Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah keadaan yang sejahtera dari badan, jiwa dan lingkungan sosial yang
mungkin orang hidup berkecukupan secara sosial dan ekonomi. Kesehatan jiwa adalah
kondisi mental makmur yang hidup harmonis dan produktif sebagai bagian dari tingkatan
hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan
mengetahui semua keahlian yang dimilikinya, mampu menghadapi stres kehidupan
dengan wajar, mampu bekerjadengan produktif dan mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri, serta bertindak di dalam lingkungan sosial, menerima dengan baik apa yang ada
pada dirinya dan merasakantentram bersama dengan teman lainnya. Gangguan jiwa
merupakansalah satu penyakit yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi kronis dan
sering disertai dengan adanyapenurunan fungsi (disability) dibidang pekerjaan, hubungan
sosial dan kemampuan merawat diri sehingga cenderung menggantungkan berbagai aspek
kehidupannya pada lingkungan sekitar
Terapi Modalitas adalah berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang
bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah perilaku klien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku mal adaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Obat ialah suatu bahan atau
paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka . Obat yang digunakan dalam pasien gangguan jiwa, atau disebut dengan
psikofarmaka Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan
keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa
terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu untuk menyelesaikan
masalah. Banyak jenis obat yang di gunakan dalam pasien gangguan jiwa guna
mendukung proses penyembuhan pasien sakit jiwa.
Dalam hal ini perawat secara holistik harus bisa mengintegrasikan prinsip mind-body-
spirit dan modalitas (cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan
sehari-hari dan praktek keperawatannya dan juga perawat mampu mendidik atau
ngorientasikan keluarga dalam proses keperawatan serta mampu memantau efek samping
dari obat yang di berikan serta memberikan penyuluhan cara mengkonsumsi obat yang

1
aman dan efektif. Jadi peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien
gangguan jiwa sangat penting.

1.2 Rumusan Masaslah


a. Apa yang dimaksud dengan terapi modalitas?
b. Bagaimana dasar pemberian terapi modalitas?
c. Apa saja peran perawat dalam terapi modalitas?
d. Apa yang di maksud dengan psikofarmaka?
e. Apa saja klasifikasi dari psikofarmaka?
f. Apa saja peran perawat dalam psikofarmaka?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui tentang pengertian terapi modalitas.
b. Untuk mengetahui dasar pemberian terapi modalitas.
c. Untuk mengetahui peran perawat dalam terapi modalitas.
d. Untuk mengetahui tentang pengertian psikofarmaka.
e. Untuk mengetahui klasifikasi dari psikofarmaka.
f. Untuk mengetahui peran perawat dalam psikofarmaka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Terapi Modalitas


Terapi Modalitas adalah berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang
bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah perilaku klien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Terapi modalitas adalah keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan lingkungan
masyarakat sekitar dengan dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman,dan sistem pendukung yang ada ketika menjalani
terapi. (Nasir dan Muhits, 2011)
Terapi modaltas adalah terapi yang utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang mal adaptif menjadi
perilaku adaptif. (Kusumawati dan Hartono,2010). Terapi modalitas bertujuan agar pola
perilaku atau kepribadian seperti keterampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga
diri secara bertahap dapat berkembang.

2.2 Dasar Pemberian Terapi Modalitas


Perawat sebagai terapis mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak
terapi atau penyembuhan. Adapun dasar pemberian terapi modalitas sebagai prinsip cari
pelaksanaan terapi modalitas, yaitu :
a. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku manusia
b. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah kondisi yang
mengandung reaksi (respon yang baru)
c. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya faktor-faktor
yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu sehingga reaksi individu
tersebut dapat diprediksi (reward dan punishment)
d. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam menunjuang dan
menghambat perilaku individu dalam kelompok sosial

3
2.3 Peran Perawat dalam Terapi Modalitas
Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalits bertindak
sebagai leader, fasilitator, evaluator, motivator. (Nasir dan Muhits,2011). Tindakan
tersebut meliputi :
1. Mendidik dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat
menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan
harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.
2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk
mencapai tujuan dan usaha untuk beruba. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien
mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggota keluarganya.
3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawatan
menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan
siapa yang bisa diajak konsultasi.
4. Memberi pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melalui penyuluhan,
perawatan dirumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang
kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarha yang
membutuhkan perawatan.

