Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya


alamnya. Ditinjua dari letak geografis, Indonesia berada diantara dua benua,
dua samudera, dan di garis khatulistiwa. Hasil kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan tidak hanya di sektro pertanian, tetapi juga di sektor kelautan.
Meskipun demikian, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang di dunia.
Negara berkembang adalah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan
1
suatu negara dengan kesejahteraan material tingkat rendah. . Hal ini
menandakan, Indonesia belum mencapai predikat negara maju yang memiliki
tingkat kesejahteraan dan standar hidup masyarakat yang cukup tinggi.
Kesejahteraan dan standar hidup suatu negara ditentukan oleh pendapatan
perkapita dan penggunaan teknologi masyarakatnya. Namun dalam makalah ini,
penulis tidak membahas bagaimana kesejahteraan atau standar hidup Indonesia,
tetapi lebih mengarah ke analisis pencapaian kesejahteraan masyarakat saat ini.
Sejahtera menurut W.J.S Poerwadarimta adalah „aman, sentosa, dan makmur‟.
Sehingga arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan
kemakmuran2. Sederhananya, manusia berlomba-lomba mengumpulkan materi
untuk memenuhi kebutuhan, demi mencapai predikat sejahtera. Negara
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya melalui perencanaan,
penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam bidang
perekonomian.
Kebijakan pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan rakyat salah
satu contoh kasusnya ialah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Adapun tujuan
dari program BLT ini adalah membantu masyarakat miskin agar tetap dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan
masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi dan meningkatkan tanggung
jawab sosial bersama. 3 BLT merupakan salah satu program Pemerintahan
untuk meringankan beban hidup masyarakat miskin dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Kebijakan ini merupakan program subsidi pemerintah
setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tahun lalu. Kenaikan BMM

1
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berkembang
2
W.J.S. Poerwadarimta, Pengertian Kesejahteraan Manusia, h. 126.
3
http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=84
diambil sebagai bentuk penyelamatan anggaran Negara akibat naiknya harga
minyak dunia saat itu. Program BLT pemerintah ini tidak terlepas dari pro-
kontra yang muncul di masyarakat. Disatu sisi, BLT merupakan hal positif
yang dapat membantu keluarga miskin. Namun, BLT juga memiliki dampak
negatif yaitu penerima bisa saja tidak tepat sasaran atau masyarakat miskin
„lebih‟ dimanjakan oleh pemerintah karena diberi uang cuma-cuma.
Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis merumuskan masalah dalam dua
pertanyaan. Pertama, apa yang dimaksud dengan kemiskinan? Kedua, apa saja
yang mendasari kondisi mentalitas miskin tersebut?

Kemiskinan Secara Ekonomi


Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, dll. Kemiskinan tidak lagi
dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan
memenuhi hak-hak dasar perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok
orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Terdapat empat bentuk kemiskinan yang memiliki beragam pengertian.
Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif
yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara kemiskinan
struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan dari segi
penyebabnya 4 . Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya
dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang,
kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan
kapasitas agar bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif adalah kondisi
dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun
relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan
struktural ialah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Sementara kemiskinan kultural

