Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

POPULASI RENTAN

OLEH

Nama Mahasiswa : Fajar Dwi Rohmad, A.Md.Kep.


NIM : 2021206203130P
Program Studi : S 1 Keperawatan

S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
LAMPUNG
POPULASI RENTAN
FAKIR MISKIN DAN GELANDANGAN

A. DEFINISI

Populasi berasal dari Bahasa latin yaitu populous ( rakyat,berarti penduduk ). Jadi
populasi adalah kumpulan indivudu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu
tertentu Komunitas pada populasi terlantar.
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat
tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat
umum.
Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan layak, orang
yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau orang yang
berpindah-pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan dan minum
disembarangan tempat.
Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna wisma merupakan
fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,
terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang dominan
mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di
Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan
ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk.
Terbatasnya lapangan pekerjaan, pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka
banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi
gelandangan. Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok yang
terisolasi, terpinggirkan, tidak beruntung dan kelompok rentan.
Definisi pemerintah tentang gelandangan atau tuna wisma yang dapat diterima secara luas
pada saat sekarang adalah orang yang kekurangan suatu tempat tinggal permanen pada
malam hari, atau yang memiliki tempat tinggal hanya pada saat malam hari
sebagai tempat bermukim sementara seperti pada fasilitas publik atau tempat– tempat
pribadi / swasta yang tidak dirancang sebagai akomodasi tempat tidur bagi manusia
(Situmorang, 2008 ).
Tunawisma atau gelandangan ada yang berusia produktif, ada pula yang lanjut usia.
Tunawisma atau gelandangan lanjut usia adalah orang atau lanjut usia yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah
kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau
berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai
pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus,
lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan,
atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau
bekerja sebagai pemulung Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi,
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya menjamin nasib
kaum ini. Namun Undang-Undang belum dapat terlaksanakan di seluruh lapisan
masyarakat, dikarenaka bahwa kebijakan pemerintah selama ini hanyalah kebijakan yang
menyentuh dunia perkotaan secara makroskopis dan bukan mikroskopis.
Pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan
mekanisme lanjutan kepada para stakeholder sehingga terkesan demi menjadikan sesuatu
lebih baik, mereka mengorbankan hak-hak individu orang lain.

B. PREVELENSI
Penanganan masalah gelandangan dilakukan dengan melibatkan Dinas Sosial beserta
Satuan Polisi Pamong Praja yaitu dengan melakukan razia, kemudian yang tertangkap
dilakukan pembinaan serta pelatihan ketrampilan, dan dikirim ke tempat asal mereka.
Masalah gelandangan masih relatif tinggi, hal ini dibuktikan dengan data pada tahun
2004-2009 jumlah populasi gelandangan dan fakir miskin di Indonesia tercatat 36,10 juta,
sedangkan tahun 2009 berjumlah 32, 5 juta orang (Badan Pusat Statistik, Februari 2009)
Menurut data Dinas Sosial di seluruh Indonesia yang dihimpun Kementerian Sosial
(Kemensos), angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada 2017 ada
sebanyak 23.595 pengemis dan 30.019 gelandangan. Sedangkan data PMKS 2018, ada
sebanyak 22.797 pengemis dan 56.785 gelandangan. Dari angka tersebut, dapat
disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 26.766 orang gelandangan dari 2017 ke
2018. Kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Edi Suharto,
sebetulnya ada empat faktor permasalahan adanya PMKS, Pertama adalah kemiskinan,
tingkat pendidikan, rendahnya keterampilan dan moralitas," Jumlah anak telantar masih
sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut, jumlahnya mencapai 4,1 juta
anak, dan jumlah itu bertambah. Kondisi tersebut mencerminkan amanat Konstitusi agar
fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara belum sepenuhnya terwujud. Bahkan,
Kemsos juga menyebut sedikitnya 35.000 anak mengalami eksploitasi. Keberadaan anak-
anak telantar tersebut, antara lain masih minimnya rumah singgah atau Rumah
Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Belum semua provinsi memiliki RSPA.
Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar tersebut
mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini
tercatat masih relatif tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan
kesejahteraan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Data terbaru yang dirilis secara
resmi oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia mengenai jumlah anak jalanan pada tahun 2007 di seluruh Indonesia mencapai
104.497 anak. Provinsi dengan jumlah anak jalanan terbanyak berturut-turut adalah Jawa
Timur, yaitu sebanyak 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307 anak, dan Nusa
Tenggara Timur 11.889 anak, sedangkan 3 provinsi dengan jumlah anak jalanan paling
sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan
Kepulauan Riau 186 anak.12 Data tersebut adalah data yang paling baru yang dirilis
resmi, dan untuk Tahun 2014 ini belum ada data terbaru yang dirilis secara resmi oleh
kementrian manapun terkait dengan jumlah anak jalanan. Dalam sebuah wawancara
dengan salah satu media cetak nasional pada tahun 2011 Menteri Sosial Dr. Salim Segaf
Al-Jufri, M.A menyatakan bahwa saat itu jumlah anak jalanan Indonesia mencapai
230.000 anak namun, belum ada rilis resmi atas data yang mencengangkan tersebut
terkait peningkatan jumlah anak jalanan Indonesia yang sangat besar.
Kota Makassar yang merupakan satu dari empat kota di Indonesia telah menerapkan
Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan namun berdasarkan data jumlah pengemis serta
gelandangan sekitar 42.986 orang.

