Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN PALIATIF DAN


MENJELANG AJAL

“RESUME KEPERAWATAN PALIATIF”

Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Emmy Putri Wahyuni
2. Fitri Rahmawati
3. Muhammad Ridho
4. Neny
5. Prili Amalia Amanda
6. Putri Rahmah Jamal
7. Ramsyah
8. Rivan Firdaus
9. Sandra Ekha Diergantara
10. Wawan Wijanarko

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2018
ASUHAN KEPERAWATAN DALAM
PERAWATAN PALIATIF

A. Filosofi Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial
atau spiritual (World Health Organization (WHO), 2016).
1. Memberikan

B. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Penerapan Asuhan


Keperawatan Paliatif
1. Melakukan pengkajian dengan cermat, mendengarkan keluhan dengan
sungguh-sungguh
2. Menetapkan diagnosa/ masalah keperawatan dengan tepat
3. Merencanakan asuhan keperawatan
4. Melaksanakan tindakan/ asuhan keperawatan
5. Mengevaluasi perkembangan pasien secara cermat.

C. Menilai Perfomance Status berdasarkan Karnofsky Rating Scale


(Skala Status Penilaian Karnofski)
Karnofsky performance scale (KPS) digunakan untuk memprediksi
prognosis pasien dengan penyakit kanker terminal. Dengan menggunakan
KPS, skore 50% atau kurang pada pasien dengan kanker yang progresif
diprediksi angka harapan hidupnya dua bulan.
Mampu berpindah pada aktivitas normal Normal. Tidak ada keluhan. Tidak
100
dan mampu bekerja. Tidak ada ada bukti penyakit.
perawatan Mampu untuk melakukan aktivitas
spesial yand diperlukan. 90 normal. Tanda dan gejala penyakit
minor.
Aktivitas normal dengan effort. Ada
80
beberapa tanda dan gejala penyakit.
Tidak mampu bekerja. Mampu tinggal di Perawatan diri sendiri, tidak mampu
rumah dan perawatan sebagian besar 70 untuk berpindah pada aktivitas
kebutuhan diri. Berbagai jumlah bantuan normal atau untuk aktif bekerja.
diperlukan. Memerlukan bantuan okasional,
60 tetapi tidak mampu untuk merawat
sebagian besar kebutuhan diri.
Memerlukan bantuan considerable
50
dan perawatan medis yang rutin.
Ketidakmampuan. Memerlukan
40
perawatan spesial dan bantuan.
Ketidakmampuan berat.
30 Hospitalisasi diindikasikan
Tidak mampu merawat diri sendiri, meskipun kematian tidak imminent.
memerlukan ekuivalen perawatan rumah
sakit atau institusi. Penyakit bergerak Sangat sakit. Hospitalisasi
secara positif dan cepat. 20 dibutuhkan. Terapi suportif aktif
dibutuhkan.
Hampir mati. Proses fatal dan
10
progresif terjadi secara cepat
0 Mati.

D. Aspek Asuhan Keperawatan Paliatif


1. Kebutuhan fisik
Keluhan fisik berkurang.
2. Kebutuhan psikologi
Keamanan psikologis, kebahagiaan meningkat dan pasien dapat
menerima penyakitnya.
3. Kebutuhan sosial
Hubungan interpersonal tetap terjaga dan masalah sosial lain dapat
diatasi.
4. Kebutuhan spiritual
Tercapainya arti kehidupan yang bernilai bagi pasien dan keluarga
dalam menjalankan kehidupan rohani yang positif serta dapat
menjalankan ibadah sampai akhir hayatnya.

