Anda di halaman 1dari 11

Kamboja

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian


Kerajaan Kamboja adalah sebuah negara berbentuk monarki konstitusional di Asia Tenggara.
Negara ini merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah menguasai seluruh Semenanjung
Indochina antara abad ke-11 dan 14.
Kamboja berbatasan dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam di timur, dan Teluk
Thailand di selatan. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap melintasi negara ini.
Menjelang kemerdekaannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak membantu negara
Kamboja ini. Buku - buku taktik perang karangan perwira militer Indonesia banyak digunakan oleh
militer Kamboja. Oleh karenanya, para calon perwira di militer Kamboja, wajib belajar dan dapat
berbahasa Indonesia

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Perkembangan peradaban Kamboja terjadi pada abad 1 Masehi. Selama abad ke-3,4 dan 5 Masehi,
negara Funan dan Chenla bersatu untuk membangun daerah Kamboja. Negara-negara ini
mempunyai hubungan dekat dengan China dan India. Kekuasaan dua negara ini runtuh ketika
Kerajaan Khmer dibangun dan berkuasa pada abad ke-9 sampai abad ke-13.
Kerajaan Khmer masih bertahan hingga abad ke-15. Ibu kota Kerajaan Khmer terletak di Angkor,
sebuah daerah yang dibangun pada masa kejayaan Khmer. Angkor Wat, yang dibangun juga pada
saat itu, menjadi simbol bagi kekuasaan Khmer.
Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai. Dewan Kerajaan Khmer memindahkan ibu
kota dari Angkor ke Lovek, dimana Kerajaan mendapat keuntungan besar karena Lovek adalah
bandar pelabuhan. Pertahanan Khmer di Lovek akhirnya bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan
juga berakibat pada hilangnya sebagian besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1594.
Selama 3 abad berikutnya, Khmer dikuasai oleh Raja-raja dari Thai dan Vietnam secara bergilir.
Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari perlindungan kepada Prancis.
Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani perjanjian dengan pihak Prancis yang isinya
memberikan hak kontrol provinsi Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai. Akhirnya,
kedua daerah ini diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Prancis
dan Thai.
Kamboja dijadikan daerah Protektorat oleh Prancis dari tahun 1863 sampai dengan 1953, sebagai
daerah dari Koloni Indochina. Setelah penjajahan Jepang pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih
kemerdekaannya dari Prancis pada 9 November 1953. Kamboja menjadi sebuah kerajaan
konstitusional dibawah kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih untuk netral. Hal ini tidak
dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan
aliansi pro-AS untuk menyingkirkan Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom
Sihanouk memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan untuk
menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang memicu perang saudara
timbul di Kamboja.
Khmer Merah akhirnya menguasai daerah ini pada tahun 1975, dan mengubah format Kerajaan
menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot. Mereka dengan segera
memindahkan masyarakat perkotaan ke wilayah pedesaan untuk dipekerjakan di pertanian kolektif.
Pemerintah yang baru ini menginginkan hasil pertanian yang sama dengan yang terjadi pada abad
11. Mereka menolak pengobatan Barat yang berakibat rakyat Kamboja kelaparan dan tidak ada obat
sama sekali di Kamboja.
Pada November 1978, Vietnam menyerbu RD Kamboja untuk menghentikan genosida besar-
besaran yang terjadi di Kamboja. Akhirnya, pada tahun 1989, perdamaian mulai digencarkan antara
kedua pihak yang bertikai ini di Paris. PBB memberi mandat untuk mengadakan gencatan senjata
antara pihak Norodom Sihanouk dan Lon Nol.

Sekarang, Kamboja mulai berkembang berkat bantuan dari banyak pihak asing setelah perang,
walaupun kestabilan negara ini kembali tergoncang setelah sebuah kudeta yang gagal terjadi pada
tahun 1997

Ekonomi[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Ekonomi Kamboja
Perekonomian Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik berkuasa. Tapi, pada tahun
1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang membanggakan. Pendapatan per
kapita Kamboja meningkat drastis, namun peningkatan ini tergolong rendah bila dibandingkan
dengan negara - negara lain di kawasan ASEAN. PDB bertumbuh 5.0% pada tahun 2000 dan 6.3 %
pada tahun 2001. Agrikultur masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat terutama
bagi masyarakat desa, selain itu bidang pariwisata dan tekstil juga menjadi bidang andalan dalam
perekonomian di Kamboja.
Perlambatan ekonomi pernah terjadi pada masa Krisis Finansial Asia 1997. Investasi asing dan
turisme turun dengan sangat drastis, kekacauan ekonomi mendorong terjadinya kekerasan dan
kerusuhan di Kamboja.

