Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF

Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita sebagai individu


seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010). Perawatan ini diperlukan bagi
penderita dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi
HIV AIDS. Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut
bahkan hingga hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch dan Schipper, 1996).
World Health Organization (WHO) memberi batasan perawatan paliatif sebagai
“perawatan total dan aktif pada penderita dengan penyakit yang tidak responsif terhadap
pengobatan atau kuratif”. Perawatan terutama dalam kontrol nyeri dan keluhan yang lain,
masalah psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas
hidup terbaik yang memungkinkan bagi penderita dan keluarga (Johnston B, 2005; Tulaar 2012;
Cheville, 2010). Pada tahun 2002, WHO memberikan batasan baru untuk perawatan paliatif
sebagai “suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita dan keluarga yang
menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
pengurangan penderitaan dengan cara identifikasi dini dan asesmen serta tatalaksana yang tepat
untuk nyeri dan masalah lain, baik fisik, psikososial dan spiritual ” (WHO, 2012).

3.2.1 FARMAKOTERAPI
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga merupakan suatu nyeri
neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien mencapai derajat analgesia yang
memuaskan dengan pemberian antidepresan. Penggunaan obat opioid dalam jangka lama
bukanlah jalan keluar yang terbaik untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.

Konsep analgesia multimodal merupakan pendekatan farmakologi dengan menggunakan


dosis kecil dari beberapa obat berbeda yang saling bersinergi untuk mencapai perbaikan derajat
nyeri yang maksimal dengan efek samping yang minimal dengan memperhatikan interaksi antar
obat dan kondisi pasien.
Dalam penatalaksanaan nyeri nosiseptif dikenal beberapa golongan obat, antara lain
golongan non opioid analgetik dan opioid. WHO membuat suatu acuan untuk pemakaian obat-
obatan yang rasional sesuai dengan derajat nyeri yang dirasakan. Pemakaian pedoman ini
terutama untuk menangani masalah nyeri nosiseptif.

Tabl 3.2 . Penggunaan analgetik menurut tahapan analgetik WHO

Seseorang dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri dikeluhkan sebagai terbakar,
tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris, atau sensasi yang aneh. Pada pemeriksaan fisik
kadang tidak ditemukan kerusakan jaringan yang nyata. Analgesik konvensional sering tidak
efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik
disebut analgetik adjuvant karena indikasi utama obat ini adalah bukan untuk nyeri
(antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi).

NON OPIOID ANALGESIK


Obat golongan ini umumnya digunakan sebagai analgesia nyeri dengan derajat ringan
sampai sedang. Obat-obatan ini memiliki ceiling effect, yaitu suatu keadaan/dosis dimana
peningkatan dosis lebih lanjut tidak akan lagi menambah efek analgesianya. Berdasarkan
susunan kimiawinya, analgesia golongan ini terdiri dari salicylates (asam asetilsalisilat),
anthranilates (asam mafenamat), arylacetic acids (diclofenac, indometasin), arylpropionic acids
(ibuprofen, ketorolac), pyrazolinone (metamizole), paraamino phenol (paracetamol), acidic
enolic compounds (piroxicam, meloxicam), dan coxib (celexocib)
Paracetamol
Paracetamol mempunyai sifat analgesia dan antipiretik. Obat ini bekerja secara sentral di
hipothalamus, namun mekanisme kerja dari obat ini belum jelas sepenuhnya. Obat ini mungkin
mempunyai aksi pada sistem serotoninergik dan di perifer berpengaruh pada kemoreseptor yang
sensitif terhadap bradikinin. Dosis lazim 15 mg/kgbb – 4 gram/hari peroral atau intravena.
Berdasarkan evidence base, paracetamol efektif pada nyeri kronik, terutama kasus osteoarthritis.
Hepatotoksik merupakan efek samping dari paracetamol, oleh karena itu perlu kewaspadaan dan
penurunan dosis pada pasien dewasa bertubuh kurus, anak-anak, dan pemakaian bersama
alkohol.

NONSTEROIDAL ANTI INFLAMAMTORY DRUGS (NSAIDs)


Golongan obat analgetik ini juga bekerja sebagai antipiretik dan anti inflamasi dengan
menghambat enzim Cyclooxygenase (COX) yang diperlukan dalam sintesa prostaglandin dan
tromboxan. Nyeri yang berasal dari proses inflamasi memberikan respon yang baik terhadap obat
anti inflamasi. Terdapat 2 COX isoform yaitu COX1 dan COX2. NSAIDs tradisional merupakan
inhibitor non selektif COX1 dan COX2 (contoh: diclofenac, indometasin, ibuprofen, ketorolac,
piroxicam), sedangkan generasi yang baru merupakan inhibitor selektif COX2 (contoh:
meloxicam, coxib).

