Anda di halaman 1dari 10

Nama : Fakhri Andisna Putra

Kelas : XI IPS 1
Hari, tanggal : Jumat, 11 Maret 2022

C. Dukungan dan Reaksi Rakyat Indonesia terhadap Proklamasi Kemerdekaan

Setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,


rakyat menyambut dengan gembira dan penuh semangat untuk mempertahankannya. Bendera
merah putih berkibar di mana-mana. Pekik “Merdeka” menjadi salam nasional. Keadaan
tersebut menggambarkan dukungan luas rakyat terhadap proklamasi kemerdekaan.

1. Reaksi Langsung dan Spontan


Reaksi langsung dan dukungan spontan terhadap proklamasi juga tampak di
mana-mana, di antaranya sebagai berikut.
a. Comite van Actie (Komite Aksi)
Komite Aksi merupakan utusan laskar perjuangan yang terdiri dari Angkatan
Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA), Barisan Buruh
Indonesia (BBI), dan lain-lain. Pada 2 September 1945, komite ini memberikan
dukungan terhadap Negara Republik Indonesia dengan mengeluarkan manifesto
Suara Rakyat Nomor 1.
b. Dukungan pemimpin keresidenan
Pada September 1945, beberapa pemimpin keresidenan di Jawa menyambut
proklamasi kemerdekaan dengan menyatakan diri sebagai bagian dari
pemerintahan Republik Indonesia dan mengancam akan melakukan tindakan keras
terhadap segala tindakan yang menentang pemerintah Republik Indonesia.
Pegawai-pegawai Jepang dirumahkan dan dilarang memasuki kantor-kantor
mereka.
c. Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan “Negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat” yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dalam
wilayah Negara Indonesia. Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dinyatakan pada 5 September 1945. Berikut kutipan pernyataan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX.
 Negari Ngayogyakarta Hardiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah
istimewa dari Negara Republik Indonesia.
 Sebagai kepala daerah, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memegang
pemerintahan di wilayah Kesultanan Yogyakarta.
 Kesultanan Yogyakarta mempunyai hubungan langsung dengan
pemerintah pusat Republik Indonesia dan Sultan Yogyakarta bertanggung
jawab atas negeri Yogyakarta langsung kepada presiden Republik
Indonesia.
d. Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta
Rapat akbar di Lapangan IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) Jakarta pada 19
September 1945 merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap rencana
Jepang menyerahkan kekuasaan kepada Sekutu pada 10 September 1945. Di sisi
lain, para tokoh pergerakan juga mendengar kabar bahwa Belanda memang
bermaksud berkuasa kembali di Indonesia. Karena kenyataan tersebut, Komisi
Aksi yang dipelopori Komisi Aksi Menteng 31 (pelopor gerakan pemuda di
Jakarta) memobilisasi massa serta mendesak pemerintah untuk hadir dalam rapat
raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Tujuannya adalah sebagai
berikut.
Para pemimpin Republik Indonesia dapat berbicara di hadapan rakyat
sehingga semangat kemerdekaan tetap bertahan di hati rakyat.
Menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia dapat meraih
kemerdekaan karena perjuangannya sendiri, bukan atas pemberian Jepang.
Suasana di Lapangan Ikada menjadi tegang setelah pasukan Jepang datang dan
mengepung dengan persenjataan lengkap. Meskipun demikian, massa tetap
berdatangan ke tempat tersebut. Pada sekitar pukul 15.00, Sukarno datang ke
Lapangan Ikada dan menyampaikan pidato singkat. Inti pidato Presiden Sukarno
dalam rapat akbar itu adalah sebagai berikut.
 Sekali lagi menegaskan bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaannya serta bertekad mempertahankannya.
 Meminta dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah Republik
Indonesia.
 Menuntut rakyat untuk mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah dengan
disiplin.
 Memerintahkan rakyat membubarkan diri meninggalkan lapangan dengan
tenang untuk menghindari pertumpahan darah.
Meskipun berlangsung singkat, rapat akbar di Lapangan Ikada memiliki makna
penting sebagai berikut.
o Berhasil mempertemukan pemerintah Republik Indonesia dengan
rakyatnya.
o Merupakan perwujudan kewibawaan pemerintah Republik Indonesia di
hadapan rakyat.
o Berhasil menggugah kepercayaan rakyat akan kekuatan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, sebagai reaksi atas sikap tidak simpatik tentara Jepang terhadap
kegiatan di Lapangan Ikada, beberapa hari kemudian para pejuang menyerbu
gudang senjata Jepang di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