Demografi[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Demografi Kamboja
Mayoritas penduduk Kamboja adalah penganut Buddha, kemudian di susul oleh agama minoritas
lain seperti Islam, Agama Tradisional (agama rakyat), kekristenan, dan lainnya

Budaya[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Budaya Kamboja

Angkor Wat, Kamboja

Budaya di Kamboja sangatlah dipengaruhi oleh agama Buddha Theravada. Diantaranya dengan
dibangunnya Angkor Wat. Kamboja juga memiliki atraksi budaya yang lain, seperti, Festival Bonn
OmTeuk, yaitu festival balap perahu nasional yang diadakan setiap November. Rakyat Kamboja
juga menyukai sepak bola.
Studi kasus di kamboja
Ngomongin tentang Asia Tenggara, apakah yang pertama kali terlintas dibenakmu? Sea
Games, AFF, Asean Games, lalu apa lagi? Nah, melalui perhelatan olahraga itu, kita jadi bisa
tahu negara-negara apa saja yang masuk dalam ASEAN dan berada di wilayah Asia Tenggara.
Bener nggak sih kalau kamu tuh tahu nama-nama negara di Asia Tenggara itu ya dari ajang
pertandingan sepakbola atau semacamnya? Atau ada hal lainnya?

Perlu kamu ketahui juga nih Squad, bahwa setiap negara memiliki sejarahnya masing-
masing, dan hampir seluruhnya dilalui dengan cara berperang. Yaa semua itu dilakukan
demi mempertahankan kedaulatan negara, seperti negara kita ini.

Nah di artikel ini kita akan bahas tentang kasus-kasus peperangan yang terjadi di Asia
Tenggara, atau yang dikenal dengan perang Indocina. Perang Indocina ini bukan cuma soal
perebutan wilayah lho, melainkan tentang perang ideologi juga.

Serangkaian peperangan yang terjadi di wilayah Indocina itu berawal dari tahun 1946
sampai tahun 1991. Kasus perang Indocina yang akan kita bahas di sini adalah kasus perang
saudara yang terjadi di Kamboja dan melibatkan Vietnam. Kamboja adalah negara jajahan
Perancis yang berhasil meraih kemerdekaannya pada 9 November 1953.

Setelah Kamboja merdeka dari Perancis nih, Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom
Sihanouk. Di bawah kepemimpinannya, Kamboja kemudian menggunakan sistem
pemerintahan monarki konstitusional. Pada saat itu kaum komunis Vietnam diperbolehkan
menggunakan pelabuhan yang berada di Kamboja untuk memasok persenjataan dan
makanan. Bukan cuma Vietnam, Amerika juga diberi izin untuk mengebom tempat
bersembunyinya pasukan Viet Cong di Kamboja.
Kebijakan itu ternyata mendapak tentangan dari banyak pihak. Gimana enggak, dengan
memberikan izin kepada Vietnam dan Amerika, sama saja menjadikan Kamboja sebagai
wilayah peperangan Vietnam. Banyaknya tentangan membuat Norodom Sihanouk
digulingkan dari jabatannya sebagai presiden oleh Jenderal Lon Nol pada tahun 18 Maret
1970.

Kamboja kemudian berubah menjadi republik, dan Jenderal Lon Nol naik menjadi Presiden
Republik Khmer. Republik Khmer adalah negara sayap kanan yang mendukung Amerika
Serikat (AS). Mengetahui kabar bahwa Kamboja berubah menjadi sayap kanan AS, membuat
Norodom Sohanouk yang tersingkir ke Beijing bergabung dengan Khmer Merah. Khmer
Merah adalah sebuah organisasi kecil berpaham komunis.

Nah, Khmer Merah ini sangat menentang upaya-upaya pengeboman yang dilakukan oleh
Amerika Serikat terhadap Vietnam. Penentangan yang dilakukan oleh Khmer Merah ternyata
mendapat dukungan dari masyarakat Kamboja lho. Masyarakat yang mendukung kemudian
bergabung dengan Khmer Merah. Karena dukungan yang banyak, dan karena Khmer Merah
sebelumnya juga pernah mendapat pelatihan dari militer Vietnam Utara, akhirnya Khmer
Merah berhasil menggulingkan Lon Nol.
Khmer Merah mulai menguasai Kamboja dan Pol Pot yang merupakan pemimpin organisasi
ini sekaligus pengagum komunisme Mao (Tiongkok), mulai berkuasa dan mengubah nama
Republik Khmer menjadi Kampuchea. Khmer Merah punya slogan yang terkenal, yaitu
Masyarakat Kamboja di bawah kekuasaan Khmer Merah, diwajibkan untuk bekerja sebagai
buruh pertanian, dilarang pakai kacamata, dilarang menguasai bahasa asing, bahkan
dilarang ketawa dan menangis.

