Yesus lahir dan beranjak dewasa dalam sebuah struktur sosial dengan kelas-
kelas sosial yang bervariasi. Dimana Saduki (Upper Class), Farisi (Middle Class),
Am Ha-aretz (Lower Class). Dalam menyebarkan ajarannya Yesus mendapatkan
dukungan penuh dari kelas tertindas ini, dan inilha inti kekuatan Yesus di awal
kariernya menyebarkan agama Tuhan.
Di zaman Yesus hidup di kota suci Jerusalem dan sekitarnya kerap berbagai
gerakan pemberontakan dan aksi-aksi protes sosial terhadap struktur kekuasaan
imperium Romawi. Dinamika sosial politik itu signifikan mempengaruhi corak dan
karakteristik ajaran-ajaran Yesus dan agama Kristen awal, khususnya menyangkut
aspek-aspek politik. Menjelang kewafatan raja Herodes, pemberontakan di bawah
pimpinan tokoh-tokoh Farisi terjadi di Jerusalem dan berhasil dipadamkan. Tidak
lama setelah kewafatan raja Herodes, kota Jerusalem kembali dilanda kerusuhan
sosial. Archealus salah seorang tokoh gerakan, yang menuntut pembebasan orang-
orang Yahudi yang dipenjarakan karena terlibat kasus-kasus politik. Inti dari segala
bentuk pemberontakan dan protes sosial adalah deprivasi psikologi akibat penindasan
imperium Romawi selama berabad-abad.
Selain gerakan-gerakan pemberontakan melalui jalur kekerasan, di masa itu
juga sering muncul gerakan spiritual. Karakteristiknya; menekankan keharusan kasih
terhadap sesama manusia, pengabdian penuh kepada Tuhan dan menghindari jalan
kekerasan untuk mencapai tujuan. Gerakan ini antara lain dipelopori oleh Yohanes
Pembaptis, anak Nabi Zakaria. ‘Datangnya Kerajaan Tuhan”- merujuk ada zaman
yang bebas dari penindasan politik, kemerdekaan ekoonomi, tegaknya keadilan dan
emensipasi di antara manusia-merupakan unsur dasar dari doktrin ideologis Yohanes
Pembaptis. Gerakan perlawanan politik terhadap penguasa imperium Romawi tidak
berhenti ketika terbunuhnya Yohanes Pembaptis, akan tetapi kemudian dilanjutkan
oleh Yesus yang pernah dibaptis olehnya.
Di kalangan sejarahwan ketokohan Yesus kontroversial. Banyak yang
mempertanyakan eksistensi seorang Yesus dari Nazareth. Akan tetapi semua itu di
mentahkan oleh Durant yang menyebutkan eksistensi Yesus tidak perlu
dipertanyakan, karena Yesus memang benar-benar ada dalam sejarah. Yesus sebagai
figure sejarah teramat penting karena dengan cara itulah, menurut Kahl, kita bisa
memahami pesan-pesan Kristiani yang benar-benar dari Yesus dan bukan berasal
darinya. Figur teologis Yesus, terefleksi dalam doktrin Kristiani tentang Yesus anak
Tuhan. Durant mengakui bahwa Yesus Kristus memiliki visi politik dan kenegaraan.
Kajian mendalam Erich Fromm tentang sejarah Al Kitab dab gerakan-gerakan
Kristiani awal, You Shall be as Gods (1968) mensiratkan bahwa seorang tokoh
gerakan keagamaan pada hakikatnya adalah seorang tokoh politik, meski gerakan-
gerakannya sepenuhnya bersifat keagamaan.
Dalam kerajaan Tuhan tidak ada manusia yang hidup bermegah-megahan,
sementara sebagian manusia lainnya hidup menderita, miskin, dan tertindas. Doktrin
tentang ‘Kerajaan Tuhan’ yang diajarkan Yesus mengakomodasi aspirasi rakyat kelas
bawah dan tertaindas. Maka adalah wajar dengan doktrin itu Yesus-sebagaimana
Yohanes Pembaptis dan tokoh-tokoh gerakan mesianistis lainnya-memperoleh
dukungan penuh kelas tertindas di kawasan Jerusalem dan sekitarnya. Mengenai
kekuasaan Negara, Yesus mengajarkan pengikutnya untuk patuh pada kekuasaan
Romawi dan taat pada aparat-aparat Negara. Sebab dalam pandangan Kristiani
kekuasaan Negara pada hakikatnya bersifat sacral karena ia berasaldari Tuhan.
Kristologi Paulus
Kristoligi paulus menyebabkan ajaran-ajaran Yesus kemudian tidak lagi
dikategorikan sebagai bagian dari ajaran sekte Yahudi. Pengikut Yesus yang
sebelumnya kebanyakan orang Yahudi dan identik dangan ras yahudi kini menjadi
kelompok keagamaan tersendiri dengan orang-orang Kristen.
