Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan

kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian yang berupa

konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak dalam

kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi,

maupun kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-

sendiri (individu) maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan

perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik.

Konflik pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah.

Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak hanya sekedar untuk

mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan pada

taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan

selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan

dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan

sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama

kita pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara

semua jenis konflik, yang paling berbahaya adalah konflik etnisitas.

Berhubungan dengan hal tersebut Makalah ini dibuat.

Sementara orang berpendapat bahwa etnisitas merupakan sesuatu

yang klasik, soal yang sudah usang. Seperti diyakini kaum modernis,

dalam dunia modern etnisitas akan hilang atau paling tidak surut diganti

1
dengan entitas sosial berbasis pada ekonomi, kelas, partai atau kelompok

kepentingan (interest group) yang lain. Sentimen etnisitas digeser oleh

kesadaran kelas, politik etnis diganti dengan politik kelas, nasionalisme

digeser oleh globalisme.

Betulkah demikian ? Betulkan etnisitas sudah usang, menjadi

klasik, semakin surut peranannya dalam dunia modern? Kalau demikian

halnya, mengapa kini kita membicarakan soal etnisitas. Apakah betul soal

etnisitas kini telah kehilangan relevansinya ?

Nanti dulu, tengoklah masyarakat kita dan pandanglah ke dunia

global. Kalau memang demikian, mengapa sekarang ini masih terjadi

gejolak konflik etnis begitu hebat di berbagai daerah dan Negara. Sejak

Perang Dunia Kedua usai, dunia kita diwarnai oleh konflik etnis dan

agama. Konflik antar negara sisa-sisa Perang Dunia Kedua semakin surut,

digantikan konflik internal antar etnis-agama dan antara etnis-agama

dengan Negara1. Banyak Negara kini mengahadapi problem konflik

internal etnis-agama ini termasuk Indonesia, seperti terjadi di Kalimantan,

Maluku, di Aceh, Papua dan sebagainya.

Dunia kita juga menyajikan realitas ternyata etnisitas tidak pernah

surut dari muka bumi. Modernisasi dan kapitalisme tidak bisa

menghancurkannya, sebaliknya justru membangkitkannya dalam

bentuknya yang baru. Cara produksi kapitalisme justru menghasilkan

pengelompokan dan mobilisasi etnis tersendiri2. Bahkan telah mendorong

1 T. Robert Gurr 1993, Minorities at Risk , Global View of Ethnopolitical Conflict (United State of
Peace Press, 1996)

2 Pieterse, (1996)

2
munculnya radikalisme politik etnisagama sebagai bentuk perlawanan

terhadap modernisasi dan kapitalisme, seperti terjadi dalam kasus

munculnya fundamentalisme tradisi-agama dimana-mana sekarang ini3.

Apa hubungannya antara konflik dengan etnisitas? Apakah

etnisitas menjadi sumber konflik? Tidak, memang. Tetapi kurangnya saling

memahami perbedaan etnisitas telah mejadikan banyak konflik antar etnis

yang berbeda sering berkepanjangan bahkan berulang. Sebagai contoh,

konflik yang terjadi di Kalimantan Barat antar berbagai etnis yang ada

sejak tahun 1963 sampai 1999 telah tercatat 12 kali. Konflik antara etnis

Dayak dengan Tioghoa bermotifkan politik yaitu rekayasa ABRI (TNI)

terjadi tahun 1967, antara Dayak dengan

Madura terjadi sebanyak 9 kali yaitu tahun 1963, 1968, 1970,

1972, 1977, 1979, 19831989, 1996/ 1997, dan konflik antara etnis

Sambas dengan Madura terjadi pada tahun 1998/19994.

Dengan demikian, konflik, etnisitas ini jelas tetap relevan

didiskusikan dan penting dalam dunia kita sekarang, bahkan semakin

penting untuk dibicarakan. Tentu saja bukan dengan cara pandang yang

klasik seperti itu. Kita perlu cara pandang baru untuk menjelaskannya.