C. KARAKTERISTIK POPULASI TERLANTAR

Karakteristik dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu :


1. Tidak memiliki tempat tinggal Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini mereka tidak
memiliki tempat hunian atau tempat tinggal mereka ini biasa mengembara di tempat
umum.
2. Hidup di bawah garis kemiskinan, Para gepeng mereka tidak memiliki pengahsialn
tetap yang bis amenjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk sehari hari saja
mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3. Hidup dengan penuh ketidak pastian, Para gepeng mereka hidup mengelandang dan
mengemis di setiap harinya mereka ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit
mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri
yaitu BPJS untuk berobat dan lain lain.
4. Memakai baju yang compang camping, Gepeng bisanya tidak pernah mengunakan baju
yang rapi atau berdasi melaikan baju yang kumal dan dekil.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERHADAP POPULASI


TERLANTAR

1. faktor ekonomi (kurangnya lapangan kerja, rendahnya pendapatan perkapita dan tidak
tercukupi kebutuhan hidup); daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak
memungkinkan untuk pengolahan lahan;
2. faktor sosial, arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi
masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial;
3. faktor pendidikan, relatif rendahnya pendidikan sehingga kurangnya bekal ketrampilan
untuk hidup layak dan kurangnya bekal pendidikan informal dalam keluarga;
4. faktor psikologis, adanya perpecahan dalam keluarga dan keinginan untuk melupakan
masa lalu yang menyedihkan serta kurangnya semangat kerja;
5. faktor kultural, pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan
hambatan mental;
6. faktor lingkungan, khususnya pada tuna wisma yang berkeluarga atau mempunyai anak
secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan tuna wisma;
7. faktor agama, kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya
iman membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha.

E. STATUS KESEHATAN TUNAWISMA

Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua pihak untuk
menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal. Tuna wisma juga merupakan
klien yang patut mendapat perhatian khusus bagi perawat kesehatan komunitas. Teori
Perawatan Diri banyak digunakan dalam ilmu keperawatan untuk memberikan kerangka
kerja konseptual sebagai panduan praktik dan membangun pengetahuan perawatan diri
melalui riset. Orem mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang
berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini juga digunakan dalam
konteks tuna wisma oleh banyak ahli. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan
konsep Teori Perawatan Diri Orem, mendeskripsikan kondisi perawatan diri tuna wisma,
dan mengaplikasikan Teori Perawatan Diri Orem dalam konteks tuna wisma. Tuna
wisma, dengan segala kondisi lingkungan dan kemampuan yang seadanya, melakukan
perawatan diri dengan seadanya pula. Hal ini menimbulkan banyak masalah kesehatan
yang muncul pada populasi tersebut. Setiap warga negara berhak atas kesehatan tidak
terkecuali tuna wisma. Kesehatan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah dan
semua pihak untuk menciptakan derajat kesehatan warga negara yang optimal.

F. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN


MASALAH KESEHATAN TUNAWISMA

1.Kemiskinan, Antara lain : makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi,
persediaan air yang kurang, tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2.Pendidikan yang rendah, kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi
tergantung dari kemampuan membiayai.
3.Kawin muda, hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah
diusia tertentu diangap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-
cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawab dan diserahkan anak wanita
tersebut kepada suaminya.
4.Seks bebas. Dari perilaku seksual usia dini anak jalanan perempuan, yang mulai seks
bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahundan ada yang melakukan
dengan saudaranya sendiri.

POPULASI RENTAN
REMAJA HAMIL (KTD)

