Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SUMBER UTAMA STUDI ISLAM (IJTIHAD DAN SYARAT-


SYARATNYA)

OLEH :
KELOMPOK 4
NURUL ASYIQIN
NIM. 201452
SHERLIYANA CAHNIA
NIM. 201527
WIDYA YUNINGSIH
NIM. 201447

DOSEN PENGAMPU:
DONI SEPTIAN, M.IP.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN
ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Tiada Tuhan yang pantas
disembah kecuali Allah. Syukur Alhamdullilah, atas berkat rahmat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. yang telah berkenan memberikan penyusun kesempatan
dan kenikmatan untuk dapat menyelesaikan makalah “Sumber Utama Studi
Islam (Ijtihad dan Syarat-Syaratnya)”.
Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen pengampu mata kuliah Pendekatan Studi Islam dan Anti
Radikalisme, yaitu bapak Doni Septian, M.IP. yang telah mengajarkan dan
membimbing kami selama perkuliahan dan mengajarkan berbagai macam
ilmu Pendekatan Studi Islam dan Anti Radikalisme.
2. Orang tua, teman, serta sahabat yang telah membantu kelancaran dalam
proses pembuatan makalah ini.
Tiada ada kesempurnaan di dunia ini, kecuali kesempurnaan milik Allah
Subhanahu Wa Ta’ala semata. Penyusun sebagai manusia hanya bisa membuka
diri untuk senantiasa dikritik dan diberi saran yang dapat membangun untuk
memperbaiki dan menjadikan makalah ini lebih baik lagi. Semoga dengan adanya
makalah “Sumber Utama Studi Islam (Ijtihad dan Syarat-Syaratnya)”, dapat
memberikan informasi lebih baik itu kepada mahasiswa, masyarakat, maupun
pemerintah, untuk senantiasa bersinergi guna bekerjasama membangun bangsa
dan negara.

Bintan, 10 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Pengertian Ijtihad ......................................................................................... 3
B. Dasar Hukum/Kehujjahan Ijtihad ................................................................ 3
C. Metode Ijtihad .............................................................................................. 4
D. Syarat-Syarat Ijtihad..................................................................................... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 10
A. Kesimpulan ................................................................................................ 10
B. Saran ........................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sumber hukum Islam yang utama adalah Al-Qur'an dan juga as-Sunnah. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai etik serta nilai-nilai normatif yang memiliki
fungsi sebagai panutan atau tuntunan bagi umat Islam dan juga manusia dalam
menjalani hidup agar bisa mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Tanpa adanya pengamalan serta pemahaman oleh manusia itu sendiri, maka
Al-Qur'an dan as-Sunnah ini tidak memiliki makna. Isi kandungan dari Al-Qur'an
dan as-Sunnah yang mempunyai nilai-nilai etik dan juga nilai-nilai normatif,
sebagai bentuk ide samawi yang mana di dalamnya memerlukan sebuah
penguasaan atau pendalaman, interpretasi (pemberian kesan dan pendapat), serta
memiliki implementasi bagi kehidupan manusia. Untuk itu,yang menjadi masalah
paling dasar yang dihadapi umat Islam adalah tentang bagaimana manusianya bisa
mengikuti proses dari pendalaman, interpretasi (pemberian kesan dan pendapat)
dan juga pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam masih hidup, beliau
mempunyai kemampuan dalam memutuskan hukum dan menetapkan hukum yang
ada. Sehingga Rasulullah menjadi tujuan sebagai tempat meminta saran dalam
menghadapi dan menyelesaikan semua masalah hukum yang dialami umat Islam.
Yang mana dikenal sebagai periode tasyri' dan pembentukan bagi dasar-dasae
hukum Islam dalam sejarah yurisprudensi hukum Islam.
Akan tetapi, setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
menyebabkan turunnya wahyu itu terhenti dan juga memungkinkan keberadaan
as-Sunnah yang tidak timbul lagi. Hal tersebut dikarenakan, periode tasyri' telah
berakhir bersamaan dengan keberadaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
selaku rasul dan nabi yang terakhir diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. al-Maidah [5] : 3

