Anda di halaman 1dari 5

TUGAS SEJARAH INDONESIA

KONFLIK YANG MEMICU TERJADINYA DISINTEGRASI BANGSA DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas pelajaran Sejarah Indonesia yang di ampu oleh:
HJ. Enih Rosdianah, S.Pd

Disusun oleh:
-Natasya Putri Salsabila

Kelas:
XII MIPA 2

SMA NEGERI 17 BANDUNG


Jl. Caringin, Babakan Ciparay, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat 40223
2020
Eksodus Mahasiswa Papua: Spirit Baru Orang Papua

Kasus ini di awali saat banyak media di Indonesia mengabarkan, mahasiswa Papua eksodus
harus kembali kota studi asal, melanjutkan studi. Negara melalui pemerintah akan biaya
transportasi pulang, kampus-kampus di Papua tidak menerima mahasiswa eksodus, pusat
perkumpulan mahasiswa eksodus dibubarkan aparat gabungan (Polisi, Brimob dan Tentara).

Ajakan (pernyataan) di atas berbeda dengan kondisi yang dialami oleh mahasiswa eksodus
di perantauan. Mereka diperhadapkan dengan ancaman, intimidasi, dikurung dalam asrama.
Ada kejadian di Surabaya, mahasiswa dipaksa dan dituduh telah menurunkan bendera Merah
Putih saat menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia; Semarang, Malang wakil
walikotanya menyebut mahasiswa harus dipulangkan. Di Yogyakarta, mahasiswa Papua
mengalami hal sama. Kasus Obi Kogoya, dihina dengan sebutan ‘kera’. Semua kejadian di
daerah Indonesia tertuju pada mahasiswa Papua.

Rasisme dengan eksodus mahasiswa sebagai simbol gerakan integrasi sosial


orang Papua di era otonomi khusus. Bicara rasisme sebagai titik balik, kebangkitan
gerakan kesadaran untuk mengkonsolidasi kekuatan. Gerakan kepulangan mahasiswa
eksodus  di beberapa waktu lalu tahun 2019 silam  tidak dilakukan gerakan untuk
transfer (pindah kampus)  ke sejumlah universitas di Papua. Hal ini menyebabkan
mahasiswa eksodus ada yang balik, kembali ke daerah kota study yang ditinggalkan.
Dengan meredam wacana rasisme ikut mendidika nurani bangsa ini untuk  tidak
mengungkit lagi tetang kasus ini ataukah  akan tetap ada.

Hikmah yang disapatkan dari kejadian ini:


Kita harus bisa saling menghargai keberagaman suku dan budaya, dengan kita tidak
menghargai keberagaman kita sudah merenggut hak orang lain. Selain itu kita harus bisa
saling menghargai pendapat orang lain.

Pilpres dan Ancaman Disintegrasi

Baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK memiliki keunggulan masing-masing. Ketegasan


dan penguasaan bidang ekonomi di pihak Prabowo-Hatta dipercaya akan membuat
Indonesia menjadi lebih baik jika dimenangkan pasangan ini. Sedangkan pasangan
Jokowi-JK unggul dalam merebut masyarakat akar rumput dan dalam debat terakhir
pasangan ini unggul dalam membahas tema masalah lingkungan.
Ancaman perpecahan semakin mengental saat Wimar Witoelar dan tokoh Katholik
Romo Magnis-Suseno yang menyerang pasangan Prabowo-Hatta dan
mengasosiasikannya sebagai capres yang didukung Islam garis keras. Serangan
kepada pasangan Jokowi-JK terkait dugaan bahaya laten. Ketua Majelis Umat
Indonesia (MUI), Dan Syamsuddin telah menyatakan kekhawatirannya terkait
pelaksanaan Pilpres yang mengancam persatuan bangsa ke kotak-kotak kepentingan
politik yang bernuansa ideologis. Hal ini semakin diperparah dengan sikap tim sukses
dan pendukung sehingga membuat api dalam sekam di tataran akar rumput.

Hikmah yang disapatkan dari kejadian ini:


Saling menjaga toleransi dan untuk pemerintahan agar dapat lebih mendengar aspirasi rakyat sebagai
sebuah bentuk hak asasidan juga mempererat serta menjaga persatuan dalam menghindari
disintegrasi.

Provokasi Konflik Lahan Berujung Perang Tanding di Adonara

Konflik perang tanding ini bermula dari Sengketa tanah di kebun Wulen Wata, Pantai Bani, Desa
Baobage, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saling
klaim lahan itu memicu perang tanding antar suku. Akibatnya 6 warga meninggal dunia.

Sebelum perang tanding antar suku itu pecah, masing-masing korban mendatangi lokasi kebun


Wulen Wata yang menjadi sengketa. Kedua belah pihak diketahui sudah lama bersengketa masalah
lahan tersebut sejak 1990-an. Masing-masing pihak mendatangi lokasi kebun tersebut kemudian
saling menyerang sehingga menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Kedua suku berada di
dalam Desa Sandosi, Kecamatan Witihama.Awalnya masing-masing menempati lokasi yang ada.
Suku Lamatokan berada di Sandosi 2 dan Suku Kwaelaga di Sandosi 1 dan digabung menjadi satu
Desa yaitu Desa Sandosi l, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur.

Baik Suku Lamatokan maupun suku Kwaelaga saling klaim lokasi tersebut. Kedua suku sudah
berulangkali difasilitasi oleh pemerintah Kecamatan Witihama dan Kapolsek Adonara untuk
penyelesaian namun belum menemukan jalan keluar.
Hikmah yang disapatkan dari kejadian ini:

Dalam kasus ini bias mengambil hikmah jika kita tidak boleh terlalu mementingkan kepentingan
pribadi atau golongan, dan juga mengambil hak orang lain.

Anda mungkin juga menyukai