulang antara1 hingga 3 bulan sekali.
d) Ikut membiayai keluarga di desanya.
e) Putus sekolah.
4) Anak remaja jalanan bermasalah (ABG)

Karakteristiknya:

a) Menghabiskan sebagian waktunya di jalanan.


b) Sebagian sudah putus sekolah.
c) Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya.
d) Sebagian dari mereka terlibat pergaulan seks bebas, pada beberapa
anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk
terlibat prostitusi.
e) Berasal dari keluarga yang tidak harmonis.

E. Perlindungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan


Perlindungan terhadap anak dan kesejahteraan anak di Indonesia telah tercantum
dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-
Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang
RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang RI
No. 23 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada pasal 11 dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi,
dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
perkembangan diri (Redaksi Sinar Grafika, 2003: 6-7). Hal ini pula yang seharusnya
didapatkan juga oleh anak jalanan. Mereka memiliki hak yang sama dalam hal
perlindungan anak.
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 dijelaskan pula pada pasal 21 bahwa
negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan
kondisi fisik dan/atau mental. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pemerintah
untuk melindungi dan memberdayakan anak-anak bangsa, tidak terkecuali anak jalanan
yang notabene kurang memperoleh hak mereka sebagai seorang anak.
Menurut informasi yang dilansir dari website Kementerian Sosial RI (2010),
menyikapi fenomena anak jalanan di Indonesia, Menteri Sosial, Salim Segaff Al Jufrie,
disela-sela peluncuran dua program unggulan Kementerian Sosial mengungkapkan
bahwa perlindungan anak jalanan menjadi kewajiban mendesak. Hal ini dikarenakan,
anak jalanan merupakan korban penelantaran, eksploitasi dan diskriminasi. Anak
jalanan mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Upaya penyelamatan tersebut
dilakukan melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Sementara itu, dirjen
Yanrehsos, Makmur Sunusi, Ph.D mengatakan, program PKSA terus disosialisasikan
sebagai upaya pemerintah menyelamatkan anak bangsa. Anak harus terhindar dari
situasi buruk di jalanan, eksploitasi ekonomi, kekerasan, penelantaran dan perlakuan
diskriminatif. Hak anak untuk tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi,
sudah selayaknya dipenuhi. Sasaran program tersebut, anakanak yang memiliki
kehidupan tidak layak dan mengalami masalah sosial. Yang dimaksud masalah sosial,
seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial,
penyimpangan perilaku, korban bencana, serta korban tindak kekerasan, eksploitasi
dan diskriminasi.
Dalam pedoman pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial (2010:10) disebutkan
bahwa Program PKSA Kementerian Sosial RI adalah upaya yang terarah, terpadu dan
berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial untuk memenuhi kebutuhan anak meliputi subsidi kebutuhan dasar, aksesibilitas
pelayanan sosial, penguatan orang tua/keluarga dan lembaga kesejahteraan sosial.
Selain itu, dalam pedoman pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 10),
dijelaskan pula bahwa PKSA dibagi menjadi 6 kelompok (kluster) program, yaitu:
a. Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB)
b. Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (PKS-Antar)
c. Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS- Anjal)
d. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS-
