Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ISLAM DI NEGARA INDOCINA (KAMBOJA)


Disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara

Disusun Oleh :
Sulfika Saputri (201530)
Widya Yuningsih (201447)

Dosen Pengampu :
Syahrul Rahmat, M.Hum

KELAS IAT A2
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA NEGERI ISLAM (STAIN) SULTAN ABDURRAHMAN
KEPULAUAN RIAU
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kamboja atau Kampuchea merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan wilayah
Asia Tenggara sekaligus terletak di Semenanjung Indo-cina bagian barat daya, yang berbatasan
langsung dengan Thailand di barat laut, Vietnam di timur dan tenggara, dan Teluk Thailand di
barat daya. Sebagian penduduk Kamboja ini adalah etnis Khmer. Penduduk Kamboja
mayoritas memeluk agama Budha, sebagian kecil beragama Khatolik, dan satu persen atau
sekitar 700.000 adalah Muslim.

Gambar 1. Peta negara Kamboja

Kedatangan Islam di Kamboja setidaknya memberikan warna baru bagi aspek


kebudayaan dan keagamaan di Kamboja. Islam masuk ke Kamboja diperkirakan pada abad ke-
15. Tetapi ada yang sedikit berbeda jika dilihat dari pola penyebaran Islam di negara ini.
Kedatangan Islam di Kamboja tidak seperti kedatangan Islam di negara Asia Tenggara lainnya
yang langsung dibawa oleh orang-orang Arab, Persia, maupun Gujarat, melainkan Islam masuk
ke Kamboja dibawa oleh orang-orang dari etnis Champa yang terdiaspora (perantau atau orang
yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke negara lain untuk mencari kehidupan
yang lebih baik ketimbang di daerah atau di negaranya sendiri) ketika terjadi serangan oleh
Kerajaan Vietnam pada abad ke-15.
Sejak kedatangannya di Kamboja, umat Islam memiliki sejarah yang tidak bisa
dipandang sebelah mata. Umat Islam memiliki beberapa alasan yang kuat yang mendorong
mereka untuk melakukan islamisasi di negara itu. Ketika mereka beralkulturasi, pastinya
mendapat respon dari pemerintah maupun masyarakat pribumi setempat, baik itu respon positif
maupun negatif. Dalam aspek geo-politik, perubahan sosial dan hubungan pemerintah
Kamboja dengan umat Islam dari masa ke masa juga menjadi subjek yang menarik untuk
diangkat dan dibahas sejarahnya.
Dalam makalah ini, bagaimana sejarah perkembangan Islam di negara Kamboja akan
dikupas dimulai dari masuknya Islam ke Kamboja sampai terjadinya konflik dan kondisi umat
Islam pasca konflik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola kedatangan dan perkembangan Islam di Kamboja?
2. Apa itu rezim Khmer Merah?
3. Bagaimana kondisi etnis Champa sebelum dan sesudah kedatangan Khmer Merah?
4. Bagaimana pemberontakan etnis Champa pada masa pemerintahan Pol Pot?
5. Bagaimana upaya pemulihan dan kebebasan umat Islam di Kamboja?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana pola kedatangan dan perkembangan Islam di Kamboja.
2. Untuk mengetahui apa itu rezim Khmer Merah.
3. Untuk mengetahui kondisi etnis Champa sebelum dan sesudah kedatangan Khmer
Merah.
4. Untuk mengetahui pemberontakan etnis Champa pada masa pemerintahan Pol Pot.
5. Untuk mengetahui upaya pemulihan dan kebebasan umat Islam di Kamboja.