1
Terdapat pendapat dari Sobhi Mahmassani yang mengatakan bahwasanya di
waktu yang bersamaan, antara budaya, tingkah laku, kemajuan yang terjadi pada
diri manusia berkembang dengan dinamis setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah tidak
berjalan (terhenti). Dalam artian lain yaitu, adanya hal yang tidak seimbang antara
ayat dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah yang mana memiliki keterbatasan jika harus
dihadapkan dengan tidak terbatasnya masalah-masalah keagamaan.
Sejalan dengan perkembangan zaman, terdapat banyak masalah-masalah
yang timbul, terutama dalam hal agama. Sedangkan dari sebagian masalah yang
ada belum ditemukan titik penyelesaian hukumnya di dalam Al-Qur'an dan juga
as-Sunnah. Oleh karena itu manusia melakukan upaya-upaya dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah yang ada baik dari segi baik dan buruknya. Teori
hukum Islam (Islamic Legal Theory) yang ada seiring dengan adanya kemajuan,
memberikan atau mengenalkan sumber hukum dan metode yang mana hukum
Islam di ambil dan melaluinya dari teori hukum Islam. Rujukan terkait sumber-
sumber hukum Islam yang ada di ambil dari Al-Qur'an dan as-Sunnah yang mana
isinya menjelaskan dan memberikan tentang materi hukum. Sedangkan
melaluinya hukum, diambil dari adanya metode-merode dalam interpretasi,
ijtihad, dan juga adanya pencapaian dari sebuah kesepakatan (ijma').
Sebagai suatu sumber hukum Islam, syari'at Islam berfungsi sebagai suatu
aturan dan tata tertib yang Allah berikan kepada umat muslim secara khusus dan
umat manusia secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
melaksanakannya, diperlukan adanya penafsiran yang sesuai dan juga tepat.
Mengingat aturan yang ada berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala langsung.
Oleh karena itu, umat Islam memerlukan kunci dalam memecahkan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang merupakan tantangan yang harus dihadapi,
yaitu dengan menggunakan ijtihad. Yang mana latar belakang munculnya ijtihad
karena timbulnya masalah-masalah. Ijtihad diperlukan sebagai aturan dan hukum
yang membuat Islam selaras dengan perkembangan zaman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Apa saja dasar hukum atau kehujjahan Ijtihad?
3. Apa saja metode dalam Ijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat Ijtihad?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum atau kehujjahan Ijtihad.
3. Untuk mengetahui metode Ijtihad.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat Ijtihad.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-juhd dan juga al-jahd yang
artinya potensi. Al-Juhd dalam Lisan al-‘Arab bermaksud memberikan semua
potensi dan memaksimalkannya. Ijtihad lebih condong ke arah mengerahkan
potensi (mubalaghah) dibanding mampu (jahada). Jadi ijtihad secara etimologinya
bermaksud memberikan atau mengeluarkan seluruh potensi yang mana memiliki
keberatan (masyaqqoh) dan kesulitan.
Sedangkan secara terminologi, ijtihad merupakan suatu potensi yang
dicurahkan dengan maksimal yang berfungsi untuk memperoleh hukum-hukum
syara’ yang berasal dari dalil-dalil yang ada. Ijtihad dalam ilmu ushul fiqh,
bermaksud mengeluarkan seluruh keyakinan dan potensi untuk kemudian di
implementasikan. Jadi, dengan kata lain ijtihad adalah kegiatan atau aktivitas
yang dilakukan para ulama dalam mengeksplorasi hukum di dalam Al-Qur’an
ataupun as-Sunnah.
Menurut pendapat Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad dibagi secara luas, yaitu:
1. Mencurahkan seluruh potensi atau kemampuan dengan tujuan mendapatkan
hukum syara’ sesuai dengan nash yang dzanniy dalalah-nya.
2. Mencurahkan seluruh potensi atau kemampuan dalam mencapai hukum
syara’ secara ‘amaliy dengan tidak meninggalkan qo’idah syar’iyyah
kulliyah.
3. Mencurahkan seluruh potensi atau kemampuan dengan cara menggunakan
berbagai sarana yang sesuai dengan syara’ yang mana bertujuan untuk
mencapai dan mendapatkan hukum syara’ yang ‘ amaliy.

