Anda di halaman 1dari 29

BAB II

PEMBAHASAN

A. UNHCR Sebagai Badan Perlindungan Pengungsi


1. Pembentukan UNHCR

UNHCR adalah badan khusus PBB yang menangani masalah

pengungsi. Badan yang bermarkas di Kota Jenewa, Swiss, dibentuk

pada tahun 1950, pada masa setelah Perang Dunia Kedua, untuk

membantu jutaan orang Eropa yang melarikan diri atau kehilangan

rumah mereka akibat perang dunia kedua. UNHCR bertujuan

melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan

permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk

mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan

tempat menetap mereka ketempat yang baru.16

Pada tahun 1951 tanggal 28 Juli, Konvensi PBB tentang Status

Pengungsi ditetapkan yaitu,sebuah dasar hukum dalam membantu

pengungsi dan mengarahkan kerja UNHCR. Landasan hukum paling

utama bagi pelaksanaan fungsi UNHCR saat ini adalah Statuta

UNHCR dan Konvensi 1951 tentang status pengungsi beserta protokol

1967 New York, UNHCR merupakan organisasi internasional dengan

keanggotaan yang universal dengan mandate khusus, karena badan

16
UNHCR, Sejarah UNHCR, hlm.1-3, http://www.unhcr.org, diakses pada tanggal 10 Oktober
2020, pukul 10.18.
khusus PBB, otomatis anggota PBB juga merupakan anggota UNHCR

menangani permasalahan pengungsi dunia.17

Para anggota merupakan representative dari negaranya yang tidak

terikat dengan kondisi politik negaranya, sehingga UNHCR dan

aktivitas yang dijalankannya dapat bersifat non politis, dan sepenuhnya

berkonsentrasi pada tugas – tugas kemanusiaan. Perlindungan yang

diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan

pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari

pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup

atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan).18

Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi

identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan

dokumentasi individual dapat dikeluarkan. Mereka yang

teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama

UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa

penempatan di negara lain.19

2. Tugas dan Wewenang UNHCR

Sebagaimana yang tertera dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967

tentang status pengungsi, salah satu fungsi UNHCR adalah mencari

solusi permanen bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi.

UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang

memungkinkan, yaitu:
17
Konvensi dan Protokol UNHCR 1951, hlm.32
18
Ibid, Pasal 33.
19
Ibid, Pasal 1.
a. Pemulangan sukarela (Repatriation)

Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara

sukarela ke Negara asalnya setelah keamanan dan pulihnya

perlindungan nasional. Pemulangan pengungusi ke negara

asalnya tidak hanya berkaitan dengan keselamatan fisik, namun

juga secara hukum dan mendapat perlindungan nasional. Jika

keduanya belum ada, seringkali pemulangan pengungsi hanya

bersifat sementara. Ketika UNHCR telah berhasil

mengembalikkan pengungsi ke negara asalnya, tugas UNHCR

tidak selesai begitu saja, UNHCR masih harus terus memantau

keadaan di negara asal pengungsi untuk memastikan keamanan

para pengungsi. Peran UNHCR juga dibutuhkan untuk

memulihkan kembali keadaan pengungsi yang kembali ke

negara asalnya melalui program pelatihan, pengembangan

infrastruktur, dan memberikan bantuan yang bersifat materil.

Dalam proses ini, UNHCR sangat berperan dalam membantu

pengungsi ketika menghadapi kesulitan-kesulitan yang

menghambat pengungsi untuk kembali ke negara asalnya.

Dalam hal ini UNHCR bekerja sama dengan International

Organization Migration (IOM) yang memfasilitasi kepulangan

para pengungsi untuk kembali ke negara asalnya. Ketika


kondisi negara asal belum memungkinkan untuk kembali, maka

UNHCR tidak akan menjalankan solusi ini.20

b. Penempatan di negara ketiga (Resettlement)

Solusi ini merupakan upaya salah satu upaya yang

dilakukan UNHCR agar para pengungsi mendapatkan tempat

tinggal secara permanen dan juga mendapatkan perlindungan

serta hak-hak yang diperoleh lebih luas dibandingkan dengan

hak yang diterima saat berada di negara suaka pertama.

UNHCR juga bekerja sama dengan IOM dalam pelaksanaan

solusi ini dan di bantu oleh beberapa organisasi-organisasi yang

secara sukarela ikut membantu menangani pengungsi.

Resettlement secara tidak lansung menjadi beban dan tanggung

jawab bersama antara para peserta yang meratifikasi Konvensi

1951. UNHCR terus mengupayakan kerja sama dengan

pemerintah negara ketiga untuk kesediannya dalam

memberikan kemudahan prosedur penerimaan pengungsi serta

permukiman yang layak untuk para pengungsi. Hal ini

dikarenakan penentuan serta alokasi kuota Resettlement

bukanlah tugas UNHCR dan juga bukan hak pengungsi,

melainkan hak bagi negara penerima, itu sebabnya solusi ini

memakan waktu yang lama agar bisa terwujud.21

c. Integrasi local

20
UNHCR, The UNHCR Resettlement Handbook 2018, Hlm.31-33.
21
Ibid. hlm 36-41.
Integrasi lokal merupakan proses pemukiman pengungsi di

negara pemberi suaka pertama. Ketika UNHCR tidak dapat

melakukan repatrisasi ataupun adannya ketidakinginan

pengungsi untuk kembali ke negara asal karena alasan

keamanan, maka solusi inilah yang diberikan. Solusi ini

biasanya diberikan kepada mereka yang telah lama menetap di

negara suaka pertama. UNHCR membantu pengungsi agar

dapat menjalani kehidupannya secara mandiri dengan hak-hak

yang nantinya mereka peroleh sama seperti hak yang dimiliki

warga asli di negara suaka pertama secara permanen. Dalam

integrasi lokal, Negara suaka menawarkan agar pengungsi

dapat tinggal secara permanen di wilayahnya. Sehingga ada

kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi.