D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode membaca, yakni metode
yang digunakan untuk menyusun makalah dengan cara membaca buku atau jurnal yang
memiliki pembahasan bersangkutan dengan tema/judul yang akan didiskusikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pola Kedatangan dan Perkembangan Islam di Kamboja


Islam masuk ke Kamboja pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1471 Masehi ketika
runtuhnya kerajaan Champa di Vietnam akibat serangan kerajaan Annam. Runtuhnya kerajaan
Champa juga mengakibatkan penyebaran etnis Cham ke berbagai wilayah di Asia Tenggara,
seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, dan salah satunya adalah Kamboja.
Etnis Champa merupakan suku bangsa atau kelompok yang berasal dari Vietnam Tengah
dan Selatan. Dalam sejarahnya, Etnis Champa pernah mempunyai wilayah kekuasaan yang kini
merupakan wilayah Vietnam bagian Selatan. Sesuai dengan nama etnis ini, kerajaan yang
pernah berkuasa di Vietnam juga bernama kerajaan Champa. Kerajaan Champa bisa dikatakan
memiliki hubungan dekat dengan para penguasa Nusantara. Pada awalnya, kerajaan Champa
dan etnis Champa menganut kepercayaan Hindu dan Buddha. Namun, setelah Islam datang ke
Vietnam, kerajaan Champa berubah menjadi kerajaan Islam. Dalam perkembangannya,
kerajaan Champa mengalami kemunduran yang sangat kentara. Pada akhirnya, kerajaan
Champa dihancurkan oleh kekaisaran Nam dalam peperangan yang terjadi di antara kedua
pihak tersebut. Setelah kekalahan kerajaan Champa, migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh
etnis Champa pun terjadi. Mereka bermigrasi ke wilayah sekitarnya, termasuk ke kerajaan
Khmer di Kamboja. Migrasi yang dilakukan etnis Champa ke Kerajaan Khmer terbagi menjadi
tiga gelombang. Gelombang pertama pada tahun 1471, saat itu Vietnam sedang menduduki
Vijaya. Gelombang kedua pada tahun 1969, saat itu Vietnam sedang menduduki Panduranga.
Gelombang ketiga pada tahun 1832, saat itu Vietnam sedang menduduki wilayah Champa.
Di Kamboja, mereka mendapatkan perlindungan dari raja Khmer dan ditempatkan di
wilayah Tonle Sap. Kerajaan Khmer tidak menganggap etnis Champa sebagai pendatang atau
etnis asing. Sejak saat itu mereka menetap dan mengembangkan diri. Hubungan yag dekat
antara kelompok muslim dan kerajaan ini ditandai dengan diangkatnya seorang tokoh Cham
yang bernama Sait Ahmad pada tahun 1820 sebagai seorang tokoh penting yang sering kali
mewakili raja.
Etnis Champa mendirikan beberapa pemukiman muslim, seperti yang terdapat di
Kampong Chnang dan Kampong Cham, kawasan yang dialiri sungai Mekong, sebelah utara
kota Phnom Penh. Walaupun sebagian pelarian etnis Champa ini mungkin adalah muslim,
namun hubungan erat antara mereka dengan dunia Melayu justru terjalin lebih erat semenjak
perpindahan mereka ke Kamboja. Termasuk dalam konteks ini adalah proses islamisasi yang
intensif di kalangan muslim Champa pada abad ke-16 dan awal abad ke-17. Sejak saat itu,
hampir di setiap pemukiman Cham dibangun masjid. Dari sinilah umat Islam Cham
berkembang hingga ke Tonle Sap, wilayah Kampot di Kamboja Selatan, dan sekitar Phnom
Penh. Hingga kini, kedua tempat ini menjadi konsentrasi penting pemukiman Cham di
Kamboja. Mata pencaharian masyarakat Champa bertumpu pada sektor pertanian, perikanan,
peternakan, dan perdagangan eceran. Selain itu, perdagangan hewan di Kamboja pernah
mendominasi mata pencaharian mereka.