2.4 Definisi Psikofarmaka


Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup pasien.Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat
Neuroleptik (bekerja pada sistim saraf)

2.5 Klasifikasi Psikofarmaka


Psikofarmaka dalam arti sempit, yang utama digunakan untuk penanganan gangguan
jiwa, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yakni :
1. Anti-Psikotika
a) Definisi
Obat anti-psikosis merupakan sinonim dari neuroleptics,major
transqualizer,ataractics, antipsychotics, antipsychotic drugs, neuroleptics. Obat-
obat anti-psikosis merupakanantagonis dopamine yang bekerja menghambat
reseptor dopamine dalam berbagai jaras otak. Sedian obat anti-psikosis yang ada
4
di Indonesia adalah chlorpromazine, haloperidol, perphenazine, fluphenazine,
fluphenazine decanoate, levomepromazine, trifluoperazine, thioridazine, sulpiride,
pinozide, risperidone.
b) Indikasi
Syndrome psikosis yang ditandai dengan adanya daya berat dalam
kemampuan daya menilai realitas, fungsi mental, dan fungsi kehidupan sehari-
hari. Sindrom psikosis dapat terjadi pada sindrom psikosis fungsional seperti
skozofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif dan psikosis reaktif singkat. Dan
pada Sindrom psikosis organic seperti, sindrom delirium, dementia, intoksikasi
alkohol, dan lain-lain.
c) Klasifikasi
Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau
klasik dan obat atypis.
1) Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif. pada
umunya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut :
a. Derivat-fenotiazin: klopromazin, levomepromazin dan triflupromazin,
thiorizidin, dan periciazin, perfenazin dan flufenazin, perazin,
trifluoperazin, proklorperazin, dan thietilperazin.
b. Derivat-thioxanthen : klorprotixen, dan zuklopentixol.
c. Derivat-butirofenon : haloperidol, bromperidol, pimpaperon dan
droperidol.
d. Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen, penfluridol.
2) Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan
quetiapin) bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal
terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya
gangguan extrapiramidal dan dyskinesia tarda. Sertindol setela dipasarkan
hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari peredaran di eropa, karena
dari beberapa kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian mendadak.
Obat atypis lainnya yang sudah tersedia dinegara lain yag sudah tersedia
dinegara lain sejak 1988 adalah zotepin dan ziprasidon.
d) Mekanisme Kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk kedalam cairan
cerebrospinal dan obat-obat ini melakukan kegiatnnya secara langsung terhadap
saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum diketahui dengan
5
pasti tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan
kadar neurotransmitter di otak atau anatar keseimbangannya.
Antipsikotika menghambat agak kuat reseptor dopamin disistem limbis otak
dan disamping itu juga menghambat reseptor, serotonin, muskarin dan histamin.
Tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade
tuntas dari reseptor D2 tersebut.Riset baru mengenai otak telah menunjukkan
bahwa blokade D2 tidak selalu cukup untuk menanggulangi schizofrenia secara
efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin, glutamat, GABA
(gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade D2 cepat, begitupula efeknya pada keadaan gelisah.
Sebaliknya kerjanya terhadap gejala psikosis lain, seperti waham, halusinasi, dan
gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin efek lambat ini
disebabkan sistem reseptor dopamin menjadi kurang peka. Antipsikotika atypis
memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D1 dan D2 sehingga lebih efektif dari
pada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini lebih
jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.
e) Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism” di
hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra
muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti
haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil
dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot
lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis
tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu
memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis
tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir
dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
2. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
3. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)

