Anda di halaman 1dari 14

NASIKH DAN 

AL MANSUKH
 
A.    PENDAHULUAN
                        Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad
SAW. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai  bukan hanya
kebahagiaan  di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al
Qur’an memuat ayat tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman
dan bertaqwa, memuat tentang ibadah,muamalah, dll.Sebagaimana disebutkan dalam Al
Qur’an dan Terjemahnya”Al Qur’anul Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu
pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan
tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk social,
sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.[1]
                        Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk
memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena akidah
semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan
atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada
aqidah yang satu itu semuanya sama.[2]
            Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.[3]
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada
yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang
khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu
menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama
berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga
timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.[4]
Firman Allah SWT dalam surah al Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan
mansukh yaitu:
Terjemahan
Ayat mana saja yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya….
(Qs Al Baqarah:106) [5]
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Allah,
baik ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab
suci terdahulu.[6]
Sungguh, ayat–ayat al-Qur’an merupakan serat yang membentuk tenunan
kehidupan muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu, sering
kali pada saat al-Qur’an berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu
dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi,
orang yang tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang
amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak
dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek
yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung
mutiara yang tidak diketahui dimana ujung pangkalnya.Demikian
menurut  M.Quraish Shihab dalam buku beliau “Wawasan al-Qur’an”[7]
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar
bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan
tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak
asar (perkataan sahabat dan  tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah
ini.[8]

             Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh di atas, maka
dalam bab selanjutnya penulis bermaksud membahas tentang pengertian nasikh
mansukh, ruang lingkup dan syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh, bentuk-bentuk
nasakh, pendapat ulama tentang nasakh, serta beberapa contoh nasikh mansukh.
B. NASIKH DAN MANSUKH
1. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
     Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai
bentuknya.[9]  Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat
154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari
kata nasakh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk  beberapa pengertian:
menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti
memindahkan(memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain). Kata nasakh dapat
juga berarti mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti
pengalihan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya
dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh.[10] Singkatnya
dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh
ialah ayat yang dinasakh.[11]
            Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna’ Khalil al Qattan sebagaimana
termaktub dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an nasakh ialah “mengangkat(menghapus)
hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain”.[12] Menurut Muhammad
‘Abd Azhim al Zarqaniy sebagaimana dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul
Qur’an, bahwa nasakh adalah mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’
yang lain yang datang kemudian.[13]
            Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Shihab
menandaskan bahwa para ulama mutaqaddimin(ulama abad I hingga III H) memperluas
arti nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :
a.       Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang
kemudian
c.       Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d.      Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat.  [14]
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip oleh Quraish
Shihab diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada
ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk
bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap
telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.[15]
    Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang
kemudian(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.[16] Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum
yang diangkat atau yang dihapuskan”[17] Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya
Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah
mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil
syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah
dihapus.[18]
 