ABH)
e. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
f. Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Perlindungan Khusus (PKS-
AMPK)
Hal ini menunjukkan bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran pemerintah
dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) ini. Disebutkan pula dalam
pedoman PKSA Kementerian Sosial RI (2010:34) bahwa, lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan,
seperti Rumah Singgah, Rumah Perlindungan Anak dan lembaga sejenis lainnya.
Dalam pelaksanaan program kesejehteraan sosial anak jalanan ini, pemerintah
memiliki beberapa komponen program. Beberapa komponen program yang dijelaskan
dalam buku panduan pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2011: 59 -70) ini
antara lain adalah:
a. Bantuan sosial/ subsidi hak dasar anak yang meliputi
1) Peningkatan nutrisi atau gizi keluarga melalui pemahaman pola
makan sehat, pengenalan keanekaragaman makanan sehat, perencanaan
menu makan sehat keluarga, dan pemberian makanan tambahan.
2) Pembuatan akte kelahiran
3) Akses pelayanan kesehatan dasar melalui pemahaman pola hidup
sehat dan pemberian SKTM atau Jaminan Kesehatan Masyarakat atau
Gakin.
b. Peningkatan Aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, meliputi:
1) Layanan perantaraan dan/atau penghantaran (bridding course)
melalui pengembangan jaringan kerja, pemberian life skills,
pelaksanaan bridding course (pendidikan formal dan non formal),
rujukan ke pendidikan formal, non formal, maupun informal,
penyediaan peralatan dan perlengkapan sekolah, monitoring dan
evaluasi perkembangan peserta didik.
2) Layanan remidial yakni pelaksanaan remidial (pendidikan formal
yang sesuai dengan standar pelayanan minimal pendidikan nasional).
c. Pengembangan potensi diri dan kretivitas anak, meliputi:
1) Meningkatkan kapasitas potensi diri dan kreativitas anak melalui
berbagai kegiatan yang dapat memberikan prospek bagi masa depan
anak, seperti pelatihan keterampilan, pengembangan jaringan kerja
(networking) untuk pelatihan kerja dan penyaluran karya kreatif anak
setelah mendapatkan pelatihan keterampilan.
2) Menjalin kemitraan dengan dunia usaha dalam pelaksanaan CSR
perusahaan dan sekaligus membuka akses pasar bagi karya kreatif anak,
serta membuka peluang produksi anak sekaligus menambah tabungan
anak untuk persiapan kemandirian pada saat usia dewasa kelak.
c. Peningkatan tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan
perlindungan anak yang terdiri dari:
1) Bimbingan tentang pengasuhan anak
2) Aksesibilitas terhadap sumber pelayanan ekonomi, pendidikan,
kesehatan dan jaringan sosial yang dapat digunakan pengasuhan anak.
3) Pelatihan dan pemberdayaan ekonomi keluarga.
d. Peningkatan tanggung jawab orang tua/keluarga dalam pengasuhan dan
perlindungan anak yang terdiri dari:
1) Bimbingan tentang pengasuhan anak
2) Aksesibilitas terhadap sumber pelayanan ekonomi, pendidikan,
kesehatan dan jaringan sosial yang dapat digunakan pengasuhan anak.
3) Pelatihan dan pemberdayaan ekonomi keluarga
e. Penguatan Sistem Kelembagaan dan Dukungan Komunitas, meliputi:
1) Penguatan kemampuan komunitas dalam mencegah dan merespon
anak yang ditelantarkan.
2) Koordinasi dengan pihak terkait yakni baik dengan lembaga
pemerintah lain, lembaga swasta, LSM, PKBM, maupun penegak
hukum.
Selain itu, dalam pemberdayaan dan pembinaan terhadap anak jalanan,
pemerintah bekerja sama dengan UNDP yang kemudian berkembang menjadi proyek
INS/97/001 (BKSN, 2000: 9-11), diantaranya melalui model rumah singgah, mobil
sahabat anak, model boarding house atau pemondokan.

