Anda di halaman 1dari 12

Sistem Politik di Kamboja

Mata Kuliah HI Kawasan Asia Tenggara

Ditulis Oleh:

Salsabila Nadhifa 11171130000078

Dosen Pengajar:

Dr. Aiyub Mohsin M.A.,M.M.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2019
ABSTRAK

Sistem politik di Kamboja saat ini adalah Monarki Konstitusional. Dalam sistem

pemerintahan ini adalah raja sedangkan kepala pemerintahannya adalah perdana mentri.

Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaiman prospek sistem pemerintahan di masa

yang akan datang, akan tetap monarki konstitusional atau akan beralih ke sistem republik.

Lalu di makalah ini akan membahas bagaimana tentang bagaimana kebijakan luar negeri

terakhir yang diambil oleh pemimpin negara. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

dengan melakukan tinjauan pustakan di media massa.


BAB I

PENDAHULUAN

Sejarah Singkat Kamboja

Sejarah Kamboja, sebuah negara di daratan utama Asia Tenggara, bermula pada

sekitar milenium ke-5 SM. Catatan mendetail dari struktur politik di wilayah yang sekarang

merupakan Kamboja mula-mula muncul dalam catatan-catatan Tiongkok dalam rujukan

untuk Funan, sebuah negara yang berada di bagian paling selatan semenanjung Indochina

pada abad ke-1 sampai ke-2. Berpusat di hilir Mekong, Funan dikenal sebagai budaya Hindu

regional tertua, yang menjalin hubungan sosial-ekonomi dengan mitra-mitra dagang maritim

Indosfer di bagian barat. Pada abad ke-6, sebuah sipilisasi yang disebut Chenla atau Zhenla

dalam catatan-catatan Tiongkok, menggantikan Funan, sebagai negara yang menguasai

wilayah yang lebih besar dan memiliki lebih dari satu pusat kekuasaan.

Kekaisaran Khmer berdiri pada awal abad ke-9. Sumber-sumber menyebut inisasi

mistik dan upacara konsekrasi untuk mengklaim pengesahan politik oleh pendirinya

Jayawarman II di Gunung Kulen (Gunung Mahendra) pada 802 Masehi. Sebuah suksesi

kedaulatan berpengaruh, yang melanjutkan tradisi kultus dewaraja Hindu, memerintah

sepanjang era klasik sipilisasi Khmer sampai abad ke-11. Sebuah dinasti baru yang berasal

dari tingkat provinsi memperkenalkan agama Buddha, yang menurut beberapa cendekiawan

mengakibatkan penghancuran umum dan ketidaklanjutan agama kerajaan. Kronologi

kerajaan berakhir pada abad ke-12. Prestasi-prestasi besarnya dalam administrasi, pertanian,

arsitektur, hidrologi, logistik, perencanaan tata kota dan seni rupa merupakan testimoni pada
sipilisasi kreatif dan progresif dalam kompleksitas batu pijakan warisan kebudayaan Asia

Tenggara.1

Penghancuran berlanjut melalui periode trasisional selama sekitar 100 tahun yang

disusul oleh Periode Pertengahan sejarah Kamboja, yang disebut Zaman Kegelapan

Kamboja, yang dimulai pada pertengahan abad ke-15. Meskipun seluruh kultus Hindu

tergantikan, sebuah situs monumen di ibu kota lama masih menjadi pusat spiritual penting.

Sejak pertengahan abad ke-15, populasi besar berpindah ke timur dan dengan beberapa

pengecualian - bermukim pada tepian sungai Mekong dan Tonle di Chaktomuk, Longvek

dan Oudong.

Perdagangan maritim adalah dasar paling berpengaruh pada abad ke-16. Namun, para

pendatang Muslim Melayu dan Cham, para misionaris dan para penjelajah Eropa Kristen

makin mengganggu dan mempengaruhi urusan pemerintahan. Keberuntungan yang

ambisius, sebuah ekonomi satu tangan dan budaya yang mengganggu dan ikut campur

kerajaan pada bidang lainnya membuat wilayah tersebut memasukki era Longvek. Pada abad

ke-15, suku-suku tetangga tradisional Khmer, suku Mon di bagian barat dan suku Cham di

bagian timur secara bertahap tergerogoti dan tergantikan masing-masing oleh Siam/Thai dan

Annam/Vietnam.

Profil Negara

Kamboja adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di Asia Tenggara. Negara yang

pernah dijajah oleh Perancis selama 90 tahun (1863 – 1953) ini merdeka pada tanggal 9

1
Profil Negara Kamboja. https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-kamboja-cambodia/ . Diunduh
pada 14 Oktober 2019 9.40 WIB
November 1953. Kamboja memiliki luas wilayah sebesar 181,035 km2 dengan jumlah

penduduk 15.957.223 jiwa (data tahun 2016). Mayoritas penduduk Kamboja adalah etnis

Khmer (97,6%) yang beragama Buddha (96,9%). Bahasa Khmer merupakan bahasa resmi

negara yang memiliki nama lengkap Kerajaan Kamboja ini.

