Anda di halaman 1dari 9

Biak Berdarah 6 Juli 1998

Kelompok 8 :

Mohamad Arisha
Gilang alam samudra 020330143
Habib sanjaya
Siti rahmah novianti
Shelpy cintya zahra
Tragedi Biak berdarah merupakan ukiran
penderitaan di hati orang Papua. Sebuah tindakan
biadab yang diterima rakyat sipil, hanya karena
pertahankan Sang Bintang Fajar berkibar di sebuah
menara oleh sekitar 500-1.000 massa, yang berakhir
dengan apa yang dikenal sebagai peristiwa Biak
Berdarah 6 juli 1998.
1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah
bangsa Papua, dimana mereka mendeklarasikan
Papua Barat sebagai negara merdeka dengan
bendera “Bintang Kejora” sebagai simbol negara
dan “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu
kebangsaannya. Akan tetapi, upaya tersebut
dipatahkan oleh pemerintah Indonesia yang juga
berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat ke
dalam Republik Indonesia atas nama pembebasan
bangsa Papua dari kolonialisme Belanda.
Fenomena kekerasan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
manusia baik sebagai pelaku, maupun sebagai korban. Secara singkat, studi dalam
tulisan ini memfokuskan kepada fenomena kekerasan yang secara langsung telah
menjadi bagian dalam kehidupan orang Papua, di tengah situasi dan pergerakan
kehidupan sosial-politik Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seperti orang yang sedang bernyanyi, pasukan mulai menembak ke kerumunan.
Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan dinaikkan di kapal-kapal.
Hasil investigasi ELSHAM
Papua meunjukkan bahwa ada 8
orang meninggal, 3 orang
hilang, 4 orang luka berat dan
dievakuasi ke Makassar, 33
orang luka ringan, 150 orang
ditangkap dan disiksa, 32 mayat
ditemukan mengapung di
perairan laut Biak.
Faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya kebencian dan pertikaian setelah 1969
adalah percepatan imigrasi, investasi berbagai perusahaan asing yang
mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi
Khusus (UU OTSUS), yang hanya menjadikan bangsa dan tanah Papua sebagai objek
jarahan. Rakyat Papua kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah
bersaing di hadapan para migran sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di
atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi ditempatkan sebagai subjek pembangunan
yang memiliki hak untuk menetukan nasibnya sendiri, tetapi hanya menjadi objek
pembangunan yang multak perlu untuk diberdayakan dan ditertibkan. Bagi mereka,
Indonesia adalah kubangan luka bagi bangsa Papua. Karena itu, hemat saya, berbagai
bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Papua tidak mutlak dibaca sebagai
separatisme belaka, tetapi lebih merupakan upaya menghindari ‘luka’ yang terus
menganga dari masa ke masa.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengidentifikasi empat
sumber konflik di Papua, yakni:
1) Marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua;
2) Kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan,
dan pemberdayaan ekonomi rakyat;
3) Kekerasan negara di masa lampau; dan
4) Kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan
Jakarta.
Dalam kaitannya dengan tragedi Biak Berdarah, bagi Karma, – mengingat
Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei
1998 – aksi yang dilakukan oleh kelompoknya pada 2-6 Juli 1998 merupakan
peluang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya yang telah lama
dibungkam oleh rezim Orde Baru milik Soeharto. Sejak 1960-an sampai 1980-an,
Biak menjadi daerah operasi militer karena dianggap sebagai zona merah, tempat
bersarangnya kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada masa itu, banyak
masyarakat yang menjadi korban penangkapan maupun penculikan yang berujung
pada pembantaian dan pembunuhan. Banyak ibu dan anak gadis pun menjadi
korban pemerkosaan.
2. Jalan Panjang Mencari Keadilan
Dalam semangat cita-cita ‘Papua Tanah Damai’, kerja sama
model ini mutlak untuk diperkuat dan senantiasa diperjuangkan
tanpa kenal lelah sebagai upaya untuk menyalakan ‘lilin’ perdamaian
sepanjang jalan berkabut mencari keadilan di negeri yang demokratis
ini. Meskipun terkesan sulit dan melelahkan, paling tidak cucuran
peluh, air mata dan darah rakyat Papua di sepanjang jalan mencari
keadilan tersebut menjadi bukti bahwa mereka sedang menabur
benih-benih ‘bunga’ perlawanan yang pada akhirnya tumbuh
menjadi besar; dan akar-akarnya akan merobohkan kokohnya
tembok tirani yang telah sekian lama membungkam hak-hak
masyarakat sipil.
Sekian dan Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai