Anda di halaman 1dari 16

KOMUNITAS ISLAM DI KUPANG

(Sejarah, Identitas, Interaksinya Dengan Budaya Lokal)


Karya: Dr. Bertolomeus Bolong, OCD
Editor: Philipus Tule, Fredik Doeka dan Ahmad Atang
Diterbitkan Oleh Universitas katolik Widya Madira
(Halaman 221-264)

OLEH
KELOMPOK 10
Selviana Aluman ( 21210058 )
Videl L. Selan ( 21210061 )
Wanda A. Lubalu ( 21210115 )
Yuba Banoet ( 21210080 )
Yunita J. Pandie ( 21210114 )

PROGRAM STUDI UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA


FAKULTAS TEOLOGI
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Para orientalis Barat telah memberikan kontribusi signifikan dalam dunia keilmuan
terkait Islam dan budaya Timur. Kajian ilmiah mereka mencakup berbagai aspek, seperti
teologi, filsafat, sejarah, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan, memberikan
landasan yang kokoh bagi pemahaman lebih mendalam terhadap ketimuran. Pemikiran
mereka menjadi sumber penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu,
munculnya sejumlah cendekiawan Timur yang memfokuskan penelitian pada agama dan
budaya ketimuran, terutama Islam, juga memberikan kontribusi berarti dalam ranah
pengetahuan agama dan budaya. Meskipun jumlah mereka relatif sedikit, kajian ilmiah
mereka membawa kemajuan signifikan dalam memahami identitas agama dan budaya
ketimuran secara lebih akurat, objektif, dan memiliki tingkat keilmuan yang tinggi.
Dalam konteks Indonesia, terdapat keterbatasan minat cendekiawan non-Muslim untuk
melakukan kajian ilmiah terkait agama dan budaya Islam di Indonesia. Namun, pentingnya
studi tentang agama dan budaya lain di Indonesia, yang mencerminkan keberagaman
(bhineka), menjadi kontribusi besar untuk membentuk masyarakat yang damai, bahagia,
bersatu, dan sejahtera. Oleh karena itu, mendukung kajian ilmiah ini di Indonesia menjadi
esensial untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan harmoni sosial.
Tulisan ini merupakan sebuah kajian ilmiah yang disusun oleh seorang peneliti non-
Muslim yang membahas hasil penelitian terkait sebuah komunitas Muslim di kota Kupang,
Timor. Dengan pengetahuan keislaman sebagai landasan, peneliti ini melakukan penelitian
mendalam mengenai Islam di wilayah Kabupaten Kupang dan Kota Madya Kupang.
Pendekatan penelitian melibatkan berbagai metode, termasuk wawancara, studi literatur, dan
observasi lapangan untuk mengumpulkan data yang komprehensif.
Kajian ini terfokus pada tiga aspek utama, yakni sejarah Islam di Kupang, identitas Islam di
wilayah tersebut, serta interaksi Islam dengan budaya lokal Kupang-Timor-Nusa Tenggara
Timur (NTT). Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemahaman yang lebih dalam
mengenai perkembangan Islam di Kupang, memahami identitas Islam yang berkembang di
komunitas tersebut, dan mengeksplorasi interaksi yang terjadi antara Islam dengan konteks
budaya lokal, khususnya dalam konteks Kupang, Timor, dan Nusa Tenggara Timur.1

1
Bertolomeus Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT, ed. Ahmad Atang Philipus Tule, Fredrik Doeka
(Kupang: Universitas Katolik Widya Madira, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kelompok memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah Islam di Kupang?
2. Bagaimana identitas Islam di Kupang?
3. Bagaimana interaksi Islam dengan Budaya Lokal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dibuatnya tulisan ini yaitu:
1. Untuk menjelaskan sejarah Islam di Kupang
2. Untuk menjelaskan identitas Islam di Kupang
3. Untuk menjelaskan interaksi Islam dengan Budaya Lokal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Napak Tilas Jejak Sejarah
Pada awal masuknya Islam di Kupang-Timor dimulai dari Sejarahnya yang dimana, Sejarah
merupakan upaya mengkaji masa lalu yang pada tingkat masyarakat, baik desa, keluarga,
organisasi, atau bahkan individu, berupaya mengkaji “wajah-wajah di tengah kerumunan” Dari
masyarakat muncullah pengalaman masa lalu, yang kemudian menjadi petunjuk ke satu arah,
yaitu masa depan. Munculnya Islam di Kupang-Timor tidak lepas dari sejarah, mulai dari asal
muasal kemunculannya, awal mula penyebarannya, tokoh-tokoh yang menyebarkannya serta
keberhasilan dan kegagalan yang dialami, serta perkembangannya selangkah demi selangkah.
2.1.1 Persaingan Portugis dan VOC
Masuknya Islam ke Kupang-Timor terjadi akibat persaingan antara kekuatan Portugis dan
Belanda di Pulau Solor dan Flores. Pada tahun 1613, VOC menyerang benteng Portugis di Solor
dan berhasil merebutnya, membentuk aliansi dengan kekuatan Islam Buton dan Solor, terutama
raja-raja dari Paji yang membentuk aliansi "Solor Watan Lema" (Kerajaan Lima Pantai).
Persaingan tersebut mempengaruhi penyebaran agama Islam di Kupang-Timor. Setelah Belanda
menguasai Solor, agama Islam yang konon telah ada di Jawa sejak zaman Walisongo mulai
menyebar ke wilayah barat Indonesia bagian timur, termasuk Solor. Islam berkembang di pusat-
pusat perdagangan pangan, yang biasanya terletak di wilayah pesisir dan kemudian meluas ke
wilayah pedalaman.
Pada akhir abad ke-17, sebelum Belanda menguasai Solor, kerajaan Goa dan kekuasaan
Portugis membuka peluang bagi Belanda untuk menguasai pulau-pulau sejauh Solor dan Flores.
Raja-raja setempat menjadi sasaran empuk Belanda dalam perang melawan mereka. Selama
perang tersebut, Portugis maju ke Timor, sementara Belanda menguasai Solor. Setelah Solor
jatuh ke tangan Belanda, umat Islam di Solor, terutama di Menanga, yang sebelumnya dikuasai
Portugis, mengalami penindasan. Pada saat itu, kaum Muslim di bawah pimpinan Sya'ban bin
Sanga meninggalkan Solor atau Menanga untuk mencari daerah baru dan memasuki jalur
Kupang-Timor.2