Gambar 2. Peta Tonle Sap, Kampong Chnang dan Kampong Cham

Seiring berjalannya waktu, etnis Champa dapat diterima dengan baik oleh kerajaan
Khmer, baik dalam kehidupan kemasyarakatan maupun bernegara. Hal ini dapat dilihat
penduduk muslim di Kamboja pada awal 1970-an berjumlah sekitar 700.000 orang. Sekitar
120 masjid juga dibangun di berbagai pemukiman muslim. Beberapa jenis pusat pendidikan
islam juga diselenggarakan, baik yang berhubungan dengan masjid ataupun berupa madrasah.
Sekitar 600 ulama dan guru agama telah terlibat dalam kegiatan keislaman di kalangan muslim
Kamboja.
Hubungan masyarakat Cham dan dengan dunia Melayu juga sudah terbina sejak lama.
Di samping hubungan dengan Kerajaan Majapahit, Malaka, Banten, dan Aceh, masyarakat
Cham tercatat memiliki hubungan yang erat dengan negeri Kelantan dan Pattani, di kawasan
Semenanjung Malaka. Bahkan, sejumlah ulama Semenanjung Malaka yang pernah bermukim
di Mekkah melakukan dakwah Islam di Kamboja dan Vietnam sejak abad ke-16. Hubungan
erat ini didukung oleh jarak yang dekat dan sarana transportasi laut yang memadai. Tempat
yang sering kali menjadi perhatian para dai adalah Kandal, Brek Bhak, Kampong Cham,
Kampong Luong, Kampot, Chamnik, Kampong Thom, Chraing Chamreh, Suwai Thin,
Chrumantri, Kaknor, Suwai Krang, Boh Parul, Kampong Khrocma, Klieng Sbaik, Kampong
Phob Bhan, Kok Kepuat, dan Kampong Ro (Kratie), yang semuanya berada di wilayah
Kamboja. Sebagai bukti dari adanya hubungan ini, masyarakat muslim Cham mengirimkan
banyak pelajarnya ke beberapa pusat pendidikan Islam di dunia Melayu, seperti Kelantan dan
Pattani.
Perlakuan pemerintah Kamboja terhadap etnis Champa tidak berubah sama sekali seiring
pergantian rezim pemerintahan sejak masa monarki absolut hingga masa Lon Nol dengan
sistem republik. Mereka masih dianggap sebagai bagian dari masyarakat Kamboja. Namun,
pada tahun 1975, keadaan mulai runyam. Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil
menggulingkan pemerintahan Lon Nol dan membawa perubahan yang sangat besar bagi etnis
Muslim Champa dalam berbagai sektor kehidupan. Khmer Merah mengukir sejarah kelam atas
tindakannya terhadap etnis Champa di Kamboja.

