BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negeri Maluku merupakan daerah dengan penduduk yang heterogen. Daerah Maluku
merupakan daerah yang sejak lama dicari-cari oleh bangsa-bangsa Eropa karena daerah ini
merupakan daerah yang kaya rempah-rempah seperti cengkih dan pala. Kedatangan bangsa
Eropa menyebabkan bangsa Maluku sejak saat itu telah membangun hubungan dengan
bangsa-bangsa lain yang memiliki peradaban yang berbeda. Sehingga mereka memiliki
keunggulan tertentu yaitu nilai budaya cinta damai dalam bentuk pela, gandong, duan lolat
(nama lambang perdamaian). Namun karena adanya kebijakan pemerintahan kolonial yang
menjadikan Maluku tersegregasi baik secara politik maupun sosio keagamaan (Islam dan
Kristen) menyebabkan terjadinya suatu konflik antar masyarakat Maluku (kaum Islam dan
kaum Kristen). Akibat dari segresi tersebut masih berlangsung dan menguat pada masa
setelah rezim Orde Baru. Sehingga baik dari elite politik maupun elite agama tidak mampu
meyatukan masyarakat dan membuat konflik yang ada di Maluku menjadi konflik yang
berkepanjangan.
Setelah peristiwa Reformasi yang menyebabkan terjadinya kekacauan dalam
kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia pada umumnya, dan negara dalam posisi
lemah. Hal ini memberi kesempatan kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksinya
seperti yang terjadi di Maluku oleh kaum Kristen Maluku untuk melampiaskan dendamnya
kepada kaum Islam Maluku selama Orde Baru yang mendapat keistimewaan oleh
pemerintah.
Konflik di Maluku pada tahun 1999, menurut sebagaian orang merupakan konflik
keagamaan antara Islam dan Kristen. Konflik tersebut merupakan rantai panjang dari adanya
ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial
maupun republik.
Konflik di Maluku ini sangat menarik untuk dipelajari karena didalamnya terjadi
berbagai hal yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut yaitu bukan hanya karena agama,
tetapi juga karena perpolitikan, birokrasi, perekonomian yang menyebabkan kecemburuan
sosial dan pada perkembangannya menyeret agama sehingga menimbulkan konflik besar
yang berkepanjangan. Konflik di Maluku pada tahun 1999 telah menyebabkan banyak
penderitaa bagi masyarakat Maluku sendiri serta hal ini tetu juga bisa mengancam
kedaualatan bangsa Indonesia apabila terjadi disintegrasi bangsa.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
Apa yang menjadi latar belakang konflik di Maluku pada tahun 1999?
Bagaimana kronologi konflik Maluku?
Bagaimana upaya-upaya yang ditempuh dalam mencapai perdamaian konflik Maluku?
Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konflik Maluku tahun 1999?
C. Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Terjadinya Konflik Di Maluku
Konflik keagamaan yang terjadi di Maluku pada tahun 1999 sebenarnya bukanlah
suatu peristiwa muthakir. Konflik tersebut merupakan rantai panjang dari adanya
ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial
maupun republik. Pada masa pemerintahan Belanda terjadi praktik misionarisai Kristen
Protestan kepada warga lokal. Hal ini merupakan upaya Belanda untuk mengurangi pengaruh
Islam Ternate yang masih kuat di Maluku. Keadaan ini kemudian menjadikan Maluku
menjadi tersegregasi baik secara politik maupun sosio keagamaan dimana Maluku utara yang
masih berada dalam pengaruh Kerajaan Islam Ternate sedangkan Maluku selatan yang berada
dalam pengaruh misionarisasi Kristen Belanda.
Selain karena agama yang menjadi sumber konflik, pada masa kolonial banyak
mengangkat warga Maluku Kristen untuk menjadi birokrat maupun militer karena Belanda
menganggap mereka mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Mereka pun juga
disekolahkan oleh pemerintah sehingga mereka menjadi kaum terdidik dibandingkan kaum
Islam Maluku yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah karena Belanda dianggap
sebagai kafir.