2.1.2 Islam Masuk Kupang


Islam memasuki Kupang pada akhir abad ke-18 di bawah pemerintahan Sya'ban bin
Sanga dari Solor (Menanga). Sya'ban bin Sanga berlabuh di pantai Fatu Besi, yang saat itu
merupakan tanah tak bertuan di ujung barat Kupang-Timor. Pada waktu itu, Portugis telah hadir
di Timor, tetapi wilayah yang ditempati oleh Sya'ban bin Sanga termasuk ke dalam wilayah
tanah tak bertuan. Setelah menemukan tempat di Kupang, khususnya di Fatu Besi, Sya'ban bin
Sanga membangun pemukiman baru dan Surau di sana. Kelompoknya terdiri dari empat
keluarga dengan sekitar 20 orang anggota. Setelah Belanda menduduki Kupang-Timor, orang-

2
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
orang lain, termasuk Atu Laganama dari Lamakera yang diutus oleh Belanda untuk melawan
Portugis, masuk ke Kupang. Meskipun tujuannya awalnya adalah membantu Belanda, Atu
Laganama juga ikut terlibat dalam penguatan ajaran Islam di Kupang.
Pada awalnya, dakwah Islam oleh Sya’ban bin Sanga di Kupang tidak berkembang pesat
karena masih kuatnya kepercayaan masyarakat pada paham animisme, terutama yang dianut oleh
Raja Amabi, salah satu raja Kupang-Timor. Setelah Belanda menguasai Kupang sepenuhnya,
mereka merencanakan Kupang sebagai pusat pemerintahan kolonial di Timor. Sy'ban bin Sanga
dan kelompoknya yang awalnya berada di Fatu Besi dipindahkan ke Muara Kali Dendeng.
Kemudian, dalam beberapa tahun, masyarakat Islam dipindahkan lagi ke Air Mata, yang
dianggap sebagai tempat yang strategis oleh Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaan
mereka.3
2.1.3 Islam Kampung Air Mata
Sya'ban bin Sagan, sebagai respons terhadap permintaan Belanda dengan dukungan Raja
Amabi, memutuskan meninggalkan Muara Kali Dendeng dan pindah ke Air Mata. Dalam
perpindahannya, mereka diberikan tanah oleh Raja Amabi dan mendirikan kampung Islam di
tengah masyarakat Timor keturunan suku Tenau, suku Sabu, dan Rote. Kampung Air Mata,
didirikan pada awal abad ke-19, menjadi pusat Islam tertua di Kupang. Pengaruh Islam dari
Arab, Jawa, dan tokoh Muslim dari Banten yang diasingkan oleh Belanda mendorong
pertumbuhan penduduk Muslim di Air Mata. Perkawinan menjadi faktor penambah jumlah umat
Islam. Dengan meningkatnya penduduk Muslim di Air Mata, keluarga muda pindah ke Bonipoi
untuk mendirikan perkampungan Muslim baru. Desa Bonipoi terbentuk setelah perpindahan
beberapa keluarga muda Muslim dari Air Mata ke Bonipoi.
Umat Islam di Air Mata terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kampung Imam yang
dipimpin oleh keturunan Sya’ban bin Sagan dari Solor-Mananga, dan kampung Sultan yang
dipimpin oleh Badarudin dari Palembang. Keturunan Sya'ban bin Sagan, sebagai bagian dari
kampung Imam, memiliki tanggung jawab dalam menyelenggarakan urusan Ubudiah atau
ibadah. Pembentukan kampung-kampung seperti Air Mata dan Bonipoi, bersama dengan
perpindahan penduduk antar-kampung, mencerminkan dinamika perkembangan dan
keberagaman masyarakat Muslim di wilayah tersebut.4
2.1.4 Islam Kampung Solor
Kampung Solor muncul pada abad ke-18 dengan peran penting dari tiga kelompok
masyarakat. Pertama, kelompok transit yang mencari daerah baru karena terburu-buru, kedua,
kelompok nelayan Solor yang tidak kembali ke tempat asalnya, dan ketiga, kelompok Atu
Laganama yang membantu Belanda melawan Portugis di Kupang dan kemudian menetap di desa
Solor. Awalnya dikenal sebagai Kampung Lamakera, Solor awalnya dihuni oleh orang Islam dari
Lamakera yang dikirim oleh Belanda untuk melawan Portugis. Namun, seiring waktu, penduduk
Muslim datang tidak hanya dari Lamakera, tetapi juga dari berbagai daerah seperti Madura,

