Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Kemiskinan 

Kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang
tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat (Undang-Undang No. 24 Tahun 2004).

Kemiskinan memiliki manifestasi yang bervariasi, termasuk keterbatasan pendapatan


dan kecukupan sumber daya produksi untuk menjamin mata pencaharian secara terus-
menerus, kelaparan dan kurang gizi, kesehatan yang rendah, keterbatasan akses pada
pendidikan dan pelayanan dasar, peningkatan jumlah penderita penyakit dan kematian karena
penyakit, gelandangan dan rumah kumuh, lingkungan yang tidak sehat, serta diskriminasi
sosial dan keterasingan.

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan,antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap
barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.

Berikut definisi dan pengertian kemiskinan dari beberapa sumber:

 Menurut Cahyat (2007), kemiskinan adalah suatu situasi di mana seseorang atau
rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara
lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan
kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan. 
 Menurut Mencher (Siagian, 2012), kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan
seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung
hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu
secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. 
 Menurut Sallatang (1986), kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan
dan kepemilikan kekayaan materil, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran
fisiologi, psikologik, dan sosial.
 Menurut Bradshaw (2005), kemiskinan merupakan situasi yang serba kekurangan
makanan pokok, tempat berlindung, sarana kesehatan adalah kebutuhan pokok yang
harus dipenuhi dalam kehidupan yang bermartabat.

B. Dimensi Kemiskinan 

Menurut Chambers, kemiskinan merupakan intergrated concept yang terdiri dari lima
dimensi, yaitu (Prastyo, 2010):
1. Kemiskinan (Proper). Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan
semula adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi
kebutuhankebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada
kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada
kelompok yang telah memiliki pendapatan. 
2. Ketidakberdayaan (Powerless). Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan
akan berdampak pada kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok
orang terutama dalam memperoleh keadilan ataupun persamaan hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 
3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency). Seseorang atau
sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau kemampuan untuk
menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini membutuhkan alokasi
pendapatan untuk menyelesaikannya. 
4. Ketergantungan (dependency). Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun
kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi
menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat tinggi.
Mereka tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau
penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru.
5. Keterasingan (Isolation). Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau sulit
dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang
rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan.

Sedangkan menurut Arsyad (2010), kemiskinan dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu:
1. Kemiskinan Absolut. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang berkaitkan
dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang berdasarkan pada
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang merupakan sebuah patokan
seseorang untuk hidup secara layak. Seseorang termasuk dalam golongan miskin
absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. 
2. Kemiskinan Relatif. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dapat dilihat dari
aspek ketimpangan sosial, sering terjadi fenomena dimana seseorang sudah dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding
masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat
penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan berpengaruh terhadap
besar kecilnya jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga
kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan.

C. Jenis dan Ukuran Kemiskinan 

Berdasarkan faktor penyebab kemiskinan, terdapat tiga jenis kemiskinan yaitu (Baswir,
1997):
1. Kemiskinan natural. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya
memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak
memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumberdaya manusia
maupun sumber daya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam
pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. 
2. Kemiskinan kultural. Kemiskinan ini mengacu pada sikap hidup seseorang atau
kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya
di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok
masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan,
tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya.
Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara
umum.
3. Kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil,
distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi
dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.

Menurut Suryawati (2005), kemiskinan diukur berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah
tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun yang
dibagi menurut wilayah pedesaan dan perkotaan.

a. Ukuran kemiskinan di daerah pedesaan


1. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 Kg nilai tukar beras per
orang per tahun. 
2. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 Kg nilai tukar beras
per orang per tahun. 
3. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 Kg nilai tukar
beras per orang per tahun.

b. Ukuran kemiskinan di daerah perkotaan


1. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 Kg nilai tukar beras per
orang per tahun. 
2. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 Kg nilai tukar beras
per orang per tahun. 
3. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 Kg nilai tukar
beras per orang per tahun. 

D. Faktor Penyebab Kemiskinan 

Menurut Siagian (2012), terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, yaitu:
1. Faktor Internal. Faktor berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan
itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurang mampuan, yang meliputi:
fisik, intelektual, mental emosional atau temperamental, spritual, sosial psikologis,
keterampilan dan aset. 
2. Faktor Eksternal. Faktor yang berasal dari luar diri individu atau keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, meliputi: terbatasnya pelayanan sosial dasar, tidak
dilindunginya hak atas kepemilikan tanah, terbatasnya lapangan pekerjaan formal,
budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan, kondisi geografis yang
sulit, tandus, dan terpencil, serta kebijakan publik yang belum berpihak pada
masyarakat miskin.