Induksi sentral COX secara luas mengakibatkan hilangnya gairah, selera makan, nyeri
yang dirasakan di seluruh tubuh, perubahan mood, dan gangguan siklus tidur, oleh karenanya
pemberian nonsteroidal anti inflamamtory drugs (NSAIDs) dapat memberikan manfaat yang
memuaskan untuk keadaan tersebut.

Namun demikian, pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang dengan obat golongan ini
harus dimonitor mengenai efek samping obat, antara lain berupa pendarahan gastrointestinal,
komplikasi kardiovaskuler, dan ginjal.

OPIOID
Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun natural yang mempunyai aksi
kerja pada reseptor opioid di sistem saraf sentral maupun perifer. Opioid dapat dibedakan
menjadi :
- Opiat: derivat obat dari alkaloid tumbuhan opium, contohnya morfin
- Opioid endogen: opioid dalam tubuh manusia, contohnya endorfin
- Opioid semi sintetik: contohnya oxycodone
- Opioid full sintetik: contohnya fentanyl
Aksi analgetik dari opioid terjadi terutama pada reseptor mu (µ), namun pada derajat yang
berbeda juga terjadi pada reseptor kappa (k) dan delta (δ). Golongan ini bekerja dengan
memperkuat jalur analgesia endorfin intrinsik, namun obat ini juga berdampak pada jalur
dopaminergik mesolimbik, sehingga dapat menimbulkan ketergantungan.
Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri dengan derajat sedang sampai
berat, dan pasien harus diingatkan mengenai efek samping obat, khususnya ketika direncanakan
akan digunakan dalam jangka panjang. Opioid dimulai dengan dosis kecil peroral, kemudian
dinaikkan sampai mencapai analgesia yang diinginkan.
Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi, mual, drowsiness, pruritus, dan
depresi pernafasan. Pemberian opioid yang berkepanjangan dapat menyebabkan imunosupresi,
melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, yang mengganggu fungsi limfosit.

Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi gonadotrofin dan testosteron sehingga
menimbulkan masalah disfungsi seksual dan keseimbangan mood. Walaupun jarang, opioid
dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan dosis akan memperberat keluhan nyeri.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid diantaranya adalah:
- Opioid hanya diberikan jika modalitas analgetika yang lainnya gagal
- Riwayat penyalahgunaan obat, kepribadian patologis, kondisi rumah dan lingkugan yang
tidak mendukung harus dipertimbangkan sebagai kontra indikasi relatif
- Persetujuan dan edukasi pasien mengenai resiko ketergantungan, penyimpangan kognitif
yang mungkin terjadi, dan efek samping.
- Penggunaan opioid yang bertanggung jawab, baik peresepan, cara pakai, dosis, dan
pengawasannya.

ANALGETIK ADJUVANT

Analgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi primernya bukan untuk mengatasi
nyeri namun memberikan efek analgesia pada kondisi nyeri tertentu. Analgesik adjuvant
diberikan pada pasien dengan tujuan
- mengelola nyeri yang sukar disembuhkan dengan analgesik lain
- untuk menurunkan dosis analgesik lain saat dipakai bersama dengan analgesik adjuvant
sehingga dapat mengurangi efek samping
- secara bersamaan mengelola keluhan selain nyeri.
Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant memberikan hasil yang memuaskan
sehingga dipakai sebagai obat lini pertama.

Antidepresan
Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada nyeri neuropatik karena
keefektifannya. Satu dari tiga pasien mengalami perbaikan derajat nyeri lebih dari 50%.

Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada malam hari) dan bertahap ditingkatkan
(sampai dengan 100 mg) sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien lanjut usia harus digunakan
dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat, antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien
harus diberi penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin timbul dan onset analgesia
yang diharapkan baru dapat dirasakan dalam beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa
pemberian obat golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami gangguan
jiwa.