3
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
4
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
Jawa, Sulawesi, Makassar, dan Flores. Desa Solor menjadi tempat terbuka bagi umat Islam dari
berbagai golongan, organisasi, dan aliran.
Agama Islam di Kampung Solor tidak diatur oleh satu organisasi, melainkan oleh
sekelompok masyarakat yang mengikuti paham tradisional Islam yang diajarkan oleh nenek
moyang mereka. Pentingnya kemampuan menguasai doa dalam bahasa Arab sebagai syarat
untuk berperan dalam pengaturan upacara keagamaan. Pada pengambilan keputusan penting
yang berkaitan dengan upacara keagamaan, seperti hari Rahmadhan, Shawal, dan Maulid, umat
Islam dari desa Solor, Air Mata, dan Bonipoi selalu berunding dengan Imam keturunan Sya' bin
Sanga di Air Mata.
2.1.5 Penyebaran Islam di Luar Kota Kupang
Dari pusat Kupang, agama Islam merambat ke seluruh ujung barat Pulau Timor. Pada
awalnya, pada tahun 1900, Islam tersebar di desa pesisir Tablolong, Kecamatan Kupang Barat,
dimulai oleh nelayan dan pedagang di Lamakera, Solor. Di Sulamu, penyebaran agama Islam
dimulai oleh para nelayan Bajo pada tahun 1920, yang pertama kali tiba di Pulau Kera dan
kemudian pindah ke Sulamu sekitar tahun 1930.Di Camplong, agama Islam diperkenalkan oleh
pedagang keluarga Hamid, Mahmud, dan Bugis asal Makassar pada tahun 1955. Di Tanbira,
Amarasi, perkembangan Islam dipelopori oleh seorang saudagar Arab bernama Ahmad Horsan,
yang berhasil mentransformasikan tokoh tradisional "Meo Masneno dan Keluarganya,"
memberikan dampak besar pada pertumbuhan umat Islam di Takari. Menanggapi meningkatnya
minat umat Islam terhadap Takari, sebuah surau dibangun pada tahun 1968, dan pada tahun
1975, sebuah masjid dibangun di Takari.5
Pandangan Kelompok: Pandangan kami kelompok mengenai Sejarah perkembangan Islam di
kupang adalah Islam masuk juga ke kupang karena adanya pengaruh dari budaya, agama, serta
politik dan sosial sehingga membuat Islam bisa masuk ke Kupang. Islam masuk ke kupang
melalui perdagangan dan penyebaran agama oleh pedagang dan ulama Muslim. Proses ini terjadi
sepanjang berabad-abad. bagaimana Islam dibawah masuk oleh para penjajah dan kemudian
Islam mulai berkembang karena bertambahnya pendatang baru. Dan kemudian orang-orang yang
masih percaya juga pada budaya animisme.

2.2 Membedah Identitas Islam Kupang


Identitas Merujuk pada atribut dan ciri khas yang melekat pada suatu kelompok etnis, yang
mencerminkan keunikan mereka dan yang membedakan mereka dari kelompok etnis lainnya.
Identitas Islam Kupang Merujuk pada atribut karakteristik atau khusus yang dimiliki oleh
Muslim Kupang, yang membedakannya dari kelompok atau organisasi Muslim serta agama lain
di Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur memiliki keragaman suku, bahasa, budaya, agama, dan
terdiri dari pulau-pulau yang terpisah oleh laut. Oleh karena itu, nilai-nilai dan karakteristik
masyarakatnya bervariasi. Nilai-nilai ini memberikan warna pada identitas kelompok agama dan