6
4. Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien.
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat
kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu:
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan
mereda jika diberikan anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM
dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif
dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya
hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap skizofrenia. Penggunaan
CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah posisi tubuh.
Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM). Haloperidol juga
dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil
3- 4x2 mg/hari.
f) Efek Samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan
yang paling sering terjadi adalah:
a. Gejala ekstrapiramidal (GEP)
GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
 Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya gerak
berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan kekakuan anggota tubuh,
kadang-kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala lainnya
“rabbit-syndrome” (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip kelinci),
yang dapat muncul setelah beberapa munggu atau bulan. Terutama pada
dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja antikolinergis.
Insidensinya 2-10%.
 Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring,
gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang. Guna
menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan
antikolinergika sebagai profilaksis.
 Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa
menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis: duduk, a: tidak,

7
tanpa).Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan
dapat diobati dengan antikolinergika.Akathisia juga dapat diatasi dengan
propranolol atau benzosiazepin.
 Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya otot-otot
muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi permanen.
Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan antara lain
dengan dosis kumulatif(total) yang telah diberikan. Risiko efek samping
ini meningkat pada penggunaan lama dan tidak tergantung dari dosis, juga
lebih sering terjadi pada lansia, insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini
lenyap dengan menaikkan dosis , tetapi kemudian timbul kembali secara
lebih hebat. Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut.
Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.
 Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP
lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia,
berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak
bergantug pada dosis, terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2
minggu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya sukar , tetapi bila tidak
ditangani bisa berakhir fatal.
 Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang
identik dengan PIF(Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak
dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah
banyak.
 Sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya
klorpromazin, thioridazin.,dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada zat-
zat difenilbutilamin.
 Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor ∝, adrenergis, misalnya
klorpromazin , thioridazin, dan klozapin.
b. Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan antara
lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih dan
tachycardia, terutama pada lansia. Efeknya khusus kuat pada
klorprozin,thioridazindan klozapin.
c. Efek antiseerotonin akibat blokade reseptot-5HT, yang berupa stimulasi nafsu
makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia.

8
d. Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya adiktif.
Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit kepala, sukar
tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut. Efek ini terutama pada obat-obat
dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu penghentianya selalu perlu
berangsur.
e. Efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang karakteristik
bagi obat-obat tertentu, yakni:
 Fenotiazin: seringkali reaksi imunologis, seperti fotosensibilisasi,
hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, jarang pada zat-zat
thioxanten. Efek lainnya berupa kelainan mata dengan endapan pigmen di
lensa dan kornea, serta retinopati pada thioridazin(dosis diatas 800
mg/hari).
 Klozapin: dapat menimbulkan agranulositosis (1-2%),juga bradycardia,
hipotensi ortostatis dan berhentinya jantung.
 Olanzapin dan risperidon pada lansia yang menderita Alzheimer dapat
mengakibatkan kerusakan cerebrovaskuler, yang meningkatkan
mortalitasnya dengan lebih dari dua kali, tidak tergantung dari lama dan
dosisnya penggunaan.
g) Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran

2. Anti-Depresan
Anti depresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan
obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan fobik
dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa
(fluoxetine). Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki
mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan.Terapi jangka panjang
dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake norepinephrine
atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor beta pasca sinaptik, dan
berkurangnya pembentukan cAMP.

9
Gambar 6. Skema diagram kemungkinan tempat kerja obat antidepresan

a. Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang
menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin.
MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin
memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan
melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.
b. Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang
timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu.
Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya
mengikuti urutan:
 Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
 Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
 Langkah 3 : golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase
Inhibitor) reversibel.
Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat
minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan pada berbagai
kondisi medik), spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat minimal,
serta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman. Bila telah
diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka waktu yang cukup (sekitar 3
bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan kedua, golongan trisiklik, yang
spektrum anti depresinya juga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat. Bila

10
pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum anti depresi
yang lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan dibandingkan trisiklik,
yang teringan adalah golongan MAOI. Disamping itu juga dipertimbangkan
bahwa pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk
“washout period” guna mencegah timbulnya “serotonin malignant syndrome”.

c. Pemberian Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: onset efek primer (efek
klinis) : sekitar 2-4 mingguefek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).
Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:
1) Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama
minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari
pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
2) Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis
efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150
mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200
mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
3) Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3
bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian
diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
4) Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
5) Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari
initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari selama
1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari à 50
mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu.
Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau
kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan
seterusnya.Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari
(single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik.Untuk
golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan.Pemberian
obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction
potential”-nya sangat minimal.