Sedangkan penyebab kemiskinan menurut suara orang miskin (BKPK, 2001) yaitu sebagai
berikut:
1. Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar,
termasuk: modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan,
dan kesehatan yang memadai, modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap
kredit, modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan
keputusan politik, sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan,
air bersih, listrik, dan hidup di daerah yang terpencil. 
2. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena: krisis
ekonomi, kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan, kehilangan pekerjaan
(PHK), konflik sosial dan politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana
alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global), serta musibah seperti jatuh
sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit).
3. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam
institusi negara dan masyarakat karena, tidak ada kepastian hukum, tidak ada
perlindungan dari kejahatan, kesewenang-wenangan aparat, ancaman dan intimidasi,
kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan
kemiskinan, rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.
E. Zakat Sebagai Multiplier (Efek Pengganda) Ekonomi

Kesenjangan antara yang kaya dan miskin menyebabkan perbedaan dalam


pemenuhan kebutuhan dan berperilaku dalam ekonomi. Dalam sistem ekonomi
konvensional, pendapatan yang diperoleh sesorang digunakan untuk kepentingan
pribadinya terutama untuk kebutuhan konsumsi. Bahkan, jika seseorang memiliki
pendapatan yang lebih, cenderung digunakan untuk kebutuhan barang-barang mewah atau
untuk bersenang-senang. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial antara si kaya
dan si miskin yang berakibat si miskin tetap tidak mampu berkonsumsi dan memenuhi
kebutuhannya.
Menurut Islam (Suprayitno, 2005:92), anugerah-anugerah Allah adalah milik
semua manusia sehingga suasana yang menyebabkan di antara anugerah-anugerah itu
berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Seseorang yang memiliki harta berlebih
harus selalu ingat bahwa harta tersebut hanya titipan dari Allah sehingga ada hak-hak
yang harus diberikan kepada yang berhak menerima (mustahik). Allah berfirman dalam
Alquran surat Al-Baqarah ayat 261 yang artinya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”

Dari ayat tersebut digambarkan secara implisit efek multiplier dari zakat.
Pelaksanaan ibadah zakat bila dilakukan secara sistematis dan terorganisasi akan
mampu memberikan efek pengganda yang tidak sedikit terhadap peningkatan
pendapatan nasional suatu negara dikarenakan percepatan sirkulasi uang yang terjadi
dalam perekonomian.

Bagaimanakah mekanisme efek multiplier zakat ini? Zakat dalam bentuk bantuan
konsumtif yang diberikan kepada mustahik akan meningkatkan pendapatan mustahik,
yang berarti daya beli mustahik tersebut atas suatu produk yang menjadi kebutuhannya
akan meningkat pula. Peningkatan daya beli atas suatu produk ini akan berimbas pada
peningkatan produksi perusahaan. Imbas dari peningkatan produksi adalah penambahan
kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan menyerap tenaga kerja lebih
banyak. Hal ini berarti tingkat pengangguran akan semakin berkurang. Sementara itu di
sisi lain,peningkatan produksi akan berakibat pada meningkatnya pajak yang dibayarkan
kepada negara, baik pajak perusahaan, pajak pertambahan nilai maupun pajak
penghasilan.

Jika penerimaan negara dari pajak bertambah, negara akan mampu menyediakan
sarana dan prasarana untuk pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik
bagi masyarakat. Apabila zakat mampu dikumpulkan secara signifikan, pendidikan dan
kesehatan gratis dapat diberikan kepada masyarakat. Dari gambaran tersebut terlihat
bahwa dari pembayaran zakat mampu menghasilkan efek pengganda ―dalam bahasa
ekonomi dikenal dengan multiplier effect dalam perekonomian― yang pada akhirnya
secara tidak langsung akan berimbas pula kepada kita. Walaupun bantuan yang
diberikan dalam bentuk bantuan konsumtif saja, hal itu sudah mampu memberikan efek
pengganda yang cukup signifikan. Apalagi, zakat diberikan dalam bentuk bantuan
produktif seperti modal kerja atau dana bergulir, maka tentunya efek pengganda yang
didapat akan lebih besar lagi dalam suatu perekonomian, dikarenakan zakat memberikan
efek dua kali lipat lebih banyak dibandingkan zakat dalam bentuk bantuan konsumtif.

Patut menjadi renungan kita bersama bahwa zakat bukanlah pajak negara
(walaupun ia diatur oleh negara). Zakat adalah kewajiban agama yang berarti akan ada
balasan dan hukuman dari Allah Swt. kepada orang yang dengan sadar membayar zakat
atau dengan sadar melalaikan zakat. Mungkin kita bisa membohongi negara dengan
menghindari atau menggelapkan pajak. Dalam zakat, manusia tidak dapat menipu Allah
dengan menggelapkan zakat, kewajibannya tidak terlepas begitu saja dengan mengutak-
atik angka dan kuantitas harta. Hal itu karena Allah adalah sebaik-baik muhtasib
(pengawas).
Ali, H Zainuddin. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Ali, Nuruddin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Hafidhuddin, Didin. 2006. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.

Hasan, Ali. 1997. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
______. 2008. Zakat dan Infak: Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di
Indonesia. Jakarta:

Kencana.
Mahmud, Abdul. 2006. Ekonomi Zakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Riyardi, Agung. 2002. “Pajak, Zakat, dan Dhoribah dalam Kebijakan Fiskal”. Makalah
dalam Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: P3EI UII.

Anda mungkin juga menyukai