Integrasi lokal terjadi melalui beberapa tahapan:

i. Pengungsi mendapat hak yang semakin luas, sehingga

sama dengan yang dinikmati oleh warga Negara dari

Negara suaka, kemudian pengungsi diijinkan tinggal

secara permanen dan kemungkinan naturalisasi,

ii. Pengungsi semakin tidak bergantung dengan bantuan

dari Negara suaka maupun bantuan kemanusiaan

lainnya karena telah dapat memenuhi kebutuhannya

sendiri,
iii. Pengungsi berpartisipasi dalam kehidupan sosial di

Negara barunya.22

Bagi para pengungsi yang datang ke negara suaka pertama harus

terlebih dahulu menjalani proses Refugee Status Determination

(RSD) yang termasuk salah satu tugas utama UNHCR ketika

mendapati pengungsi yang masuk ke suatu negara. Proses ini

merupakan salah satu cara agar pengungsi mendapatkan perlindungan

secara internasional dari UNHCR.23

Berdasarkan Statuta UNHCR dinyatakan bahwa tugas yang

diberikan kepada UNHCR adalah bersifat kemanusiaan, sosial, dan

tidak bersifat politik, agar langkah yang dilakukan oleh UNHCR

sejalan dengan kewenangan di dalam statuta.24

Apabila berbicara terkait permasalahan keamanan internasional,

krisis pengungsi yang dialami oleh banyak negara di dunia tentunya

memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Tantangan yang

kemudian dihadapi oleh UNHCR saat ini adalah membantu negara-

negara di dunia untuk dapat menemukan mekanisme yang dipandang

efisien dalam mengatur migrasi dan memperbaiki batas-batas wilayah

negara yang dapat memberikan pengaruh terhadap keamanan negara.

22
Ibid, hlm. 34-35.
23
Ibid, hlm. 73.
24
Statuta UNHCR, Pasal 1, ayat 2.
Tujuan awal dibentuknya UNHCR ialah menangani korban perang

dunia II, seiring berjalannya waktu, kapabilitas yang dimiliki UNHCR

dalam menangani korban perang dunia II sangatlah baik sehingga

terjadi perubahan didalam kewenangannya yaitu:

i. Meningkatnya skala operasi UNHCR, di mana ruang

linkup operasi utama UNHCR adalah wilayah eropa dan

diperluas menjadi di seluruh negara di dunia dengan cara

mendirikan kantor perwakilannya di 120 negara,25

ii. Aktivitas utama UNHCR saat awal didirikan adalah

memberikan bantuan berupa fasilitas permukiman untuk

pengungsi yang kemudia diperluas dengan adannya

aktivitas-altivitas sosial seperti memberikan bantuan materi,

pangan, kesehatan, pendidika serta membentuk program-

program yang ditujukan untuk kelompok-kelompok khusus

seperti kelompok anak-anak, remaja, orang tua, wanita, dan

penyandang disablitas yang menangani trauma,26

iii. Peningkatan jumlah aktor internasional yang menajdi mitra

UNHCR dalam memberikan bantuan perlindungan

pengungsi ataupun orang-orang terlantar,27

iv. Perluasan daerah yang awalnya hanya bertugas di negara

yang aman dan tidak memiliki pengaruh politik namun saat

25
Romsan Achmad., et al. 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Penerbit Bandung:
Sanic Offset, hlm. 139-141
26
Ibid.
27
Ibid.
ini negara-negara yang kondisinya tidak stabil dan tidak

kondusif serta menjadi perhatian UNHCR.28

3. Kriteria pengungsi yang dilindungi oleh UNHCR

Dalam Konvensi 1951 pasal 1 tentang Pengungsi didefisinikan

sebagai berikut:

“Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari


1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar
akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara
kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak
mau memanfaatkan perlindungan negara itu; atau seseorang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia
sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa
termaksud, tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali
ke negara itu”.29
Seseorang agar dapat disebut sebagai pengungsi kalau telah

memenuhi persyaratan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 serta

penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada

memang orang tersebut adalah Pengungsi (Refugee). Pada prinsipnya

hampir sama dalam memberikan pengertian pengungsi, namun yang

membedakan ialah, pembatasan dateline dimana dihapuskan pada

Protokol 1967.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata

dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah

mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya

atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman),

pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi

28
Ibid.
29
Konvensi 1951 Jenewa pasal 1, Pengertian Pengungsi
adalah penduduk suatu negara yang pindah ke negara pengungsi

politik lain karena aliran politik yang bertentangan dengan politik

penguasa negara asalnya.30

Dalam statuta UNHCR, khususnya pasal 6B pengungsi diartikan

sebagai:

“Setiap orang yang keluar dari wilayah negaranya atau jika dia tidak
memiliki kenegaraan dari negara dimana dia tinggal, karena adannya rasa
takut akan penganiayaan dari alasan ras, agama, kenegaraan atau tidak ada
perlindungan dari pemerintahan, untuk kembali ke negara asal dia
tinggal”.31

Menurut Malcom Proudfoot dalam bukunya, tentang pengertian

pengungsi dengan melihat keadaan para pengungsi akibat perang dunia

kedua, yaitu:

“Pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat


lainakibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran
orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, dan
perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adannya serangan
udara, tekanan atau ancaman dari para militer di beberapa wilayah
Eropa”.32
Pietro Verri berpendapat dalam bukunya tentang pengertian

pengungsi yaitu sebagai berikut:

“Pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena


adannya rasa ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan, jadi
terhadap mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya
belum dapat dikatakan sebagai pengungsi”.33

Dalam bukunya, Haryomataram membagi beberapa prinsip-prinsip

perlakuan terhadap pengungsi yaitu:

a. Statutory Refugee

30
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kbbi, 1995, hlm. 657.
31
Statuta UNHCR, pasal 6B.
32
Malcom J, Proudfoot, European Refugees, 1957, Penerbit Faber & faber Ltd, London, Hlm.32.
33
Pietro Verri, Dictionary Of The International Law Of Armed Conflict, 1992, Penerbit
International Commitee of the Red Cross, Geneva. Hlm. 96.
Pengungsi-pengungsi yang berasal dari suatu negara tertentu

yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara

asalnya. Yang dapat di kategorikan sebagai Statutory Refugee

yang disebut dalam Konvensi Jenewa pasal 1,34

b. Convention Refugee

Status pengungsi berdasarkan pada Konvensi 1951 dan

Protokol 1967. Disini pengungsi berada pada suatu negara

pihak/peserta konvensi, yang menetapkan status pengungsi

adalah negara dimana pengungsi itu berada, dengan kerja sama

UNHCR, yaitu: menyerahkan mandat sepenuhnya pada

UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu termasuk

pengungsi atau tidak,35

c. Mandate Refugee

Menentukan status pengungsi bukan dari Konvensi 1951 dan

Protokol 1967, tapi berdasar mandat dari UNHCR. Disini

pengungsi berada pada negara yang bukan peserta konvensi

atau bukan negara pihak pengungsi ini berasal. UNHCR yang

berwenang menetapkan status pengungsi, bukan negara tempat

pengungsian.36

34
Haryo Mataram, 1998, International Law dan International Humanitarian Law, Penerbit Pusat
Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Tri Sakti, Jakarta, Hlm. 9-10.
35
Ibid.
36
Ibid.
B. Pengungsi Rohingya Ditinjau Dari Konvensi Status Pengungsi
1. Latar belakang munculnya masalah pengungsi Rohingya

Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine di

Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan

bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh. Menurut penuturan

warga Rohingya dan beberapa tokoh agama, mereka berasal dari

negara bagian Rakhine.37 Sedangkan sejarawan mengklaim bahwa

mereka bermigrasi ke Myanmar dari Bengal terutama ketika masa

perpindahan yang berlangsung selama masa pemerintahan Inggris di

Burma, dan pada batas tertentu perpindahan itu terjadi setelah

kemerdekaan Burma pada tahun 1948 dan selama periode Perang

Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971.38 Muslim dilaporkan telah

menetap di negara bagian Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan) sejak

abad ke-16, meskipun jumlah pemukim Muslim sebelum pemerintahan

Inggris tidak tidak diketahui dengan pasti. Setelah Perang Anglo-

Burma Pertama tahun 1826, Inggris menganeksasi Arakan dan

pemerintah pendudukan mendorong terjadinya migrasi pekerja dari

Bengal datang kesana untuk bekerja sebagai buruh tani. Rohingya

berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim

Rohang atau Roshang, sebutan untuk daerah tersebut sebelum dinamai

Arakan.39 Komunitas muslim mendiami wilayah Arakan (kini

37
UNHCR, Sejarah Rohingya, hlm.1-3, https://www.unhcr.org/id/ diakses pada tanggal 10
Oktober 2020, pukul 11.27.
38
Ibid.
39
Ibid.
Rakhine) pada abad XIV. Sejak 1942, mereka mengalami upaya

pengusiran dari wilayah Arakan. Saat itu terjadi pembantaian muslim

Rohingya oleh pasukan pro Inggris. Sedikitnya 100 ribu muslim

Rohingya tewas dan ribuan desa hancur dalam tragedi tersebut. Sejak

itu muslim Rohingya hidup dalam ketakutan.40

Di Myanmar, etnis Rohingya tak diakui sebagai warga negara.