11
No Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
1 Trisiklik (TCA) AmitriptilinTablet 25 mg 75-150 mg/hari
Imipramin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari
2 SSRI Sentralin Tablet 50 mg 50-150 mg/hari
Fluvoxamin Tablet 50 mg 50-100 mg/hari
Fluoxetin Kapsul 20 mg 20-40 mg/hari
Kaplet 20 mg
Paroxetin Tablet 20 mg 20-40 mg/hari
3 MAOI Moclobemide Tablet 150 mg 300-600 mg/hari
4 Atypical Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari
Trazodon Tablet 50, 100 mg 75-150 mg/hari dosis
terbagi
Maprotilin Tablet 10, 25, 50, 75 75-150 mg/hari dosis
mg terbagi
Tabel 4. Klasifikasi Obat Anti-Depresan

d. Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna
juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan
depresi. Indikasi klinik primer penggunaan obat-obat anti-depresi adalah sindrom
depresi yang dapat terjadi pada :
 Sindrom depresi panic, gangguan afektif bipolar dan unipolar. Gangguan
distimik dan gangguan siklotimik.
 Sindrom depresi organik seperti hypothyroid induced depression, brain
injury depression dan reserpine.
 Sindrom depresi situasional seperti gangguan penyesuaian dengan depresi,
grief reaction, dll; dan sindrom depresi penyerta seperti gangguan jiwa
dengan depresi (gangguan obsesi kompulsi, gangguan panic, dimensia),
gangguan fisik dengan depresi (stroke, MCI, kanker, dan lain-lain).
e. Efek Samping
 Efek sedasi seperti rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor berkurang, kemampuan kognitif menurun;
 Efek antikolinergik seperti mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardia;
 Efek anti-adrenergik alfa seperti perubahan hantaran elektrokardiografi,
hipotensi;
 Efek neurotoksis seperti tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia.

12
 Efek samping ringan mungkin timbul akibat penggunaaan obat jenis ini
(tergantung daya toleransi dari klien), biasanya berkurang setelah 2-3 minggu
bila tetap diberikan dengan dosis yang sama. Pada keadaan overdosis/
intoksikasi trisiklik dapat timbul atropine toxic syndrome dengan gejala
eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, “toxic
convulsional state” (confusion, delirium dan disorientasi).

3. Anti-Mania
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas fisik
yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara keseluruhan tidak
sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu
paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana
perasaan) yang meningkat ekspresif atau iritabel. Sindroma mania disebabkan oleh
tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada sistem limbik,
yang berdampak terhadap “dopamine receptor supersensitivity”. Lithium karbonat
merupakan obat pilihan utama untuk meredakan sindroma mania akut dan profilaksis
terhadap serangan sindroma mania yang kambuh pada gangguan afektif bipolar.
Bentuk mania yang lebih ringan adalah hipomania. Mania seringkali merupakan
bagian dari kelainan bipolar (penyakit manik-depresif). Beberapa orang yang
tampaknya hanya menderita mania, mungkin sesungguhnya mengalami episode
depresi yang ringan atau singkat. Baik mania maupun hipomania lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan depresi. Mania dan hipomania agak sulit dikenali, kesedihan
yang berat dan berkelanjutan akan mendorong seseorang untuk berobat ke dokter,
sedangkan kegembiraan jarang mendorong seseorang untuk berobat ke dokter karena
penderita mania tidak menyadari adanya sesuatu yang salah dalam keadaan maupun
perilaku mentalnya.
Jadi Obat Antimania adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan
kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan,
misalnya mengutil ( kleptomania).
a. Cara Penggunaan
Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada
gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium
karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya
suatu kekambuahan. Bila penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan
13
dapat digunakan karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma
mania akut dan profilaks serangan sindroma mania pada gangguan afektif
bipolar. Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan kekambuhan dapat juga
denagn obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium karonat. Dosis
awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik yang
mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan mengambil
sampeel darah pagi hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah
dosis petang.
b. Mekanisme Kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan Sindrom
mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania yang kambuhan
pada gangguan afektif bipolar. Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium
disebabkan kemampuannya mengurangi ”dopamine receptor supersensitivity”,
meningkatnya ”cholinergic-muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP
(adenosine monophosphate) dan phosphoinositides”.
c. Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:
1) Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat
keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan iritabel.
2) Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:
 Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau
seksual), atau ketidak-tenangan fisik
 Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun adanya dorongan untuk bicara
terus menerus
 Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa
pikirannya sedang berlomba
 Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf sampai
waham/delusi)
 Berkurangnya kebutuhan tidur
 Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik kepada
stimulus luar yang tidak penting.
d. Kontraindikasi