A. DEFINISI

Kehamilan dapat menjadi dambaan, tetapi juga dapat menjadi suatu malapetaka apabila
kehamilan itu dialami oleh remaja yang belum menikah. Kehamilan pada masa remaja
mempunyai risiko medis yang cukup tinggi, karena pada masa ini, alat reproduksi belum
cukup matang untuk melakukan fungsinya. beberapa alasan mengapa kehamilan remaja dapat
menimbulkan risiko antara lain rahim remaja belum siap untuk mendukung kehamilan.
Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun, karena pada usia ini
fungsi hormonal melewati masa kerjanya yang maksimal. Rahim pada seorang wanita mulai
mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan dimulainya menstruasi.
Selain itu sistem hormonal remajabelum terkoordinasi dengan lancar dapat dilihat dari siklus
menstruasi yang belum teratur serta kematangan psikologis remaja untuk menghadapi proses
persalinan yang traumatik dan untuk mengasuh anak/memelihara belum cukup. (kusmiran,
2014) Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja merupakan salah satu dampak dari
perilaku seks bebas. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa dari 200 juta
kehamilan pertahun, 38 persen diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan.
World health statistic tahun 2014 menujukkan bahwa angka kejadian kehamilan tidak
diinginkan dikalangan remaja wanita usia 15 sampai 19 tahun adalah 49 per 1000 perempuan,
angka kejadian kehamilan remaja di Indonesia adalah 48 per 1000 perempuan. Angka ini
tergolong tinggi dibandingkan malaysia yaitu 6 per 1000 perempuan dan Thailand 41 per
1000 perempuan.Australian National University (ANU) bersama Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia (UI) tahun 2010/2011 juga melakukan penelitian terhadap 3.006
remaja dalampenelitian di Jakarta, Tangerang dan Bekasi didapatkan hasil sebesar 20,9
persen remaja usia 17-24 tahun hamil sebelum menikah dan 38,7 persen remaja mengalami
kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah.(WHO, 2011). Berdasarkan data
yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai
2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Seperti di Surabaya
tercatat 54%, Bandung 47%, dan 52% di Medan. Tingginya angka aborsi di kalangan remaja
ini seringkali dikaitkan dengan kebebasan seks dan kegagalan KB.(11) Hasil penelitian Elisa
Happy (2015) menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kehamilantidak diinginkan pada
remaja adalah perilaku seksual berisiko, pengetahuan yangkurang tentang kesehatan
reproduksi dan seksualitas sikap remaja terhadapseksualitas yang permisif, akses media
informasi tentang pornografi, sikap orangtua, dan perilaku teman dekat.(Happy, 2015)

B. PENYEBAB TERJADINYA KTD

 Pemerkosaan
 Seks bebas atau seks pranikah
 Kegagalam memakai alat kontrasepsi
 Kepercayaan terhadap mitos – mitos seperti berhubungan seksual sekali tidak akan
menyebabkan kehamilan, minum alkohol dan lompat-lompat pasca berhubungan
seksual dapat menyebabkan sperma tumpah kembali sehingga tidak akan
menyebabkan kehamilan.
 Pengaruh lingkungan.

C. DAMPAK KTD PADA REMAJA

1. Tekanan psikologis (sanksi sosial)


2. Putus sekolah
3. Keretanan terjadinya gangguan pada kesehatan organ reproduksi
4. Perasaan malu hingga depresi
5. Sensitif atau mudah marah
6. Peningkatan kasus aborsi tidak aman yang mengancam kesehatan akibat terjadinya
infeksi yang dapat meng-akibatkan peradangan dan risiko kemungkinan terjadinya
mandul bahkan kematian

D. PENCEGAHAN

1. Peran orang tua

 Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak dini


 Membekali anak dengan dasar moral dan agama
 Berkomunikasi yang baik dan efektif antara orangtua dan anak
 Menjadi tokoh panutan bagi anak

2. Peran pendidik/guru

 Memberikan informasi yang benar bagi siswanya terkait masalah yang rentan
dihadapi remaja
 Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan
ekstrakulikuler
 Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman dan aman bagi siswa
 Bersahabat dengan siswa
 Meningkatkan deteksi dini terjadinya perilaku yang menyimpang pada remaja

3. Peran media

 Sajikan tayangan yang mendidik bukan menjerumuskan


 Tidak menayangkan sinetron atau film yang cenderung memprovokasi remaja untuk
melakukan tindakan menyimpang termasuk seks bebas
 Bertanggung jawab menyajikan tayangan yang layak untuk ditonton bagi remaja
 Adanya rubric khusus dalam media masa (cetak, elektronik) yang bebas biaya khusus
untuk remaja

4. Peran remaja itu sendiri

 Ikuti kegiatan – kegiatan yang positif


 Perbanyak informasi yang penting dan berguna untuk pengembangan diri
 Lebih berhati – hati dalam menyerap informasi dari sumber yang tidak jelas
 Hati – hati dalam bergaul dan memilih teman, karena bisa jadi teman dekat yang
dapat menjerumuskan untuk melakukan seks bebas sehingga berujung pada KTD
POPULASI RENTAN
PEKERJA MIGRAN