B. Dasar Hukum/Kehujjahan Ijtihad


Dalam menetapkan bahwasanya ijtihad adalah sumber hukum, terdapat dalil
yang menguatkan. Baik itu dalil yang berasal dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Adapun dalil-dalil tersebut sebagai berikut :

3
1. Al-Qur’an, surat an-Nisaa’ [4] : 59 :

2. As-Sunnah, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

3. Adanya akal yang dianugerahi kepada manusia.

C. Metode Ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ memiliki arti yakni kesepakatan seluruh mujtahid di masa setelah
wafatnya Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan harus berkaitan dengan
hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai
dalil/landasan hukum.
Adapun dalil-dalil keabsahan ijma’ sebagai landasan hukum adalah Q.S An-
Nisaa’ ayat 115.
Ayat tersebut memiliki kandungan mengancam golongan yang menentang
Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan Mukmin. Dapat dipahami
dari ayat tersebut, Muhammad Abu Zahrah berkata, wajib hukumnya mengikuti
jalan-jalan orang Mukmin, yakni dengan cara mengikuti kesepakatan mereka.
(Zein, 2019 : 114-115) Contoh ijma’ antara lain seperti keputusan para alim ulama
bahwa vaksinasi dan imunisasi diperbolekan.

4
Ijma’ dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni:
a. Ijma’ sarih adalah dimana para ulama mujtahid ini memberikan
persetujuannya secara tegas sebagai bentuk kesepakatan terhadap hasil
musyawarah.
b. Ijma’ sukuti adalah kebalikan dari ijma’ sarih. Dimana sebagian ulama
mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya
hanya diam tanpa memberi tanggapan atau komentar. Diamnya sebagian
ulama mujtahid dimaknai berbeda oleh beberapa imam. Salah satunya
adalah Imam Syafi’i. Beliau berpendapat ijma’ sukuti ini tidak dapat
dijadikan landasan hukum karena diamnya sebagian ulama mujtahid
belum tentu menandakan masing-masing mereka setuju, bisa jadi karena
mereka takut kepada penguasa atau merasa sungkan menentang pendapat
mujtahid lainnya.
Untuk mencapai ijma’, terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi di
antaranya:
a. Adanya beberapa pendapat dari mujtahid menjadi satu.
b. Adanya kesepakatan/kesesuaian pendapat antara semua ulama mujtahid
atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa hukum yang terjadi
pada kondisi tertentu, tanpa memandang tempat, kebangsaan, dan
kelompok mereka.
c. Kesepakatan pendapat yang dimusyawarahkan itu nyata, baik berupa
perbuatan mapun perkataan.
d. Kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar mencakup
seluruhnya, jika hanya sebagian mujtahid, maka tidak akan terdapat
ijma’. (Rohidin, 2016 : 117)

2. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan yang satu dengan yang lain, yakni menyamakan
satu hukum cabang (yang tidak ada di Al-Qur’an dan Hadits) dengan hukum asli
jika ada kesamaan. Adapun dalil keabsahan qiyas sebagai landasan hukum adalah
Q.S An-Nisaa’ ayat 59. Ayat tersebut memberitahu bahwasannya jika terdapat
perselisihan pendapat di antara ulama mujtahid mengenai hukum suatu masalah
atau perkara, maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan mengembalikannya
kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Cara mengembalikannya yaitu dengan
melakukan qiyas.
Contoh qiyas antara lain, menganalogikan ekstasi/narkotika dengan khamr
(minuman keras), karena pada saat zaman Rasulullah tidak ada istilah
ekstasi/narkotika.
Dianggap sahnya qiyas apabila rukun-rukunnya lengkap. Para ulama ushul
fiqh sepakat bahwa rukun qiyas dibagi menjadi 4 (empat), antara lain:

5
a. Ashal (pokok tempat meng-qiyas-kan sesuatu), yaitu masalah yang
ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Misalnya Khamr yang diegaskan haramnya dalam Q.S Al-Maidah ayat
90.
b. Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal
(nash) yang akan ditetapkan pada far’u (cabang). Misalnya khamr itu
hukumnya haram seperti yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an.
c. Terdapat cabang (far’u), yakni sesuatu yang ketegasan hukumnya tidak
ada di dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’. Misalnya minuman keras
berjenis vodka.
d. Terdapat ‘illat (penyebab atau alasannya).

3. Istihsan
Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain dengan
jalan meninggalkan atau mengambil suatu hukum yang lain, mengecualikan
hukum dari yang berlaku umum ke khusus atau sebaliknya.
Dengan pengertian yang lebih sederhana, istihsan adalah suatu cara untuk
mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan, situasi, dan kondisi.
Contohnya, Islam dikenal sebagai agama yang sangat melindungi dan menjamin
hak milik seseorang, sehingga proses peralihan dan pencabutan hak milik
seseorang hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pemilik, namun jika terdapat
kepentingan umum yang mendesak, penguasa atau pemerintah dapat mencabut
hak milik seseorang tersebut dengan paksa, tentunya dengan ganti kerugian
tertentu atau dengan kesepakatan. Semisal pengambilan hak milik untuk pelebaran
jalan, pembuatan irigasi, dll. (Rohidin, 2016 : 122)
Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa istihsan adalah suatu
dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap
sesuatu yang ditetapkan oleh qiyas atau keumuman nash.

4. Maslahah Mursalah
Menurut istilah, seperti disimpulkan dari pendapat Abdul Wahhab Khallaf,
maslahah mursalah memiliki arti sesuatu yang dianggap maslahat (kebaikan)
tetapi tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mempertegas atau
menolaknya, sehingga ia disebut sebagai maslahah mursalah, yakni maslahah
yang lepas dari dalil secara khusus. (Zein, 2019 : 135)
Contoh mashlahah mursalah adalah tuntutan beribadah di masa Pandemi
Covid-19, seperti menggunakan masker, menutup masjid untuk sementara, dan
lain sebagainya yang sama sekali tidak disinggung dalam al-Quran dan sunah
Rasul.
Mengenai kehujjahan mashlahah mursalah, beberapa imam memberikan
pendapatnya. Seperti Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa mashlahah
mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak terdapat nash serta

6
ijma’. Menurut mereka mashlahah mursalah yang tidak ditunjuki oleh syara’ dan
tidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istinbath (penggalian hukum).
Ada beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yang
dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf, yakni:
a. Maslahat itu haruslah berupa maslahat yang benar-benar mendatangkan
kemanfaatan dan kebaikan dan menolak segala bentuk kemudharatan
bagi kehidupan manusia.
b. Sesuatu yang dianggap maslahat harus berupa kepentingan umum, bukan
hanya semata-mata kepentingan pribadi.
c. Sesuatu yang dianggap maslahah (kebaikan) itu tentunya tidak bertolak
belakang dengan ketentuan yang sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an atau
Sunnah, maupun ijma’.