Mereka kesulitan memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan

perumahan yang layak. Kekerasan juga terus terjadi, krisis Rohingya

di Myanmar adalah masalah agama. Tetapi menurut Kepala bidang

penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf saat

wawancara dengan median Jerman Deutsche Welle (DW) yaitu:

“Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga


tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh
pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini,
Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman
bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara
bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua
kelompok."41
Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok

penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di

negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh

masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha. Rakhine dikenal

sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu

menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana

ternyata tinggi. Mayoritas warga Rakhine menilai Rohingya sebagai

40
Ibid.
41
Siegfried O Wolf, Rohingya, Sebenarnya Bukan Konflik Agama, hlm.1-3
https://www.dw.com/id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pukul 10.30.
saingan dalam hal mencari pekerjaan maupun untuk kesempatan untuk

berwirausaha. Dari permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika

kaum Rohingya telah mengkhianati mereka lantaran tidak memberikan

suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat, hal ini

diperburuk oleh sikap pemerintah Myanmar yang bukannya

mendorong rekonsiliasi, tetapi malah mendukung kelompok

fundamentalis Budha.42

Konflik, kerusuhan dan pembantaiaan etnis Rohingya yang masih

terjadi hingga saat ini tentu menjadi sebuah catatan dalam sejarah

dunia. Konflik ini ternyata tidak hanya dipicu karena perbedaan agama

saja, setidaknya ada 4 faktor yang menjadi latar belakang masalah di

Rohingya, yaitu:

a. Faktor Ekonomi

Pada dasarnya wilayah Rakhine yang di tinggali oleh etnis

Rohingya dan warga Budha Myanmar lainnya merupakan

daerah yang kaya akan sumber daya alam. Namun, ternyata hal

ini sangat tumpang tindih dengan kondisi, dimana kemiskinan

disana sangat tinggi. Mayoritas warga Rakhine merasa

disingkirkan secara budaya, politis dan ekonomi oleh

pemerintah pusat yang mayoritas di isi oleh etnis Burma.

Ketidakpuasan itu kemudian membuat mayoritas warga

Rakhine bersebrangan dengan partai yang berkuasa di


42
Septian Tri Kusuma, Ramadhian Fadillah, Apa sebenarnya penyebab Myanmar menindas
Muslim Rohingya?, hlm.1-5, https://www.merdeka.com diakses pada tanggal 5 November 2020
pukul 14.12.
Myanmar. Etnis Rohingya dianggap sebagai tambahan saingan

bagi identitas kelompok Rakhine. Mayoritas warga Rakhine

menilai bahwa orang Rohingya menjadi saingan mereka dalam

kesempatan mencari pekerjaan dan berwirausaha,43

b. Tidak Diakui Sebagai Penduduk Myanmar

Sejak diresmikan Undang undang Warga negara di Burma,

etnis Rohingya tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari

negara Myanmar. Kondisi tersebut menyebabkan etnis

Rohingya kesulitan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan,

pendidikan dan perumahan yang layak, 44

c. Faktor Politik

Faktor politis juga turut andil dalam melatar belakangi konflik

Rohingya yang terjadi. Warga Rakhine menuding bahwa Etnis

Rohingya telah berkhianat. Hal itu disebabkan karena warga

Rohingya tidak memberikan dukungan suara terhadap partai

yang mendukung penduduk setempat. Sehingga hal ini

kemudian menambah masalah semakin memanas, 45

d. Faktor Perbedaan Agama

Sumber masalah awalnya adalah karena agama yang di anut

oleh Etnis Rohingya berbeda dengan mayoritas penduduk

Rakhine yang beragama Budha. Hal ini semakin buruk, karena

43
Puput Nurbaningsih, Latar Belakang Konflik Rohingya Sebagai Tragedi Kemanusiaan Paling
Memilukan, hlm.1-3, https://hukamnas.com/latar-belakang-konflik-rohingya, diakses pada tanggal
10 November 2020, pukul 08.50.
44
Ibid.
45
Ibid.
pemerintah setempat bukannya melakukan rekonsiliasi malah

seperti mendukung kelompok fundamentalis Budha. Alasan

konflik agama yang terjadi di Myanmar karena takut jika

agama islam menyebar luas dan akhirnya menjadi agama

mayoritas yang di anut.46

2. Lahirnya kelompok radikal Buddha

Kaum radikal Buddha ini terbentuk karena dipicunya peristiwa

penghancuran patung Buddha di Afganistan tepatnya di Barniyan,

taliban akhirnya menghancurkan satu per satu bagian tubuh patung

warisan peradaban Buddha pada tahun 2001.47 Aksi taliban nyatanya

memicu kemarahan Wirathu, pemuka agama Buddha di belahan Asia

Tenggara. Mulai saat itu, Wirathu membentuk kelompok radikal

bernama Skuad 969 Buddha di Myanmar, dimana menjadi otot dan

pemikiran gerakan radikal Wirathu tentang Islam.48

Pergerakan mereka mengacu pada sembilan atribut Buddha, enam

ajaran dasar dan sembilan perintah monastik yang berkaitan dengan

pemahaman spiritual untuk tingkatan mencapai nirwana. Mereka

meyakini, salah satu tugas mereka adalah menghancurkan kekuatan-

kekuatan asing yang ingin membinasakan Buddhisme, dan Islam

mereka sebut sebagai kekuatan asing yang mengancam eksistensi

46
Ibid.
47
Majalah Tempo, Wirathu dan Kelompok 969, hlm.1-6, http://majalah.tempo.com diakses pada
tanggal 10 November 2020, pukul 17.23
48
Ibid.
Buddhisme.49 Lambang SKUAD 969 menjadi lambang paling dikenal

di Myanmar dalam beberapa tahun belakangan. Logo berbentuk

lingkaran cakra dengan empat singa di bagian tengahnya

melambangkan keturunan Buddha Ashoka. Angka 969 sendiri diyakini

sebagai tandingan dari angka 786 yang merupakan angka yang

menjadi simbol umat muslim di Myanmar. Angka 786 sering terlihat

di rumah-rumah dan toko-toko milik orang muslim di Myanmar.