5
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
suku-suku di NTT. Dalam konteks identitas masyarakat Muslim Kupang-Timor ini, akan dibahas
mengenai struktur organisasi, sektor pendidikan, kesejahteraan sosial, sikap toleransi dan
kerukunan, serta potensi fanatisme dan fundamentalisme agama.6
2.2.1 Organisasi
Pada tahun 1925, didirikan sebuah organisasi sosial keagamaan Islam di NTT yaitu
Bintang Timur dan menjadi organisasi pertama. Organisasi Bintang Timur aktif pada sektor
olahraga, kesnian serta pendidikan. Kemudian pada tahun 1940 didirikan Badan Pembacaan
Alkitab yang bertujuan untuk mendukung kegiatan pendalaman Al-Qur’an. Pada 24 April 1946,
didirikan organisasi PERSIT (Persatuan Islam Timor) oleh para tokoh Islam, organisasi ini
bertujuan untuk mempersatukan umat Islam di Timor. Dua tahun setelah berdirinya, PERSIT
mendirikan Badan Dewan Islam di Kupang. Tanggal 7 Mei 1950, organisasi kepemudaan yaitu
Pemuda persit, Badan Mobalig Islam, dan kepanduan Muslimin Indonesia disatukan dalam
wadah gabungan Pemuda Muslimin. Setelah terbentuknya provinsi NTT tahun 1958, memicu
bertambahnya organisasi Islam, seperti MASYUMI, PERTI, PSII, NU, PARMUSI.7
Menurut Dr. Bertolomeus Bolong, NU (Nahdlatul Ulama) adalah sebuah organisasi
keagamaan Islam yang pertama kali didirikan di Kupang pada tahun 1957 dan saat ini menjadi
organisasi dengan jumlah anggota terbanyak. Setelah berdirinya NU, muncul pula organisasi
sayap NU, yaitu pemuda Ansor dan Banser. Nahdlatul Ulama merupakan suatu organisasi
keagamaan yang dalam upayanya menyebarkan ajaran agama, tetap mempertahankan dan
menanamkan nilai-nilai budaya dalam dakwahnya. Tahun 1960 organisasi Muhammadiyah
terbentuk di Kupang. Organisasi ini menjadikan pendidikan sebagai jalur dakwah. Di samping
Muhammadiyah dan NU, terdapat Hizbut Tahrir, sebuah organisasi Islam yang berupaya
mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran awal Islam guna membangun sistem Islam.
Dalam konteks organisasi ini, terdapat konsep Salafi yang mengandung makna kembali ke masa
awal Islam, khususnya dalam jaman zakat.
Pada era Orde Baru, organisasi Islam yang memiliki dampak signifikan termasuk Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriah atau 26
Juli 1975 Masehi. Sementara itu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) juga menjadi
pengaruh yang kuat dan muncul pada tahun 1990. Tak lama setelah berdirinya, ICMI mengalami
pertumbuhan pesat di berbagai daerah. Sebagai contoh, Orwil ICMI NTT terbentuk pada tahun
1991 dengan anggota terdiri dari 9 organisasi satuan.8
2.2.2 Pendidikan
Lembaga pendidikan Islam di Kupang memiliki sejarah panjang, dimulai dengan Sekolah
Rakyat Persit pada 11 Maret 1948 oleh PERSIT. Pada tahun 1950-an, PGAP dan SMA Remaja

6
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
7
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
8
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
Persit Didirikan, sementara Pesantren Al Hidayatullah berdiri di Batakte pada tahun 1990. Ustad
Abdulah Azan memulai inisiasi dan mendirikan Madrasah Tsanawiah pada tahun 1993 dan
Madrasah Aliyah pada tahun 2000. Pesantren ini, di bawah Yayasan Hidayatullah sejak tahun
1993, memberikan kesempatan pada generasi Muslim untuk mendalami ajaran Islam, dengan
pendidikan formal di Madrasah Tsanawiah.
Menurut Bertolomeus Bolong, hingga tahun 2013, Kupang memiliki enam pesantren,
empat di Kota Madya Kupang dan dua di Kabupaten Kupang. Para santri mempelajari Al-Qur'an
dan ilmu-ilmu agama. Selain lembaga pendidikan keagamaan, Muhammadiyah juga mendirikan
sekolah, termasuk Universitas Muhammadiyah pada tahun 1987, yang terbuka untuk semua
generasi NTT tanpa memandang agama, suku, atau budaya. Muhammadiyah juga memiliki panti
asuhan dan memberikan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Meskipun Muhammadiyah didirikan oleh organisasi Islam, banyak pelajar, guru, dan dosen non-
Muslim yang mengambil bagian dalam pendidikan di lembaga-lembaga ini.9
2.2.3 Kesejahteraan Sosial
Menurut Bertolomeus Bolong, mayoritas komunitas Muslim di Kupang-Timor berada di
kelas menengah dari segi sosial ekonomi. Hal ini dapat diamati dari partisipasi aktif dalam sektor
usaha kecil dan menengah, jasa transportasi, pasar tradisional, warung, dan kios, yang sebagian
besar dimiliki oleh warga Muslim. Peningkatan jumlah umat Islam yang menjalankan ibadah haji
setiap tahun juga mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Muslim di Kupang.
Perbandingan antara masyarakat Muslim asli Kupang-Timor dan Muslim pendatang
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan komunitas Islam pendatang lebih tinggi. Mereka
mendominasi sektor perdagangan dan jasa, berasal dari berbagai daerah seperti Jawa, Padang,
Sumatera, Bugis, dan Madura. Sementara itu, Muslim asli Kupang-Timor lebih banyak terlibat
dalam sektor pertanian dan peternakan dengan tingkat pendapatan yang tidak stabil.
Situasi serupa terjadi di profesi nelayan, yang didominasi oleh mayoritas masyarakat Islam,
khususnya yang berasal dari luar NTT seperti daerah Buton, Bugis, dan Bajo. Pengusaha Muslim
dari luar NTT memiliki usaha sendiri, seperti toko, kios, warung, dan bengkel. Di sisi lain,
masyarakat Muslim asli NTT cenderung berperan sebagai pedagang kecil, seperti pedagang
sayur di pasar atau di pinggir jalan.10