Bicara etnisitas dalam dunia kita sekarang adalah bicara soal klasik namun

perlu dengan cara pandang baru. Teori modernisasi sudah usang, klasik,

perlu diganti dengan teori baru. Menggunakan istilah Thomas Kuhn,

paradigma modernisasi boleh jadi telah mengalami krisis dan anomali

3 Giddens, Anthony, Beyond Left and Right, The Future of Radical Politics, (Polity Press, 1994)

4 Alqadri (2000) hal 1

3
karena tidak bisa menjelaskan perkembangan jaman. Sehingga perlu

revolusi paradigmatik untuk menggantikannya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa penyebab dari konflik etnisitas di Indonesia?


b. Apa dampak dari konflik etnisitas di Indonesia?
c. Apa solusi dari konflik etnisitas?

BAB 2

4
PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Konflik Etnisitas di Indonesia

Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar

kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa

yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang

digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik

antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan

Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan

tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir

setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya

sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik

merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah

terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan

pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi,

psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula

diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar

etnik adalah prasangka antar etnik. Konflik bisa disebabkan oleh suatu

sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena

berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang

lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab

konflik yang utama.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari

berbagai suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan

oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu

5
negara kebangsaan5. Menurut Hildred Geertz tidak kurang dari 300

golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai

pulau di Indonesia6. Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi

dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi

konflik sosial. Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang

menimbulkan pertentangan yang berupa bentrokan, perkelahian atau

peperangan (Suseno, 1991).

Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai

masalah Cina yang teramat kompleks 7. Salah satu masalah tersebut erat

kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non

pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis

pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan

terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina

amatlah besar.

Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar

golongan etnis terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi

menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnis memang

sangat kompleks. Dahrendorf dalam Johnson (1990), mengklasifikasikan

kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik,

(2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya

5Frederick Baarth, Kelompok Etnis dan Batasannya, terjemahan Nining L.S (1988) hal
17

6 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta (1984) hal 39

7 Wang Gungwu Kajian Tentang Identitas Orang Cina di Indonesia dalam Perubahan
Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Terjemahan Ahmad. Jakarta : Grafiti Press
(1991) hal 261-264

6
jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi politik,

dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan

terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut

kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan

menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari

berbagai etnis.

Penelitian yang dilakukan oleh Kuntowibisono tahun 1997 yang

disampaikan dalam Intership Dosen-dosen Pancasila se-Indonesia tanggal

1-11 Agustus 1999, mengenai faktor-faktor yang memicu timbulnya

kerusuhan di daerah Tasikmalaya, Situbondo dan Kalimantan Barat antara

lain disebabkan oleh : (1) Persaingan dalam bisnis, (2) Ekonomi, (3) Etnis,

(4) Politik dan (5) Friksi kebijakan tingkat tinggi. Sedangkan Kusnadi

dalam tulisannya di Kompas 4 Maret 2001 menyebutkan bahwa

kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh

faktor jarak sosial dan jarak budaya. Jarak sosial dan budaya ini timbul

karena faktor ekonomi dan politik. Solo Pos 20 Juni 1998 dan Jawa Pos 1

Juni 1999 menyebutkan bahwa timbulnya konflik-konflik sosial sering

diakibatkan oleh faktor ekonomi, hubungan antar etnis, asimilasi, budaya

dan kultur, diskriminasi dan kebijakan pemerintah.

Sedangkan temuan Sanjatmiko (1999) dalam kasus etnis keturunan

Cina dan pribumi di Tangerang, menyimpulkan bahwa faktor renggangnya

jarak sosial dan hubungan antar kedua etnis adalah disebabkan oleh : (1)

Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis keturunan Cina ke dalam

penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk

etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnis

7
keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka

stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak

bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk

etnis pribumi terhadap etnis keturunan Cina disebut sebagai golongan

yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4)

Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Cina dalam kesempatan

menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan

konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan

kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai aspek di atas diduga

sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi dan

keturunan Cina.

Temuan Tunjung dalam penelitian kerusuhan etnis di Surakarta

(1999), menyebutkan bahwa telah terjadi korban yang sangat besar bagi

komunitas etnis keturunan Cina, baik secara materiil maupun spirituil.

