Anda di halaman 1dari 30

TERAPI MODALITAS

DALAM KEPERAWATAN JIWA

Nama Kelompok 10 :

1. Auralady (C1914201013)
2. Andreas (C2014201006)
3. Yosiana Enjelia (C2014201046)
4. Yusrianti Sobon (C2014201047)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STELLAMARIS MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2022/2023


Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " TERAPI MODALITAS DALAM
KEPERAWATAN JIWA” dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Keperawatan Jiwa.

Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga
bagi kami. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Terapi Modelitas


B. Prinsip Penatalaksanaan
C. Peran Perawat dalam Terapi Modalitas
D. Jenis - jenis Terapi Modalitas
E. Definisi Psikofarmaka
F. Klasifikasi Psikofarmaka
1. Anti-Psikotika
2. Anti-Depresan
3. Anti-Mania
4. Anti-Ansietas
5. Anti-Insmonia.
6. Anti-Panik
7. Anti-Obsesif Kompulsif
G. Peran Perawat Dalam Psikofarmakologi.

BAB III PENUTUP .

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu
penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama
ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan area
sosiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptive dikostrukkan
sebagai tahapan mulai adanya factor predisposisi, factor presipitasi dalam bentuk stressor
pencetus, kemampuan penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan
bagaimana mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu.

Terapi Modalitas Adalah berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa yang
bervariasi, yang bertujuan untuk mengubah perilaku klien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku mal adaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Obat ialah suatu bahan atau
paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan
diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka Obat yang digunakan dalam pasien gangguan jiwa, atau disebut
dengan psikofarmaka Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai
perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang
biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu untuk
menyelesaikan masalah. Banyak jenis obat yang di gunakan dalam pasien gangguan jiwa
guna mendukung proses penyembuhan pasien sakit jiwa.

Dalam hal ini perawat secara holistik harus bisa mengintegrasikan prinsip mind-body-
spirit dan modalitas (cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan sehari-
hari dan praktek keperawatannya dan juga perawat mampu mendidik atau ngorientasikan
keluarga dalam proses keperawatan serta mampu memantau efek samping dari obat yang di
berikan serta memberikan penyuluhan cara mengkonsumsi obat yang aman dan efektif.
Jadi peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa
sangat penting. Terapi Rekreasi juga digunakan bersama-sama dengan terapi medis
conventional.
A. Rumusan Masaslah

a. Apa yang di maksud dengan terapi modalitas ?

b. Bagaimana prinsip penatalaksanaan dasar terapi modalitas ?

c. Apa saja Peran Perawat dalam Terapi Modalitas ?

d. Apa saja jenis-jenis terapi modalitas ?

e. Apa yang di maksud dengan psikofarmaka ?

f. Apa saja klasifikasi dari psikofarmaka ?

g. Apa saja Peran perawat dalam psikofarmaka ?

B. Tujuan

a. Untuk mengetahui tentang pengertian terapi modalitas .

b. Untuk mengetahui prinsip penatalaksanaan dasar terapi modalitas.

c. Untuk mengetahui Peran Perawat dalam Terapi Modalitas.

d. Untuk mengetahui jenis-jenis terapi modalitas.

e. Untuk mengetahui tentang pengertian psikofarmaka.

f. Untuk mengetahui klasifikasi dari psikofarmaka.

g. Untuk mengetahui Peran perawat dalam psikofarma


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Terapi Modalitas

Terapi Modalitas Adalah cabang dari terapi fisik yang bertujuan untuk
mengembalikan mobilitas pasien setelah cedera atau sakit. Memulihkan mobilitas tidak hanya
mengembalikan fungsi sendi pasien atau anggota badan, tetapi juga meningkatkan kualitas
umum kehidupan (Delaune & Ladner, 2019).

1. Suatu tehnik terapi dengan menggunakan pendekatan secara spesifik

2. Suatu sistem erapi psikis yang keberhasilannya sangat tergantung pada


adanya komunikasi atau perilaku timbal balik antara pasien dan terapis

3. Terapi yang diberikan dalam upaya mengubah perilaku mal adaptif menjadi
perilaku adaptif ( Perko & Kreigh, 2017).

Terapi modalitas adalah keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan


mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan lingkungan
masyarakat sekitar dengan dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman,dan sistem pendukung yang ada ketika
menjalani terapi( Nasir dan Muhits, 2017).