Nah kalau ketahuan, siapapun akan disingkirkan, ditembak mati. Wiiih ngeri juga ya. Untung
di sana nggak ada om Sule, Warkop DKI, atau Dodit. Kalo mereka ada, wah bisa-bisa banyak
yang ditembak mati ya warganya.

Oke oke kita balik lagi ke pembahasan. Terus nih, setelah 8 tahun masa pemerintahan Khmer
Merah, Vietnam menginvasi Kamboja, dan tepat di tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam
berhasil menduduki kota Phrom Penh.

Karena invasi yang dilakukan Vietnam, menyebabkan pemerintahan Khmer Merah di bawah
pimpinan Pol Pot yang anti Vietnam pun jatuh. Pol Pot tersingkir sampai ke perbatasan
Thailand. Tapi Pol Pot tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap memberikan perlawanan
dengan melakukan perang gerilya.

Ketika itu pimpinan Khmer Merah digantikan oleh Khjeu Samphar, tujuannya untuk
menghilangkan citra buruk Khmer Merah dan mendapatkan dukungan internasional.
Vietnam pun kemudian membentuk Republik Rakyat Kamboja atau People’s Republic of
Kampuchea (PRK).

Kamu masih ingat Norodom Sihanouk kan? Ya, ia kemudian berkoalisi dengan dua faksi
lainnya untuk membentuk pemerintahan tandingan dari yang dibuat Vietnam yaitu PRK.
Koalisi itu disebut Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK).
Karena adanya pemerintahan tandingan, membuat Kamboja memiliki dua pemerintahan.
Nah, keduanya melakukan upaya rekonsiliasi melalui pertemuan Prancis pada tanggal 20-
21 Januari 1998. Akan tetapi upaya ini masih belum membuahkan hasil. Melihat kondisi ini,
dengan heroiknya Indonesia melalui ASEAN menawarkan mediasi untuk mengatasi konflik
Kamboja.

Hebatnya nih, semua pihak yang terlibat konflik sepakat dengan mediasi itu! Wah hebat ya
Indonesia. Setelah semua sepakat, diselenggarakanlah Jakarta Informal Meeting (JIM), dan
dilaksanakan sebanyak tiga kali.

Penyelenggaraan JIM didukung oleh Dewan Keamanan PBB. Kemudian, Dewan Keamanan
PBB mengusung pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk United Nation
Transitional Authority in Cambodia (UNTAC).

Vietnam pun sepakat untuk mundur dari wilayah Kamboja pada pertemuan JIM ke II. Setelah
Konferensi Paris yang dilaksanakan pada Oktober 1991, empak faksi yang bertikai di
Kamboja menyepakati untuk saling berdamai pada tahun 1979. Setelah itu Buddha diangkat
menjadi agama resmi Negara Kamboja, dan pada tahun 1993, pemilu pertama yang
demokratis diselenggarakan.
Begitulah Squad kiranya konflik yang terjadi di Asia Tenggara. Banyak ya yang terlibat di
dalamnya. Mulai dari bangsa asing, sampai pertarungan sesama bangsa. Untung negara kita
hadir dan meminta untuk mediasi, sampai akhirnya semua sepakat untuk berdamai.

Membujuk negara yang sedang bertikai tentunya tidak mudah. Pasti Indonesia memiliki
seorang tokoh yang pandai bernegosiasi dan kaya ilmu pengetahuan, sampai akhirnya bisa
membujuk. Jika kamu ingin seperti tokoh-tokoh Indonesia yang hebat, kamu harus banyak
belajar, membaca, dan juga berdiskusi.

Salah satu cara belajar yang bisa kamu terapkan adalah dengan berlangganan ruangbelajar,
kamu akan menikmati video belajar yang di dalamnya ada penjelasan dari tutor interaktif,
juga latihan-latihan soal. Jadi, jangan lupa terus belajar dan perkaya ilmu pengetahuan yaa.