Seperti nama lengkapnya, Kamboja adalah negara yang menganut sistem

pemerintahan Monarki Konstitusional yang kepala negaranya adalah seorang Raja yaitu Raja

Norodom Sihamoni yang menjabat sejak 29 Oktober 2004. Sedangkan kepala

pemerintahannya adalah Perdana Menteri yang dijabat oleh Hun Sen sejak 14 Januari 1985.

Kerajaan Kamboja ini merupakan penerus dari Kekaisaran Khmer yang pernah menguasai

wilayah semenanjung Indochina pada abad 11 hingga abad 14. Ibukota Kamboja adalah

Phnom Penh.

Sistem Politik Kamboja

Sistem politik Kamboja yang ada saat ini mengalami perjalanan yang cukup panjang,

dimana melibatkan nyawa dari jutaan penduduknya untuk mencapai kondisi yang ada saat

ini. Dikabarkan bahwa pada saat pendudukan Khmer Merah telah terjadi pembantaian sekitar

1,5 juta penduduk Kamboja. Sebuah angka yang cukup fantastis.

Sistem politik yang ada di Kamboja saat ini adalah Monarki Konstitusional. Dalam

sistem pemerintahan ini kepala Negara masih dipimpin oleh seorang raja sedangkan kepala

pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri. Legislatif terdiri dari Senat diangkat

61 anggota dan 123 rumah anggota yang lebih rendah, Majelis Nasional, dipilih berdasarkan

perwakilan proporsional dengan suara populer untuk istilah 5 tahun.


Untuk pemilihan perdana menteri biasanya dilakukan melalui sistem pemilu yang

diikuti oleh seluruh rakyat Kamboja. Sedangkan untuk pemilihan Raja selaku kepala Negara

hanya bisa diikuti oleh keturunan Raja saja dan persetujuan dari Parlemen yang merupakan

Khmer itu sendiri. Konstitusi menetapkan bahwa Kamboja mengadopsi kebijakan demokrasi

liberal dan pluralisme, dan bahwa orang-orang Kamboja adalah tuan dari negara. Konstitusi

juga menetapkan bahwa kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan cabang Yudisial harus

dipisahkan. Negara ini memiliki badan legislatif bikameral yang terdiri dari Majelis Nasional

dan Senat.2

2
Fakta-Fakta Soal Pemilu Kamboja. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180729030218-106-
317798/fakta-fakta-soal-pemilu-kamboja-2018 . Diunduh pada 15 Oktober 2019
PEMBAHASAN

Kamboja merupakan salah satu negara yang berada di wilayah Asia Tenggara. Negara

ini memperoleh kemerdekaannya dari Perancis tanggal 19 November 1953. dan setelah itu

Pangeran Sihanouk langsung menjabat sebagai kepala negaranya. Politik Luar negeri

Kamboja di awal pemerintahan Pangean Sihanouk adalah mengamankan integritas wilayah

dan kedaulatan negaranya, membuka hubungan diplomatik dengan negara lain,

mempertahankan keanggotaannya di PBB, dan yang terakhir adalah mengupayakan bantuan

asing untuk pembangunan negaranya.

Konstelasi politik saat itu sudah terbagi ke dalam dua kekuatan, AS dan Soviet. Dan

saat itu Kamboja sudah mulai berhaluan Barat, pertama karena Kamboja menjalin kerjasama

dengan Perancis (untuk mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan kerjasama Internasional)

dan Kamboja juga berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara Barat,

terutama Amerika. Dan Kamboja menggangap Vietnam Utara, yang di dukung oleh Cina,

sebagai ancaman bagi kemerdekaannya.

Dari awal kemeredekaannya, negara ini sudah mulai mengalami banyak masalah

internal, seperti munculnya ketegangan politik dan bangkitnya pergolakan menjelang pemilu.

Pergolakan politik internal di Kamboja ini terjadi ketika pada tahun 1955, Pangeran Sihanouk

membentuk Partai Sangkum untuk di ikut sertakan pada pemilu. Meskipun pada akhirnya

partai ini behasil memenangkan kursi di DPR, tapi di dalamnya partai ini mengalami

perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan muda menganggap golongan tua

mempertahankan kedudukannya dan enggan memberikan kesempatan bagi golongan muda.