B. Rezim Khmer Merah


Khmer Merah atau Khmer Rouge (Rouge adalah bahasa Prancis yang memiliki arti
Merah) merupakan sebuah sayap militer Partai Komunis Kamboja. Kelompok inilah yang
mengambil kekuasaan secara paksa dari Lon Nol pada tahun 1975 kemudian berhasil
menguasai Kamboja dari tahun 1975 sampai tahun 1979. Khmer Merah menganut ideologi
Komunis radikal. Khmer Merah merujuk pada para pengikut Partai Komunis Kampuchea
(CPK). Pada 17 April 1975, CPK menjadi kekuatan utama rezim Komunis-Maois Kamboja.
Pada masa pemerintahannya, Khmer Merah banyak melakukan penindasan terhadap rakyat.
Dalam struktur kepemimpinan, Khmer Merah ini diketuai oleh seseorang bernama Pol Pot yang
juga merangkap sebagai Sekretaris Jendral Partai Komunis Kamboja.
Selama Khmer Merah memimpin, Pol Pot menerapkan kebijakan ruralisasi. Akibat dari
diberlakukannya kebijakan tersebut, ribuan rakyat Kamboja yang tinggal di daerah perkotaan
dipaksa untuk pindah ke daerah pedesaan untuk menjalankan sektor pertanian. Program
tersebut dijalankan untuk mecapai tujuan mereka yakni mengembalikan kejayaan masa lampau
Kamboja di sektor pertanian. Selain itu, rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot juga
melakukan kekejaman terhadap lawan-lawan politiknya di mana para tawanan politik
dikumpulkan dalam kamp-kamp kecil dan berakhir dengan penyiksaan dan pembunuhan.
Akibat dari kebijakan yang diberlakukan pada saat itu, setidaknya lebih dari dua juta orang
meninggal pada periode pemerintahan Pol Pot di Kamboja. Hal ini menjadi salah satu krisis
kemanusiaan paling parah di kawasan Asia Tenggara.
Dalam menjalankan kebijakannya, Khmer Merah ini terjangkit sentimen xenaphobia.
Sentimen xenaphobia merupakan bentuk atau rasa kekhawatiran terhadap pihak asing atau
pihak pendatang. Dalam kasus ini, Khmer Merah melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis
minoritas yang dianggap pendatang di Kamboja. Apa yang dialami etnis Champa dan Viet
adalah contoh tindakan diskriminasi oleh rezim Pol Pot. Kedua etnis tersebut dipaksa untuk
melebur ke dalam masyarakat Khmer. Tindakan yang dilakukan oleh Khmer Merah ini sangat
bertolak belakang dengan para penguasa Kamboja sebelumnya yang dengan senang hati
menerima etnis Champa sebagai bagian dari komponen negara tanpa memandang identitas dan
kebudayaan yang mereka bawa.
Pada tahun 1979, pemerintahan Khmer Merah pernah mengatakan, “The Cham nation no
longer exists on Cambodian soil belonging to the Khmer.” Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwasannya rezim Khmer Merah ini tidak dapat menerima kehadiran etnis Champa sebagai
bagian dari masyarakat Kamboja. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari adanya perasaan
xenophobia Khmer Merah karena apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka
mengembalikan kemurnian darah Khmer. Sebagai akibatnya, rezim Khmer Merah ini
melegalkan kekerasan terhadap etnis Muslim Champa.