2. Perlucutan Senjata dan Pengambilalihan Aset Jepang


Dipelopori para pemuda, bangsa Indonesia melucuti tentara Jepang dan
menguasai gedung-gedung penting yang dikuasai Jepang. Di Surabaya, misalnya, para
pemuda merebut gudang mesiu, markas pertahanan, pangkalan angkatan laut di
Ujung, serta pabrik-pabrik yang tersebar di berbagai kota. Perlucutan persenjataan
Jepang terutama dimaksudkan sebagai berikut.
 Mendapatkan senjata untuk modal perang.
 Mencegah agar senjata Jepang tidak jatuh ke tangan sekutu.
 Mencegah agar senjata Jepang tidak digunakan untuk membunuh rakyat.
Tindakan heroik ini dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.
1) Surabaya
Peristiwa ini terjadi pada 19 September 1945. Peristiwa ini dilatarbelakangi
tindakan orang-orang Belanda, yang sebelumnya menjadi bekas tawanan perang
Jepang menduduki Hotel Yamato serta mengibarkan bendera Belanda yang
berwarna merah, putih, dan biru di puncak hotel tersebut. Tindakan ini dibantu
tentara Sekutu. Rakyat Surabaya yang menyaksikan berkibarnya bendera tersebut
geram. Maka, untuk menghindari konflik, Residen Sudirman meminta orang-
orang Belanda untuk menurunkan tersebut. Permintaan tersebut ditolak. Para
pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut. Dua orang pemuda bahkan berhasil
naik ke puncak hotel dan menurunkan bendera. Setelah itu, bagian biru bendera
tersebut dirobek sehingga yang tersisa adalah bendera berwarna merah dan putih.
Bendera merah putih tersebut dikibarkan di tempat yang sama. Tidak hanya
sampai di situ, para pejuang ini kemudian merebut kompleks penyimpanan senjata
dan pemancar radio di Embong, Malang. Pada 1 Oktober 1945, rakyat merebut
markas Kempetai (polisi rahasia) yang dianggap sebagai lambang kekejaman
Jepang.
2) Yogyakarta
Di kota ini, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada 26 September
1945. Diawali dengan pemogokan pegawai pemerintah dan perusahaan-
perusahaan yang dikuasai oleh Jepang. Mereka memaksa Jepang untuk
menyerahkan semua kantor dan perusahaan tersebut kepada pemerintah Republik
Indonesia. Sementara itu, para pemuda yang bergabung dalam Badan Keamanan
Rakyat (BKR) berusaha melucuti senjata dari tentara Jepang dengan menyerbu
tangsi Otsuka Butai di Kota Baru. Meskipun berhasil menguasai tangsi tersebut,
beberapa pemuda gugur, di antaranya A.M. Sangaji dan Faridan M. Noto.
3) Banda Aceh
Pada 6 Oktober 1945, para pemuda di Banda Aceh dan para tokoh masyarakat
membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada 12 Oktober 1945, pemimpin
tentara Jepang memanggil para pemimpin API. Dalam pertemuan tersebut,
pemimpin tentara Jepang menyatakan, meskipun Jepang telah kalah, keamanan
masih menjadi tanggung jawab mereka sampai datangnya tentara Sekutu ke
Indonesia. Oleh karena itu, Jepang menegaskan semua kegiatan mendirikan
perkumpulan, apalagi tanpa izin, harus dihentikan, sedangkan yang sudah telanjur
didirikan harus dibubarkan. Namun, para tokoh dan pemuda menolak hal tersebut