A. LATAR BELAKANG

Meningkatnya jumlah pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri merupakan salah satu
dampak kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. Oleh karena itu, menjadi pekerja di
luar negeri merupakan salah satu solusi yang ditempuh oleh sebagian warga negara, sebagai
upaya memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Negara juga diuntungkan oleh keberadaan
para pekerja Indonesia di luar negeri yang telah menjadi penyumbang devisa nomor dua
terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). Berdasarkan data Bank Indonesia, devisa
negara yang dihasilkan melalui penempatan pekerja Indonesia di luar negeri pada tahun 2008
mencapai USD 6,6 Milyar, tahun 2009 USD 6 Milyar, dan sampai Semester I tahun 2010
USD 3,3 Milyar. Setiap tahun, sekitar 450.000 warga negara Indonesia (WNI) berangkat ke
luar negeri sebagai pekerja. Tidak kurang dari empat juta WNI yang bekerja sebagai pekerja
Indonesia di luar negeri, 70 persen di antaranya adalah perempuan, dan mayoritas bekerja di
sektor domestik. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 60 persen dikirim dengan tidak melalui
prosedur atau ilegal. 1 Pengiriman pekerja Indonesia ke negara lain, belum disertai dengan
adanya sistem penempatan dan perlindungan yang kuat dan menyeluruh, yang dapat
menjawab persoalan calon pekerja Indonesia di luar negeri/pekerja Indonesia di luar negeri,
baik selama prapenempatan, penempatan, dan purna penempatan. Lemahnya sistem
perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri, membuka peluang terjadinya praktik
perdagangan manusia. Penempatan pekerja Indonesia ke luar negeri selama ini telah menjadi
salah satu modus perdagangan manusia, yang menjadikannya sebagai korban eksploitasi, baik
secara fisik, seksual, maupun psikologi

Pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri digolongkan atas kepemilikan dokumen, yaitu
pekerja Indonesia berdokumen dan tidak berdokumen. Pekerja Indonesia yang memiliki
dokumen lengkap dan sah serta direkrut melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
merupakan pekerja Indonesia berdokumen13, sementara pekerja Indonesia tidak berdokumen
adalah pekerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen lengkap atau dokumen jati dirinya
dipalsukan dan atau yang direkrut dengan tidak melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan14. Selain itu juga dapat dikelompokkan berdasarkan Profesi; a) pekerja Indonesia
yang memiliki keterampilan (skilled) dan b) pekerja Indonesia tidak memiliki keterampilan
(unskilled). Hak dan Kewajiban Pekerja Indonesia

Hak merupakan tuntutan yang sifatnya asasi yang dimiliki oleh semua orang. Seseorang
dapat menuntut sesuatu yang menjadi kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan,
moralitas dan legalitas. Setiap manusia mempunyai hak untuk berbuat, menyatakan pendapat,
memberikan sesuatu kepada orang lain dan menerima sesuatu dari orang lain atau lembaga
tertentu.15 Dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal
yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah
ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk
menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang
wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan)16. Dalam upaya
perlindungan pekerja Indonesia, Negara harus memahami apa yang menjadi hak dan
kewajiban pekerja Indonesia agar tujuan perlindungan dapat terlaksana dengan baik sehingga
tercapai kesejahteraan bagi pekerja Indonesia dan anggota keluarganya. Dalam Konvensi
Internasional Tahun 1990 tentang perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya diyakini bahwa hak buruh migran dan anggota keluarganya belum diakui secara
memadai dimanapun juga, dan karenanya membutuhkan perlindungan Internasional yang
layak. Konvensi ini dapat dijadikan salah satu referensi karena bersifat multilateral yang
mengikat bagi Negara yang ikut meratifikasi. Konvensi Internasional 1990 tidak saja
memberikan perlindungan terhadap hak buruh migran itu sendiri, namun juga melindungi
seluruh hak anggota keluarga buruh migrant.
Perlindungan hak yang diberikan kepada buruh migran itu seperti tersebut dibawah ini: a)
Hak buruh migran sesuai dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh
Migran dan Anggota Keluarganya. Setiap buruh migran dan anggota keluarganya memiliki
hak-hak yang meliputi,
1) Hak untuk bekerja di luar negeri
2) Hak untuk memasuki dan tinggal di negara tujuan
3) Hak atas hidup yang harus dilindungi oleh hukum
4) Hak untuk tidak dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
5) Hak untuk tidak diperbudak
6) Hak untuk tidak diwajibkan melakukan kerja paksa atau kerja wajib
7) Hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama
8) Hak untuk berpendapat
9) Hak atas kebebasan dan keamanan
10) Hak atas perlindungan yang efektif oleh Negara terhadap tindak kekerasan, kerugian
fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun perseorangan,
kelompok ataupun lembaga
POPULASI RENTAN
PENDERITA GANGGUAN JIWA