4
Owin Jamasy, Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan, h. 31

1
mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan
oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar
untuk membantunya.
Jika dilihat dari keempat bentuk kemiskinan tersebut, kemiskinan dapat
diartikan minimnya pendapatan yang diperoleh sehingga pemenuhan
kebutuhan hidupnya jadi sangat terbatas baik disebabkan oleh kebijakan
pembangunan yang timpang atau dari faktor budaya. Lalu apa yang dilakukan
oleh orang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Demi memenuhi
kebutuhan dengan pendapatan yang terbatas, mereka ‟bekerja‟ dengan
menghalalkan segala cara untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sebagian
mereka meningkatkan pendapatan dengan cara yang sah dan halal, seperti
membuka warung kecil-kecilan, berdagang di pasar, atau menjahit. Sebagian
lain meningkatkan pendapatan mereka dengan cara yang tidak sah dan tentunya
tidak halal seperti mencopet, merampok, mencuri, menjadi ‟peminta-minta‟
dengan berpura-pura miskin dan lain sebagainya. Sebagian lain
menggabungkan keduanya, bekerja di sektor yang sah namun bekerja dengan
cara yang tidak halal.
Masalah kemiskinan banyak dikaji oleh para ahli dari berbagai aspek dan
dari berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan bermacam-macam ukuran
dan konsep. Para ekonom membahas kemiskinan dengan menggunakan istilah
standar hidup, pendapatan, dan distribusi pendapatan. Para sosiolog
mengkajinya dengan menggunakan istilah kelas, stratifikasi, dan marjinalitas.
Sedangkan, para pemerhati masalah-masalah sosial lebih memperhatikan
konsep tingkat hidup yakni melihat tingkat pendapatan, masalah pendidikan,
kesehatan, perumahan, dan kondisi sosial masyarakat secara umum. Namun,
sampai saatu ini belum ada definisi yang baku tentang kemiskinan. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah kemiskinan itu sangan kompleks dan
pemecahannya tidak mudah.5
Secara luas “miskin” dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang
atau keluarga dalam memenuhi kebutuhannya, mencakup kebutuhan ekonomi,

5
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4314/espa4314a/materi_2_2.htm

2
sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian ini memang terlalu luas
dan tidak operasional sehingga sulit untuk diukur. Oleh karena itu, pengertian
“miskin” itu biasanya dipersempit hanya miskin secara ekonomi. Di Indonesia,
pengertian ini dipersempit lagi sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar, berupa kebutuhan pangan dan
nonpangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan pemenuhan
kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam menentukan kemiskinan di
Indonesia. Seseorang tergolong dalam kategori miskin bila ia tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), dengan kata lain, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi
kebutuhan dasar, baik makanan maupun nonmakanan yang diukur dari sisi
pengeluaran.6
Pogram Bantuan Langsung Tunai merupakan bentuk upaya pemerintah
dalam mengatur dan mengawasi standar hidup warga Indonesia. Kita pasti
masih ingat kasus BLT beberapa tahun yang lalu. Ketika tiba-tiba banyak
orang memiskinkan dirinya. Banyak yang sengaja menggadaikan barang-
barang mewahnya agar ketika ada petugas yang survei, mereka tidak di
eliminasi dari daftar warga miskin. Mereka begitu berharap bahwa dengan
status “miskin” yang mereka punya, mereka mampu mengantongi uang 300
ribu dengan mudah. Selain BLT, kita juga mungkin sering mendengar kasus
raskin yang seringkali tidak tepat sasaran. Yang seharusnya ditujukan untuk
orang-orang tak mampu, kadang malah diborong oleh PNS. Dan ketika
tertangkap kamera wartawan, pegawai-pegawai tersebut cuma cengar-cengir
enteng.7
Dari contoh kasus diatas, tampak bahwa mentalitas ekonomi masyarakat
Indonesia lebih senang diakui miskin dari pada makmur. Bagaimana tidak,
orang rela memiskinkan dirinya demi mendapat 100 ribu secara cuma-cuma
tanpa perlu bersusah payah. Pada kenyataannya di lapangan, nominal tersebut
tidak seberapa dalam memenuhi kebutuhan di zaman sekarang. Bagi orang-

6
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=303573:memahami-
konsep-kemiskinan&catid=25:artikel&Itemid=44
7
http://carissaviitri.wordpress.com/2012/03/23/cuma-orang-indonesia-yang-bangga-mengaku-miskin/

3
orang yang menengah ke bawah, 100 ribu merupakan nominal yang sangat
membantu. Namun bagaimana mereka yang cukup mampu, lalu mengaku
miskin demi mendapat secuil bantuan pemerintah baik itu BLT, raskin, bahkan
beasiswa.