C. Kondisi etnis Champa: Sebelum dan Sesudah Kedatangan Khmer Merah


Pada masa awal kedatangan etnis Champa ke kerajaan Khmer, penguasa-penguasa yang
berada di sana telah memberikan wilayah khusus untuk masyarakat Champa di daerah Oudong
(Ibukota kerajaan Khmer), Thbaung, Khmum, Stung Trang, daerah-daerah di Kompot,
Battambang dan Kampung Luong. Kemudian Pada saat itu etnis Champa sering disebut
dengan Melayu-Champa. Penyebutan ini merujuk pada perpaduan etnis Champa dengan etnis-
etnis nusantara Indonesia seperti Jawa dan Melayu yang telah lama berdiam di Kamboja.
Dengan adanya pemberian suaka khusus tersebut dapat kita lihat bahwasannya betapa
harmonisnya hubungan antara mereka, yaitu kerajaan Khmer dan etnis Champa pada masa saat
itu.
Setelah mereka hidup pada masa kerajaan, Kamboja kemudian dijadikan wilayah jajahan
oleh Prancis pada tahun sekitar 1860-an hingga mencapai kemerdekaan di tahun 1953. Pada
awal kemerdekaan, seorang Raja Norodom Sihanouk yang merupakan penguasa Kamboja pada
masa itu menetapkan bahwa etnis Champa dilarang disebut sebagai etnis Melayu-Champa,
melainkan harus disebut sebagai Khmer Islam. Nah kemudian Sebutan ini pun menjadi populer
hingga saat sekarang ini. Walaupun sudah dilakukan pergantian nama penyebutan, akan tetapi
status dan hak kewarganegaraan etnis Champa tidak dikurangi sedikit pun.
Kudeta militer yang dilakukan oleh salah satu orang terdekat raja, Lon Nol. Yang terjadi
Pada tanggal 18 Maret 1970, Pada masa Lon Nol. Dengan bantuan militer, Lon Nol merubah
sistem negara menjadi republik dan mengangkat dirinya menjadi presiden partisipasi etnis
Champa dalam politik pemerintahan mulai meningkat. Hal ini ditandai dengan pengangkatan
seorang Champa yang bernama Les Kosem sebagai Jendral di Angkatan Kesatuan Payung
Kamboja. Oleh pihak pemerintah, Les Kosem ditunjuk sebagai utusan untuk mengatasi
berbagai masalah internal yang terjadi dalam masyarakat Champa serta dijadikan sebagai wakil
pemerintah Kamboja di berbagai negara Islam. Posisi yang menjanjikan di masa Lon Nol
berakhir setelah Khmer Merah di bawah Pol Pot melakukan kudeta militer terhadap
pemerintahan yang ada.
Di bawah rezim komunis atheis, Khmer Merah melarang warga Kamboja melakukan
kegiatan beragama. Etnis Muslim Champa merasakan penindasan yang hebat. Mereka dilarang
menggunakan atribut religius seperti jilbab dan jenggot serta dilarang beribadah, termasuk
sholat di masjid atau di rumah. Khmer Merah juga melakukan pembakaran terhadap kitab suci
Al-Quran, menjadikanya sebagai tisu toilet, melakukan penghancuran terhadap masjid-masjid
yang sebagiannya dijadikan sebagai tempat penyimpanan beras. Kebrutalan Khmer Merah
terhadap etnis Champa membuat banyak orang Champa pada masa itu mengaku sebagai orang
Khmer. Jika mereka menolak melakukan hal tersebut maka mereka akan menghadapi
pembunuhan yang keji yang di lakukan oleh Khmer Merah.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah terhadap etnis
muslim Champa dilatarbelakangi oleh keinginan Khmer Merah yang ingin memurnikan
kembali etnis Khmer yang telah bercampur dengan etnis lainnya, termasuk Champa. Etnis
muslim Champa dianggap religius yang dianggap tidak selaras dengan misi Khmer Merah yang
memiliki ideologi Komunis. Karena alasan tersebut, pembantaian terhadap muslim Champa
dianggap memang seharusnya terjadi.
Dari keseluruhan pembantaian yang dilakukan rezim Khmer Merah, diperkirakan lebih
dari dua juta korban tewas. Dari jumlah korban tewas tersebut, lebih dari 500.000 berasal dari
etnis Muslim Champa. Hal tersebut lantas seringkali disebut sebagai genosida tersistematis
oleh Khmer Merah terhadap etnis Muslim Champa di Kamboja.
Gambar 3. Lokasi Pembantaian Khmer Merah

Gambar 3. menunjukkan bagaimana banyaknya kamp pembantaian di daerah yang


mayoritas penduduknya adalah etnis Muslim Champa. Dua daerah yang mayoritas
penduduknya etnis Muslim Champa, Kampong Cham dan Battambang, teryata menjadi
konsentrasi ladang pembantaian tentara Khmer Merah. Tak mengherankan pula jika sekitar
500.000 warga etnis Muslim Champa menjadi korban terbesar dari sekitar dua juta korban jiwa
kekejaman tentara Khmer Merah.
Genosida yang dilakukan Khmer Merah terhadap etnis Muslim Champha tentu
berdampak pada jumlah populasi dan etnis Muslim Champa di Kamboja. Untuk melihat
dampaknya, harus didapatkan terlebih dahulu data populasi etnis tersebut sebelum dan sesudah
terjadinya pembantaian.
Menurut data yang disajikan Phonm Penh Post Online, terdapat sekitar 700.000 Muslim
yang hidup sebelum Khmer Merah naik sebagai penguasa di Kamboja. Dengan perkiraan
sekitar 500.000 etnis Muslim Campha yang dibantai, maka hanya tersisa 200.000 orang yang
selamat setelah Khmer Merah turun dari tampuk kekuasaan. Hal serupa dikemukakan oleh
Hurst Hannum dalam bukunya yang berjudul “International Law and Cambodian Genocide:
The Sounds of Silence: Human Rights Quarterly.” Ia menyatakan bahwa terdapat 700.000 etnis
Muslim Champa yang tinggal di Kamboja. Namun setelah terjadinya pembantaian oleh Khmer
Merah, hanya tersisa 200.000 orang. Dengan demikian, naiknya Khmer Merah ke tampuk
kekuasaan di Kamboja telah berdampak secara signifikan pada berkurangnya populasi etnis
Muslim Champa di sana.
Meski demikian, pasca kejatuhan rezim Khmer Merah, kondisi etnis Muslim Champa
berangsur-angsur membaik. Mereka telah diterima kembali oleh pemerintah Kamboja. Hal
tersebut tentu membuka harapan baru bagi peningkatan kualitas hidup etnis Muslim Champa
di Kamboja.