Terapi mobiltas adalah terapi yang utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan
dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang mal adaptif menjadi perilaku
adaptif.( Kusumawati dan Hartono, 2016). Terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku
kepribadian seperti keterampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara
bertahap dapat berkembang.

B. Prinsip Penatalaksanaan

Perawat sebagai terapis mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak
terapi atau penyembuhan. Dasar Pemberian Terapi Modalitas:

1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian atau perilaku manusia

2. Tingkah laku manusia selalu dapat diarahkan dan dibina ke arah kondisi yang
mengandung reaksi( respon yang baru )
3. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada atau tidak adanya faktor-faktor
yang sifatnya menimbulkan tekanan sosial pada individu sehingga reaksi indv
tersebut dapat diprediksi ( reward dan punishment )

4. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam menunjuang dan
menghambat perilaku individu dalam kelompok sosial

C. Peran Perawatan Dalam Terapi Modalitas

Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalits bertindak sebagai
leader,fasilitator,evaluator, motivator. (Nasir dan Muhits,2011). Tindakan tersebut
meliputi :

1. Mendidik dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat


menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan
harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.
2. meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dihadapi
anggota keluarganya.
3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawatan
menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan
siapa yang bisa diajak konsultasi .
4. Memberi pelayanan prevensi primer,sekunder,dan tersier melalui
penyuluhan,perawatan dirumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga
yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarha yang
membutuhkan perawatan.

D. Jenis-Jenis Terapi ModLalitas.

Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

a. Terapi individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan
yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku
klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi,
dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini
terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal
hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu
meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
 1Tahapan orientasi
 Tahapan kerja
 Tahapan terminasi

a) Tahapan orientasi
Dilaksanakan ketika perawat memulai interaksi dengan klien. Yang
pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting
untuk mengawali hubungan agar klien bersedia mengekspresikan
segala masalah yang dihadapi dan mau bekerja sama untuk mengatasi
masalah tersebut sepanjang berhubungan dengan perawat. Setelah
klien mempercayai perawat, tahapan selanjutnya adalah klien bersama
perawat mendiskusikan apa yang menjadi latar belakang munculnya
masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga penderitaan yang
klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan antara
perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai
dalam hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan
b) Tahapan kerja
Pada tahap ini perawat memiliki peran yang sangat penting sebagai
seorang terapis dalam memberikan berbagai intervensi keperawatan.
Keberhasilan pada tahap ini ditandai dengan kemampuan perawat
dalam mengali dan mengeksplorasikan untuk mengungkapkan
permasalahan yang dialami. Pada tahap ini juga sangat penting seorang
terapis pada tahap ini, klien dibantu untuk dapat mengembangkan
pemahaman tentang dirinya, dan apa yang terjadi dengan dirinya.
Selain itu klien didorong untuk berani mengubah perilaku dari perilaku
maladaptive menjadi perilaku adaptif.
c) Tahapan terminasi
Tahap terminasi terjadi bila klien dan perawat menyepakati bahwa
masalah yang mengawali terjadinya hubungan teraupetik telah
terselesaikan dan klien telah mampu mengubah perilaku maladaptive
menjadi adaptif. Pertimbangan lain untuk melakukan terminasi adalah
apabila klien telah merasa baik, terjadinya peningkatan fungsi diri,
sosial dan pekerjaan, serta yang terpenting adalah tujuan terapi telah
tercapai.
b. Terapi lingkungan ( milleau terapi )
Terapi lingkungan adalah suatu terapi yang dilakukan dengan cara mengubah atau
menata lingkungan agar tercipta perubahan perilaku pada klien dari perilaku mal-adaptive
menjadi perilaku adaptif. Proses terapi dilakukan dengan mengubah seluruh lingkungan
menjadi lingkungan yang terapeutik untuk klien. Dengan lingkungan yang terapeutik
akan memberikan kesempatan klien untuk belajar dan mengubah perilaku dengan
memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

c. Terapi Biologi
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di mana
gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model konsep yang lain
yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak
mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah
pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku
abnormal dipercaya akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu.
Ada beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi: pemberian obat (medikasi
psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT), foto terapi, dan bedah
otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap diterapkan dalam pelayanan kesehatan
jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan ECT.