F. Strategi Penanganan Anak Jalanan

Strategi Penanganan Anak Jalanan di Disospora Kota Semarang . Penanganan anak


jalanan yang dilakukan melalui dua cara yaitu penanganan secara preventif dan
penanganan secara represif. Penanganan secara preventif kegiatan yang dilakukan
yaitu sosialisasi dan pemberian bantuan kepada orang tua anak jalanan. Penanganan
secara represif yang dilakukan yaitu razia atau penjaringan, pemberian bantuan bagi
anak jalanan serta pembinaan dan pelatian.
Pada tahun 1981, Longres mengadakan pengamatan tentang strategi intervensi dan
program yang bertujuan untuk menangani masalah sosial. dalam penanganan masalah
sosial ini, Longres menghubungkan antara asumsi dan ideologi yang membentuk
masalah tersebut, serta menjadi norma dasar dilakukannya intervensi. Yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Lusk pada tahun 1984. Strategi yang dibuat Longres
berawal dari adaptasi sistem sosial hingga kebutuhan individu, dari adaptasi individu
hingga prasyarat sistem sosial. dengan demikian pengembangan program strategi
intervensi bagi anak jalanan tersebut meliputi (Lusk, 1984:65):
a. Pendekatan Koreksional
Anak jalanan dalam pandangan ini didominasi oleh pemikiran bahwa anak
jalanan banyak yang berurusan dengan dunia kriminal. Oleh karena itu, intervensi yang
cocok adalah memindahkan anak dari jalanan dan memperbaiki perilaku mereka.
Pendekatan ini fokus pada mendidik kembali agar sesuai dengan norma yang berlaku
di masyarakat.
b. Pendekatan Rehabilitasi
Anak jalanan dilihat sebagai anak yang dirugikan oleh lingkungannya, sehingga
mengakibatkan banyak program-program sukarela muncul. Pendekatan rehabilitatif
memandang anak jalanan sebagai anak yang berada dalam kondisi ketidakmampuan,
membutuhkan, ditelantarkan, dirugikan, sehingga intervensi yang dilakukan adalah
dengan melindungi dan merehabilitasi.
c. Pendekatan yang dilakukan di Jalanan
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa hal terbaik untuk menanggulangi
masalah anak jalanan adalah dengan mendidik dan memberdayakan anak jalanan. Para
pendidik jalanan yakin kesenjangan struktur sosial merupakan penyebab dari masalah
ini. Dengan melibatkan partisipasi dari anak jalanan itu sendiri maka dapat dipelajari
tentang situasi mereka dan mengikutsertakan dalam aksi bersama guna menemukan
pemecahan dari masalah bersama.
d. Pencegahan
Pendekatan ini memandang penyebab dari masalah anak jalanan adalah
dorongan masyarakat itu sendiri. strategi pencegahan berusaha memberikan
pendidikan dan advokasi serta mencoba menemukan penyelesaian dari apa yang
diperkirakan menjadi penyebab permasalahannya. Yaitu dengan cara berusaha
menghentikan kemunculan anak di jalanan.
Keempat program strategi intervensi di atas kemudian lebih dikerucutkan lagi
oleh Lusk menjadi tiga program strategi intervensi. Yang mana program strategi
intervensi ini cukup dikembangkan di banyak rumah singgah sebagai model
pendekatan dalam menangani anak jalanan. menurut Lusk yang dikutip oleh Sudrajat
(1997:4), antara lain sebagai berikut:
1) Street Based
Merupakan penganan di jalan atau tempat-tempat anak jalanan berada,
kemudian para street educator datang kepada mereka, berdialog, mendampingi mereka
bekerja, memahami dan menerima situasinya serta menempatkan diri sebagai teman.
Dalam beberapa jam, anak-anak diberikan materi pendidikan dan keterampilan, di
samping itu anak jalanan memperoleh kehangatan hubungan dan perhatian yang bisa
menumbuhkan kepercayaan satu sama lain yang berguna bagi pencapaian tujuan
intervensi.
2) Centre Based
Pendekatan ini merupakan penanganan di lembaga atau panti. Anak-anak yang
masuk dalam program ini di tampung dan diberikan pelayanan di lembaga atau panti
seperti pada malam hari diberikan makanan dan perlindungan, serta perlakukan yang
hangat dan bersahabat dari pekerja sosial. pada panti yang permanen disedikan
pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan
pekerjaan. Dalam penanganan di lembaga atau di panti terdapat beberapa jenis atau
model penampungan yang bersifat sementara (drop in centre) dan tetap (residential
centre) untuk anak jalanan yang masih bolak balik ke jalan biasanya dimasukan ke
dalam drop in centre, sedangkan untuk anak-anak yang sudah benar-benar
meninggalkan jalanan akan di tempatkan di residential centre.
3) Community Based
Di dalam community based penanganan melibatkan seluruh potensi
masyarakat, utamanya keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat
preventif, yakni mencegah anak-anak turun ke jalan. Keluarga diberikan kegiatan
penyuluhan pengasuhan anak dan peningkatan taraf hidup, sementara anak-anak diberi
kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal, pengisian waktu luang
dan kegiatan lainnya. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga
dan masyarakat agar sanggup melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-
anaknya.
Ketiga model ini adalah alternatif dari pendekatan penanganan anak jalanan. Jika
ditelisik dari tipologinya, ketiga pendekatan tersebut memiliki fokus masing-masing,
yaitu:
TABEL 1
Pendekatan dan Penanganan Anak jalanan