A. DEFINISI

Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental disorder) atau
gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder)
dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental disorder)
atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara
klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress)
atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi
perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam
hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian
dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir
sebagai berikut:
1)   Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom
atau pola psikologik
2)   Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3)   Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan
sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental,
disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap
stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau
struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80).
Pendapat yang 5 sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan
diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan
ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau
organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
1)   Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk
pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
a)    Gangguan mental organik dan simtomatik;Gangguan mental organik adalah
gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau
otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik
adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari
penyakit atau gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
b)   Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang
disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau
tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).
c)    Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah
gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang
tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46).
Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan
pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu
tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
d)   Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan
(mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek,
biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya),
atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
e)    Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan neurotik,
somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa
yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
f)    Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat
badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim,
tth:90).
g)   Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang
bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan
ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan
dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim, tth:102).
h)   Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat
keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
i)     Gangguan perkembangan psikologis. Gangguan yang disebabkan
kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat dengan
kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus
menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud
“yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap
sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
j)     Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas
berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas
atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan
(hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam
situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim, tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-
16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki 7
rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi
kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal.
Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-
anak.
2.    Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain
dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
3.    Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan
mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang
berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang
berat.
4.    Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama
gangguan gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat
ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yang
umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
5.    Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk
gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari
kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola
penanggulangan masalah yang maladaptif. f) Gila (insanity), merupakan
istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu secara mental
tidak mampu untuk mengelolah masalahmasalahnya atau melihat
konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada
gangguan mental yang serius terutama penggunaan istilah yang
bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak
pidana di hukum atau tidak.

2)   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder)


Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang
perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi
kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat 8
Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang
mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam tiga
faktor, yaitu:
a)   Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan
proses dementia.
b)   Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi
psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan,
kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang
sakit secara psikis, yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental
dan desintegrasi kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan
dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang
terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh
lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c)   Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi sangat
kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan
sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang mengalami
frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta
menderita macam-macam gangguan psikis.
3)   Pencegahan Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing
mental yangsakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat
agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu
tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
a)   Pengertian Pencegahan Gangguan Mental
Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai
upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari
lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno,
1994:205). Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa
pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan
manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan
atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian
pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri
dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi
gangguan mental sesuai dengan kemampuannya.
b)   Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai
dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada
dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan
mental. Prinsipprinsip yang dimaksud adalah:
1.    Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri Orang yang memiliki
kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun
hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta
hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara
penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri
(Yahya, 1993:83).
2.     Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah dalam
hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya,
1993:84).
3.    Pewujudan diri (aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses pematangan
diri dapat berarti sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan
memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta
meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar
terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan
memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya pencegahan
dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi untuk menjadikan
dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah pada kemampuan
dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan sebagainya.
4.    Kemampuan menerima orang lain 10 Melakukan aktivitas sosial dan
menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di
samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan mental, juga
memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan
mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan
kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi
setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan
bahwa mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan
mereka yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih
mudah mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai
upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin menghindarinya, yaitu
dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain
sebagainya.
5.    Agama dan falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai
therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga
berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan
gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi
kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama,
berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental
secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan
prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan
ketentuannya. Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah
hidup, maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah
(Fahmi, 1982:92).
6.    Pengawasan diri Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka
sedapat mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat
maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar
adalah orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu
menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia
meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai
keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi,
1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan
seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma
dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk
mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan
kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar
menjadi baik.

POPULASI RENTAN
KORBAN KEKERASAN DAN PENGABAIAN
(PERDAGANGAN ORANG)

A. LATAR BELAKANG

Perdagangan manusia telah menjadi ancaman serius bagi Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kian hari angka korban perdagangan manusia tercatat semakin bertambah, sehingga
fenomena ini menjadi penting untuk dipahahi masyarakat dan menjadi fokus permasalahan
yang harus segera dituntaskan oleh pihak berwajib. Kewaspadaan seluruh lapisan masyarakat
dalam mengenali topeng perdagangan manusia perlu ditingkatkan demi menekan angka
korban trafficking di Indonesia yang masih sulit dikendalikan. Sebagian besar responden
(65,24%) mendapat informasi tentang perdagangan manusia melalui televisi yaitu acara
berita dan tayangan sinetron. Responden pun sebagian besar mengetahui bahwa jenis dari
perdagangan manusia adalah prostitusi, padahal ada yang lain.

Hal seperti ini rawan menyebabkan terjadinya perdagangan manusia yang tidak dapat
tercegah karena ketidaktahuan masyarakat.

Perdagangan manusia dapat terjadi pada siapapun, baik perempuan, anak-anak, dan bahkan
laki-laki. Diluar dugaan kita, Indonesia rupanya merupakan negara yang aktif untuk
perdagangan pekerja migran laki-laki, perempuan, dan anak, serta memberikan kontribusi
besar bagi pekerja migran tidak berdokumen di kawasan Asia Tenggara. Namun, apa
sebenarnya perdagangan manusia itu?