d. Terapi kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu
mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola
berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku
terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu
salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan
tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini,
harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
Prinsip terapi ini adalah memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi
perilaku dan perasaan klien. Proses terapi dilakukan dengan membantu menemukan
stresso yang menjadi penyebab gangguan jiwa, selanjutnya mengidentifikasi dan
mengubah pola fikir dan keyakinan yang tidak akurat menjadi akurat.

e. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai
unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu
melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang
mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh
anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan
kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut
digali. Dengan demikian terleih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa
masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya
masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan
meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2 (kerja),
fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan hubungan saling
percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama. Kegiatan
di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai
terapis berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga, meningkatkan
kompetensi masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan
dalam keluarga, peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase
terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk
mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga
diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.

f. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok,
suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok
perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah
meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan
mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja,
diakhiri tahap terminasi.
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut sebagai fase
orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang diperlukan dalam
interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa aktivitas tersebut
dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai model peran dengan cara
mengusulkan struktur kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di awal
pembentukan kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok. Fase
permulaan dilanjutkan dengan fase kerja
Di fase kerja terapis membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus
pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk mencapai tujuan
terapi. Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana klien bersama kelompoknya
melakukan kegiatan untuk mencapai target perubahan perilaku dengan saling
mendukung di antara satu sama lain anggota kelompok. Setelah target tercapai sesuai
tujuan yang telah ditetapkan maka diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan dalam
hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong anggota
kelompok untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta bertoleransi terhadap
setiap perbedaan yang ada. Akhir dari terapi kelompok adalah mendorong agar anggota
kelompok berani dan mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa
mendatang.

g. Terapi Perilaku
Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa
perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat
dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan
dalam terapi jenis ini adalah:
a. Role model
b. Kondisioning operan
c. Desensitisasi sistematis
d. Pengendalian diri
e. Terapi aversi atau releks kondisi
Teknik role model adalah strategi mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan melihat contoh klien mampelajari melalui
praktek dan meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya dikombinasikan dengan teknik
kondisioning operan dan desensitisasi.Kondisioning operan disebut juga penguatan
positif di mana terapis memberi penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif
yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang
didapat maka perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien.
Misalnya seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi,
perawat memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan
mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan balik
berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau penghargaan bagi
perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.

h. Terapi bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal.
Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak,
hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak
tersebut.
Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang hangat dengan anak,
merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui permainan, mempercayai bahwa
anak dapat menyelesaikan masalahnya, dan kemudian menginterpretasikan perilaku anak
tersebut.
Terapi bermain diindikasikan untuk anak yang mengalami depresi, anak yang
mengalami ansietas, atau sebagai korban penganiayaan (abuse). Bahkan juga terpai
bermain ini dianjurkan untuk klien dewasa yang mengalami stress pasca trauma,
gangguan identitas disosiatif dan klien yang mengalami penganiayaan.
E. Definisi Psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup pasien.Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat
Neuroleptik (bekerja pada sistim saraf .

