Anda di halaman 1dari 10

PERTEMPURAN 5 HARI DI SEMARANG

Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara


rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah
perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi.

Pada tanggal 14 Oktober 1945, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap


dengan tiba-iba menyerang dan melucuti 8 orang petugas kepolisian yang sedang
menjaga persediaan air minum di Jln. Wungkai. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul
18.00 WIB. Tidak lama berselang, tersiar kabar bahwa Jepang telah meracun air
minum itu.

Berkenaan dengan adanya berita mengenai peracunan tandon air minum di


Jln. Wungkal, seorang dokter muda asal Semarang tergerak hatinya untuk
melakukan penelitian mengenai tandon yang sudah di racun tersebut. Beliau
bernama Drs. Kariadi yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala laboratorium
di RS Purusara Semarang.

Drs. Kariadi segera berangkat ke tandon penampungan air di Jln Wungkal.


Diluar dugaan mobil yang ditumpangi bersama sopirnya dicegat oleh sekelompok
tentara Jepang. Dr.Kariadi beserta sopir pribadinya ditembak ditempat. Korban
baru bisa dibawa ke rumah sakit pukul 23.00. Sayang sekali keadaan sudah sangat
parah hingga beberapa saat kemudian beliau menutup mata untuk selama-lamanya.
Dr. Kariadi meninggal, menyebabkan kemarahan di kalangan pemuda dan
serangan balik

Para pemuda Perguruan Perekonomian Taman Siswa pada tanggal 14


Oktober 1945 berhasil menduduki sebuah bekas tempat opsir Jepang yang terletak
di Candi Baru yaitu daerah Semarang Selatan. Tidak lama kemudian, tempat
tersebut dikepung oleh Jepang dan banyak pemuda yang tertangkap dalam
operasi Keinpetai (militer Jepang) dibawah Nakamura Butai.

Pasukan Jepang semakin menjadi, setelah mengepung pemuda di Candi


Baru. Angkah selanjutnya, pasukan Jepang menyandera Mr. Wongsonegoro yaitu
gibernur Jawa Tengah untuk memperlunak tindakan para pemuda. Namun,
kenyataannya berbalik kemarahan para pemuda lebih parah dari sebelumnya.

Situasi yang hangat ketika itu bertambah menjadi semakin panas dengan
meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat bahwa cadangan air
minum di Candi telah diracuni oleh pihak Jepang. Dr. Karjadi, Kepala
Labolatorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) menjadi korban saat
memeriksa penampungan air dibunuh oleh pasukan Jepang. (Kartasasmita, 1981:
50)

Pada pagi harinya 15 Oktober 1945, pasukan Jepang yang dimasuki oleh
para tawanan yang melarikan diri dari Bulu (Semarang Barat) bergabung dengan
Kido Butai. Pasukan ini hendak mendahului para pejuang Indonesia, yang menurut
kabar hendak mengambil senjata materil yang masih tersisa di tangan Jepang yang
membuat jepang heran bahwa dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia,
membuat rakyat tidak memepercayai legalitas kekuasaan Jepang.

Pasukan Jepang dibagi dalam dua bagian, pasukan pertama ditugaskan di


Jalan Oei Tiong Ham menuju asrama TKR kemudian ke kota. Sedangkan pasukan
yang kedua menuju Gergaji kemudian ke Rumah Sakit Purusara dan membunuh
pegawai Purusara. Gerakan kemudian dilanjutkan ke Gedung Nederlandsch
Indische Spoorweg (NIS) di depan Tugu Muda dan terjadilah pertempuran.

Pertempuran Lima Hari yang melibatkan tentara Kido Butai yang dibantu
oleh batalyon lain dihadapi oleh TKR dan para pemuda. Nugroho Notosusanto dala
Dwi Mulyatari (1989: 99) Angka korban Indonesia sangatlah tinggi dibandingkan
Jepang. Walaupun ada perbedaan pendapat menurut pihak Indonesia dan Jepang
yaitu dalam versi Indonesia korban dari Indonesia 2000 dan dari pihak Jepang 500
orang sedangkan dalam versi Jepang adalah 1000 dari pihak Indonesia dan 60
orang namun betapapun banyaknya korban dari Indonesia sangatlah tinggi.

Pertempuran lima hari ini banyak memakan korban jiwa dan terbanyak adalah di
Simpang Lima atau Tugu Muda. Pertempuran ini berakhir setelah diadakannya
perundingan antara pimpinan pasukan Jepang dan TKR. Dalam perundingan
tersebut, Jepang menuntut semua senjata diserahkan kembali pada Kido Butai,
tetapi hal tersebut dirasakan Mr. Wongsonegoro  tidak akan berhasil mengingat
kemarahan para pemuda. Akhirnya perundingan tersebut dipercepat setelah
pasukan sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 yang selanjutnya
melucuti dan menawan tentara Jepang.