Mengenal Perdagangan Manusia


Dalam UU No. 21 tahun 2007, definisi dari perdagangan manusia adalah sebagai tindakan
perekrutan, transportasi, perlindungan, pemindahan atau penerimaan orang-orang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penangkapan, pemalsuan, penipuan
dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau manfaat, sehingga untuk
mendapatkan persetujuan dari orang yang mengendalikan orang lain, baik yang dilakukan di
dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan eksploitasi
orang. Bentuk-bentuk perdagangan manusia yang sering dijumpai adalah pelacuran dan
eksploitasi seksual, termasuk eksploitasi seksual anak (pedofilia); menjadi pekerja migran,
baik legal maupun ilegal; adopsi anak-anak; pekerja jermal; pekerja rumah tangga; pengemis
mereka yang ada di industri pornografi; distribusi obat; perdagangan organ; sebagai penari,
pengantin wanita asing; serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Dalam sejarah perkembangan kejahatan, perdagangan perempuan dan anak-anak termasuk


dalam kejahatan terorganisir bahkan melibatkan kejahatan transnasional terorganisir. Jika
kejahatan perdagangan manusia sudah transnasional, maka mitigasi juga harus transnasional
dalam bentuk kerja sama komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan
multilateral), baik preventif maupun represif. Masalah-masalah kompleks dalam fenomena
perdagangan manusia menyebabkan banyak korban mengalami trauma atau bahkan gangguan
stres pasca-trauma. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang selamat dari
perdagangan manusia melaporkan gejala kecemasan dan depresi berikut: kegelisahan atau
kegoncangan di dalam (91%), teror / mantra panik (61%), ketakutan (85%), perasaan tertekan
atau sangat sedih (95%), dan keputusasaan tentang masa depan (76%). Selain itu, individu
dengan riwayat traumatis pelecehan fisik dan/atau seksual juga ditemukan memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk pengembangan gangguan disosiatif.

Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia Konteks Global Berdasarkan literatur, perdagangan


manusia di tingkat global dapat dibedakan dalam beberapa bentuk : (1) berdasarkan tujuan
pengiriman; (2) berdasarkan korbannya; dan (3) berdasarkan bentuk eksploitasi. 1.
Berdasarkan tujuan pengiriman Berdasarkan tujuan pengiriman, perdagangan manusia dapat
dibedakan atas perdagangan dalam negeri (internal-trafficking) dan perdagangan manusia
antar negara/lintas batas (international trafficking). Perdagangan internal biasanya
berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar dalam satu negara.
Sedangkan perdagangan antar negara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara
yang lain. Model ini berkaitan dengan isu imigrasi. Orang masuk dari dan ke satu negera
biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi ada juga yang melalui jalur tidak resmi.

Berdasarkan korbannya Berdasarkan korbannya perdagangan manusia dapat dibedakan atas


perdagangan perempuan, anak dan pria. Gambaran tentang hal ini dapat dilihat dalam bagian
berikut. a. Perdagangan perempuan. Perempuan adalah kelompok yang paling rentan menjadi
korban perdagangan manusia, khususnya untuk eksploitasi seksual, perbudakan domestik,
dan perkawinan paksa (Kathryn, 2009).

b. Perdagangan anak Anak adalah kelompok yang paling rentan diperdagangnkan (Meadows,
2010; Reid & Jones, 2011). Beberapa faktor yang menyebabkan anak rentan diperdagangkan
adalah nilai yang berlaku di masyarakat dimana anak diwajibkan “berbakti” kepada keluarga,
kondisi anak yang lari dari rumah karena beberapa sebab, rasa kesepian tinggal di rumah,
pengaruh negatif pergaulan dengan teman sebaya, dan kontak dengan hiburan malam.
(Syamsuddin & Azman, 2013)

Dampak-Dampak Perdagangan Manusia Para korban perdagangan manusia mengalami


banyak hal yang sangat mengerikan.Perdagangan manusia menimbulkan dampak negatif
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban.Tidak jarang, dampak negatif hal
ini meninggalkan pengaruh yang permanen bagi para korban.
Dari segi fisik, korban perdagangan manusia sering sekali terjangkit penyakit.Selain karena
stress, mereka dapat terjangkit penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai
dampak besar terhadap kesehatanTidak hanya penyakit, pada korban anak-anak seringkali
mengalami pertumbuhan yang terhambat. Sebagai contoh, para korban yang dipaksa dalam
perbudakan seksual seringkali dibius dengan obat-obatan dan mengalami kekerasan yang luar
biasa. Para korban yang diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik
akibat kegiatan seksual atas dasar paksaan, serta hubungan seks yang belum wakttmya bagi
korban anak-anak. Akibat dari perbudakan seks ini adalah mereka menderita
penyakitpenyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, termasuk diantaranya adalah
HIV/AIDS. Beberapa korban juga menderita cedera permanen pada organ reproduksi
mereka.13 Dari segi psikis, mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat apa
yang mereka alami. Seringkali para korban perdagangan manusia mengasingkan diri dari
kehidupan sosial.Bahkan, apabila sudah sangat parah, mereka juga cenderung untuk
mengasingkan diri dari keluarga.Para korban seringkali kehilangan kesempatan untuk
mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Sebagai bahan perbandingan, para
korban eksploitasi seksual mengalami luka psikis yang hebat akibat perlakuan orang lain
terhadap mereka, dan juga akibat luka fisik serta penyakit yang dialaminya. Hampir sebagian
besar korban “diperdagangkan” di lokasi yang berbeda bahasa dan budaya dengan mereka,
hal itu mengakibatkan cedera psikologis yang semakin bertambah karena isolasi dan
dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang sangat buruk
serta terampasnya hak-hak mereka dimanfaatkan oleh “penjual” mereka untuk menjebak para
korban agar terus bekerja. Mereka juga memberi harapan kosong kepada para korban untuk
bisa bebas dari jeratan perbudakan.

