Anda di halaman 1dari 29

ANTROPOLOGI KESEHATAN

PROSES KEPERAWATAN TRANSKULTURAL NURSING PADA

SUKU DI INDONESIA (MANADO)

OLEH :

KELOMPOK 8

ROSSANTI MONIKA APRILIANI NIM : PO.62.20.1.18.

SILVA AGATHA NIM : PO.62.20.1.18.034

SUWAI BATUL ASLAMIYAH NIM : PO.62.20.1.18.035

TOBIAS VALENTINO FEBIAN NIM : PO.62.20.1.18.037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PALANGKA RAYA

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN REGULER XXI A

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan transkultural adalah suatu proses belajar dan pelayanan keperawatan
yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan,
dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau
keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Tujuan dari transcultural nursing adalah untuk mengidentifikasi, menguji, mengerti
dan menggunakan norma pemahaman keperawatan transkultural dalam meningkatkan
kebudayaan spesifik dalam asuhan keperawatan. Asumsinya adalah berdasarkan teori
caring, caring adalah esensi dari, membedakan, mendominasi serta mempersatukan
tindakan keperawatan. Perilaku caring diberikan kepada manusia sejak lahir hingga
meninggal dunia. Human caring merupakan fenomena universal dimana ekspresi, struktur
polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dilihat
dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.
Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran
kepercayaan.

Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah negara berkembang,
kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, aset khas daerah
dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini
suku Minahasa Sulawesi, Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali
telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti
memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku
bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang melalui
Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa
dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan.

Menurut pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997,
melakukan penelitian pada Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang
terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa diperkirakan merupakan keturunan
Raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia, yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti
dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming”. Tapi pendapat tersebut dianggap
lemah menurut David DS Lumoindong, karena kalau Minahasa memang berasal dari
keturunan Raja Ming, maka ilmu pengetahuan dan kebudayaan Kerajaan Ming yang sudah
pada taraf maju seharusnya terlihat pada Peninggalan Arsitektur Minahasa ditahun 1200-
1400, tetapi kenyataannya peninggalan atau kebudayaan zaman Ming tidak ada satupun di
Minahasa, jadi pendapat Tandean lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan
Sejarah Asal Usul Suku Minahasa. Sedangkan berdasarkan pendapat para ahli A.L.C
Baekman dan M.B Van Der Jack, orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi yang
sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongoloid dan kesamaan
warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan
dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol.

Dan juga dipimpin oleh walian (semacam pendeta/pemimpin agama) yang


langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun
temurun oleh suku Mongol dan terlihat juga kemiripan dengan agama asli suku Dayak di
Kalimantan, dan Korea.

Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der
Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan
Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan
gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan
bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol
dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama
seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama
Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat
dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea

Jadi orang Minahasa memang berasal dari keturunan ras Mongoloid, tetapi bukan
orang Mongol. Ras ini juga terdapat pada suku Dayak, Nias dan Mentawai. Ras Mongoloid
tersebut diperkirakan berasal dari Formosa Taiwan. Namun memang orang Minahasa
sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan
Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen.
Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang,
dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang
masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia silahkan lihat Sinagog
di Tondano.

Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing
karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang
Indonesia pada umumnya.

Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku yaitu: 1.Babontehu, 2.Bantik,


3.Pasan Ratahan (Tounpakewa), 4.Ponosakan, 5.Tonsea, 6.Tontemboan, 7.Toulour,
8.Tonsawang, 9.Tombulu

Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui
musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu
seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou
Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-
esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi),
magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-
sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan
satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli
Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).

Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan
bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tahu. Seperti
Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan
hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.

Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah membangun
Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi kerajaan besar.
Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi hingga ke Maluku. Pada sekitar
tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang berbeda, dengan bahasa-bahasa yang
berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana
mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang membentuk satu unit dan
tetap bersatu untuk melawan setiap musuh dari luar jika mereka diserang. Bagian anak
suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas
adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang
Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan
Ponosakan dan Tombulu membangun pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat
suku lainnya di Minahasa. Dari uraian diatas kami tertarik untuk membuat makalah yang
terkait lebih dengan mengambil judul “Kebudayaan Suku Minahasa Manado”

B. Rumusan Masalah
1. Definisi transkultural nursing
2. Tujuan penggunaan keperawatan transkultural
3. Konsep transkultural nursing
4. Peran Perawat
5. Sejarah perkembangan di suku Minahasa
6. Karakteristik budaya (demografi/ adat/ istiadat)

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk lebih mengenal beragam budaya Indonesia
khususnya suku Minahasa. Begitu pentingnya suatu kebudayaan maka kita sebagai
generasi penerus haruslah menjaga kebudayaan kita sendiri, manfaatnya bukan hanya
untuk diri kita saja namun kebudayaan adalah harta yang paling berharga dan harus tetap
dijaga keberadaannya agar tidak ditermakan era globalisasi dan menjadikan kita lupa untuk
budaya bangsa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transkultural
Bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trana dan culture, trans
berarti alur perpindahan, jalan lintas atau penghubung, sedangkan culture berarti budaya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : trans berarti melintang, menembus, dan
melalui. Culture berarti kebudayaan, cara pemeliharaan, kepercayaan, nilai-nilai dan pola
perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya,
sedangkan cultural berarti sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Jadi, transkultural dapat
diartikan sebagai pertemuan kedua nilai-nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi
sosial. Transcultural nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan
perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai budaya (Leininger, 1991).

B. Konsep Transkultural
Kazier Barbara (1983) dalam bukunya yang berjudul Fundamentals Of Nursing Concept
and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan yang
merupakan konfigurasi dan ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan ilmu
humanistic, philosopi perawatan, praktik klinis keperawatan, komunikasi dan ilmu sosial,
konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target
pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio, psiko, sosial, spiritual. Oleh karenanya,
tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komprehensif sekaligus holistik.
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai
manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku
manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam
suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya.
Keberlangsungan terus-menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai-nilai
yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang
kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural
nursing approach).

C. Peran dan Fungsi Transkultural


Budaya mempunyai pengaruh luas terhadap kehidupan individu. Oleh sebab itu, penting
bagi perawat mengenal latar belakang budaya orang yang dirawat. Misalnya kebiasaan hidup
sehari-hari seperti makan, tidur, pekerjaan, pergaulan sosial dan lain-lain. Kultur juga terbagi
dalam subkultur. Subkultur adalah kelompok pada suatu kultur yang tidak seluruhnya
menganut pandangan kelompok kultur yang lebih besar atau memberi makna yang berbeda.
Nilai-nilai budaya timur menyebabkan sulitnya wanita yang hamil mendapat pelayanan dari
dokter pria. Dalam beberapa keadaan, lebih mudah menerima pelayanan kesehatan dari dokter
wanita dan bidan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya timur masih kental dengan hal-hal yang
dianggap tabu.
Dalam tahun-tahun terakhir ini,makin ditekankan pentingnya pengaruh kultur terhadap
pelayanan perawatan. Perawatan transkultural merupakan bidang yang relatif baru berfokus
pada studi perbandingan nilai-nilai dan praktik budaya tentang kesehatan dan hubungan
dengan perawatannya. Leininger (1991) mengatakan bahwa transcultural nursing merupakan
suatu area kejadian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai-nilai
budaya.
Menurut Dr. Madelini Leininger, studi praktik pelayanan kesehatan transkultural berfungsi
untuk meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia dalam kaitan dengan
kesehatannya. Leininger berpendapat, kombinasi pengetahuan tentang pola praktik
transkultural dengn kemajuan teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan
keperawatan dan kesehatan orang banyak dan berbagai kultur.

D. Peran Perawat
Perawat harus dimulai penilaian dengan mencoba untuk menentukan warisan budaya klien
dan kemampuan bahasa. Klien harus diminta jika ada keyakinan kesehatannya berhubungan
dengan penyebab penyakit atau masalah. Perawat itu kemudian harus menentukan apa, jika
ada, pengobatan rumah orang itu mengambil untuk mengobati gejala. Perawat harus
mengevaluasi sikap mereka terhadap asuhan keperawatan etnis. Beberapa perawat mungkin
percaya bahwa mereka harus memperlakukan semua klien yang sama dan hanya bertindak
secara alami. Namun sikap ini gagal untuk mengakui bahwa perbedaan budaya memang ada
dan bahwa tidak ada satu “alam” perilaku manusia. Perawat tidak dapat bertindak sama dengan
semua klien dan masih berharap untuk memberikan efektif, individual, perawatan holistik.