2.2.4 Toleransi dan Kerukunan


Menurut Bertolomeus Bolong, di Nusa Tenggara Timur (NTT), konflik lebih cenderung
berasal dari faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya dibandingkan faktor agama. Pada tahun
1998, Kupang mengalami konflik yang berakhir pada kekerasan dan kerusakan, namun

9
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
10
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
setelahnya, terjadi perubahan positif dalam dialog antar pemeluk agama di Kupang-NTT. Dialog
yang semakin intensif, terutama melalui ikatan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim,
membawa dampak positif terhadap toleransi dan keharmonisan antar umat beragama di kota ini.
Meskipun demikian, tingkat dialog antara organisasi keagamaan hingga tahun 2014 lebih banyak
diinisiasi oleh kaum muda lintas agama, sedangkan upaya dari tokoh agama dan pemerintah
kurang efektif.
Meski ada kerja sama dan dialog antar agama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), program ini terkadang bersifat proyek dan tergantung pada ketersediaan anggaran.
Dialog pertemuan di tingkat elit keagamaan cenderung bersifat normatif dan kurang membahas
isu-isu substansial seperti kemiskinan dan korupsi. Hambatan dalam pelaksanaan dialog
antaragama termasuk rendahnya tingkat keterbukaan dan kualitas ke tujuan tersembunyi dari
dialog. Konflik di luar NTT, terutama mengenai izin pembangunan gereja di Jawa, juga dapat
mempengaruhi keributan antar umat beragama di Kupang-Timor-NTT. Pemahaman yang
terbatas tentang esensi dialog agama juga menyebabkan partisipasi terbatas, dengan tokoh agama
seringkali menjadi satu-satunya peserta, sedangkan elemen masyarakat lain kurang dilibatkan.11
2.2.5 Fanatisme dan Fundamentalisme
Hingga tahun 2014, tidak terlihat adanya keberadaan Islam garis keras secara terorganisir
di Kupang atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak ada aktivitas yang menunjukkan bahwa
Islam garis keras secara lembaga hidup di Kupang, khususnya, maupun di wilayah NTT secara
umum. Meskipun demikian, terdapat indikasi bahwa kelompok ini telah masuk ke NTT,
meskipun kegiatan dan tempat tinggal mereka tidak jelas. Diperkirakan sejak tahun 2000, adanya
kelompok Islam radikal yang mengganggu keamanan dan ketertiban, serta mengancam harmoni
keagamaan di beberapa wilayah NTT, termasuk Alor, Lembata, Manggarai, dan Ende.
Di Kupang, pernah hadir jemaat Tabliq yang anggotanya memiliki ciri khas jenggot dan
berjubah panjang, menggunakan celana pendek sebatas betis. Mereka mengambil mesjid sebagai
tempat tinggal dan juga sebagai pusat dakwah dan pengajaran shalat. Kelompok Islam semacam
ini tidak disambut baik oleh umat Muslim di Kupang-NTT. Ada kecurigaan bahwa kedatangan
mereka dapat membawa ideologi Islam garis keras, terutama karena mereka berasal dari Arab
dan India. Secara umum, kelompok Islam garis keras atau fanatik cenderung bersifat eksklusif
atau menutup diri terhadap kelompok lain. Namun, sifat ramah dan terbuka yang melekat pada
karakter masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi hambatan bagi kelompok Islam
fanatik dan eksklusif untuk dapat hidup dan berkembang di Kupang-Timor-NTT.12

Pandangan Kelompok: terhadap topik "Membedah Identitas Islam di Kupang" sangat


bergantung pada sudut pandang dan informasi yang lebih spesifik mengenai kondisi dan

11
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
12
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
dinamika sosial di wilayah tersebut. Tanpa informasi lebih lanjut, sulit untuk memberikan
tanggapan yang detail. Namun, dapat diketahui bahwa memahami identitas Islam di Kupang
memerlukan pemahaman mendalam terkait sejarah, budaya, dan interaksi antarumat beragama di
wilayah tersebut. Dialog dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap keberagaman
masyarakat dapat menjadi kunci untuk membangun kerukunan dan toleransi di lingkungan yang
heterogen.