Berikut merupakan upaya pemerintah dalam upaya pencegahan dan mengatasi human
trafficking: 1. Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). 2. Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007
tentang PTPPO. 3. Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2003). 4. Pembentukkan Pusat
Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan
terpadu bagi saksi atau korban TPPO). 5. Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002). 6. Pembentukkan Gugus Tugas
PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun
2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO)

POPULASI RENTAN
PENDERITA PENYAKIT MENULAR ( PMS/HIV DAN TB )

A. DEFINISI

Infeksi menular seksual (IMS) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di Negara
berkembang, IMS akan menyebabkan individu rentan terhadap infeksi Human
Immunodeficiency Virus(HIV). Berdasarkan data Centres for Disease Control and Prevention
(CDC) tahun 2014, diperkirakan terdapat sekitar 20 juta kasus IMS baru di Amerika Serikat
tiap tahunnya, 50% diantaranya mengenai populasi usia muda (15-24 tahun).Infeksi menular
seksual juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti infertilitas, kehamilan ektopik,
abortus spontan, dan berat badan bayi lahir rendah, meningkatkan risiko terinfeksi HIV/AIDS
dan kanker.

Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan infeksi menularseksual Infeksi


menular seksual dapat menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas terutama di negara
sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas. Secara
langsung memiliki dampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi, dan secara tidak
langsung berperan dalam mempermudah transmisi seksual infeksi HIV dan dampaknya
terhadap perekonomian perorangan maupun nasional. 1,2 Spektrum gangguan kesehatan
yang ditimbulkan IMS mulai dari penyakit akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri
serta gangguan psikologis. Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat
berkemih (disuria) pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut ataupun kronis pada
perempuan. Apabila tidak diobati, infeksi oleh T.pallidum, meskipun tidak nyeri pada
stadium awal, namun dapat menimbulkan berbagai kelainan neurologis, kardiovaskular serta
gangguan tulang di kemudian hari, serta abortus pada perempuan hamil dengan infeksi akut.
Chancroid dapat menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat dan bila terlambat diobati dapat
menyebabkan destruksi jaringan, terutama pada pasien imunokompromais. Infeksi herpes
genitalis menimbulkan gangguan psikoseksual karena bersifat rekurens dan menimbulkan
rasa nyeri, terutama pada pasien muda. Biaya yang dikeluarkan, termasuk biaya langsung
baik medis dan non medis, serta biaya tidak langsung akibat waktuyang hilang untuk
melakukan aktivitas produktif seperti waktu untuk pergi berobat, waktu tunggu di sarana
pelayanan kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan tenaga kesehatan. 3,13 2.2.2. Mencegah
infeksi Human Immunodeficiency Virus Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi
risiko penularan HIV melalui hubungan seksual, terutama pada populasi yang memiliki
banyak pasangan seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan
bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat
melakukan hubungan seksual tanpa pelindung antara seorang yang telah terinfeksi IMS
dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau seseorang dengan riwayat
pernah menderita ulkus genitalis diperkirakan meningkatkan risiko tertular HIV 50-300 kali
setiap melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. 1,2 2.2.3.
Mencegah komplikasi serius pada perempuan 8 Infeksi menular seksual merupakan penyebab
kemandulan yang sering terjadi, terutama pada perempuan. Sekitar 10%-40% perempuan
dengan infeksi Chlamydia yang tidak diobati akan mengalami penyakit radang panggul
(PRP). Kerusakan tuba falopii pasca infeksi berperan dalam kasus kemandulan perempuan
(30%-40%).2 Perempuan dengan PRP kemungkinan 6-10 kali mengalami kehamilan ektopik
dibandingkan dengan yang tidak menderita PRP, dan 40%-50% kehamilan ektopik
disebabkan oleh PRP yang diderita sebelumnya. Pencegahan infeksi HPV akan menurunkan
angka kematian perempuan akibat kanker serviks, yang merupakan kanker terbanyak pada
perempuan. 3 2.2.4. Mencegah efek kehamilan yang buruk Infeksi menular seksual yang
tidak diobati, seringkali dihubungkan dengan infeksi kongenital atau perinatal pada neonatus,
terutama di daerah dengan angka prevalensi IMS yang tinggi. Wanita hamil dengan sifilis