E. Manajemen Nyeri Kanker


a. Definisi
b. Penyebab
c. Komponen nyeri
d. Klasifikasi nyeri
e. Manifestasi nyeri
f. Terapi nyeri
1) Prinsip Penanganan Nyeri Kanker
Terdapat sejumlah pedoman penanganan nyeri kanker yang baik
dan tinjauan terbaru, semuanya mengarah pada metode World
Health Organization untuk penanganan nyeri kanker.
Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1986 dan diperbaharui
pada 1996. Metode ini memiliki lima strategi penting :
a) ‘by mouth’
b) by the clock’
c) ‘by the ladder’
d) ‘for the individual’
e) ‘attention to detail’
Prinsip yang mendasari pendekatan ini adalah pengobatan dengan
obat adalah yang utama dalam manajemen nyeri kanker’, dan
akan dibahas secara detail di bawah, tetapi opsi nonfarmakologis
juga dipertimbangkan dalam rencana manajemen. Terdapat bukti
yang kuat mendukung efektivitas radioterapi untuk menghilangkan
nyeri kanker disebabkan oleh metastasis tulang. Satu dari empat
pasien yang ditangani dengan sinar radioterapi eksternal atau
radionukleotida mengalami hilangnya nyeri secara total setelah
satu bulan pengobatan. Dan satu dari tiga pasien akan mengalami
hilangnya nyeri 50% paling tidak setelah satu bulan setelah
pengobatan.
Via oral (by the mouth) lebih baik dibanding pemberian parenteral.
Ini memungkinkan pasien dan keluarganya mampu menangani
analgesia sendiri, sederhana dan dapat dilakukan di rumah. Rute
transdermal atau rektal dapat dilakukan bila pasien mengalami
disfagia, obstruksi usus, muntah yang tidak terkontrol, pusing atau
karena pilihan sendiri. Pemberian transdermal (dengan patch)
utamanya efektif pada nyeri kanker yang kronik dan stabil. Hal ini
disukai karena pasien merasa nyaman sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup. Namun hal ini tidak bermanfaat pada kondisi nyeri
yang tidak stabil karena memerlukan waktu yang lama untuk
mencapai steady state. Infus subkutan kontinyu adalah alternatif
lain pada situasi ini dan pada akhir kehidupan, ketika pasien sudah
tidak dapat menelan.
Tabel Terapi nonfarmakologi pada nyeri kanker
Penanganan Cognitive Behavioural Therapy (CBT)
Psikologis Counselling
Supportive and Emotional Care
Music
Relaxation/hypnosis
Imobilisasi Splint
Slings
Radioterapi External Beam XRT for bone metastases
Radionucleotide untuk nyeri akibat metastasis ke tulang (e.g.,
samarium)
Pembedahan Pin ortopedik untuk fraktur patologis
Kolostomi untuk obstruksi usus maligna
Terapi fisik Fisioterapi
Manajemen limfaedema
Pemijatan
TENS
Mobilitas dan home aid
Terapi Akupuntur
Pelengkap