2
The Extraoedinary Chambers in the Court of Cambodia (ECCC) merupakan nama resmi
pengadilan Kamboja yang dibentuk berdasarkan resolusi 57/228 Majelis Umum PBB pada 18
Desember 2002. Resolusi itu menjalaskan bahwa telah terjadi pelanggaran serius hukum
humaniter internasional selama periode pemerintahan demokratik Kampuchea atau rezim khmer
merah pimpinan Pol Pot sejak 1975 sampai 1979 sehingga menjadi perhatian masyarakat
internasional.

Disamping itu, pemerintah Kamboja telah meminta bantuan ke PBB untuk membawa para
pemimpin senior Demokratis Kampuchea dan mereka yang paling bertanggung jawab atas
kejahatan dan pelanggaran berat hukum pidana Kamboja, hukum dan kebiasaan humaniter
internasional, dan konvensi internasional yang diakui oleh Kamboja, yang berlangsung selama
periode 17 April 1975 sampai 6 Januari 1979.

Selain itu, pemerintah Kamboja juga sudah membentuk undang-undang pengadilan Kamboja
(khmer rouge trials) melalui resolusi 57/228 untuk penuntutan kejahatan selama periode
Kampuchea Demoktratis. Setidaknya, dalam periode tersebut sebanyak 1,7 juta orang diyakini
telah meninggal karena kelaparan, penyiksaan, eksekusi dan kerja paksa.[1]

ECCC adalah pengadilan Kamboja ad hoc dengan partisipasi internasional. Ini didirikan oleh
undang-undang domestik[2] menyusul kesepakatan 6 Juni 2003 antara pemerintah Kamboja dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Agreement Between The United NationsAnd The Royal
Government Of Cambodia Concerning The Prosecution Under Cambodian Law Of Crimes
Committed During The Period Of Democratic Kampuchea).[3] Hal ini diharapkan dapat
membawa keadilan bagi orang Kamboja, memperkuat peraturan hukum di negara tersebut dan
mempromosikan rekonsiliasi nasional.

Dalam aturan "Agreement" dan "Law on the Establishment of the Extraordinary


Chambers"disepakati beberapa ketentuan bahwa pengadilan Kamboja hanya akan menyeret
pimpinan senior periode Demokratik Kampuchea (yurisdiksi personal) sejak 17 April 1975
sampai 6 Januari 1979 (yurisdiksi temporal) dan mereka yang paling bertanggung jawab atas
kejahatan.[4]

Extraordinary Chambersberwenang mengadili semua tersangka yang melakukan kejahatan:


Melanggar Penal Code (KUHP) Tahun 1956, yaitu: Pembunuhan (Pasal 501, 503, 504, 505, 506,
507 dan 508); Penyiksaan (Pasal 500); dan Penganiayaan Agama (Pasal 209 dan 210). Statuta
pembatasan yang ditetapkan dalam KUHP 1956 harus diperpanjang untuk sebuah tambahan 30
tahun untuk kejahatan yang disebutkan di atas, yang berada dalam yurisdiksi pengadilan
Kamboja.

Hukuman di bawah Pasal 209, 500, 506 dan 507 dari KUHP 1956 dibatasi hanya untuk hukuman
seumur hidup maksimum, sesuai dengan Pasal 32 Konstitusi Kerajaan Kamboja, dan
sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 dari Hukum ini.[5] Kejahatan Genosida,[6]Kejahatan
terhadap kemanusiaan,[7] dan pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949,[8]
Penghancuran terhadap properti budaya (konvensi Hague,1954),[9] kejahatan terhadap orang-
orang yang dilindungan secara internasional (Konvensi Wina, 1961).[10]

Terdapat tiga tingkatan dalam persidangan panel hakim yaitu; 1). Tingkat Pre-Trial adalah
mendengar penuntutan dan permohonan banding atas perintah yang dikeluarkan oleh Hakim
Investigasi sementara sebuah kasus masih dalam penyelidikan. Panel hakim dalam tingkatan ini
ada lima orang terdiri dari hakim Kamboja tiga hakim dan dua hakim internasional.

Keputusan dibutuhkan suara setidaknya empat dari lima hakim; 2). Trial Chamber, hasil
kesimpulan penyelidikan dikirim ke sidang pengadilan Trial Chamber untuk diputuskan apakah
terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan kesaksian saksi, bukti dan argumen yang diajukan oleh
para pihak selama persidangan. Trial Chamber terdiri dari 3 hakim Kamboja dan 2 hakim
internasional. Vonis bersalah memerlukan suara setuju untuk setidaknya empat dari lima hakim;
dan 3). Spureme Court (Mahkamah Agung), mendengar banding terhadap keputusan yang
dikeluarkan oleh Trial Chamber.

