1. Pertempuran Ambarawa
Peristiwa ini dimulai saat pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigjen Bethel
mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu yang sedang menuju
Magelang membuat kerusuhan. Hal ini membuat masyarakat Magelang memboikot dan
menyerang Sekutu.
Pasukan Sekutu terpaksa mundur ke daerah Magelang dan meneror rakyat lokal.
Pengejaran dan pengepungan dilakukan oleh pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di
bawah pimpinan Kol. Sudirman. Berkobarlah pertempuran selama empat hari (12-15
Desember 1945) yang terkenal dengan nama “Palagan Ambarawa”. Pertempuran diakhiri
dengan kemenangan TKR pada 15 Desember 1945. Tanggal tersebut dijadikan Hari Juang
Kartika TNI-AD.
Namun, rakyat Surabaya tidak mengindahkan ultimatum tersebut. Bung Tomo justru
berhasil membakar semangat para rakyat Surabaya dalam melakukan perlawanan terhadap
Sekutu. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran berdarah pada 10 November 1945. Tanggal
tersebut akhirnya ditetapkan menjadi Hari Pahlawan.
3. Pertempuran Bandung Lautan Api
Awal peristiwa Bandung Lautan Api dimulai ketika pada tanggal 13 Oktober 1945
pasukan Sekutu diboncengi NICA tiba di kota Bandung. Pasukan Sekutu mulai menduduki
kota Bandung dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang. Pada 27 November
1945, mereka pun mengeluarkan ultimatum kepada para pejuang agar meninggalkan area
Bandung Utara, namun para pejuang menolak.
Baru setelah pemerintah pusat Jakarta turun tangan Tentara Republik Indonesia (TRI)
bersedia mengosongkan Bandung. Sebelum meninggalkan Bandung, pada tanggal 23-24
Maret 1946 para pejuang menyerbu pos-pos Sekutu dan membumihanguskan kota Bandung.
Peristiwa ini disebut dengan Bandung Lautan Api.
Di Manado, berita proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara Jepang, yong
berkedudukan di Minahasa Rombot dan W.F. Sumanti kemudian menyampaikan berita
proklamasi itu ke tokoh-tokoh nasionalis Berita itu kemudian disebarkan ke Sangit Talmud,
Bolaang Mongondow, dan Gorontalo. Setelah berita proklamasi kemerdekaan tersebar
keseluruh penjuru sulawesi, sejak itulah bendera merah putih mulai berkibar menjadi
lambang indonesia merdeka.
Di Sulawesi Tenggara, bendera merah putih dikibarkan pada 17 September 1945 dengan
dipimpin oleh D. Andi Kasim. Di Lasusua bendera merah putih dikibarkan pada 5 oktober
1945. Yang dihadiri oleh kepala distrik Patampanua dan beberapa pimpinan pemuda RI dari
Luwu
Kapten Markadi bersama Pasukan M kemudian memutar haluan dan kembali ke Pelabuhan
Banyuwangi untuk menghindari konflik yang berlebihan. Peristiwa tersebut mengakibatkan
dua korban dari pihak Indonesia, Sumeh Darsono dan Sidik, serta Tamali yang mendapatkan
luka tembak. Mereka memulihkan diri beberapa saat kemudian kembali berlayar ke Pulau
Bali pada malam harinya dan berhasil mendarat di Bali untuk bergabung membantu Pasukan
ciung Wanara yang dipimpin 1 Gusti Ngurah Rai melawan pasukan angkatan Laut Belanda
2. Perundingan Renville
3. Perundingan Roem-Royen
Perundingan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI selanjutnya adalah
Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini diadakan karena Belanda kembali melanggar
Perjanjian Renville. Belanda melancarkan Agresi Militer II sehingga memaksa berdirinya
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pendirian pemerintahan darurat ini di bawah komando dari Syafruddin
Prawiranegara. Karena tindakan ini Belanda kembali mendapatkan kecaman keras dari dunia
internasional.
Kemudian, perundingan kembali diadakan yaitu Perundingan Roem-Royen.
Perundingan ini digelar di Jakarta pada 7 Mei 1949. Ketua delegasi dari Indonesia adalah Mr.
Moh. Roem, dan wakil dari Belanda diketuai oleh Dr. J.H Van Royen.
Merle Cochran dari UNCI menjadi mediator dari perundingan Roem-Royen ini. Hasil
dari Perundingan Roem-Royen adalah:
• Menghentikan perang gerilya dan Indonesia-Belanda bekerja sama memelihara
ketertiban dan keamanan.
• Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta mengikuti
Konferensi Meja Bundar yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
4. Konferensi Inter-Indonesia
Konferensi Inter-Indonesia diadakan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.
Konferensi ini dihadiri oleh RI dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan
Permusyawaratan Federal yang terdiri dari negara-negara boneka buatan Belanda.
Perundingan ini diselenggarakan di Yogyakarta pada 19-22 Juli 1949 lalu dilanjutkan di
Jakarta, 30 Juli 1949. Hasil konferensi ini adalah negara yang dibentuk bernama RIS, APRIS
(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI
menjadi inti APRIS.
5. Konferensi Meja Bundar
Sesuai dengan hasil dari Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar (KMB)
akan segera dilaksanakan. Konferensi ini diadakan di Den Haag, Belanda yang berlangsung
pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleg Drs. Moh.
Hatta, dan delegasi dari BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II. Hasil dari KMB tersebut
diantaranya:
• Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949.
• Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda.
• Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda.
• Permasalahan Irian Barat yang merupakan daerah perselisihan akan diselesaikan
dalam waktu satu tahun.