14
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui plasenta dan
masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar tiroid.
e. Efek Samping
Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik
pasien.
1) Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering, haus,
gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak), kelemahan
otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada pasien usia lanjut
dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan) Tidak
ada efek sedasi dan gangguan akstrapiramidal.
2) Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan
fungsi tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan
daya ingat dan kosentrasi pikiran
3) Gejala intoksikasi
 Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi
pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan
tidak stabil.
 Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran
menurun, oliguria, kejang-kejang.
 Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah.
4) Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
 Demam (berkeringat berlebihan)
 Diet rendah garam o Diare dan muntah-muntah
 Diet untuk menurunkan berat badan o Pemakaian bersama diuretik,
antireumatik, obat anti inflamasi nonsteroid
5) Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang faktor
predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis banyak
harus diimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali gejala dan
intoksikasi dan kontrol rutin.

4. Anti-Ansietas
Antiansietas adalah obat – obat yang digunakan untuk mengatasi kecemasan dan
juga mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan antiepileptic.Antiansietas

15
yang terutama adalah benzodiazepine. Banyak golongan obat yang mendepresi system
saraf pusat (SSP) lain telah digunakan untuk sedasi siang hari pada pengobatan
ansietas, namun penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya ialah antara
lain golongan barbiturate dan meprobamat, lebih toksik pada takar lajak (overdoses).2
Dari golongan benzodiazepine, yang dianjurkan untuk antiansietas adalah
klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam,
dan halozepam. Sedangkan klorazepam lebih dianjurkan untuk pengobatan panic
disorder.
a. Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dipakai adalah :
1) Derivate benzodiazepine :
 Diazepam (valium)
 Bromazepam (lexotan)
 Lorazepam (ativan)
 Alprazolam (xanax)
 Clobazam (frisium)
2) Derivate gliserol :
 Meprobamat
3) Derivate berbiturat :
 Fenobarbital
b. Mekanisme Kerja
Mayoritas neurotransmitter yang melakukan inhibisi di otak adalah asam
amino GABA (gamma-aminobutyric acid A). Secara selektif reseptor GABA akan
membiarkan ion Chlorid masuk ke dalam sel, sehingga terjadi hiperpolarisasi
neuron dam menghambat penglepasan transmisi neuronal. Secara umum obat –
obat antiansietas ini bekerja di reseptor GABA. Benzodiazepine menghasilkan
efek pengikatan terhadap reseptor GABA tersebut.
c. Cara Penggunaan
Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti ansietas dan
kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah dibandingkan dengan
meprobamate atau fenobarbital. Benzodiazepine sebagai “drug of choice” karena
memiliki spesifisitas, potensi dan kemanannya. Spectrum klinis benzodiazepine
meliputi efek anti ansietas (lorazepam, clobazam, bromazepam), antikonvulsan,