F. Klasifikasi Psikofarmaka
Psikofarmaka dalam arti sempit, yang utama digunakan untuk penanganan
gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yakni :
1. Anti-Psikotika
a) Pengertian
Anti-psikotika (major transquilizer) adalah oabat-obat yang dapat menekan fungsi-
fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan
berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan apat pula
menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran
khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal. Oleh karena itu
anipsikotika trutam digunakan psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit
oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia dan psikosi mania depresif.
b) Klasifikasi
1) Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif. pada
umunya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut :
 Derivat-fenotiazin: klopromazin, levomepromazin dan triflupromazin,
thiorizidin, dan periciazin, perfenazin dan flufenazin, perazin,
trifluoperazin, proklorperazin, dan thietilperazin.
 Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat
typis atau klasik dan obat atypis.
 Derivat-thioxanthen : klorprotixen, dan zuklopentixol.
 Derivat-butirofenon :haloperidol, bromperidol, pimpaperon dan droperidol.
 Derivat-butilpiperidin:pimozida,fluspirilen, penfluridol
2) Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan quetiapin)
bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat klasik.
Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan
extrapiramidal dan dyskinesia tarda. Sertindol setelah dipasarkan hanya
satu tahun lebih, akhir ditarik dari peredaran di eropa, karena dari beberapa
kali dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian mendadak. Obat atypis
lainnya yang sudah tersedia dinegara lain yag sudah tersedia dinegara lain sejak
2017 adalah zotepin dan ziprasidon.
c) Mekanisme Kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk kedal cairan
cerebrospinal dan obat-obat ini melakukan kegiatnnya secara langsung
terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum
diketahui dengan pasti tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini
berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau anatar
keseimbangannya. Antipsikotika menghambat agak kuat reseptor dopamin
disistem limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor, serotonin,
muskarin dan histamin. Tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah
ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut.Riset baru
mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade D2 tidak selalu cukup untuk
menanggulangi schizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti
serotonin, glutamat, GABA (gamma-butyric acid) perlu di pengaruhi. pada keadaan
gelisah. Sebaliknya kerjanya terhadap gejala psikosis lain, seperti waham,
halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu. Mungkin
efek lambat ini disebabkan sistem reseptor dopamin menjadi kurang peka.
*antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D1 dan D2
sehingga lebih efektif dari pada obat-obat klasik untuk melawan simtom negatif.
Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.

d) Cara Penggunaan

Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism”


di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra
muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti- psikosis
(seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama
vegetable oil dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu.
Obat- obatan depot lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat

Psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah
jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika
obat anti- psikosistersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya
dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang.Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:

1 .Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu

2. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam

3. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)

Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien. Obat anti-psikosis tidak
menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka
waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan
mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual,
muntah, diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan
anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil
3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak
mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral.
Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi
stabilisasi dan pemeliharaan terhadap skizofrenia. Penggunaan CPZ sering
menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah posisi tubuh. Hal ini
dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM). Haloperidol juga dapat
menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil 3- 4x2
mg/hari.

e) Efek Samping

Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan


yang paling sering terjadi adalah:

1. Gejala ekstrapiramidal (GEP)


GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai

a) Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya gerak


berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan kekakuan anggota tubuh,
kadang- kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala
lainnya “rabbit-syndrome” (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip
kelinci), yang dapat muncul setelah beberapa munggu atau bulan.
Terutama pada dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja
antikolinergis. Insidensinya 2-10%.

b) Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala


miring, gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang. Guna
menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan
antikolinergika sebagai profilaksis.

c) Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa
menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis: duduk, a: tidak,
tanpa). Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis
dan dapat diobati dengan antikolinergika.Akathisia juga
dapat diatasi dengan propranolol atau benzosiazepin.

d) Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak- sengaja, khususnya


otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi
permanen. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan
antara lain dengan dosis kumulatif(total) yang telah diberikan.
Risiko efek samping ini meningkat pada penggunaan lama dan
tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia,
insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan menaikkan dosis ,
tetapi kemudian timbul kembali secara lebih hebat. Antikolinergika juga
dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat
mengurangi efek samping ini.

e) Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP


lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia,
berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak
bergantug pada dosis, terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2
minggu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya sukar , tetapi bila tidak
ditangani bisa berakhir fatal.

1. Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin,


yang identik dengan PIF(Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi prolactin
tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah
banyak.

2. Sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin,


thioridazin.,dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada zat-zat
difenilbutilamin.
3. Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor , adrenergis, misalnya
klorpromazin , thioridazin, dan klozapin.

2. Anti-Depresan
a) Pengertian
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan
obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan
fobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan
bulimia nervosa (fluoxetine).Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter
biogenik amin memiliki mekanisme yang berbeda pada setiap golongan
antidepressan.Terapi jangka panjang dengan obat-obat tersebut telah
membuktikan pengurangan reuptake norepinephrine atau serotonin atau
keduanya, penurunan jumlah reseptor beta pascasinaptik, dan berkurangnya
pembentukan cAMP.

b) Mekanisme Kerja

Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang


menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin.
MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan
mirtazapin memblokade reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja
dari antidepresan melibatkan modulasi pre atau post sinaps atau disebut
respon elektrofisiologis.

c) Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang
timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan
dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:

Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)