a. Sejarah Perkembangan
Asal usul orang Minahasa penuh tanda tanya, namun beberapa penyelidikan telah
memaparkan asalnya dalam berbagai versi. Beberapa pendapat para ahli diantaranya
A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack bahwa orang Minahasa berasal dari ras
Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiliki lipit
Mongolia. Bangsa Mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang sampai dapat
menguasai setengah wilayah dunia pada saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa
Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Tanah Minahasa. Ada persamaan Minahasa
dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa
Alifuru dalam praktek Shamanisme sama seperti Mongol, dan mengenal juga pemimpin
agama Walian. Persamaan lain Minahasa tergolong suatu bangsa yang tidak memiliki
sistem kerajaan, yang ada hanyalah pemimpin-pemimpin kelompok yang terpilih diantara
yang kuat dalam kelompok tersebut. Kelompok-kelompok ini disebut pakasaan atau
walak yang sama dengan model Mongol. Pada pihak lain disebutkan asal Tou Minahasa
dari Cina, Suku Ainu Jepang, dan lain sebaginya.

Cerita turun temurun legenda Toar Lumimuut lebih memperkuat tesis diatas,
bahwasannya Lumimuut sebagai putri kaisar Tiongkok yang menjalin hubungan dengan
panglima perang dari Mongol. Karena hubungan tersebut tidak direstui, maka sang putri
diusir menuju tanah Minahasa, anaknya yang bernama Toar, lambat laun ketika dewasa,
mereka dalam keadaan terpisah sampai kembali bertemu, akhirnya di nikahkan oleh
Karema seorang pendamping Lumimuut yang dikirim pihak kerajaan. Turunan Toar
Lumimuut ini yang menjadi orang Minahasa sekarang ini. Namun demikian masih
terdapat puluhan versi cerita nenek moyang orang Minahasa, dimana yang tercatat ada 92
versi. Setiap anak suku Minahasa yang berjumlah delapan sub etnis memiliki cerita
masing-masing. Kesamaan cerita-cerita tersebut terletak pada penokohan Toar dan
Lumimuut.

Nenek moyang orang Minahasa dalam perkembangan telah bercampur atau kawin mawin
dengan bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Keberadaan orang-orang
Eropa yang menetap di beberapa tempat Minahasa seperti komunitas masyarakat Borgo.
Orang Eropa telah menjalin hubungan panjang dengan Minahasa dan telah kawin mawin
sampai membentuk komunitas Borgo, mereka banyak terdapat di Sindulang, Pondol,
Tanawangko, Amurang, dan Kema. Diketahui juga adanya keturunan Eropa Yahudi yang
telah kawin mawin dengan penduduk Minahasa mendirikan satu tempat ibadah yakni
Sinagog di Tondano. Jadi asalnya suku Minahasa dari Cina-Mongol bercampur dengan
bangsa Eropa-Yahudi. Lalu percampuran dengan etnis lain semisal Jawa, Bugis,
Gorontalo, Ternate, dll, ini sudah membuahkan kelompok masyarakat baru seperti
kampung Jawa Tondano, Kampung Jawa di Tomohon, di Pineleng, Kampung Arab,
Kampung Ternate, dll.
Jauh sebelumnya Minahasa dikenal dengan nama Malesung, dan kata Minahasa sendiri
berasal dari kata Minaesa, Mahasa, Minhasa yang berarti menjadi satu, ini merujuk dari
musyawarah-musyawarah tertinggi di Minahasa dulu dalam rangka menyelesaikan
perselisian atau konflik antar mereka, membagi batas-batas wilayah sub etnik, dan
membicarakan persatuan menghadapi musuh dari luar. Tapi untuk pertama kali nama
Minahasa muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu
tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu
(Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee
Molsbergen, 1928 : 53).