16
anti insomnia (nitrazepam/ flurazepam), dan premedikasi tingkat operatif
(midazolam).
Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai “steady state”
dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali sehari. Onset of action cepat
dan langsung memberikan efek.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5
hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu.
Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis
pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8
minggu.
Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian selalu secara
bertaha
d. Efek Samping dan Kontradiksi
Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul efek samping seperti rasa
mengantuk, tetapi pada kadar takar lajak (overdoses) benzodiazepine
menimbulkan efek depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat
berupa kantuk dan ataksia yang merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik
obat – obat tersebut. Efek antiansietas diazepam dapat diharapkan terjadi bila
kadar dalam darah mencapai 300-400 ng/mL dan pada kadar ini sudah terjadi efek
sedasi dan gangguan psikomotor. Intoksikasi SSP yang menyeluruh terjadi pada
kadar di atas 900-1000 ng/mL.
Hal yang ganjil adalah sesekali terjadi peningkatan ansietas. Respon semacam
ini terjadi khusus pada pasien yang merasa ketakutan dan terjadi penumpulan daya
pikir sebagai akibat efek samping sedasi antiansietas.Efek yang unik juga adalah
dimana terjadi peningkatan nafsu makan yang mungkin ditimbulkan oleh derivate
benzodiazepine secara mental. Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepine
rendah. Bertambahnya berat badan, yang mungkin disebabkan karena perbaikan
nafsu makan, terjadi pada beberapa pasien. Banyak efek samping yang dilaporkan
pasien tumpang tindih dengan dengan gejala ansietas, oleh sebab itu anamnesis
yang cermat sangat penting sehingga dapat dibedakan apakah benar merupakan
efek samping atau merupakan gejala ansietas.
Pemberian dalam jumlah besar dan jangka waktu lama dapat menyebabkan
toleransi dan dependensi, serta gejala putus zat apabila obat dihentikan secara tiba
– tiba. Derivate benzodiazepine sebaiknya jangan diberikan bersama dengan
17
alcohol, barbiturate dan atau fenotiazin. Kombinasi ini mungkin menimbulkan
efek depresi yang berlebihan. Pada pasien dengan gangguan pernapasan,
benzodiazepine dapat memperberat gejala sesak napas
e. Indikasi dan Sediaan
Derivate benzodiazepine digunakan untuk menimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan
rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, derivate benzodiazepine juga digunakan
sebagai hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi anestesi umum yang
tentunya dosis untuk masing – masing tujuan penggunaan berbeda.
Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom ansietas seperti :
 Sindrom ansietas psikik seperti gangguan ansietas umum, gangguan panik,
gangguan fobik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress paska trauma
 Sindrom ansietas organic seperti hyperthyroid, pheochromosytosis, dll;
sindrom ansietas situasional seperti gangguan penyesuaian dengan ansietas
dan gangguan cemas perpisahan
 Sindrom ansietas penyerta seperti gangguan jiwa dengan ansietas (skizofrenia,
gangguan paranoid, dll),
 Penyakit fisik dengan ansietas seperti pada klien stroke, Myocard Cardio Infac
(MCI) dan kanker dll
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila
sangat diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25 – 100 mg
sehari dalam 2 atau 4 pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari, dan
pemberian suntik dapat diulang tiap 3-4 jam. Klorazepat diberikan secara oral 30
mg sehari dalam dosis terbagi.
Klodiazepoksid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. diazepam
tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia sebagai larutan
untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam. Alprazolam tersedia
dalam bentuk tablet 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg.
f. Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Sebagai antiansietas, derivate benzodiazepine juga digunakan sebagai
hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi anestesi umum yang tentunya
dosis untuk masing – masing tujuan penggunaan berbeda. Sebagai antiansietas,
klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat diperlukan, suntikan

18
dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25 – 100 mg sehari dalam 2 atau 4 pemberian.
Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari, dan pemberian suntik dapat diulang tiap 3-
4 jam. Klorazepat diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.
Klodiazepoksid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. diazepam tersedia
dalam bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia sebagai larutan untuk
pemberian rektal pada anak dengan kejang demam. Alprazolam tersedia dalam
bentuk tablet 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg.