Kemiskinan Secara Mental


Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan
dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-
kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat
diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor penghambat
tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal
datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau
adanya hamabatan budaya.
Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar
Lewis menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dsb. Faktor eksternal
datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau
peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam
memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan
dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi
bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin untuk bekerja (malas), melainkan
karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Kemiskinan mental meliputi dimensi moral, etika, akhlak, dan mental yang
kemudian memperlemah daya saing sumber daya manusia Indonesia. Mental
inilah yang sebenarnya faktor dominan dalam melakukan perubahan, yang kian
lama justru kian luruh. Identitas masyarkat Indonesia yang pantang menyerah,
menjunjung local wisdom, benci penindasan atau situasi „ketertindasan‟, malah
berubah drastis menjadi bangsa yang pasrah (fatalis).
Menurut Koentjaraningrat, suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan
mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi dalam

4
lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan
alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Walaupun berada di dalam diri
seorang individu, sikap tersebut juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, dan
sering juga bersumber kepada sistem nilai budaya.
Kemiskinan secara mental ialah keadaan mental dalam diri seseorang yang
merasa bahwa dirinya tidak mampu dalam mencukupi segala kebutuhan
berdasarkan pendapatannya.
Dampak pembangunan yang terlalu diorientasikan pada bidang ekonomi
adalah terdesaknya harkat dan martabat manusia oleh alat-alat ekonomi dan
materi. Semangat membangun yang penuh “achievment, objective, ant target
operation”, menimbulkan mental yang lebih menghargai materi, benda, sarana,
8
serta prasarana dengan pendekatan kuantitatif. Masyarakat menjadi
materialistis, kurang percaya diri, lemah mentalitas, dan semakin mendangkal
nilai etis dan spiritualnya. Banyak orang merasa puas dengan formalisme,
legalisme, dan cenderung mengambil jalan pintas. Suasana demikian
mendorong pula perbuatan-perbuatan yang manipulatif serta menimbulkan
sikap keserakahan individualisasi lebih mengarah pada egoisme kebendaan.

MENTALITAS INDONESIA
Dalam masa post-revolusi, kalau kemerdekaan formal sudah tercapai,
timbul banyak masalah lain, dan biasanya mulai dengan segera. Menurut
Koentjaraningrat, dibelakang kemunduran-kemunduran dalam kehidupan
ekonomi dan sosial budaya, dalam zaman post-revolusi timbul beberapa
kelemahan dalam mentalitas banyak orang Indonesia yang lebih menjauhkan
kita dari jiwa pembangunan 9 . Rendahnya mentalitas pembangunan setelah
reformasi yaitu : sifat mentalitas yang meremehkan mutu, suka menerabas,
tidak percaya pada diri sendiri, sifat tidak disiplin murni, dan sifat mentalitas
yang suka mengabaikan tanggungjawab.
Setiap manusia sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang
hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah
8
M. Soeparno, Rekayasa Pembangunan, Watak dan Moral, h 34
9
Koentjaraningrat, ibid, h. 32