sehingga terjadilah bentrokan yang terus meluas ke tempat lain, seperti di Langsa,
Lho’Nga, dan Ulee Lheue. Para pemuda mengambil alih kantor-kantor pemerintah
Jepang, melucuti senjatanya, serta mengibarkan bendera merah putih.
4) Sumatra Selatan
Perebutan kekuasaan di Sumatra Selatan terjadi pada 8 Oktober 1945.
Peristiwa tersebut berawal ketika Residen Sumatra Selatan dr. Abdul Karim Gani
bersama seluruh pegawai pemerintahan melakukan upacara dengan mengibarkan
bendera merah putih. Diumumkan juga dalam upacara itu bahwa mulai saat itu,
seluruh Keresidenan Palembang hanya akan tunduk kepada pemerintah Republik
Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang tidak menimbulkan korban karena
orang-orang Jepang di wilayah ini bersikap menghindari pertumpahan darah.
5) Semarang
Peristiwa ini lebih dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Semarang karena
berlangsung selama 5 hari, yaitu pada 15-19 Oktober 1945. Pertempuran ini
berawal ketika para pemuda membawa sekitar 400 orang tawanan Jepang dari
Pabrik Gula Cepiring menuju Penjara Bulu di Semarang. Sebelum sampai di
penjara tersebut, sebagian tawanan melarikan diri dan meminta perlindungan ke
Batalion Kidobutai di Jatingaleh (Jawa Tengah).
Tidak lama kemudian, muncul desas-desus yang meresahkan penduduk bahwa
Jepang telah meracuni cadangan air minum penduduk di Candi. Untuk
membuktikan hal tersebut, dr. Karyadi sebagai kepala laboratorium pusat
melakukan pemeriksaan. Saat sedang memeriksa sumber air tersebut, ia ditembak
mati oleh tentara Jepang. Peristiwa tersebut memicu kemarahan para pemuda.
Pada 14 Oktober, mereka menyerbu kantor-kantor pemerintah serta menangkap
dan menawan setiap orang Jepang yang mereka jumpai. Jepang membalas
keesokan harinya dengan menyerang pos-pos para pemuda. Pertempuran
berlangsung selama 5 hari, yaitu sejak tanggal 15-19 Oktober. Korban tewas
berjatuhan dari kedua belah pihak: 2.000 rakyat Semarang dan 100 tentara Jepang.
Pertempuran baru berakhir ketika pemimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
berunding dengan pasukan Jepang. Upaya perdamaian berhasil dicapai setelah
pasukan Sekutu (Inggris) mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945. Pasukan
Sekutu menawan serta melucuti senjata Jepang. Monumen Tugu Muda di
Semarang yang berdiri saat ini dimaksudkan untuk mengenang tindakan heroik
para pemuda Indonesia melawan Jepang.
6) Kalimantan
Di Kalimantan, dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan dilakukan
dengan mengibarkan bendera merah putih serta mengadakan rapat-rapat. Pada 14
November 1945, sekitar 8.000 orang dengan gagah berani berkumpul di kompleks
NICA sambil mengarak bendera merah putih.
7) Sulawesi
Para pemuda mendukung Gubernur Sulawesi Dr. Sam Ratulangi dengan
merebut gedung-gedung vital dari tangan polisi Jepang. Di Gorontalo, misalnya,
para pemuda berhasil merebut senjata dari markas-markas Jepang pada 13
September 1945.