5. ‘Urf (Adat Istiadat)


‘Urf merupakan adat istiadat, yang mana sesuai kesepatakan para ulama fiqh
mengartikan 'urf sebagai suatu kegiatan atau adat istiadat yang sudah biasa
dilakukan secara turun temurun. Yang mana adat tersebut merupakan adat yang
bisa diterima di setiap kalangan masyarakat, tentunya harus membawa kebaikan
(maslahat), dan secara akal tidak membawa kemudharatan serta merusak
masyarakat.
Misalnya, ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam
melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti beras, sayuran dan buah-
buahan, di mana saat melakukan transaksi jual beli, di antara mereka hanya
menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul.
Sedangkan untuk contoh ‘urf yang berupa perkataan yakni seperti kebiasaan atau
tradisi di suatu kelompok masyarakat untuk tidak menyebut jenis ikan
menggunakan kata daging.
Saat akan menetapkan hukum dalam segala perkara-perkara yang tidak ada
ketegasan hukumnya sama sekali di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka
kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang menjadi bahan pertimbangan bagi para
mujtahid.
Tentang kehujjahan, untuk menetapkan sebuah keputusan hanya dapat
menggunakan ‘urf yang bersifat sahih dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid. Kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat dapat diterima selama tidak
bertentangan syara’, dapat dilihat bahwasannya banyak ulama Malikiah
menetapkan hukum berdasarkan pada perbuatan-perbuatan penduduk Madinah.
Sebaliknya, ‘urf tidak dapat diterima jika bertentangan dengan syara’ baik nash
maupun ketentuan umum dari nash. (Rohidin, 2016 : 123)
6. Sadd Adz-Dzari’ah
Sebagai salah satu metode ijtihad, Sadd adz-dzari’ah memiliki definisi
menetapkan larangan atas perbuatan/tindakan tertentu yang pada dasarnya

7
diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan/tindakan lain yang dilarang.
Larangan itu semata-mata hanya dimaksudkan untuk menghindari perbuatan yang
dilarang. Metode ini lebih tepatnya mengarah pada upaya pencegahan.
Contoh dari sadd dzari’ah adalah pemberian hadiah (gratifikasi) kepada
hakim. Sebenarnya seorang hakim dilarang menerima hadiah dari para pihak yang
sedang memiliki perkara sebelum perkara itu diputuskan, karena dikhawatirkan
akan membawa kepada ketidakadilan dalam menetapkan hukum atas kasus yang
ditangani. Walaupun pada hakikatnya menerima pemberian atau hadiah adalah
boleh, hanya saja dalam kasus ini harus dilarang.
Memelihara mashlahat (kebaikan) dalam berbagai aspek termasuk tujuan
disyariatkannya ketentuan hukum dalam Islam. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa metode sadd adz-dzari’ah berhubungan erat dengan maqashid al-syarîat.

7. Istishhab
Dalam Islam, Istishhab memiliki definisi upaya memberi pendekatan
perpektif satu peristiwa hukum dengan peristiwa lainnya sehingga keduanya
dinilai menjadi sama hukumnya.
Ibnu Qayyim mengatakan, istishhab berarti melanjutkan ketetapan suatu
hukum yang telah ada atau menghilangkan suatu hukum yang semulanya tidak
ada. Dengan kata lain, lebih sederhana, istishhab dapat dimaknai sebagai tindakan
melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan
lain yang membatalkannya. Dalam contoh kasus, misalnya Nurul mengadakan
perjanjian utang-piutang dengan Widya. Menurut Nurul hutangnya telah ia bayar,
tetapi ia tidak bisa menunjukkan bukti atau saksi. Berdasarkan istishhab, maka si
Nurul dapat ditetapkan belum membayar hutang dan perjanjian tersebut masih
berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa perjanjian utang-piutang
tersebut telah berakhir atau dilunasi.

D. Syarat-Syarat Ijtihad
Meninjau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, Wahbah
az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan kriteria syarat yang harus dimiliki dan di
penuhi oleh mujtahid: (Rosyada, 1993 : 115-116)
1. Mengetahui Al-Qur’an
Mengerti dengan makna-makna ayat ahkam yang terdapat di dalam al-
Qur’an. Memahami kandungan ayat ahkam baik secara bahasa maupun secara
istilah. Seorang mujtahid mengerti tentang lafal-lafal yang mengandung: mantuq
(makna tersurat), mafhum muwafaqah (makna tersirat), mafhum muhkalafah
(makna kebalikan dari makna tersurat), serta paham tentang lafal-lafal yang
mengandung segi jumlah seperti lafallafal umm (umum) dan khas (khusus), dan
cara menyamakan ‘illat (sebab) dengan menyatukan lafal-lafal yang di anggap

8
sejalan dalam sesuatu lafal-lafal perintah maupun lafal-lafal yang mengandung
larangan.