Kondisi keistimewaan kaum Kristen Maluku tersebut kemudian berubah ketika
bangsa Indonesia telah merdeka. Kaum Kristen kemudian dicap sebagai separatis oleh
pemerintah pusat karena banyak diantara mereka yang tergabung dalam RMS. Hal inilah
yang kemudian menguntungkan bagi kaum Islam Maluku yang selama pemerintahan kolonial
terdeskriminasi dan termarjinalkan kemudian bisa menguasai birokrasi yang dulu dikuasai
oleh kaum Kristen.
Selain adanya islamisasi dalam birokrat, kaum Kristen Maluku juga mengahadapi
serangan pendatang baru yaitu pedagang dari Buton, Bugis, dan Makassar yang menguasai
perdagangan antar pulau di Maluku. Maka karena merasa terhimpit oleh islamisasi baik
dalam birokrasi maupun ekonomi kemudian pecahlah Konflik Maluku pada tahun 1999
sebagai pelampiasan kaum Kristen Maluku terhadap kaum Islam baik kaum Islam Maluku
asli maupun pendatang.
Sebagaian orang berpendapat bahwa agama sebagai penyebab timbulnya konflik
Maluku, akan tetapi kini bermunculan beberapa studi mengenai sebab musabab terjadinya
konflik Maluku sejak Januari 1999 antara lain sebagai berikut:
1. Menurut studi-studi dari Dr. Tamrin Amal Tomagola:
Dengan pendekatan sosiologis yang bertolak dari negara dengan tekanan pada sebab
musabab situasional. Ia menyebutkan bahwa kerusuhan yang terjadi di Kao dan Malifut
adalah sebagai akibat dari pemerintah pusat untuk membentuk sebuah kecamatan baru di
Teluk Kao (Halmahera Utara) dengan nama Malifut yang nantinya akan menguntungkan para
Migran Islam (dipindahkan ke Kao sejak awal 1970-an) tetapi hal ini ditentang oleh warga
Kao yang Kristen yang telah hidup berabad-abad di wilayah itu. Pada tanggal 18 Agustus
1999 terjadi kerusuhan yang menyebabkan kegagalan pembentukan kecamatan tersebut.
Dalam konflik tersebut menyebabkan orang-orang migran tersebut terpaksa mengungsi ke
Ternate dan Tidore, lalu mereka memanaskan situasi di kedua tempat tersebut sehingga
terjadi kekerasan terhadap orang Kristen yang lalu terpaksa mengungsi ke Minahasa.
Kemudian menurut Tomagola, perubahan dalam pimpinan ABRI juga sebagai faktor
penting dalam komponen negara. Naiknya Faizal Tanjung memunculkan diktonomi dalam
tubuh TNI-AD anatara apa yang dinamakan TNI Hijau dan TNI Merah Putih yang
menjadi masalah penting dalam perpolitikan di Jakarta. Selain itu ia juga melihat munculnya
ICMI pada tahun 1992 sebagai kekuatan tandingan dari kalangan sipil sebagai unsur yang
perlu dipertimbangkan pula. Perubahan-perubahan pada tingkat pusat tersebut perlu
dipertimbangkan pula. Perubahan-perubahan tersebut ternyata juga berpengaruh di Maluku
Utara, seperti dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara.
2. Studi dari Dr. G. Vanklinken
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang bertolak dari masyarakat ia
menunjukkan bahwa kerusuhan yang terjadi di Maluku tidak bertolak dari primordialisme ala
Durkheim tetapi kerusuhan tersebut bersifat instrumentalis. Konsep kunci yang digunakan
oleh Klinken adalah clientelism (patron klien) bahwa elite-elite lokal di Maluku korup dan
saling memperebutkan kedudukan dalam birokrasi dan proyek-proyek pembangunan, dan
menarik pengikut dalam masyarakat dengan membagi rejeki-rejekinya itu sehingga sistem
patron client menjadi penghubung antara negara dan masyarakat. Melalui sistem patron client
itu pula elite Islam dan elite Kristen di Maluku dapat memobilisasi lapisan masyarakat bawah
untuk saling membunuh demi keuntungan dan kedudukan pihak-pihak elite itu.
Kerusuhan di Maluku menurut Van Klinken disebabkan persaingan politik yang
memang ada kaitannya dengan clientalism. Seperti yang terjadi di pemilu 1997 di Maluku.