D. Pemberontakan etnis Champa Pada Masa Pemerintahan Pol Pot


Khmer Merah mulai menindas kelompok etnis Muslim Champa dengan melarang
pemakaian selendang wanita Champa, terutama larangan shalat, konsumsi daging babi secara
paksa, perusakan tempat ibadah, dan pembunuhan orang-orang beragama. Itu dianggap sebagai
pelayan perseteruan. Kemudian, tindakan keras yang terus berlanjut terhadap kelompok etnis
Muslim Champa menyebabkan pemberontakan. Ini adalah pemberontakan pertama kelompok
etnis Muslim di Champa melawan pemerintah Kamboja, karena perlakuan pemerintahan
Khmer Merah tidak lagi dapat diterima.
Pemberontakan terjadi di desa Svay Khleang pada bulan Oktober dan September 1975
(tepat bulan Ramadhan). Kaum Muslim Champa di desa ini merasa bahwa mereka harus
melawan penindasan kebebasan beragama oleh Khmer Merah. Hal ini dilaporkan oleh Yse
Oman, salah satu saksi hidup yang menyaksikan peristiwa pemberontakan ini. Diakuinya,
pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh pembakaran Al-Qur’an, masjid, dan
penangkapan tokoh Islam oleh pemerintah. Pemberontakan tersebut telah menewaskan ratusan
warga etnis Muslim Champa, sementara korban dari pihak Khmer Merah tidaklah terlampau
besar karena mereka menggunakan perlengkapan perang lengkap di saat menghadapi Muslim
Champa yang hanya menggunakan peralatan tradisional.

