Kebanyakan literatur tersebut kerap kali mengaitkan Islam di Kamboja dengan etnis Cham
dan Melayu. Berbicara Islam di Kamboja berarti berbicara mengenai etnis Cham dan
Melayu, begitupun sebaliknya. Antara Muslim Cham dan Melayu sebenarnya terdapat
perbedaan dalam proses kedatangannya, baik dalam waktu maupun motif. Muslim Cham
yang datang ke Kamboja merupakan Muslim Cham yang berasal dari Kerajaan Champa yang
berada di pesisir Vietnam Selatan. Beberapa literatur sepakat bahwa kehadiran mereka
bermula pada tahun 1471 M ketika ibukota mereka di Vijaya jatuh akibat serangan dari
Kerajaan Viet Utara. Kejatuhan ibukota mereka memaksa orang-orang Cham melarikan diri
ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, Borneo, Thailand Selatan,
dan Kamboja, bahkan ke Jawa.
Kedatangan orang-orang Cham ke Kamboja disambut baik oleh raja Jayajettha III (1677-
1705) yang menjadi raja yang berdaulat di Kamboja kala itu. Dalam perjalanannya orang-
orang Cham dapat hidup berbaur dengan orang Khmer yang menjadi pribumi Kamboja.
Orang-orang Cham juga mengabdi dengan baik dengan raja Khmer kala itu. Bahkan
beberapa dari mereka diangkat menjadi pegawai kerajaan.19 Pada Abad ke-17 sebenarnya
terdapat raja Khmer yang telah memeluk Islam, yakni raja Ramadhipati (1642-1658) yang
kelak berganti nama menjadi Ibrahim.20 Namun keislaman raja ini tidak seraya diikuti oleh
rakyatnya. Selepas raja tersebut mangkat, agama Budha tetap mendominasi di Kamboja.
Gagalnya Islamisasi pada tingkat elite, menurut yang menjadi salah satu faktor mandeknya
Islamisasi di Kamboja.
Selain etnis Cham yang berjasa dalam membawa Islam ke Kamboja, etnis Melayu juga
memiliki peran yang cukup signifikan. Diperkirakan orang-orang Melayu telah menjalin
hubungan dagang dengan masyarakat Khmer sejak abad ke-7. Para pedagang Melayu yang
datang ke Kamboja adalah keturunan mubaligh Islam yang memiliki misi berdagang dan
berdakwah. Asimilasi etnis Cham dan Melayu dilakukan melalui jalur perkawinan. Muslim
Melayu sangat berjasa dalam membentuk identitas Muslim Cham dengan memperkenalkan
mazhab Syafi’i. Maka dari itu proses interaksi etnis Cham dan Melayu membuat etnis Cham
lebih taat dalam menjalankan syari’at Islam dibanding masa-masa sebelumnya. Yang perlu
digarisbawahi terkait masuknya Muslim Cham di Kamboja adalah, orang orang Cham yang
praktik keagamaannya masih bercampur dengan tradisi Hindu Champa.
Struktur masyarakat Muslim Kamboja menunjukkan stratifikasi dalam bidang keagamaan
yang cukup teratur. Masyarakat Muslim Kamboja diketuai oleh seorang mufti atau mophati.
Beberapa mufti terkenal yang pernah menjabat ialah mufti Hadji Abdullah bin Idres. Di
bawah seorang mophati terdapat seorang tuh khalik atau raja khalik dan tuan pake. Mereka
bertugas sebagai asisten atau pembantu seorang mophati. Setelah itu ada pula imom atau
hakim yang memiliki tugas mengelola masjid. Biasanya seorang imom dipilih oleh raja. Di
bawah imom terdapat seorang khatib yang memiliki tugas membacakan doa dan memimpin
shalat berjamaah. Dalam struktur paling bawah adalah bilal yang bertugas
mengumandangkan adzan dan mengatur ketertiban shalat.
B. Kondisi Muslim Kamboja Tahun 1953-1975
1. Masa Norodom Sihanouk
Raja Sihanouk merupakan salah satu tokoh yang berjasa mengantarkan Kamboja ke pintu
gerbang kemerdekaan. Oleh Sihanouk etnis Cham dan Melayu diberi julukan Khmer Islam
atau Khmer Muslim. Identitas tersebut merujuk pada agama yang dipeluk oleh etnis Cham-
Chvea atau Cham-Melayu yang beragama Islam. Julukan Khmer Islam yang diberikan kepada
etnis Cham dan Melayu hingga kini masih disandang oleh mereka.
Hubungan umat Islam pada masa Lon Nol dapat dikatakan sangat baik jika dibanding
dengan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan mereka laksana simbiosis mutualisme yang
saling menguntungkan. Pada masa Lon Nol para tentara Muslim yang dikomandani oleh Les
Kosem banyak membantu Lon Nol dalam misi penentangan agresi Indocina Communist Party
yang dipelopori oleh Vietnam di Kamboja. Kala itu desa-desa Muslim menjadi target
penyerangan oleh ICP.
Pada masa Lon Nol tepatnya tahun 1970 disahkan berdirinya dua organisasi Muslim
pertama di Kamboja, yakni, The Central Islamic Association of The Khmer Republic - CIS, dan
The Association of Khmer Islamic Youth - AKIY. CIS diketuai oleh Mr Hadji Muhammad Aly
Haroun. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, sosial, dan pendidikan. Di
antaranya memperkuat persaudaraan di kalangan umat Islam Kamboja, menyebarluaskan
doktrin Islam, penyelengaraan koranic school, pembangunan masjid, dan penyelengaraan
haji. AKIY merupakan organisasi yang anggotanya terbatas pada kalangan pemuda Muslim.
Setelah naiknya Khmer Merah pada tampuk kekuasaan tertinggi di Kamboja, seketika itulah
mereka menguasai berbagai tempat penting di ibukota. Langkah pertama yang diambil oleh
Khmer Merah, adalah memutus semua komuniskasi Kamboja dengan dunia luar.
Ketika berhasil memasuki desa-desa Muslim, Khmer Merah menerapkan kebijakan khusus
bagi umat Islam. Kebijakan tersebut tertuang dalam Five Point Plans, yakni lima peraturan
yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam, di antaranya:
"Semua wanita harus memotong pendek rambutnya dan dilarang menggunakan hijab.
Bakar semua salinan al-Qur’an
Babi harus dijadikan peliharaan oleh Cham Muslim dan mereka disuruh untuk memakannya.
Dilarang melaksanakan shalat dan semua tempat ibadah umat Islam akan ditutup.
Penduduk Cham Muslim baik laki-laki maupun perempuan diharuskan menikah dengan
pasangan yang non-Muslim."
Kebijakan tersebut diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah pada tahun 1975 ketika
belum disahkannya Konstitusi Khmer Merah. Kebijakan tersebut dirasakan berat bagi umat
Islam Kamboja. Karena sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam
agama Islam.
2. Kebijakan Diskriminatif
Umat Islam di tiga desa di wilayah Kampong Cham menolak untuk melaksanakan kebijakan
tersebut. Mulai dari masuk ke dalam Khmer Merah, merevolusi bidang pertanian mereka,
sampai pelaksanaan Five Point Plans. Umat Islam menganggap kebijakan tersebut
memberatkanya karena bertentangan dengan norma-norma agama Islam. Berbagai tindakan
rezim Khmer Merah ini menuai protes dan penolakan. Namun mereka merespons kejam
perotes dan penolakan tersebut dengan memborbardir ketiga desa tersebut menggunakan
bom dan senjata.