Sewaktu pemerintahan Belanda di wilayah nusantara, mereka melakukan pendekatan


dengan memasuki musyawarah para pemimpin anak suku, menghasilkan kesepakatan
atau perjanjian persahabatan 10 januari 1969. Momen ini menjadi awal hubungan
Belanda dengan Minahasa bukan dalam hubungan menjajah tetapi hubungan antar
sahabat dan hubungan dagang. Ketika belanda mau melanggarnya, sang imperialis
tersebut harus terjerumus dalam perang panjang yakni perang Tondano yang terjadi
sampai tiga kali. Sebelumnya bangsa Spanyol tidak melakukan pendekatan ini, sehingga
harus diusir oleh persekuatan para kepela walak dari tanah Malesung. Inilah gambaran
bahwa pengambilan keputusan tertinggi di Minahasa adalah musyawarah seperti
musyawarah watu pinawetengan (diperkirakan sekitar 670, musyawarah yang pertama),
karenanya pihak belanda sendiri selalu menyebut Minhasa (persatuan/musyawarah)
kepada masyarakat Malesung yang memiliki delapan sub etnis. Delapan sub etnis
tersebut adalah Tombulu, Tonsea, Tountemboan, Toulour, Tonsawang, Pasan, Bantik,
Ponosakan.

Jauh sebelumnya nenek moyang orang Minahasa bermukim pertama di sekitar


pegunungan Wulur Mahatus atau yang disebut Tu’ur in Tana, dari sini mereka
berkembang dan berpindah ke Nieutakan di sekitar gunung Tonderukan (daerah sekitar
Tompaso saat ini), dan menyebar lagi keseluruh wilayah tanah Minahasa. Berdasarkan
cerita rakyat orang minahasa berasal dari keturunan pasangan Toar dan Lumimuut, yang
berasal dari turunan Mongolia dan Tiongkok. Pada waktu itu masyarakat awal keturunan
Toar Lumimuut dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow : para pengatur
Ibadah dan Adat Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu : Rakyat.
Pasiowan Telu melakukan pemberontakan melawan pemerintahan yang ada, dan pada
akhirnya seorang dari kelompok Makatelu Pitu yakni Muntuuntu menengahi konflik, ia
menyatukan kembali seluruh komponen masyarakat dalam suatu musyawarah Watu
Pinawetengan. Kisah Muntuuntu menjadikan pimpinan utama dari yang musyawarah
Minahasa dikemudian hari diberi gelar Muntuuntu.

Wilayah Minahasa hasil pengukuhan dalam musyawarah Watu Pinawetengan dibagi


dalam beberapa anak suku, yaitu: Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur
laut. Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara, Anak suku Toulour : menuju timur
(Atep), Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar.
Pada saat itu belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai
Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan
abad 15 dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya
perang dengan Bolaang Mongondow. Perkembangannya anak suku Minahasa menjadi
delapan yakni Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Pasan, Ponosakan
dan Bantik.

Kedelapan sub etnis Minahasa tersebut memiliki perbedaan bahasa masing-masing, akan
tetapi dalam perilaku adat dan budayanya mempunyai kesamaan sebagai Tou Malesung.
Mitos Toar Lumimuut nampaknya menjadi dasar penyatuan erat antar sub etnis tersebut
dalam sebuah bangsa Minahasa, dimana semua sub etnis Minahasa memiliki cerita Toar
Lumimuut dalam versinya masing-masing.

Anak suku Minahasa menjadi pakasaan-pakasaan, sampai pada abad 19 dalam lembaran
Negara Nomor 64 Tahun 1919, Minahasa di jadikan daerah otonom. Pada saat itu
minahasa terbagi dalam 16 distrik : Distrik Tonsea, Manado, Bantik, Maumbi, Tondano,
Touliang, Tomohon, Sarongsong, Tombariri, Sonder, Kawangkoan, Rumoong,
Tombasian, Pineleng, Tonsawang, dan Tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah
menjadi 6 distrik yaitu distrik Manado, Tonsea, Tomohon, Kawangkoan, Ratahan, dan
Amurang. Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang
berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota Manado.

