Anda di halaman 1dari 4

MENELAAH SEJARAH TRAGEDI MANDOR PADA MASA

PENDUDUKAN JEPANG

Disusun Oleh :

Danendra Arya Pamungkas

Kelas : XI C

SMA NEGERI 1 PONTIANAK

TAHUN PELAJARAN 2023/2024


A. Pembuka

Pada mulanya, kedatangan tentara Jepang ke Kalimantan Barat disambut baik oleh para
masyarakat. Mereka mengira bahwa Jepang ingin membebaskan rakyat dari cengkraman
penjajahan Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai sadar bahwa
tujuan Jepang datang ke tanah mereka hanya untuk memanfaatkan penduduk demi
kepentingan Jepang pada Perang Dunia Kedua. Masyarakat dari semua kalangan diminta
untuk kerja bakti membangun infrastrutur keperluan sipil dan militer yang pada akhirnya
mereka dipekerjakan sebagai romusha. Pada saat itu masyarakat tidak dapat menolak
kebijakan yang diberlakukan oleh Jepang karena dapat mengancam nyawa mereka.

B. Isi :

Semakin hari kehidupan masyarakat di berbagai bidang kian sulit. Pada bidang sosial,
banyak penduduk Pontianak, utamanya orang-orang Tionghoa mengungsi ke daerah
pedalaman. Begitu juga yang terjadi pada kaum wanita yang pada saat itu banyak dijadikan
tentara Jepang sebagai wanita penghibur (Jugun Ianfu) untuk dipekerjakan di enam rumah
bordil yang dibentuk pada tahun 1943, tersebar di Pontianak, Singkawang, hingga Sintang.
Perekonomian masyarakat juga tak kalah hancur, sembako semakin sulit didapatkan dan
jikapun ada harganya sangat mahal. Hal ini disebabkan oleh Jepang yang menutup
pengiriman kebutuhan pokok yang didatangkan dari seberang pulau. Singkat kata janji-janji
kemerdekaan yang dijanjikan Jepang hanyalah isapan jempol belaka dan justru yang tampak
hanyalah kesengsaraan rakyat yang bertambah, lebih keji dari penjajahan Belanda.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 tersebut diawali dengan desas-desus
bahwa rakyat mulai melakukan gerakan perlawanan terhadap Jepang. Kecurigaan tersebut
berhasil dicium oleh Tokkeitai (Polisi Rahasia Kaigun), apalagi pada saat itu kehidupan
masyarakat sangat menderita di bawah tekanan Jepang sehingga mereka membuat
kesimpulan bahwa rakyat sedang bergerak secara diam-diam. Berdasarkan informasi yang
didapat, pada April 1942, Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadrie mengundang seluruh
kepala swaparja, dalam hal ini Sultan dan Panembahan di seluruh Kalimantan Barat ke
Keraton Kadriyah yang membahas mengenai kondisi terkini kehidupan masyarakat. Mereka
berkesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan rakyat adalah dengan
mengusir Jepang.
Jepang kemudian mendirikan Nissinkai, semacam organisasi politik yang mendapatkan
restu dari Syuutizityo Minseibu Izumi dan Letnan Kolonel Yamakawa. Namun di dalamnya
justru berhimpun orang-orang yang mengidamkan kebebasan. Karena gerakan ini bersifat
rahasia dan bergerak secara bawah tanah, tidak ada yang mengetahui secara pasti apa nama
kelompok perlawanan tersebut, pemimpin kelompok politik tersebut bahkan tidak diketahui
secara pasti pemimpinnya. Suatu perlawanan akhirnya memang terjadi, namun bukan di
Kalimantan Barat melainkan di Kalimantan Selatan. Mantan Gubernur Borneo pada masa
Belanda, Dr. Bauke Jan Haga diketahui melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan
didukung ratusan pengikutnya, sebagian besar orang Belanda di Banjarmasin. Sayangnya
pemberontakan ini gagal, Jepang menjatuhkan hukuman mati kepada 25 pemimpinnya
termasuk Gubernur Haga, ditambah tewasnya 250 orang-orang Belanda di interniran. Pada 23
Oktober 1943, gelombang penangkapan dimulai dengan menahan penguasa swapraja, tokoh
masyarakat, kaum cerdik pandai, dan menahannya di markas Tokkeitai. Beberapa kerabat dan
tokoh-tokoh lain juga ditangkap dan tidak pernah kembali. Selanjutnya pada 24 Mei 1944
konferensi Nissinkai di Pontianak berubah menjadi ajang penangkapan akbar. Seluruh peserta
yang hadir ditangkap, yang lainnya diciduk di rumah masing-masing pada dini hari.

Pada hari Sabtu 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 koran Borneo Shinbun dalam halaman
depannya mewartakan dalam judul besarnya “Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk
Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akarakarnya”. Jepang mengumumkan
telah melaksanakan aksi penangkapan dan menghukum mati mereka yang diduga berkomplot
melawan dari tanggal 23 Oktober 1943 hingga 28 Juni 1944. Kabar dari Koran Borneo
Shinbun sangat mengejutkan warga khususnya di Pontianak. Akhirnya apa yang menjadi
kegelisahan akan nasib sanak saudara, kerabat, maupun orang yang dicintai ketika dijemput
Jepang terjawab sudah. Tentu rasa keterkejutan itu berlanjut pada keguncangan perasaan bagi
yang ditinggalkan, terpukul dan sedih. Selama ini keluarga atau kerabat korban tidak pernah
mengetahui untuk apa mereka dibawa Jepang dan kapan mereka akan dikembalikan Jepang.
Pertanyaan yang menggantung tersebut akhirnya terjawab sudah dengan keharuan.

C. Penutup :

Peristiwa tanggal 28 Juni 1944 bukanlah akhir dari pembunuhan - pembunuhan yang
dilakukan Jepang. Berdasarkan catatan-catatan sejarah, tanggal 28 Juni 1944, hanyalah suatu
puncak gelombang pembunuhan yang setelahnya terus terjadi hingga mereka bertekuk lutut
di hadapan sekutu. Untuk mengenang peristiwa keji itu, setiap tanggal 28 Juni diperingati
sebagai Hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat dimana setiap instansi negeri atau swasta
diwajibkan untuk mengibarkan bendera merah putih setengah tiang.

D. DAFTAR PUSTAKA

Prabowo, M.R. (2019). Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 : Suatu Pembunuhan Massal di Masa
Penduduk Jepang. Bihari: Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, 2(1), 30-32.

Nailufar, Nibras Nada. 2020. Peristiwa Mandor, Pembantaian Massal di Kalimantan Barat
oleh Jepang. Diakses pada 8 Maret 2024 dari
https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/28/141137869/peristiwa-mandor-pembantaian-
massal-di-kalimantan-barat-oleh-jepang?page=all

Pratama, Rio. 2022. Peristiwa Mandor : Hilangnya Satu Generasi Terbaik di Kalbar. Diakses
pada 9 Maret 2024 dari https://kabardamai.id/peristiwa-mandor-hilangnya-satu-generasi-
terbaik-di-kalbar/

Anda mungkin juga menyukai