Dr. Kariadi
PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu
titik penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan
pengosongan dan pembakaran Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak
dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA (Belanda). Aksi bumi hangus di
Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam situasi saat itu
karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan
Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik
dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam
bentuk karya seni seperti lagu atau film

PERISTIWA MEDAN AREA


Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat
terhadap Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatra Utara. Pada tanggal 9 Oktober
1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu ini diikuti oleh
pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan.
PERISTIWA MERAH PUTIH DI MANADO

Peristiwa Merah Putih ini dilatarbelakangi oleh berita proklamasi kemerdekaan


Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru di dengar oleh rakyat Sulawesi Utara pada
21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera Merah Putih di
setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara
Jepang serta melucuti semua senjatanya.
Namun, kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di
Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan
kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado, tetapi masyarakat
pribumi menolak dan memilih melawan. Sayangnya, masyarakat Sulawesi utara
kalah atas serangan dari sekutu dan Belanda, sehingga wilayah Manado dan
sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.

Menghadapi hal tersebut bangsa Indonesia tidak tinggal diam, dimana Letnan
Kolonel Charles Choesj Taulu bersama Sersan S.D Wuisan Menggerakan
pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat
militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak 7 Februari 1946, namun
puncak penyerbuan tersebut terjadi pada 14 Februari tetapi sebelum penyerbuan
terlaksana para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda.

Akibatnya, pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada


Komando Mambo Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang
Minahasa. Puncak penyerbuan tersebut, ditandai dengan perobekan bendera
Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih
serta dikibarkan diatas gedung markas Belanda.

Kejadian dalam sejarah peristiwa merah putih ini diberitakan berulang lewat siaran
radio dan telegraf oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, yang diteruskan oleh
kapal Perang Australia SS “Luna” ke markas besar sekutu di Brisbane.

Radio Australia kemudian menjadikannya sebagai berita utama yang


disebarluaskan oleh BBC London serta Radio San Fransisco Amerika Serikat.
Perebutan tangsi militer Teling dan pengibaran bendera Merah Putih menjadi
pukulan telak untuk Belanda karena berhasil melumpuhkan provokasi Belanda di
luar negeri bahwa hanya pulau Jawa yang berjuang untuk merebut kemerdekaan
Indonesia.

Sayangnya, pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara karena


pada awal Maret kapal perang Belanda “Piet Hein” tiba di Manado dengan
membawa pasukan sekitar 1 batalyon. Pada 11 Maret para pimpinan gerakan
Merah Putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan yang
tujuan sebenarnya adalah untuk menahannya.
Siasat licik ini dilakukan tentara Belanda agar bisa melemahkan pejuang rakyat
dan kembali mengambil alih wilayah Sulawesi Utara.

AGRESI MILITER BELANDA I

Kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus


meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.[1] Setelah itu, Indonesia dijajah oleh
Jepang hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan
Kemerdekaannya.[1] Pada tanggal 23 Agustus 1945, pasukan
Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta pada 15
September 1945. Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang
tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda
membawa kepentingan lain, yaitu menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait
konsepsi kenegaraan di Indonesia.[1] Pidato pada tanggal 6 Desember 1942 melalui
siaran radio menyebutkan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah
persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah
naungan Kerajaan Belanda.[1]

Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah


kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung
sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad
Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili
oleh Lord Killearn.[1] Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan
mulus hingga Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum
supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pimpinan
RI menolak permintaan Belanda tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook
menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil
Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I
pun dimulai.[1]

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya
dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai
kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai
Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada
saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan
persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh
tentara Inggris dan tentara Australia.
AGRESI MILITER BELANDA II
Agresi militer Belanda II dilancarkan karena pihak Belanda merasa
Indonesia mengkhianati isi Perundingan Renville. Serangan yang tercatat dalam
sejarah perang mempertahankan kemerdekaan ini terjadi pada 19-20 Desember
1948 di Yogyakarta. Pasca Agresi Militer I, Belanda kembali bersedia melakukan
perundingan dengan Indonesia. Ide Anak Agung dalam buku Renville’ – als
keerpunt in de NederlandsIndonesische onderhandelingen (1983) menuliskan
bahwa perundingan diinisiasi PBB dengan membentuk Komite Jasa Baik-Baik
PBB atau Komite Tiga Negara (KTN) pada Oktober 1947.

Anda mungkin juga menyukai