PengelompokanAnak Pendidikan FungsiIntervensi

Jalanan Program/Strategi
Anakyang masih Communitybased Preventif

berhubungan/tinggald
engan orangtua
Anakyang masihada Street Based Perlindungan

hubungandengankeluargate
tapijarangberhubungan/tin
ggaldengan orangtua

Anaktersisih/putus Centre Based Rehabilitasi

hubungandengankeluarga/
orangtua
Sumber: Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
Pada kasus anak jalanan, model pendekatan dan penanganan yang dilakukan
untuk anak jalanan binaan ialah centre based dengan fungsi intervensi rehabilitatif,
yaitu berusaha melepaskan anak dari jalanan. Walaupun berfokus pada centre based,
secara tidak langsung rumah singgah juga menggunakan pendekatan community based
dan street based yang dapat dilihat dari program dan kegiatannya.
Model penanganan dan pemberdayaan anak jalanan sangat penting diperhatikan karena
model penanganan anak jalanan disesuaikan menurut kondisi anak jalanan yang
beragam. Model-model yang diterapkan untuk anak jalanan tidak lepas juga dari
pengaruh visi dan misi lembaga. Tata Sudrajat dalam Mulandar (1996:156)
menjelaskan secara umum terdapat dua tujuan dalam penanganan anak jalanan, yakni:
1) Melepaskan anak jalanan untuk dikembalikan kepada keluarga asli, keluarga
pengganti, ataupun panti.
2) Penguatan anak di jalan dengan memberikan alternatif pekerjaan dan
keterampilan.
Kedua tujuan tersebut tampak saling melengkapi, yakni memperkuat anak di jalan
kemudian mencarikan peluang untuk mengembalikan anak kepada keluarganya.

G. Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan


1. Pengkajian
a) Faktor predisposisi
 Genetik
 Neurobiologis : penurunan volume otak dan perubahan sistem
neurotransmiter.
 Teori virus dan infeksi
b) Faktor presipitasi
 Biologis
 Sosial kutural
 Psikologis
c) Penilaian terhadap stressor

Respon Adaptif Respon Maladaptif


- Berfikir logis - Pemikiran - Gangguan
- Persepsi akurat sesekali pemikiran
- Emosi konsisten - Terdistorsi - Waham/halusinasi
dengan - Ilusi - Kesulitan
pengalaman - Reaksi emosi pengolahan
berlebih Dan - Emosi
- Perilaku sesuai tidak bereaksi - Perilaku kacau dan
- Berhubungan - Perilaku aneh isolasi social
sosial - Penarikan tidak
bisa
berhubungan
sosial

d) Sumber koping
 Disonasi kognitif ( gangguan jiwa aktif )
 Pencapaian wawasan
 Kognitif yang konstan
 Bergerak menuju prestasi kerja

e) Mekanisme koping
 Regresi( berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya mengelola anxietas)
 Proyeksi ( upaya untuk menjelaskan presepsi yang membingungkan
dengan menetapkan tanggung jawab kepada orang lain)
 Menarik diri
 Pengingkaran