Kalkulasi data pemerintah daerah setempat menunjukkan bahwa kerusakan

bangunan ditafsir sekitar 19 milyar rupiah. Ditambah dengan kerusakan

dan pembakaran barang-barang dan toko-toko, serta aksi penjarahan

mencapai kerugian lebih dari 20 milyar rupiah. Menurutnya faktor

kekuasaan (kesewenangan oknum aparat) dapat mempengaruhi

ketidakadilan dalam proses perwujudan tata ekonomi, tata sosial, tata

politik dan dalam ketidakadilan dalam tata budaya secara struktural.

Sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta,

Medan, Surabaya dan kota Solo tepatnya bulan Mei 1998 telah terjadi

tragedi amuk massa. Peristiwa yang dipertajam dengan isu anti Cina

tersebut merupakan indikasi, sebagai bentuk perlawanan dari

8
ketidakpuasan terhadap perkembangan keadaan yang dihadapi oleh warga

masyarakat setempat dan sekitarnya.

Akibatnya berbagai ekses kerusuhan menjadi beban sosial yang semakin

rentan terhadap potensi konflik berikutnya dalam segala bentuk, jumlah

dan kualitasnya. Menurut hasil penelitian Agus (2000), dampak kerusuhan

kota Surakarta (Solo) 1998, telah menimbulkan berbagai perilaku

menyimpang. Banyak ditemukan perilaku kekerasan anak jalanan,

membanjirnya wanita tuna susila (WTS) liar, pengamen jalanan di

perempatan jalan yang meresahkan pengguna jalan, aneksasi tempat umum

sebagai tempat usaha informal yang sudah pada tingkat mengganggu

pengguna publik, hilangnya kesempatan kerja 50.000-70.000 orang yang

menimbulkan stres berat (h. 61-62). Sikap dan perilaku menyimpang

tersebut sudah memprihatinkan, dan apabila tidak ada upaya pemecahan

segera akan sangat mudah menimbulkan masalah baru yang bahkan lebih

berat lagi ancamannya.

Hasil penelitian yang senada juga dikemukakan Pelly (1999),

dalam kasus etnis keturunan Cina di kota Medan, bahwa kasus amuk

massa Mei 1998 bermula dari krisis moneter yang tidak pernah kunjung

tuntas. Menurutnya persoalan lain yang menjadi pemicu kerusuhan ialah

adanya kesenjangan kaum papan atas (the haves) dengan kalangan papan

bawah yang merupakan kelompok mayoritas, yang secara tajam

menunjukkan perbedaan menyolok. Kesenjangan sosial-ekonomi (jarak

sosial) tersebut disebabkan adanya perbedaan akses terhadap sumber daya

dan ekonomi (economic resources), rekayasa sosial dan perlakuan

diskriminatif pemerintah rezim Orde Baru dalam kesempatan berusaha dan

9
mengembangkan diri. Apalagi kemudian di kota-kota besar termasuk di

kota Solo terjadi peningkatan jumlah penggangguran dan tindakan

kriminalitas, serta tuntutan masyarakat yang bersifat politis seperti

tuntutan pemilu yang demokratis, gerakan kaum mahasiswa dengan

semboyan reformasi. Serentetan peristiwa yang bersifat menegara itu lalu

memicu timbulnya rasa ketidak percayaan rakyat kepada pihak pemerintah

hingga kewibawaan pemerintah terkoyak, yang pada akhirnya gejolak

kerusuhan itu tidak terelakkan lagi (Alqodrie, 1999).

Berikut beberapa konflik yang ada di Indonesia dalam skala yang besar :

1. Konflik Dayak Madura

Terjadi dua kali kerusuhan berskala besar antara suku Dayak dan Madura,

yaitu peristiwa sampit (2001), dan Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan ini

merembet ke hampir semua wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran

dan pengungsian ribuan warga Madura, dengan jumlah korban hingga mencapai

500-an orang. Perang antar suku ini menjadi masalah sosial yang me-nasional.

Ada empat hal yang menjadi penyebab terjadinya perang suku antara suku

Dayak dan suku Madura :

1) Perbedaan antara dayak-madura

Perbedaan budaya jelas menjadi alasan mendasar ketika perang antar

suku terjadi. Masalahnya sangat sederhana, tetapi ketika sudah berkaitan

dengan kebudayaan, maka hal tersebut juga berkaitan dengan kebiasaan.