Angka 786 diyakini melambangkan keberkahan bagi umat Islam.

Angkat 786 diartikan sebagai “Bismillahirrahmanirrahim” atau

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang.50Lambang 969 kerap dicetak dalam bentuk stiker dan

disebar dalam berbagai ceramah keagamaan Selain itu, lambang 969

banyak ditempel di berbagai tempat dan benda yang strategis. Seperti

di kendaraan, transportasi umum, pintu toko, pintu rumah hingga di

kios-kios cindramata.

Pengaruh Skuad 969 di Myanmar sangatlah kuat, tidak hanya

didukung oleh biksu-biksu garis keras, melainkan juga didukung oleh

basis massa yang sangat besar. Mulai dari kalangan pemerintahan

hingga masyarakat-masyarakat kalangan bawah. Gerakan 969 juga

bagian dari junta militer yang telah menguasai perpolitikan Myanmar

dari 1962 sampai 2011.51

49
Ibid.
50
Ibid.
51
Tony Firman, Ashin Wirathu: Biksu Radikal Sobat Setia Militer Myanmar, hlm.1-4,
https://tirto.id.com diakses pada tanggal 30 November 2020 pukul 17.27.
Setelah pemerintahan junta militer runtuh, para pejabat tinggi

cenderung mendukung atau melunak terhadap Gerakan 969 yang

berbasis agama dan memiliki pengaruh massa yang besar. Wirathu

memainkan peran sentral dalam memantik api kerusuhan di Myanmar

melalui video ceramahnya yang penuh hasutan tersebut viral di media

massa, membuat menarik perhatian ribuan orang dan diedarkan secara

luas dalam bentuk DVD.52

Kehadiran kelompok ultranasionalis seperti ini cukup ampuh

mempengaruhi pikiran rakyat melalui unggahan-unggahan di media

massa berisi cacian terhadap Muslim.53

3. Status Pengungsi Rohingya menurut Konvensi dan Protokol UNHCR

Sebagaimana yang tertera dalam Konvensi 1951 dan Protokol

1967, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang

yang memungkinkan bagi pengungsi Rohingya, dimana untuk saat ini

solusi yang dapat diberikan ialah, Penempatan di negara ketiga

(Resettlement). Solusi ini merupakan upaya salah satu upaya yang

dilakukan UNHCR agar para pengungsi mendapatkan tempat tinggal

secara permanen dan juga mendapatkan perlindungan serta hak-hak

yang diperoleh lebih luas dibandingkan dengan hak yang diterima saat

berada di negara suaka pertama. UNHCR juga bekerja sama dengan

IOM dalam pelaksanaan solusi ini dan di bantu oleh beberapa

organisasi-organisasi yang secara sukarela ikut membantu menangani

52
Ibid.
53
Ibid.
pengungsi. UNHCR terus mengupayakan kerja sama dengan

pemerintah negara ketiga untuk kesediannya dalam memberikan

kemudahan prosedur penerimaan pengungsi serta permukiman yang

layak untuk para pengungsi. Hal ini dikarenakan penentuan serta

alokasi kuota Resettlement bukanlah tugas UNHCR dan juga bukan

hak pengungsi, melainkan hak bagi negara penerima.54

Resettlement memberikan tiga fungsi penting yaitu:

a. Sebagai alat untuk menyediakan perlindungan internasional

dan memberikan kebutuhan kepada para pengungsi dimana

nyawa, kebebasan, keamanan, kesehatan atau hak fundamental

lainnya di negara dimana mereka menjadi pengungsi,

b. Ini merupakan solusi jangka panjang bagi jumlah yang banyak

atau kelompok pengungsi, disamping solusi jangka panjang

dari pemulangan sukarela dan integrasi lokal,

c. Ini menjadi wujud espresi nyata dari solidaritas internasional

dan mekanisme berbagi tanggung jawab, memungkinkan

negara untuk membantu berbagi tanggung jawab bagi

perlindungan pengungsi, dan mengurangi masalah yang terjadi

di negara pemberi suaka.55

Prinsip pengungsi yang digunakan dalam kasus Rohingya ini yaitu,

Mandate Refugee. Menentukan status pengungsi bukan dari

Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tapi berdasar mandat dari

54
UNHCR, The UNHCR Resettlement Handbook, 2018. Hlm.36-41.
55
Ibid, hlm 36.
UNHCR. Disini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta

konvensi atau bukan negara pihak pengungsi ini berasal. UNHCR

yang berwenang menetapkan status pengungsi, bukan negara tempat

pengungsian.56 Contoh yang terjadi di Indonesia, pengungsi Rohingya

yang datang dan tersebar di beberapa daerah yaitu, Aceh, Medan,

Tanjung Pinang, dan Batam. Dalam hal ini UNHCR mempunyai

kewenangan yang memberikan status pengungsi Rohingya bukan

negara Indonesia, walapun Indonesia belum melakukan ratifikasi

Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tetap memberikan bantuan kepada

pengungsi Rohingya atas dasar kemanusiaan dan kondisi mereka

dinilai sangat memprihatinkan.