2. Diagnosa Keperawatan
1. Harga Diri Rendah
2. Isolasi Sosial
3. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
4. Resiko perilaku kekerasan/Perilaku kekerasan
5. Gangguan Proses Pikir: Waham
6. Resiko Bunuh Diri
7. Defisit Perawatan Diri

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1. Harga Diri Rendah
Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1.1 Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
1.2 Jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang,
1.3 Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
1.4 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
1.5 Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
1.6 Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga
dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
2.Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
2.3. Utamakan memberi pujian yang realistis
2.4. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke
rumah
4.Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
4.1 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari
sesuai kemampuan
4.2 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
4.3 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
1.1 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
2. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
2.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
2.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
2.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
2.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 2: Menarik diri


Tujuan Umum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1.1 Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri


Tindakan:
2.1 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2.2 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
2.3 Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda
serta penyebab yang muncul
2.4 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
3.1 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
3.2 Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
a. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang
lain
c. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
3.3 Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain
a. beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan
orang lain
b. diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
c. beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial


Tindakan:
4.1 Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
4.2 Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :
▪ K–P
▪ K – P – P lain
▪ K – P – P lain – K lain
▪ K – Kel/Klp/Masy
4.3 Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
4.4 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
4.5 Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu
4.6 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
4.7 Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan

5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang


lain
Tindakan:
5.1 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain
5.2 Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain.
5.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan
perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
6.1 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
▪ Salam, perkenalan diri
▪ Jelaskan tujuan
▪ Buat kontrak
▪ Eksplorasi perasaan klien
6.2 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
▪ Perilaku menarik diri
▪ Penyebab perilaku menarik diri
▪ Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
▪ Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
6.3 Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
6.4 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien
minimal satu kali seminggu
6.5 Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga

Diagnosa 3: Perilaku kekerasan


TujuanUmum : Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus:
1) Klien dapat membina hubungan salingpercaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan
sikap tenang.
3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
3.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
3.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3.3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami klien.
4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
4.3. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6) Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
6.4. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk
diberi kesabaran.
7) Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8) Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9) Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping).
9.2. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat,
dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.

Diagnosa 4: Gangguan Proses Pikir : Waham


Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan proses fikir yang berhubungan
dengan gangguan konsep diri (harga diri rendah/klien akan meningkat harga
dirinya)
Tujuan khusus :
 Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap
 Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
 Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
 Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.
1. Dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1.1 Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak
yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
1.2 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
1.3 Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
1.4 Jangan membantah dan mendungkung waham klien, katakan perawat
menerima keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai
ekspresi menerima, katakana perawat tidak mendukung disertai ekspresi
ragu dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.
1.5 Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


Tindakan :
2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2 Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis
2.3 Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke
rumah
4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
Tindakan :
4.1 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
4.2 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
4.3 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
4.4 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
4.5 Beri pujian atas keberhasilan klien
4.6 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
5 Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
5.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
5.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
5.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
5.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 5 : Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,


BAB/BAK
Tujuan Umum : Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri kebersihan diri,
berdandan, makan, BAB/BAK.
Tujuan Khusus :
 Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
 Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
 Pasien mampu melakukan makan dengan baik
 Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
1.1 Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
1.2 Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
1.3 Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
1.4 Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
2.1 Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Bercukur
2.2 Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
3.1 Menjelaskan cara mempersiapkan makan
3.2 Menjelaskan cara makan yang tertib
3.3 Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
3.4 Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
4.1 Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
4.2 Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
4.3 Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

Diagnosa 6: perubahan persepsi sensorik : Halusinasi berhubungan dengan


menarik diri
Tujuan Umum : klien mampu mengontrol halusinasinya
Tujuan khusus :
 Klien mampu membina hubungan saling percaya
 Klien dapat mengenal halusinasinya
 Klien dapat mengotrol halusinasinya
 Klien dapat menggunakan obat dengan benar
TUK 1
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
1.1 Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
1.2 Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan
1.3 Tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai
1.4 Buat kontrak yang jelas
1.5 Tunjukkan sikap jujur dan menunjukkan sikap empati serta menerima
apa adanya
1.6 Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
1.7 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya
1.8 Dengarkan ungkapan pasien dengan penuh perhatian ada ekspresi
perasaan pasien.