Misalanya permasalahan senjata tajam. Bagi suku dayak, senjata tajam

sangat dilarang keras dibawa ketempat umum. Orang yang membawa senjata

tajam kerumah orang lain, walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai

ancaman atau ajakan berduel. Lain halnya dengan budaya suku madura yang

10
biasa menyelipkan senjata tajam kemana-mana dan dianggap biasa ditanah

kelahirannya.

Bagi suku dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal

ini terjadi, pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban

cidera) dan hukum adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila

dilakukan berulang kali, masalahnya berubah menjadi masalah adat karena

dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga simbol adat mangkok

merah (Dayak Kenayan) atau Bungai jarau (Dayak Iban) akan segera

berlaku. Dan itulah yang terjadi dicerita perang antar suku Dayak-Madura.

2) Perilaku yang tidak menyenangkan

Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah

tabu karena menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat

jiwa dan badan. Bila dilanggar, pemilik barang akan sakit. Bahkan, bisa

meninggal. Sementara orang madura sering kali terlibat pencurian dengan

korbannya dari suku dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang menjadi

pemicu pecahnya perang antara suku dayak dan madura.

3) Pinjam meminjam tanah

Adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih.

Hanya dengan kepercayaan lisan, orang madura diperbolehkan menggarap

tanah orang dayak. Namun, persoalan timbul saat tanah tersebut diminta

kembali. Seringkali orang madura menolak mengembalikan tanah pinjaman

tersebut dengan alasan merekalah yang telah menggarap selama ini.

Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji)

yang harus dibalas dengan kekerasan. Perang antar suku Dayak dan Madura

pun tidak dapat dihindarkan lagi.

11
4) Ikrar perdamaian yang dilanggar

Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi.

Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan

permusuhan. sementara orang Madura telah beberapa kali melanggar ikrar

perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah yang memicu perang antar suku

tersebut.8

2. Konflik melayu madura

Pada bulan februari April 1999, konflik etnis kembali terjadi di Kabupaten

Sambas, Kalimantan Barat, yang untuk pertama kalinya antara orang melayu

dengan madura. Akibatnya sekitar 25 ribu Madura terpaksa diungsikan di

Pontianak. Berbeda dengan pengungsi akibat konflik dayak- madura pada tahun

1996/1997 yang masih bisa kembali ke tempat tinggalnya di Sambas, kali ini

mereka tidak bisa kembali dan terpaksa tinggal di berbagai tempat pengungsian9.

Pertikaian dan permusuhan ini terjadi berawal dari peristiwa pembantaian

dan penganiayaan beberapa orang warga Melayu kampung Parit Setia terhadap

seorang warga Madura dari kampung Rambayan pada malam bulan ramadhan

1419 H. yang diduga menyelinap masuk ke rumah salah satu rumah warga Parit

Setia dengan maksud mencuri, yakni di rumah Ayyub yang meninggal dalam

peristiwa penyerangan. Namun sayang, malang nasib warga madura itu,

perbuatannya diketahui oleh tuan rumah dan diteriaki maling, yang akhirnya

didengar dan dikejar oleh warga yang lainnya. Usaha untuk menyelinap masuk ke

rumah gagal, dan akhirnya satu orang tertangkap basah, sementara yang lainnya

8 Ruslikan, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, dalam http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.


php?option = com_ content & view = article&id = 85: konflik-dayak-madura-di-kalimantan-
tengah-melacak-akar-masalah-dan-tawaran-solusi-&catid=34: mkp & Itemid = 62

9 Riwanto Tatsudarmo, Mencari Indonesia; Demografi Politik Pasca Soeharto, 2007,


Jakarta: LIPI Press. Hal 94.

12
sempat melarikan diri. Setelah diikat lalu dipukuli hingga babak

belur. Penangkapan ini diketahui oleh temannya yang lari dan

memberitahukannya kepada warga lainnya di kampung Rambaian. Setelah

dipukuli, keesokan harinya masalahnya kemudian diserahkan kepada kekepolisian

kecamatan. Dan diproses. Warga melayu ditahan atas tuduhan penganiayaan dan

warga Madura dilepaskan karena menurut Polisi tidak ada bukti pencurian.