Analgesia untuk nyeri kanker harus diresepkan secara teratur,


bukan ketika diperlukan, PRN (per requested need). Tujuannya
adalah untuk mencegah onset nyeri, dengan pemberian “on the
clock”, dengan beberapa agen farmakokinetik berbeda. Preparat
kerja ‘lambat’ atau ‘sedang’ dosis yang dibutuhkan telah ditirasi.
Dosis breakthrough (atau rescue) dari analgesia kerja cepat dan
waktu paruh singkat harus diresepkan, berdasarkan kebutuhan dan
toleransi.
Metode yang dikembangkan WHO mendeskripsikan 3 langkah
“pain ladder”, dengan langkah 1 memberikan analgesia non opioid
pada pasien nyeri kanker ringan, langkah 2, untuk nyeri moderat
dengan opioid lemah dan langkah 3 opioid kuat untuk nyeri berat.
Medikasi tambahan juga diberikan untuk indikasi yang spesifik.
Jika penyakit kanker semakin berat dibutuhkan analgesik yang
lebih kuat yang masih dapat ditoleransi.
Individualisasi dari rencana manajemen penting dilakukan (‘for the
individual’). Meskipun terdapat batasan dosis yang
direkomendasikan dan batas dosis untuk obat pada langkah satu
dan dua, tidak ada dosis standar untuk opioid kuat. Dosis mungkin
bervariasi luas antar individu dan secara keseluruhan didasarkan
pada seberapa banyak yang dibutuhkan untuk menghilangkan
nyeri.
Waktu yang cukup harus harus dilalui bersama pasien dan keluarga
atau perawat untuk memastikan pemahaman terhadap pengobatan,
menyediakan informasi tertulis, memperhatikan gejala lain,
menjelaskan tentang efek samping dan bagaimana menanganinya
(’attention to detail’). Nasihat tentang bagaimana menghubungi tim
yang menangani jika terdapat masalah dan follow up berikutnya
harus didiskusikan.
2) Manajemen Farmakologi pada Nyeri Kanker
a) Penanganan nyeri kanker ringan (langkah 1)
Nyeri kanker ringan (1-4 pada NRS) ditangani dengan
analgesia non opioid, seperti paracetamol/asetaminofen, dan
atau NSAID. Agen ini utamanya bermanfaat untuk nyeri pada
tulang atau jaringan lunak. Tidak ada bukti yang menunjukkan
salah satu agen lebih efektif dibanding yang lainnya, dan jika
agen ini menyebabkan efek samping yang menyulitkan,
mengganti dengan analgesia non opioid lainnya mungkin
efektif.
Dosis parasetamol mungkin perlu dikurangi, atau dihindari,
pada mereka dengan disfungsi hepar yang signifikan karena
metastasis atau kemoterapi, khususnya jika terdapat riwayat
penyalahgunaan alkohol.
Toksisitas gaster karena NSAID dapat dikurangi dengan
menggunakan dalam yang singkat, atau lebih memilih selektif
cyclooxygenase-2 (COX-2) atau disertai dengan pemberian
proton pump inhibitor atau misoprostol. Trombositopenia atau
disfungsi platelet, biasanya disebabkan oleh kanker dan
pengobatannya, merupakan kontraindikasi penggunaan
NSAID, tetapi tidak dengan agen selektif COX-2. Terdapat
bukti bahwa melanjutkan penggunaan NSAID tetap bermanfaat
bahkan ketika analgesik yang lebih kuat ditambahkan.
b) Penanganan Nyeri Kanker Moderat (langkah 2)
Opioid lemah disarankan jika nyeri tidak dapat dikontrol
dengan langkah 1. Pada prakteknya, hal ini merujuk pada
sejumlah opioid potensial rendah (misalnya kodein,
dihidrokodein, dan dekstropropooxifen) atau obat yang dengan
aksi campuran misalnya tramadol. Terdapat beberapa
pertentangan tentang nilai pendekatan ini karena beberapa
alasan:
1. Kurangnya bukti bahwa penambahan opioid lemah pada
non opioid lebih baik dibanding non opioid sendiri.
2. Klasifikasi tak berdasar pada opioid ‘lemah’ dan ‘kuat’
tanpa dasar farmakodinamik
3. Batas efek (ceiling efek) dari beberapa obat pada kategori
ini dan
4. Usulan bahwa penggunaan awal morfin dosis rendah atau
opioid kuat lainnya lebih disarankan.
Tramadol adalah analgesik kerja sentral dengan kandungan
opioid dan monoaminergik. Tersedia luas di seluruh dunia dan
memiliki beberapa efek spesifik, yang membuatnya menjadi