5. Anti-Insomnia
Obat Anti-Insomnia digunakan untuk mengatasi pasien yang mengalami gangguan
susah tidur. Sering disebut juga Hypnotics, Somnifacient, Hipnotika.Pengobatan
insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine
(Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam) dan non-benzodiazepine (Chloral-hydrate,
Phenobarbital).
a. Indikasi Obat
Indikasi penggunaan obat ini adalah sindrom insomnia yang dapat terjadi pada :
 Sindrom insomnia psikik seperti gangguan afektif bipolar dan unipolar
(episode mania atau depresi, gangguan ansietas (panic, fobia); sindrom
insomnia organic seperti hyperthyroidism, putus obat penekan SSP
(benzodiazepine, phenobarbital, narkotika), zat perangsang SSP (caffeine,
ephedrine, amphetamine);
 Sindrom insomnia situasional seperti gangguan penyesuaian dengan
ansietas/depresi, sleep, wake schedule (jet lag, workshift), stres psikososial;
 Sindrom insomnia penyerta seperti gangguan fisik dengan insomnia (pain
producing illness, paroxysmal nocturnal dyspnea),
 Gangguan jiwa dengan insomnia (skizofrenia, gangguan paranoid).
b. Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur). Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine
(Short Acting) Misalnya pada gangguan anxietas.
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali
ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong

19
latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan
(Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-
pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada
gangguan stres psikososial.
c. Pengaturan Dosis
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah
timbulnya rebound dan toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-
lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut
d. Lama Pemberian
 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih
dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2
minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6
bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur
dapat ditanggulangi.
e. Efek Samping
 Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur.
 Hati – hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan, uremia, gangguan
fungsi hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP, dan
dapat memudahkan timbulnya koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi
“over sedation”, sehingga resiko jatuh dan trauma menjadi besar, yang sering
terjadi adala “hip fracture”.
 Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-
insomnia (waktu paruh).

20
f. Kontraindikasi
 Sleep apneu syndrome
 Congestive Heart Failure
 Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya
pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI,
berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

6. Anti-Panik
Anti panic disebut juga sebagai : Drugs Used In Panic Disorders. Obat  yang
menjadi acuan untuk antipanik adalah Imipramin, selain itu juga obat lain
seperti: Clomipramin, Alprazol, Moclobemid, Setralin, Fluoxetin, Parocetin,
dan Fluvoxamine.
Penggolongan obat anti-panik adalah obat anti-panik trisiklik (impramine,
clomipramine), obat anti-panik benzodiazepine (alprazolam) dan obat anti-panik
RIMA/reversible inhibitors of monoamine oxydase-A (moclobmide)serta obat anti-
panik SSRI (sertraline, fluoxetine,paroxetine, fluvoxamine).
a. Indikasi Obat
Diagnostik sindrom panik dapat ditegakkan paling sedikit satu bulan individu
mengalami beberapa kali serangan ansietas berat, gejala tersebut dapat terjadi
dengan atau tanpa agoraphobia. Panik merupakan gejala yang merupakan sumber
penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas sehari-hari (phobic avoidance)
b. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake serotonin
c. Efek Samping
Efek samping penggunaan obat anti-panik golongan trisiklik dapat berupa efek
anti-histaminergik seperti sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun; efek anti-kolinergik
seperti mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi;
efek anti-adrenergik alfa seperti perubahan gambaran elektrokardiografi, hipotensi
ortostatic; efek neurotoksis seperti tremor halus, kejang, agitasi, insomnia.

21
Pada kondisi overdosis dapat terjadi intoksikasi trisiklik dengan gejala-gejala
seperti eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, “toxic
confusional satate” (confusion, delirium, disorientasi.
d. Lama pemberian
Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama 6- 12
bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi penderita
sudah memungkinkan
Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala kambuh.
Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi selama 2
tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap selama 3 bulan.