Padahal menurut masyarakat Parit Setia dan sekitarnya, mereka sering kecurian

dan bahkan perampokkan pada malam hari. Setelah peristiwa itu, masyarakat Parit

Setia merasa terancam dengan tersebarnya isyu akan ada penyerangan warga

Madura kampung Rambaian. Warga kampung Parit Setia melalui aparat kampung

yaitu kepala kampung sudah beberapa kali mengadakan kontak perdamaian,

dengan harapan agar kasus pertikaian antara warga itu diselesaikan dengan baik,

apalagi sesama muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Namun upaya itu

tidak dihiraukan, bahkan dipertajam sendiri oleh kepala kampungnya sendiri.

Indikator keterlibatan pimpinan kampung Rambaian adalah pada saat

penyerangan kendaraan yang digunakan adalah kendaraan (truk) kepala kampung

(H. Leman) di samping itu, beliau juga ikut dalam rombongan penyerangan itu.

Maka terjadilah tragedi 1 syawal 1419 H. yang menewaskan tiga orang warga

melayu kampung Parit Setia.

3. Konflik Ambon

Konflik fisik di Ambon secara kasat mata dipicu oleh percekcokan di

terminal Batu Merah antara Usman, pemuda Bugis yang tinggal di kawasan Islam,

Batu Merah Bawah, dan Yopie Saiya, pemuda Ambon dari kawasan Kristen,

Mardika, tanggal 19 Januari 1999, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.

13
10
Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat setempat, dalam sekejab

menimbulkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa, dan meledak

menjadi kerusuhan besar di seantero kota Ambon. Kerusuhan itu bahkan meluas

ke seluruh Pulau Ambon tanpa dapat dikendalikan. Kerusuhan yang berlarut-larut

di Pulau Ambon yang semula berpenduduk 312.000 jiwa ini memakan banyak

korban jiwa. Korban pengungsi mencapai sekitar 100.000 jiwa yang lari ke luar

Ambon dan menyisakan 20.000 jiwa orang yang terpaksa tinggal di 34 lokasi

pengungsian. Kota dan desa-desa di Ambon bertebaran dengan puing-puing

bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan toko yang dibakar serta diratakan

dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat

dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen

disebut merah, dan yang Muslim disebut putih. Di kota Ambon, masyarakat hidup

dalam keadaan terpisah: pasar khusus merah, pasar khusus putih,

pelabuhan speedboat merah dan putih, becak merah dan putih, angkot merah dan

putih, bank merah dan putih, dan sebagainya.

Peristiwa Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999 bukanlah satu-satunya

peristiwa yang menjadi fakta kebrutalan salibis terhadap kaum Muslimin di

Maluku. Bisa dikatakan, peristiwa tersebut adalah yang terbesar sekaligus awal

dari berbagai peristiwa pembantaian secara masif terhadap kaum Muslimin di

Maluku sejak tahun 1998. Tragedi Idul Fitri berdarah juga telah menjadi awal

letupan terjadinya perang agama antara kaum Muslimin dan kaum salibis secara

berkepanjangan hingga perjanjian damai tahun 2002. Rangkaian peristiwa

pembantaian terhadap kaum Muslimin oleh para teroris salibis yang bermula di

10 Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunung Mulia.
Hal 546

14
Ambon berlanjut sampai Maluku Utara. Salah satu peristiwa paling mengenaskan,

setelah Tragedi Idul Fitri berdarah adalah pembantaian kaum Muslimin yang

tengah berlindung di dalam masjid di kecamatan Tobelo, Halmahera Maluku

Utara. Ketika itu mereka diserang kaum salibis.