2. Mengetahui Berbagai Hadits-Hadits Hukum


Mengatahui hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun secara
pemakaian syara’. Menjadi seorang mujtahid sangat penting untuk mengerti
dengan seluruh hadist-hadist hukum yang terdapat di dalam kitab induk hadist
yang diakui, seperti: al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Daud, at-Tarmidzi, an-Nasay,
Ibnu Majah dan lain-lain.

3. Mengetahui Ayat-Ayat maupun Hadits-Hadits yang Nasikh dan


Mansukh
Mengatahui ayat-ayat ahkam ataupun hadist-hadist ahkam yang sudah di
mansukh (di hapus atau dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak berlaku dan di
ganti dengan dalil lain), serta mengatahui ayat-ayat ahkam maupun hadist-hadist
ahkam yang menggantikan atau lafadz nasikh.

4. Berilmu
Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah mempunyai
sifat hukum syara’ melalui dari hasil ijtima’ para ulama.

5. Memahami Qiyas
Mengatahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti: syarat-syarat qiyas, rukun-
rukunnya, tentang illah hukum dan cara menemukan illah itu dari ayat maupun
hadist.

6. Menguasai Bahasa Arab


Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

7. Menguasai Ushul Fiqh


Menguasai ilmu ushul fiqh baik dari ilmu qaidah maupun ushulnya. Mampu
membuat rumusan yang berkaitan dengan tujuan syariat (maqasid al-Syari’ah)
dalam membuat ketetapan hukum.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad merupakan suatu aktivitas ulama untuk mengintroduksi dan
mengeksplorasi makna serta materi hukum (maqashid al-syarui‘ah) yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan atau as-Sunah. Ijtihad juga dapat dimaknai
sebagai kerja secara optimal-profesiaonal dan progresif-ilmiah guna memberikan
solusi hukum yang tepat dan benar, agar nilai-nilai normatif yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan as-Sunah mampu membimbing perilaku manusia sesuai
dengan situasi dan kondisi.
Dalil yang dapat dijadikan landasan hukum ijtihad diantaranya adalah Q.S
Al-Qur’an, surat an-Nisaa’ [4] : 59, sunnah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan penganugerahan akal manusia.
Metode dalam berijtihad adalah dengan ijma’, qiyas, istishan, maslahah
mursalah, ‘urf (adat-istiadat), sadd ad-dzari’ah, istishhab.
Syarat-syarat untuk melakukan ijtihad, di antaranya:
1. Mengetahui Al-Qur’an
2. Mengetahui berbagai hadits-hadits hukum
3. Mengetahui hadits-hadits maupun ayat-ayat nasikh dan mansukh
4. Berilmu
5. Memahami qiyas
6. Menguasai bahasa Arab
7. Menguasai Ushul Fiqh

B. Saran
Demikian yang dapat penyusun paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, maka dari itu penyusun banyak berharap para pembaca yang
budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun penyusun demi
sempurnanya makalah ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: AURA CV. Anugrah
Utama Raharja.
Rohidin. (2016). Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara
Books.
Rosyada, D. (1993). Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT. Raja Rafindo
Persada.
Zein, S. E. M. (2019). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.

11
HASIL DISKUSI
Pertanyaan
1. Penanya : Amirul AR
Pertanyaan :
Minta contoh perbedaan pendapat ulama mengenai hukum syara’, seperti
sholat! Dan kenapa para ulama ini memiliki pendapat yang berbeda-beda
padahal sumbernya hanya satu yaitu Al-Qur’an dan Hadits?

Penjawab : Widya Yuningsih, Sherliyana Cahnia, dan Nurul Asyiqin

12

Anda mungkin juga menyukai