FAKTOR PENYEBABNYA”
I. Pendahuluan
Kemiskinan secara umum merupakan suatu keadaan dimana individu tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup ini berkaitan erat dengan
tingkat ekonomi maupun keadaan sosial masyarakat. Penggolongan masyarakat pada tingkat
ini menandakan ketidakmampuan dari seorang individu dalam memanusiakan diri dan
keadaan sekitarnya. Kemiskinan menjadi satu isu global yang terus-menerus menggerogoti
kehidupan masyarakat kecil atau orang lemah.
Berbicara mengenai masalah kemiskinan, NTT menjadi salah satu provinsi yang
mengalami akan hal ini. NTT menjadi urutan ketiga provinsi termiskin di negara Indonesia.
Masalah kemiskinan di NTT merupakan masalah multidimensional. Karena berkaitan dengan
ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik, dan partisipasi dalam
masyarakat. Faktor penyebabnya ialah rendahnya kemampuan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, kesehatan, perumahan atau pemukiman dan
pendidikan. Kemiskinan di NTT juga dipengaruhi oleh budaya adat istiadat yang diturunkan
secara turun menurun. Selain itu, faktor lain yang menandakan kemiskinan di NTT ialah
sumber daya alam yang terbatas dan kondisi geografis yang rawan bencana, curah hujan yang
rendah, terbatanya lapangan pekerjaan, kualitas sumber daya manusia yang relatif terbatas
serta kesenjangan alokasi pembangunan antardaerah di Indonesia.
II. Kemiskinan
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang artinya tidak berharta
benda.1 Kemiskinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai persamaan arti
dengan kata kefakiran. Dua kata ini biasanya disebutkan secara bersamaan yakni fakir miskin
yang berarti orang yang sangat kekurangan.2 Kemiskinan adalah suatu kondisi
ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di
suatu daerah. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan
1
Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 660.
2
Ibid., hlm. 220.
1
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun papan.
Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan
untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar
pendidikan.
Menurut Amartya Sen (1999), kemiskinan tidak hanya diukur dengan tingkat
pendapatan malainkan pada tingkat hilangnya kapabilitas (deprivasi kapabilitas). Kapabilitas
merupakan kebebasan seseorang untuk menjalankan fungsinya (keberfungsian) sebagai
manusia. Hal ini menentukan apa yang akan dilakukannya terhadap sumber daya yang
dimilikinya. Kapabilitas seseorang untuk menjalankan fungsinya tersebut dapat menentukan
status seseorang apakah termasuk dalam kategori miskin atau tidak.3
Chambers (1998) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang
memiliki lima dimensi, yaitu: kemiskinan (proper), ketidakberdayaan (powerless), kerentanan
menghadapi situasi darurat (state of emergency), ketergantungan (dependence), keterasingan
(isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan bukan hanya terkait
kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga hal lain, seperti: tingkat
kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap
ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan
dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.4
Skema terbentuknya perangkap Kemiskinan
Skema terbentuknya kemiskinan selalu diukur atau diketahui berdasarkan rendahnya
kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok berupa pangan,
kesehatan, perumahan atau pemukiman, dan pendidikan. Rendahnya pendapatan diartikan
sebagai rendahnya daya beli atau kemampuan untuk mengkonsumsi. Kemampuan pendapatan
yang relatif terbatas atau rendah akan menyebabkan daya beli seseorang atau sekelompok
orang terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi rendah. Konsumsi ini tentu akan
menunjang kebutuhan akan gizi dan kesehatan standar. Akibatnya kemampuan untuk
mencapai kesejahteraan menjadi rendah seperti; ketersediaan pangan tidak sesuai atau tidak
mencukupi keadaan gizi atau kondisi gizi yang rendah sehingga akan berpotensi pada
serangan penyakit. Kesehatan relatif kurang terjamin sehingga rentan terhadap serangan
penyakit dan kemampuan untuk menutup penyakit juga relatif terbatas sehingga sangat rentan
pada resiko kematian. Perumahan atau pemukiman yang kurang atau tidak layak huni sebagai
3
Amartya Sen, Development As Freedom (New York: Oxford University Press, 1999) dalam Muana Nanga
et.al., Analisis Wilayah dengan Kemiskinan Tinggi, (Jakarta: Bappenas, 2018), hlm. 9.