8) Sumbawa
Pada Desember 1945, rakyat Sumbawa berusaha merebut pos-pos militer
Jepang di Gempe, Sape, dan Raba. Pada 13 Desember, para pemuda secara
serentak menyerang pos-pos tersebut.

D. Sistem Pemerintahan Indonesia pada Masa Awal Kemerdekaan

Salah satu hasil sidang kedua PPKI pada 19 Agustus 1945 dan 12 September 1946
adalah dibentuknya kabinet presidensial dengan 12 departemen dan 4 menteri negara. Usia
kabinet presidensial hanya sekitar setahun, yaitu sejak 12 September 1945 sampai 14
November 1945. Alasannya, sejak 14 November 1945-29 Januari 1948, Indonesia
menerapkan sistem parlementer. Latar belakang dan proses lahirnya sistem ini, pada 16 dan
17 Oktober 1945, lembaga pembantu dan penasihat presiden, yaitu Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), mengadakan sidang pertamanya, yang bertempat di Balai Muslimin,
Jalan Kramat Raya, Jakarta. Sidang dipimpin Kasman Singodimedjo. Dalam sidang ini,
Sukarno diwakili oleh Moh. Hatta.

Pelaksanaan sidang ini dilatarbelakangi adanya petisi yang diajukan Sutan Syahrir,
dkk., yang berisi desakan perubahan sistem pemerintahan. Syahrir lebih memilih sistem
parlementer, bukan presidensial. Menurutnya, selain karena kekuasaan presiden terlalu besar
melalui sistem presidensial, setidaknya dalam praktiknya pada waktu itu, sistem parlementer
diyakini lebih cocok untuk kondisi Indonesia yang memiliki beragam ideologi, paham, serta
pandangan politiknya. Kekuasaan presiden yang terlalu besar itu, misalnya, tampak pada
keputusan Presiden Sukarno mendeklarasikan partai tunggal, yaitu Partai Nasional Indonesia
(PNI) pada 22 Agustus. Pada waktu itu, Sukarno beralasan Indonesia yang baru saja merdeka
masih rawan dengan ancaman, baik pemberontakan dari dalam negeri maupun invasi dari
luar.

Karena itu, dibutuhkan satu partai yang dapat menyatukan seluruh elemen bangsa.
Sementara itu, di kubu yang lain, seperti Sutan Syahrir, sistem partai tunggal dianggap hanya
akan menjadi alat kontrol penguasa terhadap suara-suara kritis dalam masyarakat. Sistem ini
juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin kebebasan
berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat. Lebih daripada itu, sistem
ini juga dianggap mengkhianati nilai-nilai demokrasi. Karena itu, langkah pertama Syahrir
adalah membentuk serta memperkuat lembaga legislatif atau parlemen, pusat kekuasaan yang
sesungguhnya dalam sistem parlementer. Sementara itu, KNIP berfungsi sebagai badan
legislatif. Inilah antara lain isipetisi yang disampaikan Syahrir, dkk., yang melatarbelakangi
sidang pertama KNIP.

Sidang ini berjalan sangat gaduh. Meskipun demikian, sebagaimana sudah


direncanakan, pokok utama perdebatan adalah menyangkut wewenang KNIP. Dalam suasana
yang gaduh itu, KNIP akhirnya berhasil merekomendasikan perluasan tugas dan
wewenangnya, yang tercermin dalam Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tertanggal 16
Oktober 1945. Isi maklumat tersebut adalah “Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat,
sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat,
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garisgaris besar haluan negara, serta
pekerjaan Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.” Sejak diterbitkannya
Maklumat Nomor X (dibaca: Nomor eks), terjadi perubahan mendasar menyangkut
kedudukan, tugas, serta wewenang KNIP.

Lembaga ini diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar
haluan negara (GBHN) dan bukan lagi sebagai pembantu atau penasihat presiden. Dengan
maklumat tersebut pula, kekuasaan presiden dibatasi, yaitu hanya dalam bidang eksekutif.
Keesokannya, tanggal 17 Oktober 1945 sidang dilanjutkan, dipimpin Latuharhary. Agenda
utama sidang adalah mendengarkan pidato Soekarni.

Soekarni mengusulkan agar perjuangan Republik Indonesia menjadi lebih


revolusioner. Katanya: “KNIP harus mempunyai pimpinan yang bertanggung jawab dan
birokrasi bertele-tele harus dihapuskan dari sistem kerja KNIP”. Meskipun ada usaha dari
Sartono dan Latuharhary untuk membela pemimpin KNIP lama dan pemerintah, sebagian
besar anggota sidang setuju agar pemimpin KNIP lama mengundurkan diri dan diganti oleh
orang baru. Saat itu, nama Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin ditonjolkan sebagai pemimpin
baru. Oleh para anggota KNIP yang lain, Sutan Syahrir akhirnya didaulat sebagai ketua BP-
KNIP, sebagaimana diamanatkan dalam Maklumat Wakil Presiden No. X. Itulah karier awal
Syahrir pascaproklamasi, yang sekaligus membuka jalan baginya menuju kursi perdana
menteri.