Kemudian status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 tahun


1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan
selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung. Usulan pembentukan
kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon diproses bersama-sama dengan 25 calon
Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia, dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI,
maka Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon ditetapkan menjadi Kabupaten
dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU Nomor 10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari
2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003 dengan UU Nomor 33 Tahun 2003, Kabupaten
Minahasa Utara ditetapkan menjadi daerah otonom yang baru. Dengan adanya
Pemekaran tersebut maka wilayah minahasa menjadi 3 (tiga) Kabupaten (Kabupaten
Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara) dan 3 (dua) Kota (Kota Manado, Bitung
dan Tomohon). (Steven Sumolang)

b. Karakteristik Budaya (demografi/ geografi/ adat istiadat)


1. Demografi
Orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang
Wenang), orang Minahasa, dan juga Kawanua. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke
dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni:

a. Tonsea; terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa.


b. Tombulu; terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano.
c. Tontemboan/Tompakewa; terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa.
d. Toulour; terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano.
e. Tonsawang; terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa.
f. Pasan atau Ratahan; terdapat di bagian Tenggara Minahasa.
g. Ponosakan; di bagian Tenggara Minahasa.
h. Bantik; terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota
Manado.

Pola perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan


padat. Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya. Rumah
tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk
menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh, misalnya perampok-
perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan Mindanauw, orang
Tidore, dari Maluku, dan orang Bajo/Wajo.P.

2. Bahasa
Dalam hidup harian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang
dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado.
Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-
orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa
lainnya. Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu,
menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah
mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa
pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini berlangsung dengan pesat
dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub
etnik suku Minahasa, yakni bahasa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour),
Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik.
Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa
yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa. Bahasa
Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu,
Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai
dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini
jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak
orang Tombulu tidak lagi menggunakannya. Sebaliknya, bahasa Tonsea dan
Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka
umum.

3. Sistem Mata Pencaharian


Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan
ini, yakni:

a. Berburu/meramu
Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata
pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat
Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah
dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka. Dahulu di beberapa tempat
masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa
(langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada
zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu
hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan
saja.

b. Pertanian
Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa
dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas
sumber ekonomi masyarakat. Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II
berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama
kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu
coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif
dengan metode dan teknologi modern. Tanah pertanian – sawah atau ladang – di
Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh
berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang
digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat
menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi
ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan
rempah-rempah.

c. Perikanan
Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang
berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-
program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa
daerah di Minahasa. Selain itu, juga ada peralihan usaha perikanan semakin
produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di
daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir
pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah
dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertelaga,
dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang.
Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-
julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-
kura (tuturuga). Hasil perikanan baik darat maupun laut ini kemudian dibawa ke
pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian
dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa.

d. Peternakan
Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber
ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat
Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya
dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa
daerah. Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang
pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas
kawin.
e. Kerajinan
Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh
wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat
dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu
(lou/dames), dan bambu kecil yang disebut bulu tui. Terdapat juga pembuatan
alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot
bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan
penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.

4. Kepercayaan asli masyarakat Minahasa


Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa
upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar
lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian,
maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup
sehari-hari,yang baik maupun yang jahat. Orang Minahasa menyebut dewa dengan
Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah).
Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah
dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan
salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang
dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong
manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk
yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan
yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan
sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut. Ada juga Opo-opo yang memberikan
kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi[2]
[30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni: nenek moyang (dotu),
Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan,
tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.

5. Agama-agama wahyu dalam masyarakat Minahasa


Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga
masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun
dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan
komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme. Hal ini terlihat
dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku keagamaan sehari-
hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi mengalami
penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen.
Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai
Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidaksesuaian
persepsi emic dan etic atas sinkretisme tersebut. Agama-agama yang umum dipeluk
oleh masyarakat Minahasa ialah Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini
Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri
terhitung 8% dari populasi penduduk].

6. Adat Istiadat
a. Mapalus
Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang
orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode
atau tehnik kerja sama untuk kepentingan bersama oleh masing-masing anggota
secara bergiliran. Mapalus muncul atas dasar kesadaran akan adanya
kebersamaan, keterbatasan akan kemampuannya baik cara berpikir, berkarya, dan
lain sebagainya. Jadi, mapulus ini merupakan suatu bentuk kebersamaan yg
selalu di junjung oleh suku MINAHASA dalam menjalin kebersamaan di antara
masyarakat Minahasa.

b. Rumah Panggung
panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah
tangga orang Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai
tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu
dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak atau serangan
binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi dengan keadaan
dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah panggung
berdasarkan konstruksi rumah modern.