2.3 Interaksi Islam dengan Budaya Lokal


Kata Islam yang diartikan sebagai penyerahan diri dan pemasrahan diri, adalah agama yang
bersumber pada wahyu Allah SWT, bukan berasal dari manusia ataupun Nabi Muhammad SAW.
Kebudayaan mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta
kemampuan dan kebiasaan yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial dalam masyarakat.
Meskipun dapat dibedakan, kedua bidang ini tidak dapat dipisahkan karena ada hubungan yang
erat antara keduanya. Agama bersifat mutlak dan tetap, sedangkan kebudayaan dapat berubah
dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Budaya bisa juga diartikan sebagai ekspresi hidup
keagamaan dalam suatu masyarakat.
2.3.1 Kebudayaan Dalam Komunitas Islam di Kupang
Menurut Bertolomeus Bolong, dalam mengamati integrasi Islam dengan budaya lokal di
Kupang, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan secara seksama. Pertama, tidak semua organisasi
keagamaan Islam memiliki pandangan yang sama mengenai penerimaan inkulturasi atau adaptasi
antara nilai budaya dan nilai Islam dalam praktik keagamaan. Oleh karena itu, dalam
pembahasan tentang perpaduan Islam dan budaya lokal, tidak dapat dilakukan generalisasi,
melainkan harus dibedakan dengan jelas antara organisasi Islam yang menerima inkulturasi dan
adaptasi nilai-nilai Islam dengan budaya, dan organisasi Islam yang tidak menerimanya. Kedua,
dalam memeriksa Islam dan budaya lokal, perlu dibuat perbedaan yang jelas antara budaya yang
dijadikan seni dan bukan bagian dari ritual atau praktik keagamaan, serta budaya sebagai nilai
yang digunakan sebagai alat dakwah dan menjadi satu kesatuan dengan unsur ibadah keagamaan.
Ketiga, penting untuk memperhatikan unsur dan nilai budaya lokal, serta unsur dan nilai budaya
dari luar yang digabungkan dengan nilai Islam. Tidak semua organisasi keagamaan Islam yang
telah lama berada di suatu daerah dengan budaya tertentu, menyesuaikan diri dan mengadopsi
unsur budaya lokal sebagai sarana dakwah Islam. Sebagian dari organisasi keagamaan tersebut,
meskipun sudah berada puluhan atau ratusan tahun di suatu daerah dengan budaya tertentu,
dalam praktik keagamaan tetap menggunakan unsur budaya luar, tempat asal tokoh-tokoh Islam
pertama kali menyebarkan Islam.13

13
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
Bertolomeus Bolong memberi penjelasan mengenai dua organisasi besar keagamaan
Islam terkemuka di Indonesia yang ada di Kupang, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, memiliki perspektif yang berbeda tentang hubungan antara kebudayaan dan
agama. Menurut pandangan tokoh dan anggota Nahdlatul Ulama, proses inkulturasi dan adaptasi
unsur budaya ke dalam agama atau ubudiah memiliki batasan tertentu, terutama antara yang
termasuk sunnah dan yang wajib. Unsur sunnah dapat dipadukan dengan budaya, sementara yang
wajib tidak boleh dikontaminasi atau terpengaruh oleh unsur luar, selain berlandaskan pada Al-
Qur’an dan Sunnah. Di luar NU, terdapat pandangan dari tokoh dan anggota organisasi lain
seperti Muhammadiyah, Wahabi, dan Tembok Dunia Islam, yang berpendapat bahwa Islam
seharusnya tidak terpengaruh oleh ubudiah dengan unsur apa pun, termasuk budaya, kecuali
sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam struktur
organisasi NU, Rois Syuria adalah otoritas yang memiliki kewenangan dalam menetapkan nilai-
nilai budaya yang dapat disatukan dengan nilai Islam. Ini adalah penyebutan untuk tingkat
wilayah, selain itu ada juga yang disebut Rois Am sebagai tingkat pengurus besar. Hal ini
bertujuan memastikan NU mampu melaksanakan semua ajaran dan ritual keagamaan tanpa
melanggar prinsip-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.14
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Kupang Timor, sebagaimana berlaku juga di
seluruh Indonesia, menunjukkan perbedaan signifikan dalam perspektif terhadap hubungan
antara agama dan budaya saat merayakan maulid Nabi Muhammad.
1) NU menyelenggarakannya di mesjid dengan berbagai elemen tradisional seperti sesajian,
janur, kembang api, dan pembagian hadiah, menunjukkan adanya perpaduan unsur-unsur
Islam dan budaya. Sebaliknya, Muhammadiyah tidak mengadakan upacara serupa karena
dianggap bukan bagian dari budaya Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
2) Sebelum memasuki bulan Ramadan, seluruh jemaah NU melaksanakan mandi balimau,
yaitu mandi sambil mencuci kepala dengan limau sebagai simbol pembersihan diri dari
dosa, baik lahir maupun batin. Sebaliknya, jemaah Muhammadiyah tidak melakukan
praktik tersebut.
3) Dalam NU, tahlilan untuk orang yang meninggal dilakukan pada hari-hari tertentu seperti
hari pertama, kedua, ketiga, hari ke tujuh, hari keempatpuluh, dan setahunan. Sebaliknya,
Muhammadiyah tidak memiliki praktik tahlilan untuk orang yang meninggal.
Muhammadiyah meyakini bahwa hanya tiga hal yang dapat dibawa seseorang ketika
meninggal. Pertama, ilmu yang pernah diajarkan dan diamalkan, yang akan memberikan
pahala pada saat meninggal. Kedua, memiliki anak-anak yang saleh yang mendoakan dan
bersedekah atas nama orang tua. Ketiga, kehidupan beragama yang baik. Oleh karena itu,
Muhammadiyah menganggap tahlilan sebagai pemborosan harta dan tidak memberikan
manfaat yang signifikan.
4) NU memiliki tradisi penghormatan khusus terhadap tokoh-tokoh Islam yang berjasa
dalam penyebaran agama. Salah satu bentuknya adalah ziarah ke makam tokoh agama