Hasil perhitungan suara menunjukkan bahwa PDIP cabang Ambon menang mutlak dan
menggeser partai-partai Islam. PDIP Ambon sesungguhnya adalah unsur Parkindo dalam PNI
maka kemenangan itu diartikan sebagai kemenangan elite Kristen. Lalu untuk wakil-wakil
MPR dan DPR juga dipilih hanya dari orang Kristen. Kemenangan PDIP Ambon tersebut
dianggap oleh elite Islam sebagai ancaman kedudukan mereka di birokrasi.
dekat dengan Kristen dengan keadaan seperti ini sudah pasti aparat keamanan tidak bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik.
3. Tahapan ketiga dimulai pada tanggal 26 Desember 1999
Konflik ketiga ini berawal ketika terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah baik kaum
Kristen maupun Islam yaitu gereja Silo dan Masjid An-Nur. Peristiwa ini memicu konflik di
luar kota Ambon yaitu di Masohi, Seram.
Dalam konflik ketiga ini para perusuh sudah menggunakan senjata organic milik
aparat keamanan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan jika ada pihak luar Indonesia yang
membantu konflik dalam hal persenjataan.
Meluasnya konflik tersebut menyebabkan
adanya
Kasus
ABRI,
Letjen
Upaya yang dilakukan untuk mencapai perdamaian konflik Maluku oleh pemerintah
antara lain dengan adanya Perjanjian damai Maluku di Malino (Malino II) serta dengan
memanfaatkan kearifan lokal dalam negeri Maluku yaitu berupa pela dan gandong.
1. Perjanjian Damai Maluku Malino II
Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara komunitas Kristen dan Muslim
Maluku pada tahun 2002 dengan perjanjian perdamaian Malino II. Pengelolaan konflik pra
Perjanjian Malino II sebagian bersifat reaktif. Dimana tidak ada strategi maupun perencanaan
jangka panjang baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Alat pengelolaan konflik yang
utama adalah pengiriman bantuan dan keamanan serta mengandalkan pada militer yang
berasal dari luar Maluku. Perjanjian Malino II merupakan sebuah titik balik yang signifikan
yang ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan pembangunan. Isi dari
perjanjian Malino II tersebuat antara lain sebagai berikut:
a. Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menegakkan supermasi hukum secara adil dan tidak memihak. Oleh karena itu aparat harus
bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.
c. Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.
d. Sebagai bagian dari NKRI maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di
e.
f.
Maluku.
Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan
Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus dan pengalihan agama secara paksa.
g. Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik.
h. Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum
seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan
seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu
i.
j.
dengan itu segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya.
Untuk mejaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan
Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang
dan ketentuan lainnya tanpa pemaksaan.
k.
Malino II meminta keseimbangan antara dua kelompok ini belum dapat dicapai.
2. Peran Kearifan Lokal pela dan gandong
Meskipun konflik dinyatakan selesai oleh Pemerintah Pusat secara sepihak melalui
ditandatanganinya Perjanjian Malino II pada tahun 2002-2003. Namun demikian, konflikkonflik minor sendiri masih sering terjadi dalam lingkungan masyarakat. Ditengarai ada
beberapa oknum tertentu yang berkepentingan agar Maluku tidak menjadi damai dan secara
terus menerus berkonflik. Konflik-konflik tersebut masih terjadi selang setahun pasca
diterapkannya butir-butir kesepakatan dalam perjanjian tersebut, namun tidak berkembang
dalam konflik komunal seperti pada rentang 1999-2002.
Meskipun konflik meninggalkan memori kelam bagi masyarakat Maluku, proses
perdamaian melalui pembangunan reintegrasi dan kohesi sosial pasca konflik sosiokeagamaan juga berlangsung cepat dalam level sosio masyarakat. Dalam hal ini, peranan
local genius berupa revitalisasi pela gandong berperan besar dalam mendamaikan kembali
negeri-negeri yang dulunya tersekat-sekat oleh identitas keagamaan untuk kembali
membangun persaudaraan kembali.