Bentuk perlindungan yang diterima oleh pengungsi rohingya diatur

dalam The UNHCR Resettlement Handbook 2018, bab 5 tentang

perlindungan yang diberikan kepada pengungsi, yang saat ini UNHCR

telah berikan kepada pengungsi Rohingya yaitu:

a. Pertimbangan perlindungan utama dalam proses identifikasi

Kebanyakan pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal,

seharusnya mempunyai akses untuk melakukan proses identitas

diri sebagai pertimbangan penting untuk dapat tinggal di

tempat yang baru, secara tepat waktu, efisien, dan transparan

untuk menjamin kelanjutan perlindungan pengungsi. Efektif

dan konsisten dalam proses identifikasi juga penting untuk

56
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Makalah Perlidungan Pengungsi, 2014, hlm 6.
tersedianya akses yang adil bagi para pengungsi dalam proses

penempatan baru, dan bisa mengurangi potensi kecurangan

dalam proses tersebut atau sewenang-wenang dalam membuat

segala keputusan di penempatan baru. Perlindungan yang

mencangkup bagian ini yaitu, umur, jenis kelamin, perbedaan

pendekatan sensitif dan prinsip penyatuan keluarga.57

b. Perlindungan khusus kekurangan dan potensi kerentanan

Mengidentifikasi pengungsi yang berpotensi membutuhkan

suatu penanganan khusus, maka diperlukan pengetahuan

mendalam tentang populasi pengungsi tersebut. Namun, tujuan

dari berbagai alat identifikasi termasuk, pendaftaran, penilaian

partisipatif, dan survey untuk mengakses tipe perlindungan

yang sesuai intervensi, tidak hanya untuk mengidentifikasi

kekurangan didalam penempatan. Selain itu, sebagai partisipan

aktif di dalam misi, mereka diminta memberikan solusi kepada

pengungsi dengan melihat orang yang membutuhkan hak dan

penanganan khusus, dibandingkan hanya dilihat sebagai grup

yang rentan. Jika melihat hanya yang rentan saja, bisa

menyebabkan tidak cukup analisis untuk perlindungan bahaya

yang di hadapi oleh individu khusus, menyampingkan

kemampuan mereka. Sebuah inklusif dan pendekatan

pemerdayaan dalam pengembangan perlindungan strategis,

57
UNHCR, The UNHCR Resettlement Handbook 2018, hlm.173-176.
termasuk penilaian sesuai dengan solusi jangka panjang,

dibutuhkan suatu pemahaman atas penanganan khusus

berdasarkan umur, jenis kelamin, kondisi fisik dan mental,

serta pengakuan hak pengugnsi untuk aktif keterlibatannya di

segala tindakan yang di lakukan untuk melindungi mereka dan

menentukan masa depan mereka. Perlindungan yang

mencangkup bagian ini yaitu, wanita,anak, remaja, lanjut usia,

pengungsi dengan disabilitas, pengungsi dari kelompok

pribumi dan minoritas.58

Data tentang jumlah pengungsi Rohingya di berbagai negara yaitu

sebagai berikut:

a. Bangladesh 900.000

b. Pakistan 200.000

c. Thailand 100.000

d. Malaysia 40.070

e. India 40.000

f. Amerika Serikat 12.000

g. Indonesia 14.000

h. Nepal 20059

58
Ibid, hlm. 182-200.
59
UNHCR, Press Release 2020, hlm. 1-3
C. Upaya UNHCR Dalam Memberikan Perlindungan Kepada Pengungsi
Rohingya

Pengungsi Rohingya melarikan dari kekerasan yang terjadi di

Myanmar sejak awal tahun 1990 jumlahnnya sangat mengejutkan dan

angka tersebut terus bertambah, lebih dari 740 ribu pengungsi Rohingya

melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Pada puncak krisis,

ribuan orang telah melintas ke Bangladesh setiap harinya, kebanyakan

berjalan berhari-hari melewati hutan dan gunung, atau perjalanan yang

berbahaya melewati sepanjang teluk bengal. Akibat dari kebanyakan

pengungsi pergi yaitu, ketika kekerasan yang terjadi di Rakhine Myanmar,

diperkirakan 12 ribu pengungsi yang tiba ke Bangladesh pada saat awal

tahun 2018, mayoritas yang sampai ke Bangladesh adalah wanita, dan

anak-anak, dan lebih dari 40 persen adalah anak berusia 12 tahun ke

bawah, banyak dari kalangan lebih tua membutuhkan pertolongan

tambahan and perlindungan. Hampir semua yang telah datang lansung

meminta tempat penampungan di sekitaran pemukiman pengungsi

Kutupalong dan Nayapara, beberapa mempunyai sanak saudara disana.