14
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
seperti Kiayi, sebagai wujud penghargaan terhadap jasa mereka dan sebagai pengingat
akan kematian yang mengajak setiap individu untuk berbuat kebaikan sebelum
meninggal. Menjelang Ramadan, umat Muslim NU Kupang melakukan ziarah ke
pemakaman tokoh-tokoh Muslim zaman dahulu yang menyebarkan Islam ke Kupang.
Sebaliknya, Muhammadiyah tidak memiliki tokoh sentral yang dikultuskan, kecuali pada
awal berdirinya dengan Kiayi Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri.
Muhammadiyah mengakui dan menghargai budaya sebagai ekspresi seni serta sebagai bagian
dari usaha melestarikan nilai-nilai keindahan dan kemanusiaan, selama hal itu sejalan dengan
patokan-patokan dan norma-norma agama. Dalam pandangan Muhammadiyah, menyertakan
praktik budaya dalam ibadah, seperti tari-tarian dan motif pakaian, bukanlah upaya untuk
menyatukan nilai-nilai Islam dan budaya, melainkan sebagai elemen tambahan untuk
meningkatkan keindahan upacara keagamaan agar menjadi lebih menarik dan meriah.15
Umat Muslim Muhammadiyah di Kupang, termasuk seluruh NTT, diizinkan menggunakan jilbab
dengan motif pakaian tradisional daerah NTT. Dalam beberapa upacara keagamaan khusus,
generasi muda Muhammadiyah mengadakan perlombaan serta pertunjukan nyanyian dan tarian
yang mengusung unsur budaya Timor-NTT. Muhammadiyah memandang semua ini bukan
sebagai usaha untuk menyatukan ajaran atau nilai Islam dengan budaya lokal, melainkan sebagai
seni yang bertujuan untuk menambah keceriaan dan ke meriahan suasana, serta sebagai bentuk
pelestarian budaya.
2.3.2 Spirit Keislaman Kupang
Ketika umat Islam di wilayah tersebut mengalami perkembangan, hanya satu surau yang
tersedia di Oeba. Seiring dengan berpindahnya umat Islam ke Muara Kali Dendeng dan
kemudian ke Air Mata, surau tersebut juga ikut berpindah. Di Air Mata, Sya’ban bin Sanga
membangun sebuah masjid dengan dimensi 10x10 meter, yang mencerminkan perpaduan budaya
Jawa Kuno dan Cina dengan desain joglo tiga susun, mirip dengan masjid Demak dan
Palembang. Proyek pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1806 dan selesai pada tahun
1812, kemudian dinamai Masjid Air Mata. Namun, atas usulan dari para sesepuh pada tahun
1984, namanya diubah menjadi Masjid Al Baitul Kadim “Rumah Ibadah Tertua”. Nama ini
diberikan oleh Imam Birando bin Taher, yang merupakan keturunan langsung dari Sya’ba bin
Sanga. Sejak tahun 1812, Sya’ban bin Sanga ditetapkan sebagai imam dan secara turun-temurun
memegang peran kultural tersebut.16
Menurut Bolong, dari periode Sya’ban bin Sanga pada tahun 1806 hingga tahun 2014,
telah ada tujuh keturunan yang bertanggung jawab atas pengelolaan hal-hal berkenaan dengan
ibadah, seperti menjadi imam shalat dan khatib. Dalam rangka menjaga nilai dan kekayaan
budaya, keturunan Sya’ban bin Sanga dianggap berhak untuk menduduki jabatan sebagai imam