Misalnya saja pemahaman tentang kearifan lokal tentang makna kitorang samua
basudara (kita semua adalah bersaudara). Pemahaman tersebut merujuk pada konstruksi
bahwa meskipun masyarakat Maluku sendiri terbagi menjadi dua komunitas yakni salam
(Islam) dan serani (Nasrani) tetap memiliki satu darah keturunan sama. Revitalisasi konsep
tersebut juga dimaksudkan untuk mengikis liyan (the others) yang selama ini menjadi
hambatan resolusi pedamaian.
Sebelumnya konteks kitorang-dorang (kita dan mereka) mewarnai secara satir
gambaran konflik Maluku yang menuntut orang untuk menjadi entitas kedua bagian kubu
tersebut. Proses ke-aku-an dan ke-mereka-an memang dilandasi atas sentimen agama Islam
dan Kristen. Namun lebih dari itu, bagaimana kita bisa melihat egoisme tersebut menjadi
fluid selama proses reintegrasi perdamaian antar agama di Maluku.
Secara garis besar, filosofi katong basudara sendiri berfungsi secara dua arah yakni
menjembatani adanya segregasi baik antara komunitas Salam (Islam) maupun komunitas
Sarani (Kristen) dan membangun konsensus perdamaian berdasarkan nilai nilai sosio
keagamaan yang berkembang dalam ranah setempat.
halnya,
revitalisasi
pela
gandong
sebagai
resolusi
konflik dalam
merekapitalisasi modal sosial pasca konflik dan membangun solidaritas masyarakat lintas
etnis maupun lintas agama. Representasi sendiri tidak pelak menjadi bagin integral dalam
proses rekonsialiasi perdamaian tersebut. Dalam hal ini, representasi diartikan sebagai
tindakan suatu individu maupun kolektif untuk mewakili entitas tertentu sebagai media
penyalur aspirasi. Makna representasi juga dimaksudkan juga kesetaraan posisi dalam relasi
masyarakat yang heterogenistik. Bahwa demokrasi sendiri yang acap kali dimaknai sebagai
suara majoritarian sendiri acap kali mengeliminasi suara minoritas yang selama ini
diasumsikan mengalah pada paradigma kepentingan publik (commons interest) tersebut.
Maka salah satu ajudikasi yang dilakukan dalam representasi sebagai resolusi konflik di
Maluku adalah perimbangan komposisi jabatan birokrasi di antara lintas agama maupun etnis.
Dominasi satu agama maupun etnis dalam pengisian jabatan birokrasi di Maluku
merupakan sumber konflik utama di sana. Suksesi pemerintahan di Maluku memang secara
tidak langsung diikuti dengan relasi dominasi maupun subordinasi dengan mengafilisiasikan
diri terhadap kelompok identitas terentu. Kondisi inilah yang kemudian berkembang menjadi
pola diskriminasi dan marjinalisasi sebagai sumber konflik laten di Maluku yang bisa
puncaknya pada kerusuhan komunal 1999-2002.
Representasi dalam tubuh birokrasi sendiri kemudian digalakkan pada tahun 2006,
Maluku mulai melakukan progam reformasi birokrasi yang dinamakan SKJ (Standar
Kompetensi Jabatan) sebagai basis dasar pola rekrutmen birokrasi. Adapun pola baru ini
mensyaratkan asas proporsionalitas calon birokrat berdasar ras, suku, pendatang - non
pendatang, gender, dan afiliasi agama sebagai solusi manajemen konflik dalam pemerintahan.
Pada awal penerapan progam Standar Kompetensi Jabatan (SKJ) di lingkungan Pemerintah
Kota Ambon dimulai dari pemilihan sekretaris daerah dan kemudian ke jajaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah lainnya muncul tantangan datang dari masyarakat mengenai unsur
perwakilan mereka terhadap rekruitmen birokrasi yang ada dikarenakan selalu muncul intrik
bahwa birokrat dari etnis Ambon maupun Islam sajalah yang selalu terpilih. Tantangan itu
kemudian dibalas bahwa Standar Kompetensi Jabatan ini memiliki beberapa konsep antara
lain keadilan dan kesempatan yang sama bagi masyarakat Ambon untuk menjadi birokrat,
kesetaraan gender, profesionalisme, restrukturisasi birokrat old institutionalism. Mengenai
permasalahan restrukturisasi old institutionalism ini juga merupakan latar belakang utama
kemunculan Standar Kompetensi Jabatan.