pilihan yang paling bermanfaat sebagai obat pilihan langkah 2.
Tramadol memiliki bioavailabilitas yang baik, dengan
efektivitas yang terbukti pada nyeri berat dan utamanya efektif
pada nyeri neuropatik. Dosis standar adalah 50-400 mg per hari
dosis terbagi. Preparat kerja lambat tersedia. Profil efek
samping sama dengan opioid lainnya meskipun insiden
kontipasi rendah. Sindrom serotonin merupakan kontraindikasi
penggunaannya pada pasien pengkonsumsi monoamin oksidase
inhibitor.
Kodein juga biasanya digunakan tetapi memiliki kekurangan,
sehingga bukan merupakan pilihan. Karena kodein bukan
analgesik, tetapi hanya prodrug morfin, bergantung pada
metabolisme oleh sitokrom P450 2D6, yang bergantung pada
polimorfisme genetik enzim ini juga memiliki bioavaibilitas
oral yang bervariasi dan menyebabkan konstipasi yang
signifikan.
Ketika langkah 2 tidak cukup, direkomendasikan untuk
berganti pada langkah 3 dibanding mengkombinasikan obat
pada langkah yang sama.
c) Penanganan Nyeri Kanker Berat (langkah 3)
Opioid kuat yang paling sering digunakan pada langkah 3
adalah morfin, oksikodon, hidromorfin, methadon, fentanil dan
buprenorfin. Pethidin (meperidin) tidak direkomendasikan
untuk penggunaan yang lama karena menyebabkan akumulasi
metabolit toksik, yang menyebabkan gelisah, tremor,
mioklonus, dan kejang. Juga terdapat bukti yang terbatas
mengenai pengggunaan diamorfin (heroin), tapentadol,
dekstromoramid, dan levorpanol pada manajemen nyeri kanker.
Terdapat sejumlah ketakutan mengenai opioid kuat antara lain
kekuatiran tentang ketergantungan, sedasi berlebihan, dan
depresi pernapasan dimana semua ini ternyata tidak ditemukan.
Opioid kuat dapat dimulai kapan pun pada pasien kanker,
dilanjutkan dengan aman, dapat ditingkatkan jika dibutuhkan,
dikurangi atau dihentikan jika nyeri membaik. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa penggunaan opioid berdampak
negatif pada kelangsungan hidup pasien kanker.
Morfin telah menjadi opioid standar, pilihan pertama untuk
nyeri kanker sedang hingga berat. Beberapa tahun terakhir
disadari bahwa opioid yang tepat adalah yang bekerja baik
pada pasien, memberikan hasil yang baik, dan penggunaannya
dimengerti oleh yang memberi resep. Terdapat beberapa data
menunjukkan perbedaan penting morfin, oksikodon, dan
hidromorfin, ketika diberikan secara oral, dan untuk itu semua
obat ini dapat digunakan sebagai pilihan pertama pada langkah
3.
Morfin tersedia dalam sejumlah formula oral (termasuk kerja
cepat berbentuk cairan dan tablet, tablet lepas lambat dan
kapsul, dan suspensi lepas lambat) dan juga dapat diberikan
secara parenteral dan rektal. Tidak terdapat batas efek (ceiling
effect) yang relevan dan dosis dapat bervariasi hingga 1000 kali
lipat untuk menghilangkan nyeri. Metabolit aktif dapat
terakumulasi pada keadaan gagal ginjal dan dapat
menyebabkan toksisitas.
Oksikodon adalah opioid sintetis juga tersedia dalam sejumlah
formula oral dan injeksi. Mungkin bermanfaat utamanya pada
nyeri neuropatik dengan jumlah yang dibutuhkan untuk
mengobati (NNT) 2,5 yang sama dengan antidepresan trisiklik
dan pada nyeri viseral. Tidak terdapat metabolit yang
signifikan sehingga bermanfaat pada disfungsi, kurang
menyebabkan halusinasi dan pruritus dibanding morfin.
Hidromorfon adalah opioid semi sintetis yang lebih poten 3-5
kali dari morfin, menjadikannya bermanfaat ketika jumlah
sedikit dibutuhkan untuk infus subkutan. Juga tersedia dalam
formula oral dan injeksi. Potensial metabolit neurotoksik dapat
terakumulasi dengan penggunaan yang lama dosis tinggi pada
disfungsi renal tapi metabolit ini dapat didialisis, untuk itu
hidromorfon dapat digunakan pada pasien yang menjalani
hemodialisa.
Methadon juga bermanfaat pada nyeri kanker karena