Ratusan kaum Muslimin menjadi korban dalam peristiwa pembantaian

tersebut. Saking banyaknya mayat yang ada di dalam masjid, sebagian besarnya

hangus terbakar. Untuk membersihkan masjid dan mengangkat jenazah yang akan

dikuburkan secara massal itu, sampai-sampai diperlukan buldozer untuk

mengangkutnya. Perang besar antara kaum Muslimin dan kaum salibis yang

berlangsung cukup lama akhirnya berakhir pada tahun 2002 melalui perjanjian

damai yang ditandatangani oleh perwakilan dari kedua belah pihak. Perjanjian

damai yang kemudian dikenal dengan istilah perjanjian Malino bukanlah

perjanjian damai pertama, sebab sebelumnya telah berulangkali dilakukan

perjanjian damai namun selalu dilanggar oleh salibis dengan melakukan

penyerangan ke wilayah Muslim.11

4. Konflik Papua

Jika dilihat dari sejarah, konflik di tanah papua sudah bisa di rasakan sejak

awal kemerdekaan indonesia. Kekisruan makin terlihat ketika daerah ini

tergabung kepada Indonesia setelah adanya penandatangan kesepakan politik

antara RI-Belanda yang difasilitasi PBB pada 1962. Semenjak terintegrasi

dengan Indonesia, pergolakan di Papua tidak juga surut, hal ini di sebabkan dari

ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis penyatuan kawasan tersebut

dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata bermunculan dan

11 Mengenang syuhada tragedi konflik idul fitri berdarah di Ambon. http://www.voa-


islam.com

15
menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan

indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.12

Temuan penelitian menunjukkan bahwa Otsus Papua sebagai kebijakan

penanganan konflik di antara masyarakat Papua dan Pemerintah Indonesia, selama

kurun waktu sepuluh tahun, implementasinya belum menjawab masalah-masalah

mendasar masyarakat Papua. Seperti yang diungkapkan oleh Anthonius Mathius

Ayorbaba dalam Tabloid Reformata, malahan yang terjadi adalah potensi

transformasi dari konflik laten ke konflik manivest dan afternath conflict pada

satu sisi , dan pada sisi lainnya implementasi Otsus menjadi pemicu konflik baru

di Tanah Papua.13

5. Konflik Poso

Poso adalah kota pinggiran pantai yang tenang-tenang saja di Provinsi

Sulawesi Tengah yang pedesaan itu. Bagi orang kristen, 24 Desember 1998 adalah

Malam Natal, sementara bagi orang-orang Muslim itu persis di tengah-tengah

bulan puasa Ramadhan. Ketika seorang remaja kristen dari lingkungan Muslim

Kayamanya, meletuslah huru-hara, yang terbatas hanya di kota Poso. Tak lama

kemudian tiap orang sependapat bahwa sumber masalahnya adalah alkohol, dan

masalah itu dilupakan. Tetapi pada april 2000 kekerasan yang lebih serius

meledak di kota, yang kemudian merembet ke seantero Kabupaten Poso. Pada

Mei 2000, pasukan Kristen membantai sekitar delapan puluh orang Muslim

disebuah daerah kantong Muslim kecil yang tengah berlindung disebuah masjid

yang bernama Walisongo, tak jauh di selatan Kota Poso. Januari 2002, empat

12 Killion Wenda, Akar Konflik Papua,


http://politik.kompasiana.com/2013/03/25/akar-konflik-papua-545215.html

13 Anthonius Mathius Ayorbaba,Tabloid Reformata Edisi 147, (Jakarta: YAPAMA


2012 : Hal 20)

16
bulan setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, Poso disebut di

Newyork Times. Konflik itu telah bereskalasi dari pertikaian lokal menjadi sebuah

masalah internasional. Konflik-konflik tersebut bisa bereskalasi karena alasan-

alasan yang bisa diterangkan, karena makin banyak orang memutuskan untuk

terlibat.14

2.2 Dampak Konflik Etnisitas di Indonesia

Pada sebuah konflik dapat berdampak positif dan juga negatif.


a. Dampak positif dari konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu perubahan

seluruh personel di dalam posisi dominasi. Perubahan yang dimaksud

adalah, perubahan status sosial, pola interaksi, dan solidaritas sosial.

Kedua, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam

kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser

adalah fungsi konflik yang positif mungkin paling jelas dalam

dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan

integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau

konflik dalam outgroup bertambah besar.


b. Sedangkan dampak negatif Adanya berbagai konflik antar suku yang

terjadi tersebut akan menimbulkan dampak baik yang bisa dirasakan

secara langsung atau tidak. Dampak ini bukan hanya menimpa pada

kelompok yang tidak terlibat konflik saja, tetapi tidak kemungkinan

juga menimpa pada kelompok yang tidak terlibat langsung dalam

konflik tersebut. Dampak negative tersebut antara lain:

14 Gerry van Klinken. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di
Indonesia (London: Rouledge. 2007 : Hal 120)

17
1. Menimbulkan hilangnya rasa aman, masyarakat yang tinggal di

kawasan rawan konflik akan selalu di hantui ketakutan apabila

konflik kembali terulang.