4
Chambers (1998), dalam Martinus Legowo et.al., Masalah-Masalah Kemiskinan (Surabaya: Unesa University
Press, 2015), hlm. 34.
2
akibat keterbatasan pendapatan untuk memilih atau mendapatkan lahan untuk tempat tinggal
atau mendapat tempat tinggal yang layak. Taraf pendidikan yang rendah; kondisi ini
disebabkan karena keterbatasan pendapatan untuk mendapat pendidikan yang diinginkan atau
sesuai dengan standar pendidikan yang layak.
III. Gejala atau gambaran singkat Fenomena Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur
Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur sudah menjadi bagian yang melekat pada diri
masyarakat itu sendiri. Letak kemiskinan di daerah ini adalah pada pembangunan daerah
tertinggal. Pembangunan menjadi satu persoalan yang terus dipantau sebagai sebuah kriteria
untuk menunjukkan daerah tersebut dikategorikan sebagai daerah yang memiliki tingkat
kemiskinan tertinggi. Hampir sebagian besar masyarakat di pedesaan belum menikmati
infrastruktur yang memadai. Kesejahteraan masyarakat belum merata. Akibatnya
pembangunan manusia dari jangka waktu tertentu terus maningkat tingkat
keterbelakangannya. Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah kemiskinan yang sedemikian signifikan hendak
menggarisbawahi fenomena kemiskinan itu sendiri sebagai suatu masalah multidimensional.
Realitas kemiskinan masyarakat NTT pada umumnya pada persoalan pendapatan hidup
masyarakat. Ketiadaan pendapatan hidup, akan sangat menyulitkan masyarakat untuk
menentukan fungsinya dalam seluruh bidang kehidupan manusia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, persentase penduduk miskin di
NTT pada Maret 2019 sebesar 21,19% meningkat menjadi 0,06%. Jumlah penduduk miskin
di NTT Maret 2019 sebanyak 1.146.320 orang meningkat 12.210 orang di banding
September 2018.5 Persentase penduduk miskin provinsi NTT pada Maret 2020 sebesar 20,90
persen. Ini meningkat 0,28 persen poin jika dibandingkan pada bulan September 2019 dan
menurun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020
sebesar 1.153,76 ribu orang. Meningkat 24,3 ribu orang dibanding September 2019 dan
meningkat 7,44 ribu orang dari Maret 2019. Sementara itu persentase penduduk miskin di
daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 24,45 persen, naik menjadi 24,73 persen pada
Maret 2020. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan naik sekitar 19,5 ribu orang, dari
1.020,48 ribu orang pada September 2019 menjadi 1.040,37 ribu orang pada Maret 2020.6
5
Beverly Rambu “Penduduk Miskin NTT Meningkat 21,09 Persen”, dalam Victory News,
https://www.victorynews.id/penduduk-miskin-ntt-meningkat-2019-persen/.html, diakses pada tanggal 8
November 2020.
6
https://www.gatra.com/detail/news/484822/ekonomi/penduduk-miskin-ntt-naik-menjadi-20,90-persen.html,
diakses pada tanggal 8 November 2020.
3
Masyarakat NTT secara umum masih berpegang teguh pada budaya di daerahnya
msing-masing. Budaya adat istiadat yang dipegang selama turun temurun melului
perkawinan, kematian dan penyambutan tamu maka kebiasaan banyak hewan yang di
potong sebagai adisi (prestisi) atau menjaga nama baik pribadi bahkan keluarga besar
tanpa memperhatikan dampak negatif setelah itu.7 Faktor budaya menjadi salah satu
penyakit masyarakat yang sudah dianggap sebagai tradisi yang melekat di NTT yang
selama bertahun-tahun di lakukan penduduk NTT, kurangnya memperhatikan terhadap
pendidikan anak terjadi hampir di daerah-daerah di NTT anggapan bahwa pesta pora
lebih mengangkat nama baik keluarga dibandingan mempersiapkan anak untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sehingga kebiasan adat istiadat tersebut
membawa dampak kemiskinan bagi masyarakat yang tidak memperhatikan setiap
perubahan dimasyarakat tersebut.
7
Restu Achmaliadi dkk., Memahami Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat (Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara, 2010), hlm. ii.
