Anggota:
Diaz Sari Solikin (07)
Dilla Dynetha Dwi Cahyani(08)
Elok Safitri Dwi Yudyanti(10)
Liza Auliya Amir (17)
M. Ivan Rahmatullah (18)
M. Yusuf Eka Putra (20)
Novariza Salsabila Benyartha Mevia (24)
Remita Firdaus Syah (26)
Secillia Karunia Karen (30)
PEMBAHASAN
4. Bidang Militer
Pelanggaran HAM. Karena militer Jepang akan menghukum dengan Keras orang-
orang yang menentang Jepang.
5. Bidang Sosial
Pada masa Jepang banyak rakyat Indonesia yang dipaksa menjalani romusha.
Mereka dipaksa bekerja keras tanpa diberi upah dan makanan. Pengerahan tenaga
kerja secara paksa dengan kondisi yang sangat menyedihkan untuk membangun
infrastruktur perang Jepang.
Terjadinya perbudakan wanita (yugun ianfu). Banyak wanita muda Indonesia
yang digunakan sebagai wanita penghibur bagi militer Jepang
Pembatasan pers sehingga tidak ada pers yang independen, semuanya dibawah
pengawasan Jepang
Terjadinya kekacauan situasi dan kondisi yang parah seperti perampokan,
pemerkosaan dan lain-lain.
2. Janji Kemerdekaan
Sejarah Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat. Sejarah mencatat,
tanggal 12 Agustus 1945, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia yang disampaikan
kepada Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di Dalat, Vietnam.
Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia didahului oleh rangkaian peristiwa
seru bak kisah drama. Salah satunya adalah ketika Sukarno dan Mohammad Hatta, serta
Radjiman Wediodiningrat, diterbangkan ke Dalat, Vietnam, untuk “menjemput"
kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang.
Taufik Abdullah, dikutip dari tulisan Selamat Ginting bertajuk “Aroma Kemerdekaan
dari Dalat" yang dimuat Republika (12 Agustus 2014), mencatat bahwa ada tiga alasan
mengapa Jepang merasa perlu mengajukan proposal mengenai janji kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia. Alasan pertama, demi menarik simpati rakyat Indonesia. Jika pasukan Dai
Nippon benar-benar kalah dari Sekutu dan bangsa Indonesia merdeka, maka kemerdekaan
itu bisa dianggap merupakan hadiah dari Jepang. Kedua adalah untuk memperkuat politik
Asia Timur Raya. Dukungan Indonesia dari sisi politik, sebagai sesama bangsa Asia,
tentunya amat berguna bagi Jepang apabila nantinya memang dibutuhkan. Alasan yang
ketiga adalah demi mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang. Indonesia memiliki
banyak sumber daya, baik alam, bahan-bahan baku, maupun tenaga kerja, yang bisa
dimaksimalkan untuk membantu keperluan perang bagi pasukan Dai Nippon.
Rencana Kemerdekaan
Dalam pertemuan itu, seperti dikutip dari buku Konflik di Balik Proklamasi:
BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan yang ditulis St Sularto dan Dorothea Rini Yunarti,
Terauchi juga menyampaikan rincian 21 anggota PPKI yang telah disusun oleh pemerintah
Dai Nippon. Terauchi menunjuk Sukarno dan Hatta masing-masing selaku ketua, wakil
ketua, dan penasihat. Sedangkan Radjiman sebagai anggota bersama 18 orang lainnya
termasuk, Kiai Haji Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Teuku
Mohammad Hasan, Sam Ratulangi, I Gusti Ketut Puja, Johannes Latuharhary, Yap Tjwan
Bing, dan sejumlah nama lagi.
Jajaran anggota PPKI ini tidak hanya berasal dari Jawa saja, melainkan juga dari
pulau-pulau lain. Rinciannya: 12 orang dari Jawa, 3 orang Sumatera, 2 orang dari Sulawesi,
masing-masing 1 orang dari Kalimantan, Nusa Tenggara (Sunda Kecil), dan Maluku, serta 1
orang wakil golongan keturunan Tionghoa. Kesan Terauchi memang meyakinkan dan
tampaknya benar-benar akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia jika waktunya
tiba. Ia bahkan menyampaikan selamat atas kemerdekaan yang tidak lama lagi bakal
terwujud. Setelah jamuan makan dan acara minum teh bersama, pertemuan itu pun diakhiri.
Sukarno, Hatta, dan Radjiman bersiap pulang. Mereka tidak sabar ingin segera mengabarkan
hasil kesepakatan dengan Terauchi yang berisi janji kemerdekaan untuk bangsa Indonesia.
Di tanah air nanti, justru muncul rangkaian polemik sebelum Indonesia benar-benar merdeka
pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ini bukanlah hadiah dari Jepang seperti yang
dijanjikan Terauchi serta sempat diterima dengan senang hati oleh Bung Karno dan kawan-
kawan.
Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Sidang-sidang:
1. Sidang 18 Agustus 1945
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan persidangan di bekas Gedung
Road van Indie di Jalan Pejambon. Dalam sidang tersebut, dalam hitungan belasan menit
terjadi permusyawarahan antara kelompok yang berbeda pendapat mengenai sila pertama
Pancasila yang tertuang dalam pembukaan Piagam Jakarta. Kelompok keagamaan non-
Muslim dari Timur dan kelompok kaum keagamaan penganut ajaran kebatinan serta
golongan nasionalis keberatan terhadap tujuh kata itu, sehingga mereka meminta
kelapangan hati para tokoh dari kelompok Islam agar bersedia dilakukan bengubahan.
Pada akhirnya, permusyawarahan itu berhasil membujuk pihak tokoh-tokoh
golongan Islam agar bersedia menghapuskan tujuh kata sila pertama Pancasila yang
tertuang dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dan menggantinya.
Setelah itu, Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang PPKI melakukan
pembacaan tentang empat perubahan hasil kesepakatan dan kompromi atas perbedaan
pendapat para golongan tersebut. Hasil sidang tersebut adalah:
Kata “Muqaddimah” yang merupakan kata bahasa Arab pada preambule Undang-
Undang Dasar diganti dengan kata “Pembukaan”.
Pada Pembukaan alenia keempat, berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan
yang Maha Esa”. Ini sekaligus mengganti sila pertama Pancasila.
Pada Pembukaan alenia keempat, kalimat “Menurut Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” diganti menjadi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini sekaligus
mengganti sila kedua Pancasila.
Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli dan
beragama Islam” diganti menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”.
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari “penculikan” yang
dilakukan oleh sejumlah pemuda (antara lain Adam Malik dan Chaerul Saleh dari Menteng
31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul
04.30. WIB. Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian
didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan
terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr.
Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara
itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan.
Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota
PETA mendukung rencana tersebut.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung
Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah
Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu. Bendera Merah Putih
sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena
mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka.
Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk
berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta,
Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke
Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur.
Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk
membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam
rombongan tersebut sampai di Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi
dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti
Melik menggunakan mesin ketik yang “dipinjam” (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor
Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.