Antikonvulsan
Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak dapat mentolerir antidepresi
trisiklik, direkomendasikan untuk memakai obat alternatif dengan menambahkan analgetik
opioid bersama antidepresi trisiklik atau menggantikannya dengan memulai terapi
antikonvulsan berupa carbamazepine, fenintoin, atau gabapentin.
Gabapentin dapat menjadi pilihan utama karena efek samping sedasi dan confusion lebih
rendah.
Antikonvulsan memberikan efek analgesia dengan menstabilkan membran neuron pada
sistem saraf pusat dan perifer. Beberapa antikonvulsan dilaporkan dapat meningkatkan GABA
(Gamma Amino Butyric Acid) di sistem saraf pusat. Analgetik ini dipertimbangkan dapat
diberikan lebih awal pada nyeri neuropatik yang bersifat seperti diris-menusuk (lancinating)
dan nyeri hebat (paroxysmal).
Tabel 3.3. Antidepresan dan antikonvulsan dalam manajemen nyeri kronik

Anksiolitik dan sedative


Benzodiazepin adalah depresan pada sistem saraf pusat dengan diduga mempunyai efek
potensiasi GABA. Beberapa peneliti tidak menyarankan pemakaian benzodiazepine dalam jangka
panjang karena kemungkinan terjadi penyalahgunaan obat dan penurunan kapasitas fungsional.
Pemakaian berkepanjangan berdampak buruk pada perilaku (menjadi pemarah dan bermusuhan).
Diazepam dapat diberikan peroral 2-10 mg perhari. Clonazepam 0,5-1 mg maksimal 20
mg/hari dan Alprazolam 0,25-0,5 mg maksimal 4 mg/hari.
Gambar 3.3. Skema tatalaksana famakoterapi pada nyeri kronik

Antispastisitas
Baclofen bekerja sebagai agonis pada reseptor GABA. Baclofen juga mempunyai aksi
presinaps dengan menurunkan pelepasan transmitter yang mengeksitasi nyeri (mungkin termasuk
substansia P) dari akhiran saraf aferen.

Obat ini efektif pada kasus neuralgia trigeminal, sindroma nyeri miofascial, dan nyeri bersifat
lancinating dan paroksismal yang disertai spasme otot. Dosis dimulai 5 mg 3 kali sehari. Efek
samping obat ini berupa mual, confusio, drawsiness, dizziness, dan hipotensi. Baclofen tidak
dianjurkan untuk dihentikan secara mendadak karena dapat menimbulkan kejang dan halusinasi.

Steroid
Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi mediator inflamasi di jaringan,
dan menurunkan letupan pada saraf yang cidera. Pada neoplasma tertentu yang peka terhadap
steroid, obat ini mengurangi odem para tumor, memperkecil ukuran tumor, dan menurunkan
tekanan terhadap jaringan sekitar. Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason,
prednison, dan metilprednisolon.
Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek samping berupa sindroma cushing,
pemambahan berat badan, hipertensi, osteoporosis, miopati, peningkatan resiko infeksi,
hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis kaput femur.

Analgetik Topikal
Analgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik yang disebabkan kelainan saraf
perifer dan disestesia berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang minimal bermanfaat pada pasien
lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan mentolerir efek samping obat sistemik. Beberapa
obat dari golongan ini diantaranya krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang
mengandung NSAIDs (aspirin, diklofenak, dan indomethasin).

Anestesi lokal
Anestesi lokal bekerja dengan menstabilkan membran neuron, memblok depolarisasi
potensial aksi, dan mesupresi aktifitas listrik abnormal yang ditimbulkan sel saraf. Semua jenis
anestesia lokal tidak dapat diberikan pada penderita gagal jantung berat dan aritmia. Sediaan
golongan ini diantaranya lidokain dan prokain parenteral maupun sediaan topikal.
Antihipertensi
Clonidine adalah agonis α2 adrenergik dan α1 adrenergik bloker yang dapat bermanfaat
pada bermacam-macam sindroma nyeri neuropatik, migrain, nyeri paska operasi, nyeri hebat pada
neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri tungkai nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi
kerja obat ini berhubungan dengan inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior
medula spinalis. Clonidine merupakan lini ke dua pada penanganan nyeri kronik, setelah
NSAIDs, antidepresan, atau obat lain gagal.
Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Obat ini dapat dipakai pada kasus causalgia dan sindroma Raynauds. Nifedipine diberikan peroral
10-30 mg tiga kali perhari.
Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam penatalaksanaan nyeri kronik antara lain
propranolol, reserpine, phenoxybenzamine, dan prazosin.

Anda mungkin juga menyukai