Kelas 1 B
Dosen Djoko Martono, SH, MH.
BAB II
Obyek Ilmu Negara
Sedangkan Ilmu Negara memandang obyeknya itu yaitu Negara, dari sifat atau dari
pengertiannya yang abstrak, yaitu artinya obyeknya itu dalam keadaan terlepas dari tempat,
keadaan dan waktu, jadi tegasnya belum mempunyai ajektif tertentu, bersifat abstrak-umum-
universil. Dari obyeknya yang bersifat demikian ini, yang kemudian dibicarakan lebih lanjut
adalah : kapankah sesuatu dinamakan negara, kapan tidak, lalu apakah yang disebut negara
itu, hakekatnya itu apa, dan seterusnya. Dari obyeknya itu tadi, yaitu negara dalam
pengertiannya abstrak, yang diselidiki lebih lanjut adalah :
1. Asal mula negara
2. Hakekat negara
3. Bentuk-bentuk negara dan pemerintah
BAB III
Asal Mula Negara
A. Jaman Yunani Kuno
1. Socrates
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat
obyektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah
menciptakan hukum, yang harus dilakukan para pemimpin, atau para penguasa yang dipilih
secara seksama oleh rakyat. Di sinilah tersimpul pikiran demokratis dari Socrates.
2. Plato
Plato adalah murid terbesar Socrates, menurut Plato negara itu timbul atau ada karena adanya
kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka macam, yang menyebabkan mereka harus
bekerja sama, untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena masing-masing orang itu secara
sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Karena itu sesuai dengan kecakapan
mereka masing-masing, tiap-tiap orang itu mempunyai tugas sendiri-sendiri dan bekerja sama
untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan mereka inilah yang kemudian
disebut masyarakat atau negara.
3. Aristoteles
Seperti juga Plato, Aristoteles pun beranggapan bahwa negara dimaksudkan untuk
kepentingan warga negaranya, supaya mereka itu dapat hidup baik dan bahagia. Jadi menurut
Aristoteles negara itu merupakan suatu kesatuan, yang tujuannya untuk mencapai kebaikan
yang tertinggi yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota daripada negara. Dengan
demikian Aristoteles telah menjadi seorang realistis, sedangkan kalau Plato adalah seorang
idealistis. Hal yang demikian ini akan dapat kita pahami, bila kita melihat, dan
memperhatikan keadaan, yaitu bahwa Plato menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan alam
demokrasi, dimana orang selalu mencari jalan untuk mencapai keadilan. Sedangkan kalau
Aristoteles menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan alam kerajaan dunia, dimana rakyat
yang dulunya merdeka itu dikuasai oleh penguasa asing yang memerintah dengan kekuasaan
tak terbatas.
4. Epicurus
Negara menurut Epicurus itu adalah merupakan hasil daripada perbuatan manusia, yang
diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan anggota-anggotanya. Masyarakat tidak
merupakan realita dan tidak mempunyai dasar kehidupan sendiri. Manusialah sebagai
individu, dan sebagai anggota masyarakat, yang mempunyai dasar-dasar kehidupan yang
mandiri, dan yang merupakan realita. Jadi menurut Epicurus yang hidup itu adalah
individunya, yang merupakan keutuhan itu adalah individunya, sedang negara atau
masyarakat adalah buatan daripada individu-individu tersebut, jadi sama benda mati dan
merupakan suatu mekanisme.
5. Zeno
Kaum Stoa dengan ajarannya yang bersifat universalistis, sebenarnya ingin mengajarkan
bahwa orang itu harus menyesuaikan diri dengan susunan dunia internasional, dan dengan
demikian praktis mematikan alam pikiran demokrasi nasional seperti yang telah diajarkan
oleh Aritoteles. Bersamaan dengan ini bangsa Romawi sedang melebarkan sayap
kerajaan dunianya, oleh karena itu bangsa Yunani justru akan mengoper filsafat kaum Stoa
ini dari bangsa Yunani sebagai barang sesuatu yang sangat berguna bagi mereka, yaitu untuk
menciptakan kerajaan dunia.