c. Pengucapan Syukur
Pada masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa
atau mantra yang memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang
diberikan sambil menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair yang
mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan dalam
bentuk ibadah di gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan
makanan dan kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan
bagi para tamu yang datang berkunjung. Contoh pengucapan syukur sering kali
dirangkaikan dengan IBADAH rukun, ucapan syukur kadang di adakan seperti
kalau ada yang berulang Tahun,Syukur atas Kesembuhan,atau Berkat-berkat
yang telah di terima keluarga tersebut.

d. Tari Kabasaran
Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari
tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota
Manado, yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti menyambut
tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku dari para leluhur
dan merupakan seni tari perang melawan musuh.

e. Tari Maengket
Tari maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa. Tarian
ini disertai dengan nyanyian dan diiringi gendang atau tambur yang biasanya
dilakukan sesudah panen padi sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta.Jadi,
Tari maengket ini merupakan tarian rakyat untuk Hasil panen yg telah mereka
dapatkan yang sejak dulu sudah di ciptakan untuk ucapan syukur atas hasil
panen.

f. Musik Kolintang
Musik kolintang pada awalnya dibuat dari bahan yang disebut wunut dari
jenis kayu yang disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya, kolintang mulai
menggunakan bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang sebagai produk
seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga
sebagai media penerapan pendidikan musik yang dimulai dari anak-anak
sekolah di Kota Manado.

g. Musik Bia
Bia adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun
1941 seorang penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong
sebagai satu tumpukan musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu seni
musik tradisional yang turut memberikan nilai tambah bagi masyarakat Kota
Manado. Dengan hadirnya musik ini pada pagelaran kesenian dan acara tertentu,
telah menimbulkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik mancanegara
maupun nusantara.

7. Uparaca Adat
a. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan
oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow.
Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau
mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini
dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak
gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa
pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih
mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya
ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek,
kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda
bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.

b. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan
upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim
kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau
munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat,
atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari
upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa
sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana
upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan.
Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan
dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah
disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.

c. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud
berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut
Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan
membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap
membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat
terhadap pencipta-Nya.

d. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan
bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa
kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku
minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk
meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu
dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon
berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman
dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang
menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para
leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu
Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel
pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata
penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat.
Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan
keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal
membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah
wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok
etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah
Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung
perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu
disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa.
Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada
penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk
lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.

8. Pakaian Adat

a. Baju Ikan Duyung


Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri
dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan
sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan
duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif
sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut
model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci. Aksesori yang
dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde,
mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan
gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde
yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung,
sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde
pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap
burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih. Pengantin pria memakai
busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang
pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana
tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan
saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan
topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.

b. Busana Tonaas Wangko


adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus,
berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher
baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua
motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna
merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
c. Busana Walian Wangko pria
merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih
panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi
topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan
kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan
alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna
putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan
baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah,
selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.
Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian menjadi
model dari jenis-jenis pakaian adat Sulawesi Utara untuk berbagai keperluan
upacara, bagi warga maupun aparatur pemertintah setempat. Jenis-jenis dan bentuk
busana di atas merupakan kekayaan budaya Sulawesi Utara yang tak ternilai
harganya. Selain sebagai penunjuk identitas kebudayaan, busana adat tersebut
menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakatnya

c. Peran Perawat dalam Menghadapi Suku Minahasa


Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain terhadap
seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh
keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat
konstan. Doheny (1982) mengidentifikasi beberapa elemen perawat profesional meliputi:
1. Care Giver
Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat
memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada
klien menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi: melakukan
pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan evaluasi yang benar,
menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan
intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan
membuat langkah atau cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai dengan rencana yang ada, dan melakukan evaluasi berdasarkan
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukannya.
Dalam memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan, perawat
memperhatikan individu sesuai makhluk yang holistik dan unik. Peran utamanya
adalah memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang meliputi intervensi
atau tindakan keperawatan, observasi, pendidikan kesehatan, dan menjalankan
tindakan medis sesuai dengan pendelegasian yang diberikan.