Selain itu terdapat pula perselisihan antara golongan pedagang (yang mayoritas terdiri dari

keturunan Tionghoa dan Vietnam) yang mengendalikan perekonomian Kamboja. Untuk


menyelesaikan masalah tersebut, Pangeran Sihanouk membentuk Kabinet Pangeran

Norodom Kantol, dengan menunjuk ketua DPR menjadi Perdana Menteri dan menjalankan

pemerintahan. Dalam kabinet ini, Jenderal Lon Nol dipilih sebagai Menteri Pertahanan.

Sistem politik Kamboja didominasi oleh Perdana Menteri Hun Sen dan partainya,

Partai Rakyat Kamboja (CPP) selama lebih dari tiga dekade. "Negara itu telah menggelar

pemilu semikompetitif di masa lalu, tapi pada 2017 makin mendekat dengan pemerintahan

otoriter dengan melarang oposisi utama dan menutup outlet media independent," tulis

freedomhouse.org.

Kamboja menyaksikan perang sipil berturut-turut selama lebih dari 20 tahun setelah

kudeta pada 1970. Pada 1991, pihak-pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan untuk

mengakhiri pertempuran. Namun baru pada 1993, pemilihan nasional digelar oleh Otoritas

Transisi Perserikatan Bangsa-bangsa bagi Kamboja (UNTAC), bekerja sama dengan Dewan

Nasional Kamboja. Pemilihan umum nasional pertama digelar pada 23-28 Mei 1993. Meski

beberapa wilayah masih diduduki Khmer Merah, jumlah pemilih cukup tinggi yakni

mencapai 86,78 dari hampir lima juta pemilih yang terdaftar. Empat partai politik

memenangkan kursi di Majelis Konstituante, tapi tak ada partai yang memenangkan dua per

tiga mayoritas kursi untuk membentuk kabinet, sehingga terbentuk pemerintahan koalisi.

Hingga kini, lima pemilu telah digelar. Yakni 1993, 1998, 2008 dan 2013. Pemilu yang

digelar hari ini, Minggu, 29 Juli 2018 adalah pemilu yang keenam.

Pemilu Kamboja 2018 diwarnai imbauan boikot dari pemimpin eks-partai oposisi Partai

Penyelamatan Nasional Kamboja/Cambodia National Rescue Party (CNRP), Sam Rainsy.

Hal ini lantaran partai CNRP dibubarkan November 2017 dengan tuduhan pengkhianatan

terhadap negara. Rainsy menganggap pemilu kali ini adalah pemilu palsu, yang bakal
dimenangkan dengan mudah oleh partai berkuasa, Partai Perdana Menteri Hun Sen, Partai

Rakyat Kamboja/Cambodian People's Party (CPP). Pembubaran partai oposisi CNRP

tersebut juga ditentang oleh beberapa kalangan, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa

sehingga mereka menyatakan tidak akan mengirimkan pengamat dan tidak akan mengakui

hasil pemilu Kamboja.

Mahkamah Agung (MA) Kamboja, Kamis (16/11), membekukan Partai

Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) serta melarang 108 politisi partai oposisi utama

tersebut memegang jabatan politik hingga lima tahun ke depan. Aktivis HAM menilai vonis

MA berlatar politik ini sebagai lonceng ‘'kematian'' demokrasi di Kamboja.

Vonis yang dibacakan tanpa kehadiran pihak CNRP tersebut sudah diprediksi sejak

pengajuan pembekuan diserahkan pemerintahan PM Hun Sen bulan lalu. MA dinilai diisi

orang-orang yang tidak bisa lepas dari pengaruh sang PM yang telah berkuasa 32 tahun itu.

Bahkan, pekan lalu Hun Sen menantang bertaruh bahwa MA pasti membekukan CNRP.

CNRP merupakan satu-satunya partai oposisi yang berpeluang menandingi Partai Rakyat

Kamboja (CPP)-nya Hun Sen pada pemilu tahun depan. Hakim Agung Dith Munty, yang

membacakan vonis MA, tercatat sebagai anggota CPP. Independensi peradilan pun menjadi

bahan olokan aktivis HAM. Bahkan, lembaga peradilan dicap telah andil penting

mewujudkan pemerintahan satu partai di Kamboja.‘'Ini kematian demokrasi di Kamboja,''

kata Phil Robertson dari Human Rights Watch. Ia menyerukan mitra-mitra asing

menghentikan bantuan bagi penyelenggaraan Pemilu 2018 di Kamboja yang ‘'tidak kredibel''.

