Anda di halaman 1dari 4

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 KONDISI KAMBOJA PADA MASA PEMERINTAHAN POL POT


Kamboja menjadi sorotan dunia internasional pada tahun 1975-1979 ketika berada di bawah
pemerintahan Pol Pot. Kebijakan-kebijakan radikal yang dijalankan pada masa pemerintahan Pol
Pot membuat rakyat Kamboja menderita dan kehilangan banyak penduduk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kamboja pada masa pemerintahan Pol Pot mengalami
penderitaan yang berkepanjangan. Pol Pot sebagai pemimpin baru Kamboja mengubah ideologi
Kamboja, yang semula menganut ideologi kapitalis pro Barat menjadi ideologi komunis. Pol Pot
menjalanakan pemerintahan secara radikal dan brutal. Berbagai kebijakan yang dijalankan antara
lain mendeklarasikan Tahun Nol bagi negara Kamboja, menutup Kamboja dari dunia luar,
melakukan pemindahan penduduk dari daerah kota ke daerah-daerah pertanian, penghapusan
mata uang, penghapusan pendidikan, pelarangan kegiatan keagamaan, menjalankan sistem kerja
paksa, dan melakukan pembunuhan massal.

Kebijakan yang menjadi sorotan internasional yaitu ketika Pol Pot melakukan pembunuhan
massal terhadap golongan intelektual dan lawan politiknya. Akibat dari kebijakan radikal
tersebut Kamboja kehilangan penduduk lebih kurang 2 juta jiwa dalam kurun waktu 1975-1979.
Terlebih ketika Pol Pot terlibat konflik dengan Vietnam. Konflik perbatasan Kamboja-Vietnam
melibatkan dua kekuatan besar yaitu Cina dan Uni Soviet yang saling berebut pengaruh di
Indochina. Konflik itu membuat Pol Pot tidak mampu bertahan dan akhirnya meninggalkan
Kamboja. Kepergian Pol Pot dari Kamboja menandai berakhirnya pemerintahan komunisme
radikal di Kamboja.

2.2 HUBUNGAN KERJASAMA KAMBOJA PADA MASA PEMERINTAHAN


SIHANOUK
Norodom Sihanouk dilantik menjadi raja pada tahun 1941 di bawah pemerintahan kolonial
Prancis. Setelah Perang Dunia Kedua, ia berkampanye untuk kemerdekaan negaranya dari
penjajahan Prancis, yang akhirnya merdeka pada tahun 1953. Pada tahun 1955, Sihanouk turun
takhta dan menyerahkan jabatan tersebut kepada ayahandanya Norodom Suramarit dan terjun ke
dalam gerakan politik Sangkum. Partai Sangkum memenangi pemilihan umum 1955, dan
Sihanouk diangkat menjadi Perdana Menteri Kamboja. Setelah ayahnya meninggal pada tahun
1960, Sihanouk mengajukan amendemen konstitusi agar ia menjadi Kepala Negara Kamboja,
sebuah jabatan yang ia pegang sampai tahun 1970. Mulai dari tahun 1955 sampai 1970,
Sihanouk memerintah Kamboja di bawah pemerintahan satu partai dengan dalih melerai
perbedaan pandangan politik antara Partai Demokrat dan Pracheachon. Meskipun ia secara resmi
mengambil posisi netral dalam hubungan luar negeri, pada pelaksanaannya ia lebih condong
kepada dengan negara-negara komunis, terutama Tiongkok, ketimbang dengan Amerika Serikat
dan sekutu-sekutu anti-Komunisnya.

2.3 DILENGSERKANNYA SIHANOUK OLEH LON NOL


Pada bulan Maret 1970, Sihanouk dilengserkan oleh Lon Nol dan Sisowath Sirik Matak, dalam
rangka pembentukan Republik Khmer. Ia melarikan diri ke Tiongkok dan Korea Utara untuk
membentuk pemerintahan dalam pengasingan dan gerakan pemberontakan yang masing-masing
dikenal sebagai Pemerintahan Kerajaan Uni Nasional Kamboja (GRUNK) dan Front Persatuan
Nasional Kamboja. Sebagai pemimpin GRUNK, Sihanouk menggalang dukungan terhadap
Khmer Merah, yang bertarung melawan Republik Khmer dalam Perang Saudara Kamboja.
Setelah Khmer Merah menang, sebuah rezim baru, yaitu Kamboja Demokratik dibentuk.

Dalam rezim tersebut Sihanouk kembali ke Kamboja dan menjadi kepala negara secara simbolis.
Posisi tersebut tidak bertahan lama, seiring renggangnya hubungan dia dengan Khmer Merah.
Pada tahun 1976, Sihanouk turun dari jabatannya dan diperintahkan untuk menjalani penahanan
rumah sampai tahun 1979, saat invasi pasukan Vietnam mengusir Khmer Merah dari Phnom
Penh. Sihanouk mengasingkan diri kembali. Pada tahun 1981, ia membentuk sebuah partai
pemberontak yang bernama FUNCINPEC. Pada tahun berikutnya, Sihanouk dilantik sebagai
Presiden Koalisi Pemerintahan Kamboja Demokratik (KPKD), yang terdiri dari tiga faksi
pemberontak anti-Vietnam – FUNCINPEC, Khmer Merah dan Front Pembebasan Nasional
Rakyat Khmer (FPNRK).