2. Hilangnya persatuan bangsa, dengan konflik antar suku tersebut,

maka persatuan bangsa akan mudah hilang karena masing-masing

pihak enggan untuk diajak berdamai/rujuk.


3. Rusaknya tata kehidupan, konflik membuat masyarakat kehilangan

kesempatan untuk bekerja, mencari nafkah atau mendapatkan

pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.


4. Kerugian materil yang tak terhitung, karena sebuah konflik

perusakan fasilitas hidup umum maupun pribadi dapat terjadi seperti,

pembakaran rumah, pasar, sekolah atau tempat ibadah.

2.3 Solusi Konflik Etnisitas

Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu

yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung

pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk

menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut

serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut

berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan

pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di

sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik

dan beradab. Inilah yang dinamakan main hakim sendiri, yang hanya

menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih

demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah

oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat

untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk

18
berkompromi. Musyawarah untuk mufakat, yang ditempuh dan dicapai

lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk

ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat

nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya

konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat

mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan

kelestarian kehidupan yang tenteram.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik

tersebut, yaitu :

1) Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh

pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum

yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua

belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian

seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam

masyarakat, bersifat spontan dan informal.


2) Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak

diberikan keputusan yang mengikat.


3) Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-

pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.


4) Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang

bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada

suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua

belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur.


5) Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa

di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak

memihak kepada siapapun.

19
Untuk mengurangi kasus konflik etnis diperlukan suatu upaya

pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan

kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :

a) Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak

untuk bersatu.
b) Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun

consensus.
c) Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang

menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.


d) Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam

aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan

bagi semua pihak, semua wilayah.


e) Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan

kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah ;

1) Aspek kualitas warga sukubangsa


2) Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten

dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia

terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu

keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan

atau konflik.
3) Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik

untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah

pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak

adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing

anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang

20
mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di

dalam masyarakat.
4) Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk

saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.

Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah

terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya

campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau

badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta

ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran

selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai juru damai

dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar

sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud

seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian

hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa

keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam

hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh

dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron

dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar

permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh,

dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi

permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sementara orang berpendapat bahwa etnisitas merupakan sesuatu

yang klasik, soal yang sudah usang. Seperti diyakini kaum modernis,

dalam dunia modern etnisitas akan hilang atau paling tidak surut diganti

dengan entitas sosial berbasis pada ekonomi, kelas, partai atau kelompok

kepentingan (interest group) yang lain. Sentimen etnisitas digeser oleh

kesadaran kelas, politik etnis diganti dengan politik kelas, nasionalisme

digeser oleh globalisme.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri dari

berbagai suku, ras dan agama (majemuk). Kemajemukan ini diperlihatkan

oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu

negara kebangsaan15. Menurut Hildred Geertz tidak kurang dari 300

golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai

pulau di Indonesia16. Kebhinekaan/kemajemukan yang tidak terakomodasi

dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang pada gilirannya menjadi

konflik sosial. Pada dasarnya konflik merupakan interaksi yang


15Frederick Baarth, Kelompok Etnis dan Batasannya, terjemahan Nining L.S (1988) hal
17

16 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. (1984) hal 39

22
menimbulkan pertentangan yang berupa bentrokan, perkelahian atau

peperangan (Suseno, 1991).

Beberapa temuan hasil penelitian menyebutkan, konflik antar

golongan etnis terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Temuan studi

menunjukkan penyebab pemicu timbulnya konflik antar etnis memang

sangat kompleks. Dahrendorf dalam Johnson (1990), mengklasifikasikan

kondisi yang dapat mempengaruhi konflik mencakup: (1) kondisi teknik,

(2) kondisi politik dan (3) kondisi sosial. Beberapa penyebab timbulnya

jarak sosial dan konflik sosial yang terpokok ialah faktor ekonomi politik,

dan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut bisa diperparah dengan

terabaikannya tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan yang menuntut

kebersamaan. Manakala hal-hal tersebut terjadi maka dengan mudah akan

menimbulkan konflik sosial

Berikut beberapa konflik yang ada di Indonesia dalam skala yang besar :

1. Konflik Dayak Madura


2. Konflik Melayu Madura
3. Konflik Ambon
4. Konflik Papua
5. Konflik Poso

Dampak Konflik Ada 2 yaitu :


1 Dampak positif dari konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu perubahan seluruh

personel di dalam posisi dominasi. Perubahan yang dimaksud adalah, perubahan

status sosial, pola interaksi, dan solidaritas sosial.