2. RUANG LINGKUP DAN SYARAT-SYARAT NASAKH


 Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh
hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas
maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar(perintah)
atau nahyi(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat
Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak
berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Hal itu karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam
masalah pokok(usul) semua syari’at adalah sama.[19] Firman Allah dalam QS Asy Syuura
ayat 13 yang terjemahnya :”Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya”(QS Asy Syuura ayat 13)[20] Nasakh tidak
terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab(tuntutan:perintah atau
larangan), seperti janji(al wa’d) dan ancaman(al wa’id) demikian menurut Syaikh Manna’
            Adapun syarat-syarat nasakh adalah :
a.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh
c.       Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.[21]
3. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah
dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an,
dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al
Qur’an dan tafsirnya.
a.       Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil
syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi
boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu
berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah
dengan sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk,
yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh ahad dengan ahad.(3) ahad dengan
mutawatir.(4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang
bentuk keempat terjadi silang pendapat.  Namun jumhur ulama tidak membolehkan.[22]
b.      Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al
Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap
Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
ÉeAuqsùy7ygô_urtôÜx©Ï‰Éfó¡yJø9$#ÏQ#tysø9$#4ª…@ÇÊÍÍÈ
Terjemahan:
Maka hadapkanlahwajahmu ke arah Masjidil Haram…           [23]
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram
menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada
bulan Ramadhan, yaitu turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai
petujuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan
itu, maka berpuasalah.”(Al Baqarah/2:185)[24]
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’
dari Al Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al
Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal
tersebut menurut beliau antara Kitab dengan  sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.[25]
c.       Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan
dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-
ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang
menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan
mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha
Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu
ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah
orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu
menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang
Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa
tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al
Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat al Qur’an
yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak
akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan
dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.[26] Karena tidak ada satu ayat
pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang
dinasakh maupun  mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an memang telah menasakh ayat-ayat
dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian
misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang menulis
kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama
Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
d.      Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah. [27]
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
  Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
 Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al
Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni,
bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang
ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
  Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah
firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4. Artinya”Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44.
Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Dan nasakh
itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak
nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Terjemahan
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
denganya…..[28]
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan
Al Qur’an.[29] Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur’an dengan
sunnah, karena Al Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih
tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah
disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil
yang dinasakh, atau setidaknya sama.
4. BENTUK-BENTUK NASAKH
Para ulama yang mengakui tentang adanya nasakh mengemukakan ada tiga bentuk
nasakh, yaitu:
Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, nasakh hukum dan tilawah,
nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.[30]
a.       Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah Al Baqarah
ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian  dinasakh menjadi hanya empat
bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah ayat 234(ayat 240 turun lebih
dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum
sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Qur’an di samping dibaca untuk
diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al Qur’an sebagai Kalamullah yang
membacanya mendapat pahala.(2) Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan, sehingga 
dengan tetapnya tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya
kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus.
b.      Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun hukumnya
sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat AlQur’an. Bentuk ini menurut
sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an sejak
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang,
tidak ada yang berubah atau berkurang. Nasakh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-
kitab suci terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al
Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh hukum dan
tilawahnya ini ada juga dalam Al Qur’an seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan
beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata:
”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu
menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui.
Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al Qur’an yang baca”. Kata-
kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan
bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam
mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan
Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah
dinasakh(dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali
sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap
membacanya.
c.       Nasakh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al Qur’an, tetapi terdapat
antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang disebut”Syar’un man
qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum syari’at itu masih kita lakukan
hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat
yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh tilawah tetapi hukumnya
tidak dinasakh ada juga dalam Al Qur’an, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah
dinasakh dan kini tidak terdapat dalam Al Qur’an, yaitu;
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam
kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.[31]
 
5. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASAKH
a. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan
dalil-dalil sebagai berikut; (1)perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
(2)Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara
lain Firman Allah dalam Surah An Nahl ayat 101
Terjemahan
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain….[32]

Juga dalam Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :106.


 
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan
dalam bukunya Wawasan baru ilmu tafsir, bahwa memang terdapat nasakh
sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh.
[33]  Menurut Abdul Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa
para pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;(a) terdapat
dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan. (b)
Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.
[34] Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh  adalah Al Suyuthi
dan Imam Syafi’I.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian
diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah; (1) sekiranya
dalam Al Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal.
Sedang dalam Al Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan(QS.41:42). (2)Dalil yang
dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih lanjut. Kosakata”ayat” tidak hanya
berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al
Qur’an(Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam-
macam. Maka lafal ‡|¡YtR dalam ayat 106 Surah Al Baqarah dapat diartikan “kami
menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al Qur’an dari Lauh Mahfuzh ke langit
dunia.(3)Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.(4)
Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.(5)Adanya ayat yang
nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum bisa
menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah
dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau
dengan cara lain.[35]  Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat dalam bukunya Tekstualitas
Al Qur’an; kritik terhadap ulumul Qur’an, bahwa fenomena nasakh yang
keberadaannya diakui oleh ulama menimbulkan problema yaitu bagaimana
mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya
bahwa teks mengalami perubahan melalui nasakh, dengan keyakinan umum bahwa teks
sudah ada sejak azali di Lauh Mahfuzh?[36]
6. BEBERAPA CONTOH NASIKH MANSUKH
Al Suyuti  menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan mansukh sebagaimana
disebutkan dalam Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an(Studi ilmu-ilmu Qur’an. Juga terdapat
dalam Al Qur’an dan Tafsirnya, Yaitu:

          Firman Allah dalam Q.S.  al-Baqarah/ 2 :115.


Terjemahan
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah.[37]

Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :144.


 
Terjemahan:
Maka hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram … [38]

Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan

salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam

keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku,

sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan

salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah

menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam sunnah.[39]

          Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :18


Terjemahnya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak apabila menjemput seseorang diantara
kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dari karib
kerabat….”[40]
 
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat 11-12

dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi “ sesungguhnya

Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,

maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[41]

          Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :184.

Terjemahan
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa)
membayar fidyah….”[42]

Ayat ini dinasakh oleh:

Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :185

Terjemahan
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia
berpuasa…..”[43]

Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin

Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin tidak

berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya

yang menasakhkannya”.

Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak mansukh. Bukhari

meriwayatkan dari ‘Ata’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi

mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar

fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini

tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang

tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan

makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka

makna yatikuwnahu bukanlah yastatiyuwnahu (sanggup menjalankanya). Tetapi

maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan

memaksakan diri”.[44]
         Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240
‫ا ِإلَى‬jj‫اج ِهم َّمتَا ًع‬ ِ ‫يَّةً َأل ْز َو‬jj‫ص‬ ِ ‫ا َو‬jjً‫ُون َأ ْز َواج‬ jَ ‫َوالَّ ِذ‬
َ ‫ َذر‬jjَ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن ِمن ُك ْم َوي‬
‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْل َن فِي َأنفُ ِس ِه َّن‬ ٍ ‫ْال َح ْو ِل َغي َْر ِإ ْخ َر‬
َ َ‫اج فَِإ ْن َخ َرجْ َن فَالَ ُجن‬
– 240 : ‫ُوف َوهللاُ َع ِزي ُُز َح ِكي ُُم – البقرة‬ ٍ ‫ِمن َّم ْعر‬
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)[45]
 
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
‫ه ٍُر‬jj‫ُون َأ ْز َواجًا يَتَ َربَّصْ َن بَِأنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْش‬
َ ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن ِمن ُك ْم َويَ َذر‬ jَ ‫َوالَّ ِذ‬
‫ ِه َّن‬jjj‫ا فَ َع ْل َن فِي َأنفُ ِس‬jjj‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم‬jjj
َ َ‫ِإ َذا بَلَ ْغ َن َأ َجلَه َُّن فَالَ ُجن‬jjjَ‫رًا ف‬jjj‫َو َع ْش‬
– 234 : ‫ون َخبِي ُر * – البقرة‬ َ ُ‫ُوف َوهللاُ ِب َما تَ ْع َمل‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬
 
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa
bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)[46]
 
 
 
 
 
 
C. PENUTUP
         Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
         Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang
bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang
persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan
hari kemudian, etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
         Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama
mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para
ulama sepakat hal tersebut tidak ada.
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, 
Jogyakarta: LKis Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, diterj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet 14, 2011.
————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta:
Pustaka al Kautsar, cet 4, 2009
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I,
2005
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
————-, Al Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta:Proyek pengadaan kitab suci Al Qur’an,
1985
Shihab, M Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994
————, Wawasan al-Qur’anBandung; PT: Mizan Pustaka, 2007
Tim Penyusun, Al Qur’an dan Terjemahnya; Tafsir Al Qur’anul Karim,Medinah Munawwarah:
Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif,

1411 H

Usman, M.Ag,Dr, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:Teras, cet I, 2009


 
 
           
  
           
 
           
           
 
 

[1] Al Qur’an dan Terjemahnya;Tafsir Al Qur’anul Karim(Medinah Munawwarah: Mujamma


Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H)h 23
[2]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu
Qur’an (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 325.
Lihat Qs Al Anbiyaa ayat 25, Artinya:” Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya:bahwasanya tidak ada tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”
[3]Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Cet ke-4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h 284
[4] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), h.143
[5] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 29
[6] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi)h 259
[7]M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka 2007 ), h.10.
[8] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,op.cit h 329
[9] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 255Lihat juga M. Quraish
Shihab, Membumukan Al Qur’an, h 143
[10] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, ibid h 256-257
[11] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[12] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an op cit h 326
[13] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, op cit h 258
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 144
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 327. Lihat juga Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,(Cet ke-
4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h286
[18] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[19] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 328. Lihat juga Lihat juga
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,h286-287. Juga Dr. Usman,M.Ag, Ulumul
Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 260
[20] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 785
[21] Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an op cit h 286
[22]  Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 336
[23] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 37
[24] Ibid h 45
[25]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 335
[26] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 779
[27] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 260-262
[28] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 29
[29] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 334-335
[30] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 262
30
Lihat juga Nashruddin Baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta:pustaka pelajar, 2005,h
174, juga Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h 336-337
[31] Ibid, h 262-264
[32] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 417
[33] Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005, h
176
[34] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 146
[35]Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, op cit h 178-180
[36] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al Qur;an; kritik terhadap ulumul Qur’an,cet 4,
Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005, h 141
[37]Departemen Agama RI., op. cit., h.31
[38]Ibid., h. 37
[39]Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
[40]Departemen Agama R.I., op. cit., h. 44
[41]Manna Khalil al-Qattan op. Cit., h.345
[42] Departemen Agama R.I., op. cit., h.44
[43]Departemen Agama R.I.,  op. cit.,h. 45
[44]Manna Khalil al-Qattan op. cit., h. 345
[45] Departemen Agama RI, op cit, h 59
[46] Ibid h, 57

Anda mungkin juga menyukai