Modifikasi teologis doktrin poitik paulus memiliki dampak politik. Di abad-abad
selanjutnya,ajaran paulus dan Yesus kemudian dikembangkan oleh bapa gereja
(father of the crurch)
SANTO AGUSTINUS (354-430 M)
Biografi Augustinus
Augustinus lahir di Tagste, Numidia (Tunisia) Afrika Selatan tahun 354 M,
Ayahnya Patricius penganut Paganisme, sedangkan ibunya Monica, seorang Katholik
yang taat. Augustinus memiliki pandangan spiritualisme yang berbeda dengan kedua
orang tuanya,yaitu Manikeisme. Manikeisme adalah keyakinan bahwa dalam
kehidupan ini selalu terjadi konflik permanen antara penguasa terang dengan
penguasa kegelapan, antara kerajaan kegelapan dengan kerajaan terang. Di Carthago,
370 M, Augustinus hidup bergelimang dosa dengan hidup bersama seorang wanita
selama empat belas tahun tanpa nikah, dan memiliki anank bernama Adeodatus. Taun
383 M, ia pergi ke Roma dan Milan. Di Milan ia menjadi guru serta meninggalkan
Manikeisme setelah mengalami pergulatan batin dan krisis spiritualitas serta
moralitas. Di saat seperti itulah ia menemukan kebenaran dari ajaran-ajaran pemikir
Yunani, antara lain Aristoteles dan Plato. Falsafah idealism Plato sangat
mempesonanya, itulah sebabnya dia menjadi Neo-Platonis. Dalam proses pencarian
kebenaran dan makna hidup hakiki itu ia bertemu dengan Santo Ambrosius.
Ambrosius adalah seorang bishop di kota Hippo. Ambrosius adalah teolog
yang juga memiliki prinsip-prinsip politik yang tegas. Dibawah pengaruh Ambrosius
inilah kemudian Augustinus sadar dan bertobat, April 387 M, ia memeluk agama
Katholik dan menjadi ‘pelayan Tuhan’ dan di angkat menjadi bishop di Hippo. Ia
sngat aktif menyebarkan perkabaran Allkitab dan menulis tentang berbagai persoalan
teologis, sosial, politik, etika Kristiani , dan bahkan menulis biografinya. Dari
kegiatan itulah lahir karya-karyanya antara lain City of God dan The Confessions.
City of God: Refleksi tentang Negara dan Kekuasaan
Karya The City of God yang berisi pemikiran Augustinus mengenai Negara
dan kekuasaan adalah sebuah produk interaksi-dialektis antara dirinya dengan realitas
sosio-politik yang mengitarinya. Karya itu merupakan respon kreatifnya terhadap
peristiwa-peristiwa nyata yang dihadapinya. Setidaknya terdapat dua peristiwa
historis dramatis yang disaksikan dan mempengaruhi Augustinus dalam menuliskan
pemikirann-pemikirannya. Pertama, kejatuhan Roma ke tangan bangsa Barbar
Visigoth dan Alarik tahun 410 M, dan kedua, diterimanya agama Kristen, melalui
dekrit politik Kaisar Theodosius, menjadi agama resmi imperium Romawi, 393 M.
Kejatuhan kota Roma membawa dampak luar biasa bagi Imperium Romawi. Denga
kejatuhan Roma timbul tuduhan negative rakyat dan sebagian penguasa imperium
terhadap agama Kristen. Juga berkembang anggapan bawa kejatuhan Roma
disebabkan karena dewa-dewa marah. Tuduhan-tuduhan itu dibantah oleh Augustinus
melalui tulisannya De Civitate Dei.
Menghadapi berbagai tuduhan dan pertanyaan yang ditujukan terhadap agama
Kristen sekitar keruntuhan Roma. Augustinus secara tegas mengatakan bahwa
kehancuran Roma tidak ada sangkut pautnya dengan agama Kristen dan diterimanya
agama itu sebagai agama resmi Negara. Augustinus menganalogikan negara,
imperium dan masyarakat seperti manusia. Manusia lahir, berkembang, matang,dan
hancur, begitu juga dengan negara, imperium, dan masyarakat.
Gagasan organismik kehancuran imperium atau Negara Augustinus ini jelas
memperlihatkan pengaruh Aristoteles. Lebih jauh teolog ini juga mengemukakan
bahwa bencana kehancuran Romawi tidak hanya terjadi pada masa hidupnya. Jadi
menurut Augustinus, kejayaan imperium Romawi selama berabad-abad bukanlha
karena dewa-dewa paganis itu, melaikan terjadi atas kehendak Allah. Augustinus juga
mengajukan argumentasi teologis dalam menjelaskan kejatuhan Roma. Kejatuhan
Roma memiliki basis teologis dalam sejarah. Augustinus berpendapat bahwa cikal-
bakal kejatuhanitu telah ada jauh sebelum imperium Romawi terbentuk, yaitu dengan
terjadinya kejatuhan Adam-manusia pertama dan nenek moyang segala bangsa-dari
surge. Akibatnya anak cucunya mengalami kejatuhan serupa seperti yang dialami
Adam. Menurut Augustinus dengan kejatuhan Adam maka mulailah terjadi kejahatan
di muka bumi.
Dari segi metodologis Nampak bahwa pengamatan Augustinus mengenai
kejatuhan imperium Romawi lebih didasarkan pada penjelasan normative-teologis,
bukan didasarkan pada verifikasi empiris. Augustinus adalah seorang tekstualis-
idealis ,bukan seorang empiris . Menurut para sejarahwan pandangan Augustinus
tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan historis, Edward Gibbon, misalnya,
berpendapat bahwa kejatuhan Roma dan imperium Romawi disebabkan karena
multifactor yang saling berkaitan, diantaranya serangan kaum gereja terhadap
Romawi, kemunculan dan perkembangan sekte-sekte agam Kristen. Jadi , meurut
sejarahwan Gibbon agama Kristen tetap memiliki andil dalam kehancuran imperium
Romawi.