Langkah 3 : golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase


Inhibitor) reversible

Pertama-tama menggunaka golongan SSRI yang efek sampingnya


sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan
pada berbagai kondisi medic), specrum efek anti-depresi luas, dan segala
putus obat minmal, seta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga
relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam
jangka waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke
pilihan kedua, golongan trisiklik, yang spektrum anti depresinya juga
luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat. Bila pilihan kedua
belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum anti depresi
yang lebih sempit, dan juga efek samping lebih ringan
dibandingkan trisiklik, yang teringan adalah golongan MAOI.
Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke
MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk “washout
period” guna mencegah timbulnya “serotoninmalignant syndrome”.

d) Pemberian Dosis

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: onset efek primer


(efek klinis) : sekitar 2-4 minggu efek sekunder (efek samping) :sekitar 12-24
jam waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).

Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:


 Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama
minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari
pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.

 Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai


dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150
mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200
mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.

 Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3


bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian
diturunkan sampai dosis pemeliharaan

 Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya


dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150
mg/hari.

 Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan ari


initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari selama
1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari à 50
mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu.

e) Indikasi

Indikasi Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi danObat


antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dankadang berguna juga pada
penderita ansietas fobia, obsesif-kadang berguna juga pada penderita ansietas
fobia, obsesif kompulsif, danmencegah kekambuhan depresi.

f) Efek samping

 Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan


kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan
EKG, hipotensi).

 SSRI : nausea, sakit kepala

 MAOI : interaksi tiramin


3. Anti-Mania
a) Pengertian
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas
fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara
keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi
dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat
keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat ekspresif atau iritabel.
Sindroma mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps
neuron, khususnya pada sistem limbik, yang berdampak terhadap “dopamine
receptor supersensitivity”. Lithium karbonat merupakan obat pilihan utama untuk
meredakan sindroma mania akut dan profilaksis terhadap serangan sindroma mania
yang kambuh pada gangguan afektif bipolar. Bentuk mania yang lebih ringan
adalah hipomania. Mania seringkali merupakan bagian dari kelainan bipolar
(penyakit manik- depresif).

Beberapa orang yang tampaknya hanya menderita mania, mungkin


sesungguhnya mengalami episode depresi yang ringan atau singkat. Baik mania
maupun hipomania lebih jarang terjadi dibandingkan dengan depresi. Mania
dan hipomania agak sulit dikenali, kesedihan yang berat dan berkelanjutan
akan mendorong seseorang untuk berobat ke dokter, sedangkan kegembiraan
jarang mendorong seseorang untuk berobat ke dokter karena penderita mania tidak
menyadari adanya sesuatu yang salah dalam keadaan maupun perilaku mentalnya

Jadi Obat Antimania adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan


kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat
dikendalikan , misalnya mengutil ( kleptomania).

b) Cara Penggunaan

Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada
gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium
karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya
suatu kekambuahan. Bila penggunaan obat litium karbonat tidak
memungkinkaan dapat digunakan karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan
sindroma mania akut dan profilaks serangan sindroma mania pada gangguan
afektif bipolar. Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan kekambuhan
dapat juga denagn obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium
karonat. Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien
gangguan fisik yang mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan
dengan mengambil sampeel darah pagi hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar
12 jam setelah dosis petang.

c) Mekanisme Kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan Sindrom
mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania yang kambuhan
pada gangguan afektif bipolar. Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium disebabkan
kemampuannya mengurangi ”dopamine receptor supersensitivity”, meningkatnya
”cholinergic-muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP (adenosine
monophosphate) dan phosphoinositides”.
d) Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:

 Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat
keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan iritabel.

 Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:

 Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual),


atau ketidak-tenangan fisik Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun
adanya dorongan untuk bicara terus menerus

 Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa


pikirannya sedang berlomba

 Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf


sampai waham/delusi)

 Berkurangnya kebutuhan tidur


e) Kontraindikasi
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui plasenta
dan masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar tiroid.
i) Efek Samping

 Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik
pasien.

 Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut

 kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare,feses lunak),


kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada
pasien usia lanjut dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan
antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan gangguan akstrapiramidal.

 Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan fungsi


tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan daya ingat
dan kosentrasi pikiran

 Gejala intoksikasi

 Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran


menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil.

 Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran menurun,


oliguria, kejang-kejang.

 Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah

4. Anti-Ansietas
a) Pengertian

Antiansietas adalah obat – obat yang digunakan untuk mengatasi


kecemasan dan juga mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan
antiepileptic.Antiansietas yang terutama adalah benzodiazepine. Banyak
golongan obat yang mendepresi system saraf pusat (SSP) lain telah
digunakan untuk sedasi siang hari pada pengobatan ansietas, namun
penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya ialah antara lain
golongan barbiturate dan meprobamat, lebih toksik pada takar lajak
(overdoses). Dari golongan benzodiazepine, yang dianjurkan untuk antiansietas
adalah klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam,
prazepam, alprazolam, dan halozepam. Sedangkan klorazepam lebih dianjurkan
untuk pengobatan panic disorder.

b) Klasifikasi

Klasifikasi yang sering dipakai adalah

 Derivate benzodiazepine

 Diazepam (valium)

 Bromazepam (lexotan)

 Lorazepam (ativan)

 Alprazolam (xanax)

 Clobazam (frisium)

c) Mekanisme Kerja

Mayoritas neurotransmitter yang melakukan inhibisi di otak adalah asam


amino GABA (gamma-aminobutyric acid A). Secara selektif reseptor GABA
akan membiarkan ion Chlorid masuk ke dalam sel, sehingga terjadi
hiperpolarisasi neuron dam menghambat penglepasan transmisi neuronal.
Secara umum obat – obat antiansietas ini bekerja di reseptor GABA.
Benzodiazepine menghasilkan efek pengikatan terhadap reseptor GABA
tersebut.
d) Efek samping

Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul efek samping seperti rasa
mengantuk, tetapi pada kadar takar lajak (overdoses) benzodiazepine
menimbulkan efek depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf
pusat berupa kantuk dan ataksia yang merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamik obat – obat tersebut. Efek antiansietas diazepam dapat
diharapkan terjadi bila kadar dalam darah mencapai 300-400 ng/mL dan pada
kadar ini sudah terjadi efek sedasi dan gangguan psikomotor. Intoksikasi SSP
yang menyeluruh terjadi pada kadar di atas 900-1000 ng/mL. Hal yang ganjil
adalah sesekali terjadi peningkatan ansietas. Respon semacam ini terjadi
khusus pada pasien yang merasa ketakutan dan terjadi penumpulan daya
pikir sebagai akibat efek samping sedasi antiansietas.Efek yang unik juga
adalah dimana terjadi peningkatan nafsu makan yang mungkin ditimbulkan
oleh derivate benzodiazepine secara mental. Umumnya, toksisitas
klinik benzodiazepine rendah. Bertambahnya berat badan, yang mungkin
disebabkan karena perbaikan nafsu makan, terjadi pada beberapa pasien.
Banyak efek samping yang dilaporkan pasien tumpang tindih dengan dengan
gejala ansietas, oleh sebab itu anamnesis yang cermat sangat penting sehingga
dapat dibedakan apakah benar merupakan efek samping atau merupakan gejala
ansietas.

5. Anti-Insomnia
a) Pengertian
Obat Anti-Insomnia digunakan untuk mengatasi pasien yang mengalami
gangguan susah tidur. Sering disebut juga Hypnotics, Somnifacient,
Hipnotika.Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua
golongan yaitu benzodiazepine dan non- benzodiazepine.

 Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)

 Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

b) Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur). Obat yang


dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti- insomnia” yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting) Misalnya pada gangguan
anxietas.

 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya
pada gangguan depresi.

 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

c) Pengaturan Dosis

 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi


tidur.

 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan


dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya

tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat

d) Lama Pemberian

 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG”
yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.

 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena


“Psychological Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman
setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

e) Efek Samping

 Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur.


 Hati – hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan, uremia,
gangguan fungsi hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi penurunan
fungsi SSP, dan dapat memudahkan timbulnya koma. Pada pasien
usia lanjut dapat terjadi “over sedation”, sehingga resiko jatuh dan
trauma menjadi besar,yang sering terjadi adala “hip fracture”.

 Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat


anti-insomnia (waktu paruh).

f) Perhatian Khusus

 Kontraindikasi

 Sleep apneu syndrome

 Congestive Heart Failure

 Chronic Respiratory Disease

 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko


menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

6. Anti-Panik
a) Pengertian
Disebut juga sebagai : Drugs Used In Panic Disorders. Obat yang
menjadi acuan untuk antipanik adalah Imipramin, selain itu juga obat lain
seperti : Clomipramin, Alprazol, Moclobemid, Setralin, Fluoxetin,
Parocetin, dan Fluvoxamine.
b) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake
serotonin
c) Efek Samping
Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaan obat anti panik antara
lain: mengantuk, sedasi, kewaspadaan berkurang, dan Neurotoksik
d) Lama pemberian

 Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama

6- 12 bulan,kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila


kondisi penderita sudah memungkinkan

 Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala


kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis
semula diulangi selama 2 tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap
selama 3 bulan.

7. Obat Anti-Obsesif Kompulsif


a) Pengertian
Disebut juga sebagai : Drugs Used In Obsessive Compulsive
Disorders Obat anti Obsesif Kompulsif yang menjadi acuan
adalah klomipramin. Obat antikompulsi dapat digolongkan menjadi :
Trisiklik : Klomipramin SSRJ : sentralin, paroksin, Flovokamin, Fluoksetin.
b) Mekanisme Kerja
Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin sehingga gejala
mereda.
G. Peran Perawat Dalam Psikofarmaka
Perawat perlu mengetahui golongan dan jenis psikofarmaka agar dapat
mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan
mengantisipasi terjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai alternatif
terapi lainnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.terapi ini diberikan dalam
upaya mengubah perlaku pasien dan perlaku maladaktif menjadi perilaku adaktif.
(Kusumawati F & Hartono Y, 2017) .

Terapi modalitas adalah suatu bentuk terapi yang diderikan dalam upaya mengubah
perilaku pasien dan perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif baik secara fisik maupun
psikologis. berdasarkan definisi ini maka terapi modalitas dapat dilakukan secara verball,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Terapi modalitas adalah terapi utama
dalam keperawatan jiwa. jenis-jenis terapi modalitas di antaranya adalah terapi psikoanalisis
psikoterapi, terapi modifikasi perilaku, terapi kelompok, terapi rehabilitas, terapi psikodrama,
terapi lingkungan. prosedur pelaksanaan terapi ini adalah menjadikan perawat sebagai terapis
mendasarkan potensi yang dimiliki klien sebagai titik tolak terapi untuk penyempuhan. untuk
bentuk terapi modalitas klien dapat dilakukan dengan pendekatan sesuai dengan karakteristik
setiap klien serta strategi pelaksanaan, baik untuk klien maupun untuk keluarga. manfaat dari
terapi ini adalah mengembalikan perilaku klien dari yang maladaptif menjadi adaptif

B. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan pada makalah ini antara lain dalam manajemen
terapi modalitas perlu strategi yang mungkin dapat dilakukan untuk dijadikan alternati! dalam
merawat klien dengan gangguan jiwa, serta mengaplikasikan strategi pelaksanaan bagi klien
dan keluarga sehingga nantinya penyakit gangguan jiwa dapat diminalisir serta keluarga
mampu turut dalam perawatan sehingga sebisa mungkin factor predisposisi serta presipitasi
untuk menimbulkan gangguan jiwa tidak terjadi dan dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman S. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.

Keliat, Budi Anna dkk, 2014-2015. Keperawatan Jiwa, Terapi Aktivitas


Kelompok. Jakarta: EGC.

Muhith, Abdul. 2018. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.

Prabowo, 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : Universitas Diponegoro

Friedman, M.M. (2017). Buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori dan praktik.
Jakarta: EGC.

Lebow, J.L. (2017). Handbook of clinical family therapy, United States of


America: Wiley.

Maramis, W.F. (2016). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya. Airlangga


University Press.

Mueser, K.T., & Gingerich, S. (2017). The complete family guide of


schizophrenia.

Rupke, S.J., Blecke, D., & Renfrow, M. (2017). Cognitive therapy for depression.
29 Februari 2017

Stuart, G.W. (2016). Principles and practice of psychiatric nursing (9th Ed.).
St.Louis: Mosby.

Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2016). Principles and practice of psychiatric nursing
(8 Ed.). St.Louis:Mosby

Anda mungkin juga menyukai