4
perekonomian daerah. Namun minimnya sumber daya manusia menjadi penyebab. Sehingga
kekayaan alam tersebut dibiarkan begitu saja tanpa harus dikelola untuk keperluan hidup
manusia.
8
Moeljarto, Politik Pembanguan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1995), hlm. 38.
5
Pendidikan yang terlampau rendah. Persoalan pendidikan mampu menciptakan
kemiskinan pada daerah tertentu. Pendidikan adalah satu faktor penting dalam mendukung
kehidupan masyarakat. Pendidikan menjadi satu agen penting dalam mewujudkan perubahan
manusia bagi dirinya. Pendidikan berarti suatu kemampuan seseorang dalam merencanakan
kesejahteraan bagi hidupnya di masa mendatang. Bahkan pendidikan menjadi faktor penentu
kehidupan manusia itu sendiri. Problem kemiskinan di NTT menjadi lemah dikarenakan
faktor pendidikan itu sendiri. Individu dalam suatu daerah belum secara penuh atau total
dalam mengenyam pendidikannya. Pendidikan yang diemban hanya sebatas pada tingkat
sekolah dasar dan menengah. Sehingga dengan hal ini menyulitkan individu atau masyarakat
tertentu untuk menguasai perubahan atau kemajuan yang ada. Hal ini dikarenakan minimnya
pendapatan keluarga untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah yang cukup baik.
Ketiadaan pendapatan menjadi satu sorotan masalah dalam menunjang aspek hidup manusia.
Pada persoalan ini kita hendak menegaskan kembali butir-butir Pancasaila pada sila
kelima yaitu ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Dengan berpatokan pada
dasar negara tersebut, masyarakat pada daerah tertinggal hendaknya sudah menikmati
pembangunan pada daerahnya. Konsep keadilan sosial pada sila kelima ini dapat diartikan
sebagai suatu pandangan bahwa keadilan harus melingkupi seluruh kehidupan nasionl dan
diterapkan dalam seluruh bidang kehidupannya. Dalam mewujudkan kemakmuran nasional,
tuntutan akan keadilan sosial mewajibkan masyarakat dan pemerintah untuk saling solidier
6
terhadap yang lemah dan mampu menciptakan cara yang adil berkaitan dengan pembagian
barang-barang dan kehidupan personal sosial rakyat.9
7
mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka sendiri, dan untuk memecahkan masalah-masalah mereka sendiri di tingkat
individual, keluarga, dan komunitas dan memperdayakan masyarakat dalam mengembangkan
ekonomi dalam skala kecil atau makro. Pada level sistem. Memfokuskan arah pembangunan
pada masyarakat lemah. Lebih meningkatkan kualitas pendidikan serta sosialisasi pentingnya
pendidikan bagi kehidupan manusia. Mengarahkan peran pemerintah yang bersifat mendesak
dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, koordinator,
pendidik, mobilisator dalam membangun masyarakat.
VI. Penutup
Kesimpulan
Saran
8
VII. Daftar Pustaka
Achmaliadi, Restu dkk. Memahami Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat. Aliansi Ali,
Masyarakat Adat Nusantara, 2010.
Chambers. 1998. Dalam Martinus Legowo dkk. Masalah-Masalah Kemiskinan.
Surabaya: Unesa University Press, 2015.
“Ekonomi Penduduk Miskin NTT Naik menjadi 20,90 persen.” Gatra.com. 8 November
2020.<https://www.gatra.com/detail/news/484822/ekonomi/penduduk-miskin-ntt-
naik-menjadi-20,90-persen.html>
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Program Penanggulangan
Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu II. Jakarta, 2011.
Lukman dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Moeljarto. Politik Pembanguan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 1995.
Rambu, Beverly. “Penduduk Miskin NTT Meningkat 21,09 Persen”. Victory News. 8
November 2020. <http.//www.victorynews.id/penduduk-miskin-ntt-meningkat-2019-
persen/.html, >
Samho, Bartolomeus dkk. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Sen, Amartya. Development As Freedom. New York: Oxford University Press, 1999.
Dalam Muana Nanga dkk. Analisis Wilayah dengan Kemiskinan Tinggi. Jakarta:
Bappenas, 2018.