dini yang tidak diobati, sebanyak 25% akan mengakibatkan janin lahir mati dan 14%
kematian neonatus, dan menyebabkan kematian perinatal sebesar 40%. Kehamilan pada
perempuan dengan infeksi gonokokus yang tidak diobati, sebesar 35% akan menimbulkan
abortus spontan dan kelahiran prematur, dan sampai 10% akan menyebabkan kematian
perinatal. Apabila tidak ada upaya pencegahan, 30% bayi yang lahir dari ibu dengan
klamidiosis tanpa diobati, akan mengalami oftalmia neonatorum yang dapat mengakibatkan
kebutaan. 1,2 2.3. Program Pencegahan 2.3.1.
Kegiatan promosi kesehatan Strategi pemberdayaan dan promosi dalam upaya pengendalian
IMS, HIV dan AIDS didasari atas 3 (tiga) strategi dasar promosi kesehatan, yaitu Gerakan
Pemberdayaan sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Bina Suasana dan Advokasi.
Strategi tersebut harus dikombinasikan dengan semangat dan dukungan dari pasangan.
Seluruh strategi tersebut diarahkan agar masyarakat mampu mempraktekkan perilaku
mencegah dan mengatasi masalah kesehatannya. 4,13 9 2.3.1.1. Pemberdayaan masyarakat
Merupakan proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan
mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran memiliki
pengetahuan, sikap, dan mempraktekan perilaku yang diharapkan. Sasaran dari
pemberdayaan dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS adalah masyarakat umum,
khususnya individu kelompok usia15-24 tahun agar tidak tertular IMS dan HIV-AIDS, serta
mencegah kelompok sasaran yang berperilaku risiko tinggi agar tidak terkena HIV-AIDS. 14
Program intervensi perubahan perilaku Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, secara
umum intervensi dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok besar yakni: 1) Intervensi Perilaku
dan 2) Intervensi Biomedis. Intervensi, memiliki makna memasukkan sesuatu di antara satu
hal dengan hal lain. Misalnya, menengahi antara layanan kesehatan dengan pasien. 15
Asumsi utama dari sebagian besar intervensi adalah untuk mengurangi atau menekan biaya
ekonomi dan sosial yang ditanggung jika intervensi tidak dilakukan atau dibiarkan begitu
saja. Intervensi, khususnya perubahan perilaku dibutuhkan agar setiap orang, terlebih
populasi berperilaku risiko tinggi dapat terhindar dari IMS/HIV. Intervensi agar orang yang
berperilaku risiko tinggi 11 memahami cara-cara melindungi diri, sehingga terhindar dari
penularan. Dalam hal ini pencegahan atas risiko yang lebih buruk lebih diutamakan,
mengingat beberapa pertimbangan sebagai berikut 13 : a. HIV belum dapat disembuhkan,
sehingga mencegah agar tidak menjadi HIV positif sangatlah menguntungkan dibanding
mengatasi masalah yang muncul menjadi positif. b. Jika telah positif HIV, untuk
mempertahankan kualitas hidup yang baik, maka pada tingkat tertentu harus mengkonsumsi
ARV. ARV adalah obat yang harus diminum seumur hidup. Dengan demikian biaya ekonomi
yang harus ditanggung untu menyediakan obat agar dapat diminum secara teratur harus
ditanggung seumur hidup pula. c. Stigma masih melekat kuat pada orang-orang yang telah
terinfeksi HIV, sehingga biaya psikososial yang harus ditanggung pun sangat besar.
Intervensi Perubahan Perilaku adalah kombinasi berbagai kegiatan yang terencana secara
strategis berkaitan dengan kebutuhan kelompok tertentu dan dikembangkan dengan
kelompok itu untuk membantu mengurangi perilaku berisiko dan rentan pada penularan IMS
dan HIV denga menciptakan lingkungan yang mendukung untuk perubahan individu dan
kolektif. Tujuan intervensi perubahan perilaku adalah mengurangi perilaku berisiko serta
mempertahankanperilaku aman dengan menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan
perilaku individu dan kolektif. Sementara itu tujuan khusus intervensi perubahan perilaku,
terutama untuk populasi yang dianggap paling berisiko (Most at Risk Population/MARP)
terhadap penularan HIV, adalah mendorong perubahan perilaku yang bermakna terutama
dalam hal perubahan perilaku untuk melakukan hubungan seks aman (penggunaan kondom)
dan perubahan perilaku untuk mengakses pelayanan kesehatan yang tepat.13,14 Sasaran
primer program ini adalah kelompok populasi berperilaku risiko tinggiterhadappenularan
HIV. Kelompok populasi yang dimaksud terdiri dari pekerja seks komersial (perempuan dan
laki-laki), Waria, Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) dan pelanggan/pasangan
dari 3 kelompok di 12 atasSasaran sekunder adalah semua orang yang dianggap mempunyai
pengaruh secara langsung pada sasaran primer.

Anda mungkin juga menyukai