2. Client Advocate
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antar klien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela
kepentingan klien dan membantu klien memahami semua infornasi dan upaya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun profesional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak
sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap
upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai
advokat, perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dan
masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi hak-
hak klien, antara lain:
 Hak atas informasi: pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib
dan peraturan yang berlaku di rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan tempat
klien menjalani perawatan.
 Hak mendapat informasi: pasien berhak mengetahui penyakit yang
dideritanya, tindakan media apa yang hendak dilakukan, alternatif lain beserta
resikonya, dan lain-lain.

3. Councelor
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi
klien terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya interaksi ini merupakan dasar
dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasi.
Memberikan konseling/bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat tentang
masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada individu/keluarga
dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu,
pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah perilaku
hidup ke arah perilaku hidup sehat.

4. Educator
Sebagai pendidik klien, perawat mampu membantu klien meningkatkan
kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan
dan tindakan medis yang diterima sehingga klien/keluarga dapan menerima
tanggung jawab terbadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat
juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga yang
berisiko tinggi, kadar kesehatan, dan lain sebagainya.

5. Collaborator
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam
menentukan rencana meupun pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi
kebutuhan kesehatan klien.

6. Coordinator
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik
materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada
intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih. Dalam menjalankan peran
sebagai koordinator, perawat dapat melakukan hal-hal berikut:
 Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
 Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
 Mengembangkan sistem pelayanan keperawatan
 Memberikan informasi tentang hal-hal terkait dengan pelayanan keperawatan
pada sarana kesehatan.

7. Change Agent
Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir,
bersikap, bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar
menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis dalam berhubungan dengan klien dan cara memberikan keperawatan
kepada klien.

8. Consultan
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien
terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini
dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi
spesifik lain.
Untuk menghadapi fenomena kebudayaan yang ada di masyarakat, maka
perawat dalam menjalankan perannya harus dapat memahami tahapan
pengembangan kompetensi budaya, yaitu:
Pertama:
 Pahami bahwa budaya bersifat dinamis
 Hal ini merupakan proses kumulatif dan berkelanjutan
 Hal ini dipelajari dan dibagi dengan orang lain
 Perilaku dan nilai budaya ditunjukkan oleh masyarakat
 Budaya bersifat kreatif dan sangat bermakna dalam hidup
 Secara simbolis terlihat dari bahasa dan interaksi
 Budaya menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak
Kedua:

 Menjadi peduli dengan budaya sendiri


 Proses pemikiran yang terjadi pada perawatan juga terjadi pada yang lain, tetapi
dalam bentuk atau arti berbeda
 Bias dan nilai budaya ditafsirkan secara internal
 Nilai budaya tidak selalu tampak kecuali jika mereka berbagi secara sosial
dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari
Ketiga:
 Menjadi sadar dan peduli dengan budaya orang lain terutama klien yang diasuh
oleh perawat sendiri
 Budaya menggambarkan keyakinan bahwa ragam budaya yang ada sudah
sesuai dengan budayanya masing-masing