5
berakar dalam alam jiwa mereka. Nilai-nilai budaya yang terbentuk tidak
terjadi begitu saja, melainkan melalui proses panjang. Mentalitas Indonesia
seperti pada zaman sekarang tidak terlepas dari pengaruh zaman penjajahan
kolonial, sehingga membentuk identitas masyarakat Indonesia. Mentalitas
bukan suatu konsep ilmiah dengan suatu arti yang ketat. Istilah mentalitas
diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam
jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya.
Menurut Mudji Sutrisno, garis panjang sejarah Indonesia dalam masa
kolonialisme mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa pembudakan.
Perbudakan pada zaman kolonialisme menjadikan mentalitas Indonesia
menjadi feodalisme. Cara berpikir orang Indonesia adalah cara berpikir
dengan sifatnya yang pasrah, mudah menyerah pada nasib dan percaya pada
tahayul. Sikap itu berdasar dari pola hidup yang berdasarkan mistik. Orang
semacam itu adalah orang yang tidak bisa diajak berfikir, menyerah begitu saja
pada alam. Akibatnya alam atau relaitas tidak diubahnya, tak percaya pada diri
sendiri serta mudah dieksploitasi oleh mereka yang sudah bisa berpikir aktif-
rasional.10
Kita memang patut bangga dan kagum atas semangat spontan dari rakyat
dan para pejuang kemerdekaan, yang dengan suatu revolusi fisik telah berhasil
mencapai suatu tahap yang konkret dalam proses pembentukan bangsa.
Sebaliknya, revolusi yang dialami Indonesia, serupa dengan semua revolusi
yang pernah terjadi dalam sejarah manusia, telah membawa akibat-akibat post-
revolusi berupa kekerasan-kekerasan fisik dan mental dalam mayarakat bangsa
Indonesia.
Dalam masa post-revolusi, kalau kemerdekaan formal sudah tercapai,
timbul banyak masalah lain, dan biasanya mulai dengan segera, suatu proses
yang oleh para ahli ilmu politik disebut proses dekolonisasi. Masalah post-
revolusi dan dekolonisasi yang dalam negara kita berlangsung telampau lama,
telah mengakibatkan bahwa usaha untuk merehabilitasi prasarana ekonomi
diabaikan semakin menambah keberantakan ekonomi. Zaman revolusi
menumbuhkan sifat-sifat kelemahan bagi bangsa Indonesia, diantaranya:

10
Mudji Sutrisno, ibid, hal 53

6
1. Mentalitas yang meremehkan mutu
Kebutuhan akan kualitas dari hasil karya kita, dan rasa peka terhadap
mutu, sudah hampir hilang. Hal ini adalah rupa-rupanya akibat otomatis
dari kemiskinan hebat bangsa kita yang melanda cukup lama. Dengan
demikian, kita tidak sempat untuk memikirkan mengenai mutu dari
pekerjaan yang dihasilkan dan mutu dari barang dan jasa yang kita
konsumsi. Mentalitas yang meremehkan mutu juga disebabkan karena
proses penyebaran, pengluasan, pemerataan, dan extensifikasi dari
sistem pendidikan kita yang tidak dibarengi dengan perlengkapan
sewajarnya dari prasarana-prasarana pendidikan.
2. Mentalitas yang suka menerabas
Mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-
cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah
demi selangkah, untuk mudahnya kita sebut saja “mentalitas
menerabas”, merupakan akibat dari mentalitas yang meremehkan mutu
diatas. Mentalitas menerabas bukan suatu akibat dari sikap tidak sadar
kualitas, sebaliknya mentalitas tersebut yang meremehkan mutu atau
kualitas terlahir dari mentalitas yang suka menerabas. Menurut
Koentjaraningrat, keduanya saling berpengaruh, tetapi yang terang ialah
bahwa kedua-keduanya juga disebabkan oleh gejala krisis norma-norma.
3. Sifat yang tidak percaya diri sendiri
Sikap tak percaya terhadap diri sendiri yang memburuk itu adalah
rupa-rupanya suatu konsekuensi dari suatu rangkaian
kegagalan,terutama dalam bidang usaha pembangunan, yang dialami
oleh bangsa Indonesia dalam zaman post-revolusi, sejak saat tercapainya
kemerdekaan sampai sekarang. Dalam zaman kolonial nilai-budaya itu
telah menimbulkan rasa kekurangan akan kemampuan
sendiri,dibandingkan dengan si penjajah berkulit putih.
4. Sifat tidak berdisiplin murni
Sifat tidak berdisiplin secara murni juga merupakan suatu sifat yang
tampak memburuk, justru dalam zaman setelah revolusi, yang

7
merupakan salah satu pangkal mula-mula daripada banyak masalah
sosial budaya yang sekarang ini tampak dalam masyarakat kita.
5. Sifat tidak bertanggung jawab
Dalam zaman kolonial dahulu, orang diajar bertanggung jawab, dan
memang banyak orang zaman itu memperlihatkan suatu rasa tanggung
jawab terhadap pekerjaannya walaupun sebagian besar rupa-rupanya
hanya memperlihatkan rasa itu karena takut kepada atasannya yang tidak
akan ragu-ragu menjatuhkan sangsi-sangsi yang keras. Dalam proses
penjebolan norma-norma kolonial, norma-norma yang juga penting
dalam hubungan dengan memupuk rasa tanggung jawab itu,ikut terjebol.