Terdiri dari 7 hakim; 4 hakim Kamboja dan 3 hakim internasional terdiri dari Mahkamah Agung.
Setiap keputusan oleh Majelis membutuhkan suara setuju untuk setidaknya 5 dari 7 hakim.
Hakim-hakim internasional disiapkan oleh PBB dalam suatu daftar dan pemerintah Kamboja
dapat memilih dari sekian banyak hakim internasional.[11]

Dalam persidangan ini telah diajukan sebagai terdakwa tokoh-tokoh senior Khmer Merah
sebanyak 9 orang dalam 4 dakwaan berkas, yaitu; I. Terdakwa Kaing Guek Eav alias Duch; II.
Terdakwa Khieu Samphan, Ieng Sary, Nuon Chea, dan Ieng Thirith; III. Meas Muth dan IV.
Terdakwa Im Chaem, Yim Tith dan Ao An. Ieng Sary meninggal dunia dalam masa persidangan
2013 dan Ieng Thirith meninggal 2015. Persidangan berlangsung sejak 30 Maret 2007 hingga 14
Maret 2016.
Duch misalnya, dihukum penjara selama 35 tahun oleh pengadilan Kamboja tapi dikurangi 5
tahun karena pernah dipenjara oleh pengadilan militer (1999-2007). Ia terbukti atas tuduhan
kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar konvensi Jenewa 1949 yang diatur dalam pasal 5,
pasal 6 dan pasal 29 (baru) dari Hukum ECCC yang dilakukan di Phnom Penh dan di dalam
wilayah Kamboja antara 17 April 1975 dan 6 Januari 1979.

Terdakwa Khieu Samphan terbukti atas tuduhan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Pelanggaran
berat terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Genosida sebagiamana diatur dalam Pasal 4.5,
6, 29 (Baru) dan 39 (Baru) hukum ECCC berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pemenjaraan deportasi, penyiksaan, penganiayaan terhadap alasan politik, ras, dan agama dan
tindakan tidak manusiawi lainnya; Genosida, dengan membunuh anggota kelompok Vietnam dan
Cham.[12]

Demikian pula terdakwa Nuon Chea, Meas Muth, Im Chaem, Yim Tith dan Ao An divonis
bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, melanggar konvensi jenewa
1949 serta pembunuhan berencana yang diatur dalam Penal Code1956 hukum domestik pidana
Kamboja. Pengadilan Kamboja (ECCC) merupakan pengadilan hibryd/mixedcampuran antara
nasional dan internasional dengan standar pengadilan dan hakim PBB.

Sejatinya, pengadilan atas kejahatan genosida terhadap Pol Pot dan Ieng Sary sudah pernah
dilaksanakan pada Agustus 1979 melalui the People's Revolutionary Tribunaltetapi dunia
internasional tidak mengakuinya. Baru tahun 2003 setelah disepakati "agreement" baru dapat
dibentuk kembali extraordinary chambersatas asistensi PBB dan baru efektif terlaksana pada
tahun 2006-2007 setelah mengalami revisi hukum ECCC.

Proses pembentukan ECCC berlangsung puluhan tahun disebabkan beberapa anggota tetap
Dewan Keamanan PBB tidak memiliki kekertarikan pada proses ini. Cina menolak, karena
memiliki hubungan dengan rezim Khmer Merah dibawah Pol Pot. Sementara Amerika Serikat
juga tidak tertarik, sebab tidak mengakui Vietnam sebagai pembebas rakyat Kamboja dan malah
melihat Vietnam sebagai masalah. Tentara Vietnam pada tahun 1979 menghentikan kekuasaan
rezim Khmer Merah.

"Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, sekalipun, bersedia mengajukan teman seperjuangannya
ke pengadilan HAM (ECCC) untuk mengakhiri impunitas dan menghapus masa kelam Kamboja
dalam pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan memberi keadilan
bagi korban dan keluarganya. Presiden Indonesia belum seberani Hun Sen"

Namun ada pula sebab lain, yakni pemerintah Kamboja sendiri menunda-nunda terus pengadilan
Kamboja. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang dulunya anggota Khmer Merah, setelah
didesak pada tahun 1997 akhirnya mengalah kepada PBB.

Anda mungkin juga menyukai