E. Upaya Pemulihan dan Kebebasan Umat Islam di Kamboja


Setelah kekuasaan Pol Pot berakhir, angin segar demokrasi mulai dirasakan masyarakat
Kamboja. Khususnya sejak tahun 1992, masyarakat muslim Champa lebih dapat merasakan
kebebasan dan menjadikannya sebagai bagian yang dinamis dan tidak terpisahkan dari dunia
Islam lainnya. Hal itu ditandai dengan semakin berkembangnya pembinaan sosial
kemasyarakatan, pendidikan, dan kehidupan ekonomi yang jauh lebih membaik. Upaya
pemulihan ini tidak lepas dari bantuan luar negeri, khusunya sejak diadakannya jajak pendapat
PBB di Kamboja pada 1993 untuk memulihkan pemerintahan yang diakui dunia Internasional.
Selain itu, peranan beberapa parlemen muslim, meskipun hanya 3 orang dari 120 anggota
Parlemen Kamboja, sangat menolong dalam mendatangkan bantuan dari negeri muslim.
Di samping pengembangan sosial kemasyarakatan di atas, masyarakat muslim Champha
juga melakukan renovasi pemulihan berbagai sarana keagamaan dan pendidikan Islam yang
terbengkalai dan hancur. Pada masa Pol Pot berkuasa, dapat dikatakan, hampir seluruh masjid
di wilayah ini seluruhnya berjumlah 113 buah hancur dan tidak terawat. Dengan bantuan
berbagai lembaga Islam Internasional dan, tentu saja, atas kegigihan masyarakat Champa
sendiri, berbagai masjid, Islamic Center, dan madrasah kembali dibangun. Menurut berbagai
sumber, penggalangan dana yang dilakukan berbagai negara yang berpenduduk mayoritas
muslim, khususnya Malaysia, Indonesia, dan negara-negara timur tengah telah menghasilkan
tidak kurang dari 8 juta dollar AS guna pembiayaan pemulihan ini. Disebutkan, sekurang-
kurangnya 250 masjid dan beberapa sekolah berhasil dibangun kembali.
Dalam suasana keterbukaan yang cukup mendukung, masyarakat Champa juga semakin
tersebar hampir ke berbagai pelosok Kamboja. Sebagian lainnya melakukan migrasi ke luar
negeri, seperti Amerika Serikat, Perancis, Canada, dan Malaysia, khususnya guna menghindari
kekerasan dan kekacauan politik selama Pol Pot berkuasa di Kamboja pada masa itu. Namun
walaupun demikian, Kampong Cham dan Kampong Chnang masih merupakan pusat
konsentrasi muslim Champha.
Perubahan yang terjadi sejak awal 1980-an, dan terutama setelah kembalinya kehidupan
relatif normal sejak 1991, memberikan harapan baru kepada masyarakat muslim Kamboja.
Pada tahun 1996, diperkirakan jumlah mereka mencapai 500.000 jiwa lebih sehingga
merupakan kelompok agama kedua terbesar, setelah umat Buddha.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam masuk ke Kamboja pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1471 Masehi ketika
runtuhnya kerajaan Champa di Vietnam akibat serangan kerajaan Annam. Runtuhnya kerajaan
Champa juga mengakibatkan penyebaran etnis Cham ke berbagai wilayah di Asia Tenggara,
seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, dan salah satunya adalah Kamboja.
Mayoritas muslim Kamboja berasal dari kelompok etnis Cham. Jika sebelum 1970-an
masyarakat muslim Kamboja tidak banyak dikenal, setelah mereka mengalami penindasan dan
penghancuran di masa rezim Pol Pot (1975-1979), dunia Internasional menjadi semakin
mengenal meteka.
Penduduk Muslim di Kamboja pada awal 1970-an berjumlah sekitar 700.000 0rang.
Tidak kurang 120 masjid tersebar di berbagai pemukiman Muslim. Beberapa jenis pusat
pendidikan Islam juga diselenggarakan, baik yang terkait dengan masjid ataupun berupa
madrasah. Tidak kurang dari 600 ulama dan guru agama telah terlibat dalam kegiatan
keislaman di kalangan muslim Kamboja. Artinya, keberadaan muslim di Kamboja telah
diterima dalam kehidupan kemasyarakatan maupun bernegara.
Pergolakan di Indocina sejak akhir 1960-an dan sepanjang 1970-an telah mempengaruhi
kehidupan masyarakat muslim Kamboja. Selaras dengan perkembangan gerakan komunis di
Vietnam, masyarakat Kamboja juga terkena dampak gerakan tersebut. Yang jelas,
pengambilalihan kekuasaan oleh Pol Pot pada 1975 mendatangkan musibah besar bagi
masyarakat Muslim. Mereka tidak hanya kehilangan berbagai sarana keagamaan, melainkan
juga kehilangan anggota keluarga dalam jumlah yang luar biasa besar, yaitu antara seperempat
dan separuh jumlah keseluruhan masyarakat Muslim.
Perubahan yang terjadi sejak awal 1980-an, dan terutama setelah kembalinya kehidupan
relatif normal sejak 1991. Memberikan harapan baru kepada masyarakat Muslim Kamboja.
Pada tahun 1996, diperkirakan jumlah mereka mencapai 500.000 jiwa lebih sehingga
merupakan kelompok agama kedua terbesar, setelah umat Buddha.

B. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, maka dari itu
penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang
membangun penulis demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mupiza, Bintar, Pengaruh Pemerintahan Rezim Khmer Merah Terhadap Muslim Champa di
Kamboja, Volume 1, Agustus, 2016.

Syahid, Achmad, dkk, Esiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara: Jilid 5, (Jakarta: PT
Icthiar Baru Van Hoeve, 2002).

Syahid, Achmad, dkk, Esiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Islam Masa Kini: Jilid 6,
(Jakarta: PT Icthiar Baru Van Hoeve, 2002)

Anda mungkin juga menyukai