Kalau ditinjau dari sudut yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat, maka


sifat tidak adanya rasa tanggung jawab sekarang ini sebenarnya dapat pula
dikembalikan kepada nilai-budaya tradisional yang terlampau banyak orientasi
vertikal itu tadi,sehingga tanggung jawab terhadap kewajiban itu hanya kuat
apabila ada pengawasan yang keras dari atas. Dengan kendornya pengawasan
dari norma-norma itu,maka hilang pulalah rasa tanggung jawab. Dengan
analisa serupa itu, maka menurunnya rasa tanggung jawab itu dapat disamakan
dengan menurunnya rasa disiplin yang akhir-akhir ini juga tampak sebagai
suatu gejala yang meluas dalam masyarakat Indonesia.
Mentalitas yang relevan untuk pembangunan dikatakan oleh
Koentjaraningrat adalah mentalitas yang memiliki ciri sebagai berikut: menilai
tinggi orientasi masa depan, hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas
berinovasi, orientasi ke arah achievement dari karya, berusaha atas kemampuan
sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan berani bertanggungjawab sendiri. 11
Namun ciri mentalitas tersebut belum dimiliki sebagian besar masyarakat
Indonesia.
Dalam perkembangan arus globalisasi yang cukup kuat, seharusnya bangsa
Indonesia semakin modern dalam mempertahankan nilai-nilai budaya atau
local wisdom yang dimiliki. Namun sebaliknya, bangsa kita justru semakin
modern semakin meluruhkan nilai-nilai jatidiri bangsa, bahkan melupakan

11
Koentjaraningrat, ibid, hal 35

8
titah-titah kearifan lokal yang sebagian besar bersumber dari ajaran agama.
Selain itu, dalam cultural studies memberi perhatian pada ekonomi modern
yang terindustrialisasi dan budaya media yang terletak di sepanjang garis
sistem kapitalis di mana representasi diproduksi oleh perusahaan yang
didorong oleh motif mencari laba. 12 Hal ini semakin mengikis nilai-nilai
keluhuran bangsa Indonesia.
Dalam barker, schiller (1969, 1985) mengulas kasus bahwa media cocok
dengan sistem kapitalis dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi
kapitalisme. Media dilihat sebagai kendaraan bagi pemasaran korporat,
memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang iklan.
Perkembangan televisi global sebagai bangunan bisnis utama telah
menempatkan budaya konsumen, iklan berbasis visual, di barieqn depan
aktivitasnya. Televisi menduduki posisis sentral dalam produksi dan reproduksi
budaya promosi yang terfokus pada pemakaian citra visual untuk menciptakan
merek dengan nilai tambah atau tanda-komoditas.13

MENTALITAS MISKIN DI INDONESIA


Kemiskinan yang terjadi di Indonesia terbagi menjadi dua macam. Yang
pertama, kemiskinan fisik, lazim disebut kemiskinan ekonomi atau kemiskinan
struktural. Kemiskinan ekonomi maksudnya ketidakmampuan manusia dalam
memenuhi kebutuhan demi kemakmuran dan kesejahteraan. Yang kedua,
kemiskinan dalam pengertian mental dalam diri manusia. Kemiskinan mental
berbeda dengan kemiskinan ekonomi yang diukur dari segi materi, melainkan
kemiskinan dalam jiwa manusia.
Kemiskinan secara ekonomi berarti ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan hingga tidak dapat mencapai kesejahteraan dalam hal
material. Namun, tidak semua orang miskin secara material memiliki
mentalitas yang miskin. Masih banyak orang-orang yang kekurangan tetapi
tidak ingin dikatakan miskin. Mereka tetap ingin dilihat sebagai orang mampu
dengan cara tetap memberi infak, sedekah, dll, atau tidak mau menerima
sumbangan dari orang-orang. Bukan berarti mereka sombong karena tidak mau
12
Chris Bakker, ibid, hal. 9
13
Ibid, hal 299

9
menerima sumbangan, tetapi mereka lebih berprinsip bahwa ada orang yang
lebih membutuhkan bantuan dibanding mereka. Contoh kecil seperti ini
merupakan bentuk mentalitas yang seharusnya dimiliki orang Indonesia.
Selain itu, kehidupan sosial dapat menjadi hal mendasar setelah norma dan
moral. Proses sosial, sebagaimana terlihat dalam perhubungan dan kelakuan
sosial disebut kehidupan sosial. Kehidupan sosial meliputi bentuk-bentuk
kelakuan dan perhubungan sosial, seperti: pembagian pekerjaan, persaingan,
kerja sama, subordinasi, kesetiaan dan lain-lain, yang tidak dapat ditemukan
pada individu apabaila ia hidup sendiri saja.
Dan alasan yang sangat memungkinkan ialah perkembangan modern
kehidupan manusia. Manusia melengkapi kebutuhan hidupnya dengan
membentuk sistem pengadaan dan perencanaan raksasa, dan orang merasa satu
dengannya. Kebutuhan yang dimaksud mengalami perkembangan sehingga
manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan, dan papan, tetapi manusi
dibuat seolah membutuhkan deodorant atau permen wangi agar lebih percaya
diri. Apalagi di zaman yang canggih seperti ini, manusia juga membutuhkan
eksistensi melalui informasi dari seluruh dunia. Ini semua termasuk dalam
kegiatan manusia membentuk situasinya sendiri.
Mentalitas miskin yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Indonesia
merupakan cerminan jati diri bangsa Indonesia saat ini. Padahal, sebagaimana
yang telah kita ketahui, spiritualitas atau identitas bangsa timur memiliki corak
antroposentris. Kepribadian bangsa timur yaitu tidak individualis, dan saling
menghargai serta tolong menolong satu sama lain tanpa pamrih dan sangat
menjaga tali silaturahmi atau kekeluargaan antar sesama. Identitas sebagai
bangsa pekerja keras, mereka akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan baik
kebutuhan individu mereka atau kebutuhan kelompok. Bangsa timur juga
terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan bangsanya.
Kebudayaan itulah yang mereka jadikan sebagai panutan mereka dalam
berperilaku. Namun, seiring dengan arus globalisasi dan modernisasi, serta
mental post-kolonial menyebabkan terkikisnya identitas ketimuran di
Indonesia.

10
Masa post-revolusi, sebagaimana yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat,
terdapat lima ciri mentalitas masyarakat Indonesia dalam menjalani
pembangunan. Dan menurut penulis, ada empat ciri yang sangat sesuai dengan
kondisi masyarakat saat ini. Ciri yang pertama, bermula dari mentalitas yang
meremehkan mutu, orang-orang Indonesia tidak sempat memikirkan mengenai
mutu dari pekerjaan yang dihasilkan. Yang ada dipikiran manusia adalah
bagaimana menempuh pekerjaan yang sangat mudah dan mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya. Akibatnya, mengaku miskin pun akan mejadi jalan pintas
karena mutu atau kualitas diri tidak lagi jadi tolak ukur masyarakat Indonesia.
Kedua, mentalitas yang suka menerabas. Mentalitas ini merupakan
mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa
berusaha melalui tahapan-tahapan yang seharusnya. Karena pada awalnya
manusia meremehkan mutu, sehingga terciptalah mentalitas menerabas. Mutu
tidak lagi menjadi prioritas utama, dan tujuan harus dicapai dengan secepat-
cepatnya. Kedua ciri ini saling berpengaruh, dimana mutu dan tujuan
merupakan hal yang sangat penting, tetapi terlalu diremehkan oleh masyarakat
Indonesia.
Ketiga, mentalitas yang tidak percaya diri sendiri. Ketika manusia bekerja
demi mendapatkan penghasilan dan untuk memenuhi kebutuhan, terdapat
keyakinan bahwa manusia mampu menyelesaikan pekerjaannya dan
mendapatkan hak yang sesuai atas pekerjaannya. Tetapi, mental masyarakat
Indonesia tidak mau mencoba dan menjadikan sifat tidak percaya pada diri
sendiri atas kemampuannya. Oleh karna itu, ketika manusia dengan mudah
mengaku miskin, padahal sesungguhnya mereka mampu dan bisa lebih baik
jika mereka sadar dan percaya diri.
Keempat, sifat tidak bertanggung jawab. Manusia seharusnya mampu
bertanggung jawab atas pilihannya. Pada masa penjajahan kolonial, manusia
memperlihatkan rasa tanggung jawab atas pekerjaannya karena takut kepada
atasannya yang tidak ragu-ragu menjatuhkan sangsi yang keras. Dampaknya,
ketika keterikatan tersebut dilepas, mental manusia Indonesia lambat laun
meremehkan atasannya dan semakin jauh dari rasa tanggung jawab yang
seharusnya dimiliki. Mengaku miskin demi mendapatkan bantuan pemerintah,

11
entah itu Bantuan Langsung Tunai, beasiswa, dsn merupakan bentuk tidak
bertanggung jawab manusia atas dirinya sendiri. Kebutuhan hidup dan kondisi
serba kekurangan menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mengatur
perekonomian rakyatnya. Padahal, jika manusia yang merasa kekurangan dan
bertanggung jawab atas dirinya sendiri akan berusaha semaksimal mungkin
dalam memenuhi kebutuhannya dan merasa malu jika mendapat bantuan cuma-
cuma dari pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sifat-sifat yang menjiwa karena masa
penjajahan kolonial menjadikan karakter bangsa itu sendiri. Peran media juga
turut andil dalam perubahan mentalitas masyarakat Indonesia. Media massa,
dalam bahasa disiplin komunikasi, adalah sebuah alat untuk menyampaikan
pesan atau untuk berkomunikasi. Dalam konteks masyarakat modern, ia
merupakan instrumen dengan apa pelbagai bentuk komunikasi dilangsungkan.
Media massa yang semula hanya berfungsi sebagai instrumen dengan apa
manusia mendapatkan jalan untuk pemenuhan kebutuhannya, sekarang telah
berkembang menghasilkan beberapa fungsi yang lebih kompleks. Menurut
Hikmat Budiman, media massa telah berhasil mengubah pola hubungan antara
kebutuhan manusia dibatasi sebagai konsumsi dan aktivitas pemenuhannya
diartikan sebagai produksi.
Iklan mengajari kita tentang gaya-gaya hidup. Iklan dibuat sangat persuasif
hingga seolah-olah manusia membutuhkan produk yang diiklankan tersebut
menjadi kebutuhan primer. Iklan bukan hanya menstimulasi munculnya bentuk
keinginan baru yang semula tidak dikenal, melainkan bahkan mengajari
masyarakat tentang hidup yang “lebih baik” melalui konsumsi.
Dalam memaknai kemiskinan, mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia
sebagian besar cenderung ke mentalitas miskin. Orang-orang rela
memanipulasi surat keterangan miskin, surat keterangan gaji, dan surat-suratan
lain demi mendapat sedikit bantuan kecil dari pemerintah. Tidak hanya dalam
lingkup kehidupan sosial masyarakat, dalam bidang pendidikan pun siswa
maupun mahasiswa tertarik terhadap beasiswa bagi orang yang kurang mampu
dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan beasiswa tersebut.

