Situasi yang hangat ketika itu bertambah menjadi semakin panas dengan
meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat bahwa cadangan air
minum di Candi telah diracuni oleh pihak Jepang. Dr. Karjadi, Kepala
Labolatorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) menjadi korban saat
memeriksa penampungan air dibunuh oleh pasukan Jepang. (Kartasasmita, 1981:
50)
Pada pagi harinya 15 Oktober 1945, pasukan Jepang yang dimasuki oleh
para tawanan yang melarikan diri dari Bulu (Semarang Barat) bergabung dengan
Kido Butai. Pasukan ini hendak mendahului para pejuang Indonesia, yang menurut
kabar hendak mengambil senjata materil yang masih tersisa di tangan Jepang yang
membuat jepang heran bahwa dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia,
membuat rakyat tidak memepercayai legalitas kekuasaan Jepang.
Pertempuran Lima Hari yang melibatkan tentara Kido Butai yang dibantu
oleh batalyon lain dihadapi oleh TKR dan para pemuda. Nugroho Notosusanto dala
Dwi Mulyatari (1989: 99) Angka korban Indonesia sangatlah tinggi dibandingkan
Jepang. Walaupun ada perbedaan pendapat menurut pihak Indonesia dan Jepang
yaitu dalam versi Indonesia korban dari Indonesia 2000 dan dari pihak Jepang 500
orang sedangkan dalam versi Jepang adalah 1000 dari pihak Indonesia dan 60
orang namun betapapun banyaknya korban dari Indonesia sangatlah tinggi.
Pertempuran lima hari ini banyak memakan korban jiwa dan terbanyak adalah di
Simpang Lima atau Tugu Muda. Pertempuran ini berakhir setelah diadakannya
perundingan antara pimpinan pasukan Jepang dan TKR. Dalam perundingan
tersebut, Jepang menuntut semua senjata diserahkan kembali pada Kido Butai,
tetapi hal tersebut dirasakan Mr. Wongsonegoro tidak akan berhasil mengingat
kemarahan para pemuda. Akhirnya perundingan tersebut dipercepat setelah
pasukan sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 yang selanjutnya
melucuti dan menawan tentara Jepang.
Dr. Kariadi
PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu
titik penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan
pengosongan dan pembakaran Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak
dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA (Belanda). Aksi bumi hangus di
Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam situasi saat itu
karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan
Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik
dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam
bentuk karya seni seperti lagu atau film
Menghadapi hal tersebut bangsa Indonesia tidak tinggal diam, dimana Letnan
Kolonel Charles Choesj Taulu bersama Sersan S.D Wuisan Menggerakan
pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat
militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak 7 Februari 1946, namun
puncak penyerbuan tersebut terjadi pada 14 Februari tetapi sebelum penyerbuan
terlaksana para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda.
Kejadian dalam sejarah peristiwa merah putih ini diberitakan berulang lewat siaran
radio dan telegraf oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, yang diteruskan oleh
kapal Perang Australia SS “Luna” ke markas besar sekutu di Brisbane.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya
dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai
kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai
Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada
saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan
persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh
tentara Inggris dan tentara Australia.
AGRESI MILITER BELANDA II
Agresi militer Belanda II dilancarkan karena pihak Belanda merasa
Indonesia mengkhianati isi Perundingan Renville. Serangan yang tercatat dalam
sejarah perang mempertahankan kemerdekaan ini terjadi pada 19-20 Desember
1948 di Yogyakarta. Pasca Agresi Militer I, Belanda kembali bersedia melakukan
perundingan dengan Indonesia. Ide Anak Agung dalam buku Renville’ – als
keerpunt in de NederlandsIndonesische onderhandelingen (1983) menuliskan
bahwa perundingan diinisiasi PBB dengan membentuk Komite Jasa Baik-Baik
PBB atau Komite Tiga Negara (KTN) pada Oktober 1947.