2. Pasien dapat mengenal halusinasinya


2.1 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
2.2 Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non
verbal)
2.3 Bantu mengenal halusinasi
2.4 Jika pasien tidak berhalusinasi, klarivikasi tentang adanya halusinasi ,
diskusikan dengn pasien isi, waktu, dan frekuensi halusinasi pagi,siang,sore,
malam atau sering, jarang)
2.5 Diskusikan tentang apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi
2.6 Diskusikan tentang dampak yang dialami jika pasien menikmati halusinasi
3. Pasien dapat mengontrol halusinasinya
Intervensi :
3.1 Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi
3.2 Diskusikan manfaat cara yang digunakan pasien
3.3 Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol halusinasi
3.4 Bantu pasien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk
mencobanya.
3.5 Pantau pelaksanan tindakan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri
pujian.
4. Pasien dapat menggunakan obat dengan benar
4.1 Diskusikan tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, dosis, nama,
frekuensi, efek samping minum obat.
4.2 Pantau saat pasien minum obat (pasien harus minum obat didepan perawat,
dan benar-benar meminum obat)
4.3 Anjurkan pasien minta sendiri obatnya pada perawat
4.4 Beri reinforcmen jika pasien menggunakan obat dengan benar
4.5 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter
4.6 Anjurkan pasien berkonsultasi dengan dokter/perawat jika terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.

Diagnosa 7: Risiko Bunuh Diri


1. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
 Tujuan : Klien tetap aman dan selamat
 Tindakan : melindungi klien
Perawat yang dapat melakukan hal-hal berikut untuk melindungi klien
yang mengancam atau berupaya bunuh diri.

a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ketempat yang lebih aman


b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya
c. Memastikan bahwa pasien benar-benar telah meminum obatnya, jikia
pasien mendapatkan obat
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa saudara akan
melindungi pasien sampai pasien melupakan keinginanya untuk bunuh
diri.
2. Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukan isyarat untuk bunuh diri
 Tujuan :
a. Klien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
b. Klien dapat mengungkapkan perasaanya
c. Klien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
 Tindakan
a. Mendiskusikan tentang cara menagatasi keinginan bunug diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman dekat
b. Meningkatkan harga diri klien dengan memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya, berikan pujian untuk klien, menyakinkan
klien bahwa dirinya berarti untuk orang lain
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara
mendiskusikan dengan klien cara menyesaikan masalahnya,
mendiskusikan dengan klien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah
kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan
harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli permasalahan ini juga
dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan tidak akan dapat tertangani
secara efektif bila dilaksanakan secara persial. Dengan demikian kerja sama antara
berbagai pihak, pemerintah, LSM, masa media mutlak diperlukan.

Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi anak jalanan yang terpaksa bekerja
juga merupakan komponen yang perlu diperhatikan karena masih lemahnya peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur masalah ini.

B. Saran
Saran saya dalam menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan adanya
semacam kampanye kepada masyarakat luas untuk peduli dan meningkatkan kesadaran
terhadap anak anak jalanan yang ada di Indonesia ini melalui poster, iklan layanan dan
sebagainya

DAFTAR PUSTAKA

Bagong suyanto dan Hariadi Sri Sanituti, Krisis dan child abuse kajian sosiologi tentang kasus
pelanggaran hak anak dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus
(Surabaya: Airlangga university press, 1999), hal 41-42.

Suyanto, Bagong. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai