3.2.1 FARMAKOTERAPI
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga merupakan suatu nyeri
neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien mencapai derajat analgesia yang
memuaskan dengan pemberian antidepresan. Penggunaan obat opioid dalam jangka lama
bukanlah jalan keluar yang terbaik untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.
Seseorang dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri dikeluhkan sebagai terbakar,
tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris, atau sensasi yang aneh. Pada pemeriksaan fisik
kadang tidak ditemukan kerusakan jaringan yang nyata. Analgesik konvensional sering tidak
efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik
disebut analgetik adjuvant karena indikasi utama obat ini adalah bukan untuk nyeri
(antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi).
Induksi sentral COX secara luas mengakibatkan hilangnya gairah, selera makan, nyeri
yang dirasakan di seluruh tubuh, perubahan mood, dan gangguan siklus tidur, oleh karenanya
pemberian nonsteroidal anti inflamamtory drugs (NSAIDs) dapat memberikan manfaat yang
memuaskan untuk keadaan tersebut.
Namun demikian, pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang dengan obat golongan ini
harus dimonitor mengenai efek samping obat, antara lain berupa pendarahan gastrointestinal,
komplikasi kardiovaskuler, dan ginjal.
OPIOID
Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun natural yang mempunyai aksi
kerja pada reseptor opioid di sistem saraf sentral maupun perifer. Opioid dapat dibedakan
menjadi :
- Opiat: derivat obat dari alkaloid tumbuhan opium, contohnya morfin
- Opioid endogen: opioid dalam tubuh manusia, contohnya endorfin
- Opioid semi sintetik: contohnya oxycodone
- Opioid full sintetik: contohnya fentanyl
Aksi analgetik dari opioid terjadi terutama pada reseptor mu (µ), namun pada derajat yang
berbeda juga terjadi pada reseptor kappa (k) dan delta (δ). Golongan ini bekerja dengan
memperkuat jalur analgesia endorfin intrinsik, namun obat ini juga berdampak pada jalur
dopaminergik mesolimbik, sehingga dapat menimbulkan ketergantungan.
Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri dengan derajat sedang sampai
berat, dan pasien harus diingatkan mengenai efek samping obat, khususnya ketika direncanakan
akan digunakan dalam jangka panjang. Opioid dimulai dengan dosis kecil peroral, kemudian
dinaikkan sampai mencapai analgesia yang diinginkan.
Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi, mual, drowsiness, pruritus, dan
depresi pernafasan. Pemberian opioid yang berkepanjangan dapat menyebabkan imunosupresi,
melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, yang mengganggu fungsi limfosit.
Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi gonadotrofin dan testosteron sehingga
menimbulkan masalah disfungsi seksual dan keseimbangan mood. Walaupun jarang, opioid
dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan dosis akan memperberat keluhan nyeri.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid diantaranya adalah:
- Opioid hanya diberikan jika modalitas analgetika yang lainnya gagal
- Riwayat penyalahgunaan obat, kepribadian patologis, kondisi rumah dan lingkugan yang
tidak mendukung harus dipertimbangkan sebagai kontra indikasi relatif
- Persetujuan dan edukasi pasien mengenai resiko ketergantungan, penyimpangan kognitif
yang mungkin terjadi, dan efek samping.
- Penggunaan opioid yang bertanggung jawab, baik peresepan, cara pakai, dosis, dan
pengawasannya.
ANALGETIK ADJUVANT
Analgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi primernya bukan untuk mengatasi
nyeri namun memberikan efek analgesia pada kondisi nyeri tertentu. Analgesik adjuvant
diberikan pada pasien dengan tujuan
- mengelola nyeri yang sukar disembuhkan dengan analgesik lain
- untuk menurunkan dosis analgesik lain saat dipakai bersama dengan analgesik adjuvant
sehingga dapat mengurangi efek samping
- secara bersamaan mengelola keluhan selain nyeri.
Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant memberikan hasil yang memuaskan
sehingga dipakai sebagai obat lini pertama.
Antidepresan
Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada nyeri neuropatik karena
keefektifannya. Satu dari tiga pasien mengalami perbaikan derajat nyeri lebih dari 50%.
Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada malam hari) dan bertahap ditingkatkan
(sampai dengan 100 mg) sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien lanjut usia harus digunakan
dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat, antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien
harus diberi penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin timbul dan onset analgesia
yang diharapkan baru dapat dirasakan dalam beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa
pemberian obat golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami gangguan
jiwa.
Antikonvulsan
Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak dapat mentolerir antidepresi
trisiklik, direkomendasikan untuk memakai obat alternatif dengan menambahkan analgetik
opioid bersama antidepresi trisiklik atau menggantikannya dengan memulai terapi
antikonvulsan berupa carbamazepine, fenintoin, atau gabapentin.
Gabapentin dapat menjadi pilihan utama karena efek samping sedasi dan confusion lebih
rendah.
Antikonvulsan memberikan efek analgesia dengan menstabilkan membran neuron pada
sistem saraf pusat dan perifer. Beberapa antikonvulsan dilaporkan dapat meningkatkan GABA
(Gamma Amino Butyric Acid) di sistem saraf pusat. Analgetik ini dipertimbangkan dapat
diberikan lebih awal pada nyeri neuropatik yang bersifat seperti diris-menusuk (lancinating)
dan nyeri hebat (paroxysmal).
Tabel 3.3. Antidepresan dan antikonvulsan dalam manajemen nyeri kronik
Antispastisitas
Baclofen bekerja sebagai agonis pada reseptor GABA. Baclofen juga mempunyai aksi
presinaps dengan menurunkan pelepasan transmitter yang mengeksitasi nyeri (mungkin termasuk
substansia P) dari akhiran saraf aferen.
Obat ini efektif pada kasus neuralgia trigeminal, sindroma nyeri miofascial, dan nyeri bersifat
lancinating dan paroksismal yang disertai spasme otot. Dosis dimulai 5 mg 3 kali sehari. Efek
samping obat ini berupa mual, confusio, drawsiness, dizziness, dan hipotensi. Baclofen tidak
dianjurkan untuk dihentikan secara mendadak karena dapat menimbulkan kejang dan halusinasi.
Steroid
Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi mediator inflamasi di jaringan,
dan menurunkan letupan pada saraf yang cidera. Pada neoplasma tertentu yang peka terhadap
steroid, obat ini mengurangi odem para tumor, memperkecil ukuran tumor, dan menurunkan
tekanan terhadap jaringan sekitar. Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason,
prednison, dan metilprednisolon.
Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek samping berupa sindroma cushing,
pemambahan berat badan, hipertensi, osteoporosis, miopati, peningkatan resiko infeksi,
hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis kaput femur.
Analgetik Topikal
Analgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik yang disebabkan kelainan saraf
perifer dan disestesia berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang minimal bermanfaat pada pasien
lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan mentolerir efek samping obat sistemik. Beberapa
obat dari golongan ini diantaranya krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang
mengandung NSAIDs (aspirin, diklofenak, dan indomethasin).
Anestesi lokal
Anestesi lokal bekerja dengan menstabilkan membran neuron, memblok depolarisasi
potensial aksi, dan mesupresi aktifitas listrik abnormal yang ditimbulkan sel saraf. Semua jenis
anestesia lokal tidak dapat diberikan pada penderita gagal jantung berat dan aritmia. Sediaan
golongan ini diantaranya lidokain dan prokain parenteral maupun sediaan topikal.
Antihipertensi
Clonidine adalah agonis α2 adrenergik dan α1 adrenergik bloker yang dapat bermanfaat
pada bermacam-macam sindroma nyeri neuropatik, migrain, nyeri paska operasi, nyeri hebat pada
neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri tungkai nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi
kerja obat ini berhubungan dengan inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior
medula spinalis. Clonidine merupakan lini ke dua pada penanganan nyeri kronik, setelah
NSAIDs, antidepresan, atau obat lain gagal.
Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Obat ini dapat dipakai pada kasus causalgia dan sindroma Raynauds. Nifedipine diberikan peroral
10-30 mg tiga kali perhari.
Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam penatalaksanaan nyeri kronik antara lain
propranolol, reserpine, phenoxybenzamine, dan prazosin.