2. Cicero
Negara menurut Cicero adanya itu adalah merupakan suatu keharusan, dan yang harus
didasarkan atas ratio manusia. Ajaran Cicero ini sebetulnya meniru dan disesuaikan dengan
ajaran kaum Stoa. Pengertian ratio disini yang dimaksud oleh Cicero adalah ratio murni, yaitu
yang didasarkan atau menurut hukum alam kodrat. Jadi tidaklah seperti ajaran Epicurus yang
menganggap bahwa negara itu adalah merupakan hasil daripada perbuatan manusia, dan
fungsinya hanya sebagai alat saja daripada manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semeca
Setelah jatuhnya Imperium Romawi, maka sejarah pemikiran tentang negara dan hukum
memasuki jaman abad pertengahan. Pemikiran tentang negara dan hukum pada jaman abad
pertengahan ini tidak secara langsung dikuasai oleh masalah-masalah keduniawian, terutama
yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan materiel, dan bukan lagi dari sudut
filsafat, melainkan ditinjau dari segi ke-Tuhanan, dari segi agama. Dan memang
sesungguhnya bahwa perkembangan sejarah pemikiran tentang negara dan hukum pada
jaman abad pertengahan ini berbarengan dengan timbulnya perekembangan agama Kristen,
yang nantinya akan menimbulkan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum yang bersifat
teokratis.
3. Marsilius
Mengenai ajarannya tentang kenegaraan, Marsilius sangat dipengaruhi oleh ajaran
Aristoteles. Negara adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai dasar-dasar hidup
dan mempunyai tujuan tertinggi, yaitu menyelenggarkan dan mempertahankan perdamaian.
Dengan demikian Marsilius bersama-sama dengan Dante adalah yang pertama-tama
memberikan tujuan tersendiri pada negara.
b. Thomas Hobbes
Apakah kiranya sumbangan Thomas Hobbes dalam sejarah pemikiran tentang negara dan
hukum sebagai ahli pikir? Sumbangannya ialah suatu sistem materialistis yang besar, dalam
mana termasuk juga perikehidupan organis dan rokhaniah. Artinya bahwa tujuan hidup, yaitu
kebahagian, itu hanya dapat dicapai dengan cara berlomba dengan gerak. Adapun alat-alat
untuk dapat mencapai kebahagiaan adalah kekuasaan terbesar untuk kepentingan manusia
adalah negara. Ajarannya itu ditulis dalam dua buah bukunya yang sangat terkenal ialah De
Cive (tentang warga negara) dan Leviathan (tentang negara).
c. Benedictus de Spinoza
Tugas negara menurut Spinoza adalah menyelenggarakan perdamaian, ketentraman dan
menghilangkan ketakutan. Maka untuk mencapai tujuan ini, warga negara harus mentaati
segala peraturan dan undang-undang negara, ia tidak boleh membantah, meskipun peraturan
atau undang-undang negara itu sifatnya tidak adil dan merugikan. Sebab jika tidak demikian,
maka keadaan alamiah akan timbul kembali. Jadi dengan demikian kekuasaan negara adalah
mutlak terhadap warga negaranya.
b. Montesquieu
Menurut pendapatnya kekuasaan negara dibagi atau dipisahkan menjadi tiga, dan yang
masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, yaitu:
1. Kekuasaan perundang-undangan yaitu legislatif.
2. Kekuasaan melaksanakan pemerintahan yaitu eksekutif.
3. Kekuasaan kehakiman yaitu judikatif.
Pendapat Montesquieu tersebut di atas, kemudian terkenal sebagai ajaran Trias Politica, yang
memberi
nama sebagai demikian adalah Immanuel Kant.
d. Immanuel kant
Sebagaimana Immanuel Kant sebagai seorang sarjana hukum alam, maka ia menerima
pendapat bahwa negara itu terjadi karena perjanjian masyarakat, jadi sama dengan pendapat
Rousseau, dan menyatakan pendapatnya bahwa kedaulatan itu ada pada rakyat, dan kemauan
umum itu menjelma dalam perundang-undangan negara. Tetapi meskipun demikian ada
perbedaanya, dan perbedaan itu bersifat prinsipiil yang artinya menurut Immanuel Kant
bahwa perjanjian masyarakat itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, tidak pernah
merupakan kenyataan atau peristiwa di dalam sejarah.
G. Jaman Berkembangnya Teori Kekuatan (Kekuasaan)
Menurut teori kekuatan, seperti telah dikatakan di atas negara itu adalah merupakan alat dari
golongan yang kuat untuk menghisap golongan yang lemah terutama sekarang dalam
lapangan ekonomi. Memang kadang-kadang negara itu atau konkritnya penguasa,
mengeluarkan peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan golongan yang lemah.
Tetapi akhirnya tokoh yang diperhitungkan hanya kepentingan si penguasa saja. Tokoh dalam
teori tersebut antara lain : F. Oppenheimer, Karl Marx, H.J. Laski, dan Leon Duguit.