Hasil perundingan tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa didapat meskipun banyak
pihak yang tidak puas. Pada 27 Desember 1949, dilakukan penyerahan kedaulatan dari
belanda kepada RIS. Belanda juga dipaksa keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan
upaca pengakuan kedaulatan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil KMB.
1. AGRESI MILITER I
Belanda melaksanakan Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Agresi
Militer Belanda I juga biasa disebut dengan Operatie Product. Berikut beberapa latar
belakang Agresi Militer Belanda I, yaitu:
• Adanya keinginan Belanda untuk menjadikan Indonesia sebagai negara jajahannya
kembali.
• Pemerintah Indonesia menolak ultimatum dari Van Mook untuk menarik tentara
Indonesia sejauh 10 km dari garis demarkasi.
• Belanda ingin menguasai sumber daya alam Indonesia untuk membantu
perekonomian Belanda yang mengalami krisis pasca perang.
Agresi Militer Belanda I bertujuan untuk menguasai sumber daya alam di pulau
Sumatra dan Jawa. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C
Ricklefs, pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, Belanda mulai melancarkan aksi militer.
Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat.
Pasukan Belanda di Surabaya digerakan untuk menguasai Madura dan Jawa Timur.
Sedangkan Pasukan Belanda di Semarang digerakan untuk menguasai Jawa Tengah.
Prioritas Agresi Militer di pulau Jawa adalah untuk menguasai kawasan pelabuhan pesisir
utara, perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Di Sumatera, Belanda mampu menguasai perkebunan di sekitar Medan serta tambang
minyak dan batu bara di sekitar Palembang
2. AGRESI MILITER II
Tanggal 19 Desember 1948, merupakan salah satu hari bersejarah pada masa setelah
kemerdekaan Indonesia.Pada tanggal itu, Agresi Militer Belanda II terjadi. Kala itu, Belanda
melakukan serangan militer terhadap Indonesia di Yogyakarta.
Agresi Militer Belanda II merupakan serangan lanjutan setelah sebelumnya terjadi
Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli-5 Agustus 1947.
Pada Agresi Militer Belanda II, Belanda berhasil mengambil alih Kota Yogyakarta
yang waktu itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Tidak hanya itu, agresi ini juga telah menewaskan banyak korban jiwa dan kerusakan
masif di Indonesia.
Tidak puas dengan Perjanjian Renville Penyebab terjadinya Agresi Militer Belanda
II adalah ketidakpuasan mereka terhadap kesepakatan perjanjian Renville. Perjanjian Renville
adalah perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi di kapal Amerika Serikat,
yaitu USS Renville. Tujuan dari perundingan ini adalah untuk menyelesaikan konflik antara
Indonesia dengan Belanda dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I. Perjanjian Renville
kemudian ditandatangani pada 17 Januari 1948. Secara garis besar, isi perjanjian Renville
adalah pembagian kekuasaan antara Belanda dengan Indonesia. Hal ini kemudian membuat
pihak Belanda membelot karena mereka menolak adanya pembagian kekuasaan tersebut dan
tetap ingin berkuasa penuh atas Indonesia dan seluruh wilayahnya. Menindaklanjuti
ketidakpuasan tersebut, Panglima Tentara Belanda di Hindia Belanda, Jenderal Spoor
menginstruksikan seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk mulai menyerang
pada 18 Desember 1948. Keesokan paginya, pada 19 Desember 1948, Belanda mulai
menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Pesawat Belanda pun lepas landas dari Bandung menuju Yogyakarta.
Ketika pesawat masih dalam perjalanan, Komisaris Tinggi Belanda, Beel,
mengumumkan melalui radio bahwa Belanda sudah tidak lagi terikat dalam perjanjian
Renville.
Sesampainya pasukan Belanda di Yogyakarta, angkatan udara dan pasukan terjun
payung langsung diarahkan untuk membombardir lapangan terbang Maguwo dan kawasan
timur Yogyakarta. Masa Kecil, Pendidikan, dan Perjuangannya Indonesia yang tidak siap
dengan serangan udara dari Belanda pun kewalahan. Akibatnya, hanya dalam beberapa jam,
pada sore hari tanggal 19 Desember 1948, Belanda berhasil mengambil alih Yogyakarta.
Begitu mendengar serangan mendadak itu, Panglima TNI Jenderal Soedirman
langsung menyiarkan perintah kilat melalui radio.
Tujuannya adalah untuk melawan musuh dengan melakukan perang rakyat semesta,
yaitu para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayah masing-masing dan
membentuk kekuatan.
Sementara itu, Presiden Soekarno dan tokoh nasionalis lainnya diminta untuk
mengungsi dan bergabung bersama pasukan gerilya. Akan tetapi, setelah rapat kabinet,
mereka menolak untuk mengungsi dan memilih tetap tinggal di Yogyakarta.
Bahkan Soekarno juga memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Bukittinggi, Sumatera Barat.
Agresi militer Belanda II dikatakan sebagai salah satu peristiwa pertempuran besar
yang pernah terjadi di Indonesia. Saking besarnya, berita perselisihan antara Indonesia
dengan Belanda ini sampai terdengar hingga kancah internasional, termasuk Amerika Serikat.
Akibatnya, Amerika Serikat memutuskan untuk berhenti mengirim dana bantuan kepada
Belanda.
Lebih lanjut, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak agar
segera dilakukan gencatan senjata dan perundingan damai secepat mungkin.
Pada akhirnya, tanggal 7 Mei 1914, Agresi Militer Belanda II berakhir yang ditandai
dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen.
PDRI juga berhasil menjalin hubungan dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di
India. Dari India, informasi keberadaan dan perjuangan bangsa dan negara Indonesia
disebarluaskan ke seluruh dunia. Sehingga dunia mengetahui keadaan RI yang sesungguhnya.