PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kamboja pada masa pemerintahan Pol Pot mengalami
penderitaan yang berkepanjangan. Pol Pot sebagai pemimpin baru Kamboja mengubah ideologi
Kamboja, yang semula menganut ideologi kapitalis pro Barat menjadi ideologi komunis. Pol Pot
menjalanakan pemerintahan secara radikal dan brutal. Berbagai kebijakan yang dijalankan antara
lain mendeklarasikan Tahun Nol bagi negara Kamboja, menutup Kamboja dari dunia luar,
melakukan pemindahan penduduk dari daerah kota ke daerah-daerah pertanian, penghapusan
mata uang, penghapusan pendidikan, pelarangan kegiatan keagamaan, menjalankan sistem kerja
paksa, dan melakukan pembunuhan massal.
Kebijakan yang menjadi sorotan internasional yaitu ketika Pol Pot melakukan pembunuhan
massal terhadap golongan intelektual dan lawan politiknya. Akibat dari kebijakan radikal
tersebut Kamboja kehilangan penduduk lebih kurang 2 juta jiwa dalam kurun waktu 1975-1979.
Terlebih ketika Pol Pot terlibat konflik dengan Vietnam. Konflik perbatasan Kamboja-Vietnam
melibatkan dua kekuatan besar yaitu Cina dan Uni Soviet yang saling berebut pengaruh di
Indochina. Konflik itu membuat Pol Pot tidak mampu bertahan dan akhirnya meninggalkan
Kamboja. Kepergian Pol Pot dari Kamboja menandai berakhirnya pemerintahan komunisme
radikal di Kamboja.
Dalam rezim tersebut Sihanouk kembali ke Kamboja dan menjadi kepala negara secara simbolis.
Posisi tersebut tidak bertahan lama, seiring renggangnya hubungan dia dengan Khmer Merah.
Pada tahun 1976, Sihanouk turun dari jabatannya dan diperintahkan untuk menjalani penahanan
rumah sampai tahun 1979, saat invasi pasukan Vietnam mengusir Khmer Merah dari Phnom
Penh. Sihanouk mengasingkan diri kembali. Pada tahun 1981, ia membentuk sebuah partai
pemberontak yang bernama FUNCINPEC. Pada tahun berikutnya, Sihanouk dilantik sebagai
Presiden Koalisi Pemerintahan Kamboja Demokratik (KPKD), yang terdiri dari tiga faksi
pemberontak anti-Vietnam – FUNCINPEC, Khmer Merah dan Front Pembebasan Nasional
Rakyat Khmer (FPNRK).
Seiring jatuhnya Blok Timur pada akhir tahun 1980-an, perbincangan tak resmi dilakukan
untuk mengakhiri pertikaian antara Republik Rakyat Kamboja (RRK) dan faksi-faksi
pemberontak yang berada di bawah naungan KPKD. Pada 1990, Dewan Nasional Tertinggi
Kamboja (DNT) dibentuk sebagai sebuah badan transisional untuk memperjuangkan kedaulatan
Kamboja, dengan Sihanouk sebagai presidennya. Pada tahun 1991, perjanjian damai
ditandatangani, dan Otoritas Transisional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (OTPBBK)
dibentuk pada tahun berikutnya. OTPBBK mengadakan pemilihan umum pada 1993. Sebagai
bentuk transisi, dibentuk sebuah pemerintahan koalisi, dengan jabatan Perdana Menteri yang
dipegang secara bersamaan oleh dua orang, yaitu Norodom Ranariddh dan Hun Sen. Pada bulan
Juni 1993, Sihanouk kembali diangkat menjadi Kepala Negara Kamboja. Pada bulan September
1993, ia kembali menjadi raja dalam restorasi monarki Kamboja. Pada tahun 2004, Sihanouk
turun takhta untuk terakhir kalinya dan menyerahkan jabatannya kepada putranya, Pangeran
Norodom Sihamoni, yang menggantikannya sebagai raja. Ia dikenal sebagai raja-ayah sampai
wafatnya pada tahun 2012. Di samping berpolitik, ia juga memiliki karir lain dalam bidang seni
sepanjang masa hidupnya. Ia menulis sejumlah komposisi musikal, serta memproduksi 50 film
antara tahun 1966 dan 2006 yang juga ia bintangi dan sutradarai.
Penyelesaian konflik Kamboja diawali oleh Indonesia yang melakukan shuttle diplomacy anatara
Vietnam dan Kamboja, lalu memfasilitasi pertemuan keduanya dalam Jakarta Informal Meeting
(JIM).
Menteri luar negeri indonesia yang berperan penting dalam upaya penyelesaian konflik di
kamboja yakni Ali Alatas pada tahun 1988 dan 1989. JIM berhasil menghasilkan gencatan
senjata antara kedua pihak dan menarik pasukan Vietnam dari perbatasan Kamboja.
Hasil dari JIM kemudian dilanjutkan pada perjanjian Paris (Paris Peace Agreement) yang
disetujui oleh 19 negara termasuk Kamboja dan Vietnam. Hal ini mengakhiri perang saudara
antara Vietnam dan Kamboja. PBB juga menurunkan pasukan ke Kamboja untuk menjaga
perbatasan dan membantu menanggulangi kerusakaan yang diakibatkan perang.
PBB kemudian membentuk UNTAC (United Nation Transitional Authority in Cambodia) untuk
mengisi kekosongan pemerintahan dalam masa transisi dan juga mengenalkan Kamboja dalam
pemilihan umum. Dilansir dari United Nation Peacekeeping, UNTAC juga mengurus aspek
HAM, pelaksanaan pemilihan, pengaturan militer, administrasi sipil, penegakan hukum dan
ketertiban, pemulangan dan pemukiman kembali pengungsi, pengurusan orang telantar, serta
Rehabilitasi infrastruktur Kamboja.
Dilansir dari BBC, pemilihan umum di Kamboja dimenangkan oleh Pangeran Sihanouk,
Norodom Ranariddh dalam partai royalis Fincinpec dengan suara pemilih hampir 90 persen.
Namun hal tersebut tidak sepenuhnya diterima karena adanya oposisi yang diketuai Hun Sen.
Hun Sen kemudian diangkat sebagai perdana menteri kedua setelah Norodom Ranariddh.
Kamboja kemudian dapat melanjutkan urusan negaranya secara mandiri tanpa adanya konflik
bersenjata.