Dalam cuitan mengomentari vonis MA, Monovithya Kem (putri Presiden CNRP Kem

Sokha) juga menyerukan negara-negara donor menghentikan bantuan untuk pemilu di

Kamboja tahun depan. ‘'Saatnya bagi Uni Eropa, Jepang, Australia, dan AS mengumumkan
mundur dari pemberian bantuan pemilu atau mereka menjadi antek atas kematian demokrasi

Kamboja ini,'' tulisnya.3

The International Commission of Jurists (ICJ) menyatakan, Kamboja telah melintasi

‘'garis merah''. Pembekuan CNRP bermakna pelenyapan kesempatan jutaan pemilih untuk

memilih para wakilnya secara bebas. Dalam pidato televisi, Kamis malam, Hun Sen

menyerukan rakyat tenang menyusul vonis MA untuk CNRP. Ia mengatakan Pemilu 2018

tetap berlangsung sesuai jadwal. ‘'Pemerintah mendukung putusan MA dan putusannya itu

akan menjadi kedamaian,'' ujar PM berlatar eks Komandan Khmer Merah yang membelot

itu. Dengan memberangus CNRP, justru kini Hun Sen dinilai sedang mempertaruhkan

reputasi keberhasilannya menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Kamboja setelah

beberapa dasawarsa dikoyak perang saudara.

Dalam sidang pembacaan vonis, hakim mengatakan, boikot oleh CNRP berarti

pengakuan atas yang dituduhkan oleh pemerintah bahwa partai oposisi tersebut bersekongkol

dengan Amerika Serikat (AS) serta aktor-aktor asing demi mewujudkan revolusi di Kamboja.

CNRP dan Washington menolak tuduhan yang mereka sebut palsu ini. Melalui pernyataan

resmi, CNRP menyebut masih sebagai ‘'partai yang sah legitimate dengan mandat dari lebih

separuh rakyat Kamboja''. CNRP tetap menilai kasus dan vonis MA bermotif politik yang

sengaja dibuat berdasarkan tekanan demi memenuhi harapan partai berkuasa yang mencoba

menyingkirkan CNRP dari pentas politik.4

3
Pernyataan Tokoh Eropa Soal Brexit. https://dunia.tempo.co/read/1262291/4-pernyataan-tokoh-eropa-
soal-brexit-pada-31-oktober . Diunduh pada 15 Oktober 2019 Pukul 4.00 WIB
4
Demokrasi Kamboja Telah Mati. http://harnas.co/2017/11/16/demokrasi-kamboja-telah-mati diunduh pada
14 Oktober 2019 9.30 WIB
KESIMPULAN

Jika dilihat dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan di

masa yang akan berubah dari monarki konstitusional ke republik, karena sejak jatuhnya rezim

demokratik Kampuchea yang dipimpin Pol Pot. Sistem politik Kerajaan Kamboja telah

didefinisikan dengan sangat jelas oleh Konstitusinya, sebagaimana diartikulasikan dalam Bab IV,

Pasal 51 hingga 55, dengan mengadopsi demokrasi multi-partai yang liberal. Dengan begitu, warga

Khmer adalah tuan dari negara mereka sendiri di mana semua kekuatan adalah milik mereka.

Mungkin, pada titik ini alangkah lebih baik untuk mengingat kembali definisi dari Prof.

Joseph Schumpeter, seorang profesor Ilmu Politik Austria-Amerika di Universitas Harvard,

mengenai demokrasi dasar, yakni: "Kewenangan pemerintah berasal dari persetujuan

masyarakatnya atau partisipasi pemilihan umum melalui pemilihan yang bebas, terbuka dan

bersaing.” Dengan demikian, dalam konteks ini, dapat diposisikan bahwa semangat proses

demokrasi Kamboja melalui pemilihan umum dapat ditanamkan tidak dalam pemikiran semu

para oposisi yang didukung oleh tentakel asing, tetapi pada kerangka "quid pro quo", yang

berarti sesuatu yang diberikan atau diterima secara signifikan oleh masyarakat dalam

peningkatan kualitas hidup mereka sebagai ganti dari sesuatu yang lain, khususnya

masyarakat demokratis yang berkembang serta pembangunan ekonomi.


DAFTAR PUSTAKA

Demokrasi Kamboja Telah Mati. http://harnas.co/2017/11/16/demokrasi-kamboja-telah-

mati .diunduh pada 14 Oktober 2019 9.30 WIB.

Fakta-Fakta Pemilu https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180729030218-106-

317798/fakta-fakta-soal-pemilu-kamboja-2018 . Diunduh pada 15 Oktober 2019.

Pernyataan Tokoh Eropa Soal Brexit. https://dunia.tempo.co/read/1262291/4-pernyataan-

tokoh-eropa-soal-brexit-pada-31-oktober . Diunduh pada 15 Oktober 2019 Pukul 4.00 WIB.

Profil Negara Kamboja. https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-kamboja-

cambodia/ . Diunduh pada 14 Oktober 2019 9.40 WIB.

Anda mungkin juga menyukai