Besarnya jumlah skala arus pengungsi yang datang, menempatkan tekanan

yang besar kepada Bangladesh sebagai negara penerima dalam

memberikan fasilitas dan pelayanan. Peningkatan jumlah pengungsi yang

mengejutkan dalam semalam, meningkatkan kekhawatiran akan

kurangnya tempat pemukiman yang memadai, air, dan kebersihan, akses

layanan publik, dan perlidungan secara umum berdasarkan atas keamanan


wanita dan anak-anak. Pemukiman pengungsi di Kutupalong yang

bertambah menjadi yang terbesar di dunia, lebih dari 600 ribu orang hidup

di area yang hanya luasnya 13 kilometer persegi, yang meregangkan

infrakstruktur dan pelayanan pada batas limitnya. Pemerintah Bangladesh

sudah menanggapi dengan murah hati melewati krisis terbaru ini.60

UNHCR dalam hal penanganan pengungsi Rohingya di Bangladesh,

mereka bekerja sama dengan pemerintahan untuk merespon besarnya

bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan. Pada awal bulan sejak krisis,

UNHCR telah memberikan bantuan 1500 metrik ton pertolongan darurat

kepada Bangladesh, termasuk selimut, kantong plastik, matras tidur, tenda,

perlengkapan dapur, jerigen, dan ember. Mereka juga membantu

pemerintah untuk membangun kawasan baru yang dapat menampung para

pengungsi dengan aman, ini juga termasuk pendanaan jalan ke fasilitas

konstruksi dan akses pengungsi, mendukung dalam proses pelaksanaan,

membuat jamban dan sumur, meningkatkan air dan kebersihan fasilitas

dan distribusi bahan bahan untuk pemukiman. Dalam upaya untuk

meningkatkan kebersihan dan akses air siap minum, mereka telah

membuat ribuan jamban dan lokasi air kepada pengungsi, dengan

demikian dapat mengurangi resiko masalah kesehatan seperti diare.

UNHCR juga bekerja dalam meningkatkan sistem rujukan dan ruang aman

kepada orang yang selamat berbasis pada kekerasan gender, mereka juga

60
UNHCR, Rohingya emergency, hlm. 1-5, https://www.unhcr.org/rohingya-emergency.html
diakses pada tanggal 24 November 2020, pukul 20.40.
meningkatkan upaya dalam mengindentifikasikan dan menunjukkan

dukungan yang tepat bagi anak-anak yang beresiko.61

Disamping menangani perlindungan pengungsi di Bangladesh,

UNHCR juga melaksanakan tugas perlindungan pengungsi di negara-

negara lainnya, termasuk di Indonesia dimana jumlah pengungsi yang ada

di Indonesia telah mencapai 14 ribu orang yang kebanyakan mereka

tersebar di beberapa tempat seperti, Aceh, Medan, Tanjung Pinang, dan

Batam. Pada 24 Juni lalu Indonesia menampung 99 pengungsi Rohingya,

kemudian pada 7 September Indonesia kembali menampung 296

pengungsi.62

Indonesia belum memiliki hukum yang jelas dalam menangani

masalah pengungsi lintas batas negara, dan negara Indonesia belum

meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka dari itu indonesia

tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan dalam melakukan tindakan

internasional mengenai pengungsi secara lebih lanjut, Indonesia hanya

dapat menampung dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh

pengungsi Rohingya atas dasar kemanusiaan.

Dalam Disertasinya Krustiyati Atik menjelaskan bahwa,

“Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan


Protokol 1967, maka Pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai
kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi (Refugee
Status Determination), sehingga pengaturan permasalahan mengenai
pengungsi ditetapkan oleh UNHCR, sesuai mandat berdasarkan Statuta
UNHCR Tahun 1950 yaitu, semua negara termasuk yang belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi wajib menjujung tinggi standar
61
Ibid.
62
Muhammad Yanuar Farhanditya, Ratusan Pengungsi Rohingya Membutuhkan Bantuan Darurat
Anda, hlm.1-4, https://www.unhcr.org/id, diakses pada tanggal 20 November 2020, Pukul 01.00.
perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum
internasional”.63

Maka dari itu UNHCR yang berwenang memberikan status pengungsi

Rohingya di Indonesia dan juga memberikan solusi jangka panjang yaitu

penempatan di negara ketiga (Resettlement), dimana untuk saat ini solusi

untuk pemulangan pengungsi ke negara asalnya tidak dapat dilakukan,

karena negara Myanmar sendiri secara jelas tidak mengakui masyarakat

Rohingya sebagai bagian dari masyarakat mereka. UNHCR juga

memberikan program pelatihan dan pengembangan kepada pengungsi

Rohingya yang dimana dapat digunakan bagi mereka nantinya.

Seperti pada bagian variabel pertama dijelaskan bahwa prinsip

perlakuan pengungsi Rohingya yang digunakan di Indonesia yaitu,

Mandate Refugee. Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi 1951

dan Protokol 1967 maka dari UNHCR yang berwenang memberikan status

pengungsi Rohingya. Pemberian status pengungsi harus melalui proses

Refugee Status Determination (RSD) agar pengungsi Rohingya dapat

diberikan perlindungan internasional oleh UNHCR.