Adapun yang dimaksudkan dengan old institutionalism dalam representasi birokrasi
ini adalah menghilangan paradigma lama yang memberikan pengistimewaan terhadap etnis
maupun agama tertentu. Selain itu pula, old institutionalism juga dimaksudkan mengurangi
pandangan stereotype kristenisasi Maluku bahwa mereka terdidik dikarenakan juga afiliasi
agama mereka yakni Kristen dimana masyarakat Kristen lebih moderat dibandingkan Islam
yang radikal dan tidak mau masuk sekolah karena diindikasikan adanya upaya kristenisasi
Maluku sehingga masyarakat Kristen yang terpilih untuk masuk menjadi birokrat sementara
Islam lebih memilih jalur formal. Stereotip itu pula yang berkembang bahwa lembaga
birokrat merupakan lembaga Kristen Hal tersebut juga ditujukan untuk memberikan
kesempatan yang sama terhadap semua agama maupun etnis untuk bisa berkarir dalam
birokrasi di pemerintahan Maluku.
D. Dampak dari Konflik Maluku
Kerusuhan dan konflik yang terjadi selama beberapa tahun di Maluku telah
memberikan masa lalu yang berat dan mencekam bagi masyarakat Maluku khususnya.
Konflik Maluku telah mengakibatkan banyak kematian dan penderitaan umat manusia,
penghancuran harta benda, pemaksaan pindah agama, sehingga hal ini dianggap sebagai
konflik berskala kejahatan dan pelanggaran HAM. Kenyataan tersebut menimbulkan persepsi
di kalangan masyarakat bahwa dendam dan kebencian yang ada akan selalu dimiliki
masyarakat Maluku. Sehingga konflik yang terjadi di Maluku akan berlangsung lama, dan
meskipun konflik telah berakhir tidak menutup kemungkinan apabila konflik Maluku tersebut
akan bisa bangkit kembali. Terdapat dua keadaan setelah adanya perdamaian masyarakat
Maluku akibat Konflik Maluku 1999-2002 yaitu:
1. Terjadi Proses Disosiatif: Lemahnya Manajemen Pembangunan Sosial
Konflik Maluku yang telah terjadi selama beberapa tahun itu dapat dipandang sebagai
puncak dari proses sosial yang disosiatif diantara masyarakat Maluku sendiri. Setelah konflik
selesai dan timbul kesadaran dari orang Maluku, bukan berarti tidak mungkin diantara
masyarakat Maluku tidak akan ada konflik lagi. Hal ini karena setelah adanya Perjanjian
Malino II di antara orang Maluku terjadi kembali konflik diantaranya, seperti: konflik yang
melibatkan negeri lain, yaitu konflik yang menyangkut batas tanah petuanan yang terjadi
antara negeri Tial, negeri Tulehu, dan negeri Tengah-tengah dan antara negeri waai, negeri
Liang. Konflik antar masyarakat negeri Tial, negeri Tulehu dan negeri Tengah-tengah masih
belum terselesaikan melalui prosedur hukum, akan tetapi konflik antara negeri Waai dengan
negeri Liang sudah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan
tetapi penyelesaian melalui hukum belum dapat menjamin terselesaikannya masalah yang
2.
berkelanjutan. Seperti yang di lihatnya sewaktu penelitian, misalnya dengan berpelukan yang
akrab juga senang hati diantara tokoh pemuka agama, lalu juga dalam percakapan-percakapan
diantara. Hal itu membuktikan bahwa telah terjadi hubungan persahabatan dan perdamaian
diantara orang Maluku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Maluku pada tahun 1999 sampai 2002 pada dasarnya
merupakan rangkaian konflik yang berakar dari adanya ketidakadilan dan marjinalisasi
masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial maupun pemerinta Indonesia merdeka
sendiri.
Konflik Maluku pada dasarnya lebih mengarah pada permasalahan perebutan sumber daya
politik, ekonomi dan birokrasi. Akan tetapi dalam prosesnya menyeret isu agama sehingga
hal ini mampu menghimpun kekuatan massa yang besar dan menyebabkan konflik ini
berlangsung berkepanjangan.