2 Dampak Negatif dari konflik yaitu hilangnya rasa aman, Hilangnya persatuan

bangsa, rusaknya tata kehidupan, kerugian materil yang tidak terhitung, dll.

Solusi Menyelesaikan Konflik :

23
a. Abitrasi
b. Mediasi
c. Konsialasi
d. Stalemate
e. Adjudication

Daftar Pustaka

Darmanik, Fritz Hotman S.2009. Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten: Intan Pariwara

Nurseno.2007. Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

24
Gurr, T. Robert, Minorities at Risk, Global View of Ethnopolitical Conflict, United State

of Peace Press, 1996

Giddens, Anthony, Beyond Left and Right, The Future of Radical Politics, Polity Press,

1994

Brown, Michael E., and Sumit Ganguly (Ed.), Governement Policies and Ehnic

Relations in Asia and the Pasific, The MIT Press, 1997

Barth, Frederick (1988). Kelompok Etnis dan Batasannya, terjemahan Nining L.S.

Jakarta : UI Press.s

Gungwu, Wang . (1991). Kajian Tentang Identitas Orang Cina di Indonesia dalam

Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Terjemahan Ahmad. Jakarta : Grafiti

Press

Lan, Thung Ju. (1999). Masalah Cina : Konflik Etnis Yang Tak Kunjung Selesai dalam

Jurnal Antropologi Sosial Budaya Tahun XXIII N0. 58 Januari-April. Jakarta : Fisipol UI.

Suryadinata, Leo.(2002).Negara Dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta : LP3ES.

Suryadinata, Leo.(2005). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002,

Jakarta : LP3ES

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/01/03/AG/mbm.20000103 .AG

110812.id.html

Madjid, Nurcholis (2001). Konflik Etnis dan Penyelesaiannya. Tersedia

[Online] http://www.gatra.com/2001-04-17/artikel.php?id=5619

Liliweri, A (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Tilaar, H.A.R. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.

Jakarta:Rineka Cipta.

M. Hardjana, Agus. Konflik di Tempat Kerja, 1994. Yogyakarta: Kanisius


Hasrullah. Dendam Konflik Poso 1998-2001, 2009. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Liliweri, Alo Prasangka dan Konflik, 2005. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara

25
Van Klinken, Gerry. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di

Indonesia, 2007. London: Rouledge.

Munawar, Sejarah Konflik Antar Suku di Kabupaten Sambas

Adi P. Wicaksono, Analisis Akar Permasalahan Konflik Berdarah di Ambon

Ruslikan, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik,

dalamhttp://mkp.fisip.unair.ac.id/index . php? option = com_ content & view =

article&id = 85: konflik-dayak-madura-di-kalimantan-tengah-melacak-akar-masalah-

dan-tawaran-solusi-&catid=34: mkp & Itemid = 62 (diakses pada tanggal 06 Juli 2014)

Tatsudarmo, Riwanto Mencari Indonesia; Demografi Politik Pasca Soeharto, 2007,

Jakarta: LIPI Press. Hal 94.

Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,BPK Gunung

Mulia. Hal 546

http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2012/01/21/17494/mengenang-

syuhada-tragedi-konflik-idul-fitri-berdarah-di-ambon/#sthash.yMlJ6OzM.dpbs

Killion Wenda, Akar Konflik Papua, dalam

http://politik.kompasiana.com/2013/03/25/akar-konflik-papua-545215.html (diakses pada

tanggal 06 Juli 2014)

Anthonius Mathius Ayorbaba, dalam Tabloid Reformata Edisi 147 Januari 2012, Jakarta:

YAPAMA. Hal 20.

Gerry van Klinken. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di

Indonesia, 2007. London: Rouledge. Hal 120

26

Anda mungkin juga menyukai