Seiring jatuhnya Blok Timur pada akhir tahun 1980-an, perbincangan tak resmi dilakukan
untuk mengakhiri pertikaian antara Republik Rakyat Kamboja (RRK) dan faksi-faksi
pemberontak yang berada di bawah naungan KPKD. Pada 1990, Dewan Nasional Tertinggi
Kamboja (DNT) dibentuk sebagai sebuah badan transisional untuk memperjuangkan kedaulatan
Kamboja, dengan Sihanouk sebagai presidennya. Pada tahun 1991, perjanjian damai
ditandatangani, dan Otoritas Transisional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (OTPBBK)
dibentuk pada tahun berikutnya. OTPBBK mengadakan pemilihan umum pada 1993. Sebagai
bentuk transisi, dibentuk sebuah pemerintahan koalisi, dengan jabatan Perdana Menteri yang
dipegang secara bersamaan oleh dua orang, yaitu Norodom Ranariddh dan Hun Sen. Pada bulan
Juni 1993, Sihanouk kembali diangkat menjadi Kepala Negara Kamboja. Pada bulan September
1993, ia kembali menjadi raja dalam restorasi monarki Kamboja. Pada tahun 2004, Sihanouk
turun takhta untuk terakhir kalinya dan menyerahkan jabatannya kepada putranya, Pangeran
Norodom Sihamoni, yang menggantikannya sebagai raja. Ia dikenal sebagai raja-ayah sampai
wafatnya pada tahun 2012. Di samping berpolitik, ia juga memiliki karir lain dalam bidang seni
sepanjang masa hidupnya. Ia menulis sejumlah komposisi musikal, serta memproduksi 50 film
antara tahun 1966 dan 2006 yang juga ia bintangi dan sutradarai.

2.4 UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK KAMBOJA


Penyelsaian konflik Kamboja tidak dilakukan oleh negara itu sendiri melainkan melalui
intervensi pihak asing.

Upaya penyelesaian konflik kamboja diawali dengan diselenggarakannya Jakarta Informal


Meeting, perjanjian Paris, dan diakhiri pembentukan UNTAC oleh PBB.

A. Jakarta Informal Meeting (JIM)

Penyelesaian konflik Kamboja diawali oleh Indonesia yang melakukan shuttle diplomacy anatara
Vietnam dan Kamboja, lalu memfasilitasi pertemuan keduanya dalam Jakarta Informal Meeting
(JIM).

Menteri luar negeri indonesia yang berperan penting dalam upaya penyelesaian konflik di
kamboja yakni Ali Alatas pada tahun 1988 dan 1989. JIM berhasil menghasilkan gencatan
senjata antara kedua pihak dan menarik pasukan Vietnam dari perbatasan Kamboja.

B.Perjanjian Paris (Paris Peace Agreement)

Hasil dari JIM kemudian dilanjutkan pada perjanjian Paris (Paris Peace Agreement) yang
disetujui oleh 19 negara termasuk Kamboja dan Vietnam. Hal ini mengakhiri perang saudara
antara Vietnam dan Kamboja. PBB juga menurunkan pasukan ke Kamboja untuk menjaga
perbatasan dan membantu menanggulangi kerusakaan yang diakibatkan perang.

C.United Nation Transitional Authority in Cambodia

PBB kemudian membentuk UNTAC (United Nation Transitional Authority in Cambodia) untuk
mengisi kekosongan pemerintahan dalam masa transisi dan juga mengenalkan Kamboja dalam
pemilihan umum. Dilansir dari United Nation Peacekeeping, UNTAC juga mengurus aspek
HAM, pelaksanaan pemilihan, pengaturan militer, administrasi sipil, penegakan hukum dan
ketertiban, pemulangan dan pemukiman kembali pengungsi, pengurusan orang telantar, serta
Rehabilitasi infrastruktur Kamboja.

Dilansir dari BBC, pemilihan umum di Kamboja dimenangkan oleh Pangeran Sihanouk,
Norodom Ranariddh dalam partai royalis Fincinpec dengan suara pemilih hampir 90 persen.
Namun hal tersebut tidak sepenuhnya diterima karena adanya oposisi yang diketuai Hun Sen.
Hun Sen kemudian diangkat sebagai perdana menteri kedua setelah Norodom Ranariddh.
Kamboja kemudian dapat melanjutkan urusan negaranya secara mandiri tanpa adanya konflik
bersenjata.

Anda mungkin juga menyukai