merupakan reseptor antagonis d-aspartat (NMDA), sehingga
dapat digunakan jika nyeri neuropatik sangat menonjol.
Kekurangan utamanya adalah stigma yang menghubungkannya
dengan penyalahgunaan obat, kurangnya pedoman tentang
dosis juga waktu paruh yang panjang dan sulit diprediksi, (7-14
hari) sebelum mencapai steady state. Terdapat resiko akumulasi
dan toksisitas. Methadon dapat dipertimbangan oleh praktisi
yang berpengalaman, ketika rotasi opioid diperlukan.
Fentanyl transdermal adalah alternatif yang efektif dibanding
opioid oral lepas lambat. Level obat sistemik mungkin lebih
rendah pada pasien dengan kaheksia sehingga mengurangi
efektivitasnya, dan tidak direkomendasikan kecuali jika
kebutuhan opioid relatif stabil. Ini lebih dipertimbangkan pada
banyak pasien dan mungkin menyebabkan konstipasi yang
lebih sedikit.
Buprenorfin adalah campuran antara antagonis opioid–agonis
dan juga tersedia dalam preparat tansdermal. Tampaknya lebih
aman dibanding opioid dalam hal depresi pernapasan dan
supresi imun, menyebabkan lebih sedikit konstipasi dan tidak
terjadi akumulasi dalam keadaan gagal ginjal. Saat ini tidak
digunakan jika dosis opioid yang lebih tinggi dibutuhkan atau
jika pasien telah mengalami toleransi terhadap opioid kuat.
d) Memulai Opioid Kuat
Titrasi dari dosis awal dibutuhkan untuk pasien yang baru
menggunakan opioid kuat. Metode paling sederhana adalah
dengan memberikan dosis oral opioid kerja cepat (morfin 5
mg/oksikodon 5 mg/hidromorfin 1 mg) setiap 4 jam, dengan
dosis yang sama untuk breakthrough pain. Dosis ‘rescue’ dapat
diberikan setiap jam ketika dibutuhkan, sehingga dosis total
harian yang diperlukan untuk mengontrol nyeri dapat dihitung.
Jika kontrol nyeri tidak adekuat, dosis setiap 4 jam harus
ditingkatkan (misalnya hingga 50%). Dosis dua kali lipat saat
waktu tidur biasanya memungkinkan tidur malam yang baik.
Ketika kebutuhan 24 jam sudah stabil, dosis obat dapat
dikonversi ke formulasi oral lepas lambat (diberikan setiap 12
sampai 24 jam tergantung formulasi) atau opioid patch kuat
yang ekuivalen.
e) Efek Samping dari Opioid
Mual dan muntah adalah efek samping yang umum, dialami
hingga dua pertiga pasien selama terapi awal opioid, meskipun
biasanya mereda dengan cepat karena perkembangan toleransi
yang cepat. Ini ditangani dengan memberikan antiemetik
selama beberapa hari pertama pada awal terapi opioid
(metoklopramid atau haloperidol), tapi jika masalah ini tetap
muncul, rotasi opioid atau mengubah jalur pemberian harus
dilakukan.
Rasa kantuk yang ringan juga biasa terjadi ketika opioid kuat
dimulai atau dosisnya ditingkatkan, tapi biasanya menghilang
dalam beberapa hari dan pasien dapat melanjutkan aktivitas
normalnya termasuk pekerjaan manual, merawat anak, dan
mengemudi. Jika rasa kantuk terus berlangsung, rotasi opioid
dapat dipertimbangkan dan terdapat beberapa bukti untuk
menambahkan psikostimulan (misalnya metilfenidat).
Konstipasi adalah efek samping yang paling sering terjadi dari
pengobatan yang lama, dan terapi laksatif (produk berbasis
magnesium atau bisacodyl) perlu dilanjutkan bersama opioid
dan ini sangat ditekankan. Methylnaltrekson subkutan dan
nalokson oral (dikombinasi dengan oksikodon lepas lambat)
telah terbukti efektif dan aman pada konstipasi akibat opioid.
Kedua agen ini tidak mempengaruhi efek anlgesia atau efek
samping sistem saraf pusat.
Tabel Efek samping opioid
Sering Kadang-kadang Jarang
Mual Halusinasi Depresi pernapasan
Muntah Perubahan mood Delirium
Konstipasi Anxietas Kejang
Sedasi Pruritus Hiperalgesia
Mengantuk Mioklonus Allodinia
Gangguan kognitif Rigiditas Spasme biliaris
Miosis Mulut kering Edema pulmonal non
Penekanan batuk Stasis gaster kardiogenik
Retensi urin Bronkokonstriksi Toleransi
Ketergantungan fisik
Adiksi

Anda mungkin juga menyukai