15
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
16
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
dan mengurus segala aspek keagamaan. Umat Islam di Air Mata menganut paham Ahl al-Sunna
wal Jama’a, yang sejalan dengan Hahdlatul Ulama (NU) dalam interpretasi keagamaan dengan
menyatukan nilai-nilai Islam dan budaya. Berbeda dengan komunitas Islam di kampung Solor
yang sudah bercampur dengan paham Muhammadiyah, Tembok Dunia Islam, Wahabi, dan
organisasi keagamaan lainnya yang bersifat heterogen.
Umat Islam Muhammadiyah dalam penghayatan hidup keagamaannya mengacu pada
Qur’an dan sunnah, sedangkan Ahl al-Sunna Wal Jamaah mengutamakan pengikutannya pada
Qur’an, sunnah, kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama, serta mempelajari empat mazhab yaitu
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, serta kitab-kitab yang dihasilkan oleh para ulama pendahulu
(salaf). K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan K.H. Bisri Samsuri, pendiri NU
(Nahdlatul Ulama), keduanya belajar Islam dari guru yang sama di Mekkah. Ahmad Dahlan
menekankan pada aspek-aspek rasional dan terpengaruh oleh pemikiran Wahabi yang menolak
paham yang mengagungkan keturunan nabi. Di sisi lain, NU, dalam pendekatannya, lebih
mengedepankan rasio dan nurani yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan dan budaya.17
2.3.3 Islam dan Budaya Lokal Kupang
Bertolomeus berpandangan bahwa, Kupang waktu itu adalah wilayah yang tidak bertuan,
tidak ada suku atau kelompok masyarakat yang hidup dengan sistim atau suatu budaya, sehingga
ketika Sya’ba bin Sanga tiba di Fatu Besi, tidak ada proses adaptasi antara kehidupan umat Islam
awal dengan budaya atau adat istiadat setempat. Ketika terjadi pembentukan pusat pemerintahan
oleh Belanda, maka terjadi urbanisasi masyarakat dari suku Timor dan Rote yang didatangkan ke
Kupang, hingga Indonesia merdeka pun Kupang menjadi daerah yang terbuka sehingga
masyarakat dari berbagai daerah berdatangan dan membentuk heterogen masyarakat Kupang
dalam hal agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Heterogenits masyarakat Kupang yang tinggi
menyebabkan warna hidup keagamaan umat Islam dipengaruhi oleh unsur budaya lokal, budaya
dari luar dan nilai-nilai Islam. Karena latar belakang umat Islam di Kupang yang berbeda-beda,
menyebabkan tidak ditemukannya bentuk dan nilai budaya olak Kupang-Timor yang signifikan
yang dipadukan dengan nilai-nilai Kesilaman dalam ritual keagamaan. Warna kehidupan Islam
Kupang lebih dipengaruhi oleh budaya Melayu dan Arab yang adalah daerah asal mula Islam.
Penghayata hidup umat Muslim NU, diwarnai dengan unsur-unsur budaya yang datang
dari luar, yaitu Jawa, Sumatra, Arab dan Melayu. Nilai-nilai Islam yang adalah perpaduan
dengan nilai budaya lokal Kupang-Timor terdapat pada nilai kebersamaan, kekeluargaan,
toleransi, kerukunan, kepedulian kepada sesama (dalam Islam disebut istiqamah) dan silaturahmi
yang adalah ajaran yang diperintahkan Islam. Nilai Islam ini sesuai dengan nilai budaya Kupang-
Timor yang menekankan kebersamaan dan kekeluargaan antara sesama manusia.18

17
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
18
Bolong, Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT.
Para generasi muda Islam Kupang banyak yang belajar ilmu keislaman di Jawa dan Arab,
sehingga belajar banyak nilai-nilai Islam dan budaya setempat tetapi setelah kembali ke Timor
mereka lupa denga budaya mereka sendiri dan lebih menghayati serta menyebarluaskan nilai-
nilai Islam dan budaya luar yang telah mereka peroleh.
Pandangan Kelompok: memberikan wawasan yang menarik tentang perkembangan dinamika
Islam dan budaya di Kupang. Bukti-bukti upaya memelihara nilai-nilai budaya lokal, terutama
dalam hal keberlangsungan peran budaya dalam ibadah dan posisi imam, menunjukkan
kesungguhan dalam memelihara warisan budaya. Heterogenitas masyarakat di Kupang akibat
urbanisasi dan keterbukaan setelah Indonesia merdeka menjadi faktor penting yang
mempengaruhi warna kehidupan beragama di sana. Terjadi pula upaya untuk memadukan nilai-
nilai Islam dengan budaya lokal, terutama dalam menemukan bentuk yang tepat untuk ritual
keagamaan.
.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah Islam di Kupang-Timor memiliki akar yang kuat dalam dinamika politik dan
persaingan antara kekuatan Portugis dan Belanda di wilayah tersebut. Masuknya Islam
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa sejarah, seperti penyerangan VOC terhadap benteng
Portugis di Solor pada tahun 1613, yang membuka peluang penyebaran agama Islam di wilayah
Kupang-Timor.
Perkembangan Islam di Kupang-Timor selanjutnya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti
Sya'ban bin Sanga'i, yang berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di
wilayah tersebut. Proses Islamisasi juga terjadi melalui pernikahan antar etnis dan adopsi unsur-
unsur budaya lokal dalam praktik keagamaan. Meskipun Islam di Kupang-Timor mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, namun masih terdapat variasi dalam praktik keagamaan di
antara kelompok-kelompok Muslim.
Perbandingan antara NU dan Muhammadiyah menunjukkan perbedaan dalam pendekatan
terhadap integrasi agama dengan budaya lokal. NU lebih terbuka terhadap adopsi unsur budaya
lokal dalam praktik keagamaan, sementara Muhammadiyah cenderung mempertahankan
kesucian ajaran agama tanpa campur tangan unsur budaya. Organisasi kedua ini memiliki peran
yang penting dalam membentuk identitas keagamaan masyarakat Muslim di Kupang-Timor.
Penting untuk dipahami bahwa Islam di Kupang-Timor tidak bersifat monolitik, melainkan
mencerminkan praktik keagamaan di antara umat Islam. Interaksi sosial antara umat Islam dan
non-Islam di wilayah ini juga menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi, yang memainkan peran
penting dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan di tengah perbedaan agama dan budaya.
Daftar Pustaka
Bolong, Bertolomeus. Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT. Edited by Ahmad Atang Philipus
Tule, Fredrik Doeka. Kupang: Universitas Katolik Widya Madira, 2018.

Anda mungkin juga menyukai