Dalam Variabel kedua sudah dijelaskan UNHCR telah memberikan

beberapa perlidungan terhadap pengungsi Rohingya di Indonesia, bentuk

perlindungan tersebut diatur dalam The UNHCR Resettlement Handbook

2018, bab 5 yaitu;

1. Pertimbangan perlindungan utama dalam proses identifikasi

63
Atik Krustiyati, Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Surabaya, 2012, Hlm.4.
Kebanyakan pengungsi yang membutuhkan tempat tinggal,

seharusnya mempunyai akses untuk melakukan proses identitas

diri sebagai pertimbangan penting untuk dapat tinggal di tempat

yang baru, secara tepat waktu, efisien, dan transparan untuk

menjamin kelanjutan perlindungan pengungsi. Efektif dan

konsisten dalam proses identifikasi juga penting untuk tersedianya

akses yang adil bagi para pengungsi dalam proses penempatan

baru, dan bisa mengurangi potensi kecurangan dalam proses

tersebut atau sewenang-wenang dalam membuat segala keputusan

di penempatan baru. Perlindungan yang mencangkup bagian ini

yaitu, umur, jenis kelamin, perbedaan pendekatan sensitif dan

prinsip penyatuan keluarga.64

2. Perlindungan khusus kekurangan dan potensi kerentanan

Mengidentifikasi pengungsi yang berpotensi membutuhkan

suatu penanganan khusus, maka diperlukan pengetahuan

mendalam tentang populasi pengungsi tersebut. Namun, tujuan

dari berbagai alat identifikasi termasuk, pendaftaran, penilaian

partisipatif, dan survey untuk mengakses tipe perlindungan yang

sesuai intervensi, tidak hanya untuk mengidentifikasi kekurangan

didalam penempatan. Selain itu, sebagai partisipan aktif di dalam

misi, mereka diminta memberikan solusi kepada pengungsi

dengan melihat orang yang membutuhkan hak dan penanganan

64
UNHCR, The UNHCR Resettlement Handbook , 2018, hlm.173-176.
khusus, dibandingkan hanya dilihat sebagai grup yang rentan. Jika

melihat hanya yang rentan saja, bisa menyebabkan tidak cukup

analisis untuk perlindungan bahaya yang di hadapi oleh individu

khusus, menyampingkan kemampuan mereka. Sebuah inklusif dan

pendekatan pemerdayaan dalam pengembangan perlindungan

strategis, termasuk penilaian sesuai dengan solusi jangka panjang,

dibutuhkan suatu pemahaman atas penanganan khusus

berdasarkan umur, jenis kelamin, kondisi fisik dan mental, serta

pengakuan hak pengugnsi untuk aktif keterlibatannya di segala

tindakan yang di lakukan untuk melindungi mereka dan

menentukan masa depan mereka. Perlindungan yang mencangkup

bagian ini yaitu, wanita,anak, remaja, lanjut usia, pengungsi

dengan disabilitas, pengungsi dari kelompok pribumi dan

minoritas.65

Dari hasil Penelitian diatas yang dimana sumber penelitian saya

peroleh dari website UNHCR dengan sistem penelitian online, maka

analisis saya terhadap penanganan pengungsi Rohingya oleh UNHCR

berdasarkan Statuta dan Konvensi 1951 sudah cukup memadai, walaupun

ada beberapa hambatan-hambatan yang kiranya dapat ditingkatkan di masa

depan yaitu’

1. Tidak adanya sanksi yang diberikan kepada negara Myanmar

dalam masalah pengungsi Rohingya ini,

65
Ibid. hlm. 182-200.
2. Kurangnya kerja sama antara pemerintah Bangladesh dengan

UNHCR ataupun IOM dalam menangani pengungsi

Rohingya,dimana negara Bangladesh dikenal sebagai negara

tertutup,

3. Negara Indonesia tidak dapat memberikan suaka kepada

pengungsi Rohingya karena, Indonesia belum meratifikasi

Konvensi 1951, sehingga mereka hanya diperbolehkan untuk

menetap sementara, agar mereka dapat melanjtukan perjalanan

mereka untuk mencari suaka di negara yang lain,

4. Kurangnya bantuan yang diberikan kepada negara atau organisasi

ASEAN untuk UNHCR dalam menangani masalah pengungsi

Rohingya, baik itu materiil ataupun tenaga ahli,

5. Negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tidak mau menerima

pengungsi Rohingya.

Dari hambatan-hambatan diatas saya sebagai penulis ingin

memberikan pandangan yang dimana bisa meningkatkan kualitas

penanganan pengungsi yang dapat dilakukan oleh UNHCR yaitu;

1. Negara yang sudah meratifikasi dan yang belum, dapat ikut andil

dan aktif dalam membantu UNHCR dalam menangani para

pengungsi, tidak hanya untuk pengungsi Rohingya saja, melainkan

pengungsi-pengungsi di seluruh negara, diharapkan dengan

banyak bantuan yang diterima, masalah pengungsi tersebut dapat

berkurang,
2. Mempercepat proses pemberian status kepada para pengungsi

dengan begitu UNHCR dapat segera mencarikan suaka atau

tempat tinggal baru di negara ketiga.

3. PBB sebagai induk organisasi UNHCR dapat memberikan sanksi

yang tegas kepada negara yang menelantarkan masyarakatnya

sehingga mereka melarikan diri untuk mencari perlindungan atau

suaka.

4. Keterbukaan negara atau organisasi dalam membantu UNHCR

untuk menangani masalah pengungsi.

Anda mungkin juga menyukai