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Mengetahui Proses Keperawatan Dengan Model Transkultural
1. Teori Model Keperawatan Transkultural in Nursing
a. Model Keperawatan Transkultural in Nursing
Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang focus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada
manusia (Leininger, 2002).
Asumsi mendasar dari teori adalah perilkau Caring. Caring adalah esensi
dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan
keperawatan. Tindakan caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya
diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa
pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum
dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan
pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal
dimana ekspresi, struktur, dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat
dengan tempat lainnya.
b. Konsep dalam Transkultural Nursing
1) Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberikan petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan
2) Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan
atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan
melandasi tindakan dan keputusan.
3) Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal
dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi
pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya
yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk
kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang dating dan individu yang
mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
4) Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap
bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki
oleh orang lain.
5) Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim
6) Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia.
7) Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran
yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar
observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling
memberikan timbal balik diantara keduanya.
8) Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbinga, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan
kondisi dan kualitas kehidupan manusia
9) Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga, atau kelompok pada keadaan
yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan
manusia.
10) Cultural care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk membimbing,
mendukung atau memberikan kesempatan individu, keluarga atau kelompok
untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup,
hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
11) Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena
percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi dari pada
kelompok lain.
2. Proses Keperawatan Transkultural Nursing
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise
Model) yang menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat
sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and
Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap
pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaa pelaksanaan dan evaluasi.
a. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasikan masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar,
1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise
Model” yaitu :
1) Faktor teknologi (technological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah
kesehatan, alas an mencari bantuan kesehatan, alas an klien memilih
pengobatan alternative dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.
2) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu symbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat
untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas kehidupannya
sendiri. Factor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang
dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara
pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
3) Faktor social dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji factor-faktor : nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala
keluarga.
4) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu
kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait.
Yang perlu dikaji pada factor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang
oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari dan kebiasaan membersihkan diri.
5) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya
(Andrew and Boyle,1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan
dan kebijakan yang berkaitan dengan ini jam berkunjung, jumlah anggota
keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
6) Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya gara segera sembuh. Faktor ekonomi yang
harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya
pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain
misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan anggota
keluarga.
7) Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh
jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien
maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional
dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai
dengan kondisi kesehatannya. Hal ini yang perlu dikaji oleh oleh perawat
adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak
terulang kembali.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnose keperawatan
yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transcultural yaitu : gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi social
berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan
berhubungan dengan system nilai yang diyakini.
c. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaa dan pelaksanaan dalam keperawatan transcultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses
memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang
sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar,1995). Ada tiga
pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transcultural (Andrew and Boyle,
1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien
kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang
dimiliki klien bertentangan denga kesehatan.
1) Cultural care preservation/maintance
a) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
melahirkan dan perawatan bayi
b) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi dengan klien
c) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
2) Cultural care accommodation/negotiation
a) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
b) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.
3) Cultural care repartening/reconstruction
a) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
c) Gunakan pihak ketiga bila perlu
d) Terjemahkan terminology gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang
dapat dipahami oleh klien dan orang tua
e) Berikan informasi pada klien tentang system pelayanan kesehatan Perawat
dank lien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui
proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya-budaya mereka.
f) Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak
percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas
keberhasilan menciptakan hubungan perawat dank lien yang bersifat
terapeutik.
d. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transcultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan,
mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi
dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang
dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai
dengan latar belakang budaya klien.
Contoh kebudayaan minahasa :
a. Suku minahasa masih banyak menggunakan bahan obat yang diperoleh dari
berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buah-buahan,
rerumputan, dan umbi-umbian. Beberapa contoh diantaranya, obat malaria,
dibuat dari sejenis akar yang disebut riss (tali pahit), goraka (jahe) sebagai obat
batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur)
sebagai obat demam bagi anak-anak.
b. Minuman khas suku minahasa adalah cap tikus adalah jenis cairan berkadar
alcohol rata-rata 40% yang dihasilkan melalui penyulingan saguer. Minuman
ini sering dijumpai pada acara-acara besar di manado.
c. Jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu
anggota keluarga lekas terjadi : maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku
diwaktu malam gampang mendapat luka.
d. Jangan tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu : maksudnya ialah agar
pendarahan darah tidak terganggu.
e. Mimpi mendapatkan uang atau dipagut ular, artinya akan mendapatkan sakit.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Minahasa merupakan salah satu suku yang mengutamakan persatuan, ini
tercermin dari pengertian awal nama “Minahasa” bukanlah nama etnis melainkan
“Persatuan” dari sejumlah suku/sub-etnis tersebut. Dan juga budaya Mapalus (tolong-
menolong) yang ada pada suku Minahasa.
Sistem kekerabatan di Minahasa mengikuti garis keturunan dari orang tua laki-laki
(patrilinial).
Fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan, dikarenakan sejak awal
bangsa Minahasa tidak pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorag raja sebagai
kepala pemerintahan. Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk
menjalankan pemerintahan.

B. SARAN
Hendaknya perawat memiliki pengetahuan dan skill tentang latar belakang suku
yang ingin di bina yang cukup agar dapat bersosialisasi dan membantu mengubah mengubah
kebiasaan jelek dari budayanya untuk meningkatkan kualitas kesehatan para penduduk.

Anda mungkin juga menyukai