7. Obat Anti-Obsesif Kompulsif


Obat anti-obsesif kompulsif merupakan persamaan dari drugs used in obsessive-
compulsive disorders. Sediaan obat anti-obsesif kompulsif di Indonesia adalah
clomipramine, fluvoxamine, sertraline, fluoxetine, paroxetine.
a. Indikasi Obat
Diagnostik obsesif kompulsif dapat diketahui bila individu sedikitnya dua
minggu dan hampir setiap hari mengalami gejala obsesif kompulsif, dan gejala
tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas
sehari-hari (disability).
b. Pengolongan Obat
Obat anti Obsesif Kompulsif yang menjadi acuan adalah klomipramin. Obat
antikompulsi dapat digolongkan menjadi :
 Trisiklik : Klomipramin
 SSRJ : sentralin, paroksin, Flovokamin, Fluoksetin.
c. Mekanisme Kerja
Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin sehingga gejala mereda.
d. Efek Samping
Efek samping penggunaan obat anti-obsesif kompulsif, sama seperti obat anti-
depresi trisiklik, yaitu efek anti-histaminergik seperti sedasi, rasa mengantuk,
kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun; efek anti-kolinergik seperti mulut kering, keluhan lambung, retensi urin,
disuria, penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual, sinus takikardi;
efek anti-adrenergik alfa seperti perubahan gambaran elektokardiografi, hipotensi

22
ortostatik; efek neurotoksis seperti tremor halus, kejang epileptic, agitasi,
insomnia.
Efek samping yang sering dari penggunaan anti-obsesif kompulsif jenis
trisiklik adalah mulut kering dan konstipasi, sedangkan untuk golonggan SSRI
efek samping yang sering adalah nausea dan sakit kepala. Pada keadaan overdosis
dapat terjadi intoksikasi trisiklik dengan gejala eksitasi susunan saraf pusat,
hipertensi, hiprpireksia, konvulsi, “toxic confusional state”(confusion, delirium,
disorientasi).

2.6 Peran Perawat Dalam Psikofarmakologi


Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologi yang
tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan
holistik pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberikan landasan pandangan tentang
masing-masing pasien.
2. Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagia terapi
pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien
3. Pemberian agens psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang secara
professional dan bersifat individual.
4. Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping yang
dapat dialami pasien.
5. Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan
efektif.
6. Program rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan
perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
7. Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin tentang uji coba obat. Perawat
merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan untuk
mengobati pasien gangguan jiwa.
8. Kewenangan untuk memberikan resep. Beberapa perawat jiwa yang memenuhi
persyaratan pendidikan dan pengalaman sesuai dengan undang-undang praktik
negaranya boleh meresepkan agens farmakologis untuk mengobati gejala dan
memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami gangguan jiwa.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi Modalitas adalah berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang
bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah perilaku klien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup pasien.Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat
Neuroleptik (bekerja pada sistim saraf)
Psikofarmaka dalam arti sempit, yang utama digunakan untuk penanganan gangguan
jiwa, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yakni : Anti-Psikotika, Anti-
Depresan, Anti-Mania, Anti-Ansietas, Anti-Insomnia, Anti-Panik, dan Obat Anti-Obsesif
Kompulsif
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologi yang
tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan
holistik pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal-hal sebagai berikut: Pengkajian
pasien, Koordinasi modalitas terapi, Pemberian agens psikofarmakologis, Pemantauan
efek obat, Penyuluhan pasien, Program rumatan obat, Partisipasi dalam penelitian klinis
antardisiplin tentang uji coba obat, Kewenangan untuk memberikan resep.

3.2 Saran
Mempertahankan dukungan keluarga dan petugas serta lingkungan sekitar sehingga
dapat memotivasi pasien untuk selalu minum obat sehingga perlu dilakukan edukasi pada
keluarga pasien tentang pentingnya dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien dengan itu diharapkan dapat meningkatkan kesehatan pasien agar tidak
terjadi kekambuhan dan tidak menjadi beban bagi keluarga.

24

Anda mungkin juga menyukai