12
Mentalitas miskin yang dimaksudkan penulis ialah kemampuan manusia
dalam mendapatkan penghasilan melalui cara yang tidak halal demi memenuhi
kebutuhan sekunder. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan sekunder pun kini
menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang karena pengaruh globalisasi
dan arus media yang begitu cepat. Bermental miskin berarti tidak pernah
merasa puas dan berkecukupan atas apa yang telah dimiliki dan menempuh
jalan pintas seperti mengaku miskin demi mendapat bantuan pemerintah dan
bahkan melakukan tindakan korupsi.
Fenomena yang terjadi di masyarakat, uang yang didapat dengan cara yang
tidak halal digunakan untuk berfoya-foya bahkan cenderung ke arah
hedonisme. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan
atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Orang akan
sangat mengahargai uang yang telah didapatkan dengan jerih payah dan
usahanya sendiri dengan tidak mengahambur-hamburkan uang.

PENUTUP
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, dll. Kemiskinan tidak lagi
dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi
hak-hak dasar perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat.
Terdapat empat bentuk kemiskinan yang memiliki beragam pengertian.
Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang
melihat kemiskinan dari segi pendapatan. Kemiskinan absolut dan relatif dapat
diukur dengan materi, seberapa mampu seseorang memenuhi kebutuhan hidup.
Sementara kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan
dari segi penyebabnya. Dua macam kemiskinan ini merupakan bentuk kemiskinan
yang diukur dari kualitas hidup manusianya, dapat berupa mentalitas, faktor
lingkungan, budaya, dan sebagainya.

13
Mentalitas miskin merupakan bentuk kemiskinan struktural. Menurut
pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin
untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial
dalam menyediakan lapangan kerja. Kemiskinan mental meliputi dimensi moral,
etika, akhlak, dan mental yang kemudian memperlemah daya saing sumber daya
manusia Indonesia. Identitas masyarkat Indonesia yang pantang menyerah,
menjunjung local wisdom, benci penindasan atau situasi „ketertindasan‟, malah
berubah drastis menjadi bangsa yang pasrah (fatalis).
Mentalitas miskin yang dimaksudkan penulis ialah kemampuan manusia dalam
mendapatkan penghasilan melalui cara yang tidak halal demi memenuhi kebutuhan
sekunder. Bermental miskin berarti tidak pernah merasa puas dan berkecukupan atas
apa yang telah dimiliki dan menempuh jalan pintas seperti mengaku miskin demi
mendapat bantuan pemerintah dan bahkan melakukan tindakan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Asy‟ari, Abuhan, 1990, Kuliah-Kuliah Filsafat Kebudayaan dan Soal-Soal


Abad XX, Jakarta: Yayasan Tribhakti Nusantara

Bakker, Chris, 2006, Cultural Studies Teori & Praktik, Yogyakarta : Kreasi.
Wacana

Jamasy, Owin, 2004, Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan


Kemiskinan, Jakarta: Traju

Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:


PT Gramedia.

Sutrisno, Mudji, 2005, Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia,


Yogyakarta: Galangpress

Poerwadarimta, W.J.S., 1996, Pengertian Kesejahteraan Manusia, Bandung:


Mizan

Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila


dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia, 2012, Yogyakarta

Soeparno, M., 1992, Rekayasa Pembangunan Watak, dan Moral Bangsa,


Jakarta: PT. Purel Mondial

Sumber internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berkembang

14
http://pustaka.pu.go.id/new/artikeldetail.asp?id=84
http://carissaviitri.wordpress.com/2012/03/23/cuma-orang-indonesia-yang-
bangga-mengaku-miskin/
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/espa4314/espa4314a/materi_2_2.htm
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3
03573:memahami-konsep-kemiskinan&catid=25:artikel&Itemid=44

15

Anda mungkin juga menyukai