Posisi ketua BP-KNIP memberinya keleluasaan untuk mewujudkan cita-citanya


mengubah sistem ketatanegaraan, yaitu dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer.
Maka, agenda kedua Syahrir dalam rangka memantapkan sistem perlementer adalah
mendorong pembentukan partaipartai politik sebanyak-banyaknya sebagai sarana penyaluran
aspirasi dan paham yang berkembang di masyarakat.

Usulan tersebut mendapat sambutan positif dari KNIP dan disetujui pemerintah
dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No. 3 Tanggal 3 November 1945 tentang
anjuran pembentukan partai-partai politik, dengan syarat: partai-partai politik itu “hendaknya
memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan
masyarakat”. Maklumat tersebut langsung disambut dengan berdirinya banyak partai politik
sejak November 1945 - Januari 1946. Pada saat yang sama, kondisi sosial-politik Republik
Indonesia masih sangat mencekam. Di Surabaya, misalnya, TKR dan pemuda berjuang
mengusir pasukan Sekutu.

Partai-partai politik yang dibentuk antara November 1945-Januari 1946 adalah


sebagai berikut.

a) Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), berdiri 7 November 1945, dipimpin


oleh Dr. Sukiman Wirjosanjoyo.
b) PKI, berdiri 21 Oktober 1945, dipimpin oleh Moh. Yusuf dan Mr. Suprapto.
c) PBI (Partai Buruh Indonesia), berdiri 8 November 1945, dipimpin oleh Nyono.
d) PRJ (Partai Rakyat Jelata), berdiri 8 November 1945, dipimpin oleh Sutan Dewanis.
e) Parkindo (Partai Kristen Indonesia), berdiri 10 November 1945, dipimpin oleh
Probowinoto.
f) Parsi (Partai Sosialis Indonesia), berdiri 12 November 1945, dipimpin oleh Amir
Syarifuddin.
g) Paras (Partai Rakyat Sosialis), berdiri 20 November 1945, dipimpin oleh Sutan
Syahrir. Parsi dan Paras kemudian bergabung menjadi Partai Sosialis. Kepengurusan
partai sosialis terdiri dari atas Dewan Pimpinan dan eksekutif. Anggota Dewan
Pimpinan adalah Amir Syarifuddin, Oei Gie Hwat, Hindromartono, dr. Sudarsono,
dan Supeno. Partai Sosialis dibentuk pada 17 Desember 1945.
h) PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia), berdiri 8 Desember 1945, dipimpin oleh
I.J. Kasimo.
i) Permai (Persatuan Rakyat Marhaen), berdiri 17 Desember 1945, didirikan oleh J.B.
Assa.
j) PNI (Partai Nasional Indonesia), berdiri 29 Januari 1946, dipimpin oleh Sidik
Joyosukarto.

Di tengah-tengah pendirian berbagai partai politik itu, pada 11 November 1945, BP-KNIP
mengusulkan agar para menteri bertanggung jawab kepada Badan perwakilan Rakyat yang
menurut sistem sementara adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Usulan ini disetujui pemerintah pada 14 November 1945. Maklumat ini sekaligus
menandai lahirnya sistem parlementer dan berakhirnya sistem presidensial pada masa-masa
awal kemerdekaan. Pada tanggal yang sama pula, Sutan Syahrir diangkat KNIP sebagai
perdana menteri sementara sambil menunggu pemilihan umum yang direncanakan diadakan
pada Januari 1946. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif resmi berada di tangan perdana
menteri. kekuasaan legislatif berada di tangan KNIP.Adapunpresiden berkedudukan sebagai
kepala negara yang bertanggung jawab kepada KNIP.

Selanjutnya, Pemilu yang dijadwalkan pada Januari 1946 tidak jadi diselenggarakan. Ada
dua faktor penyebab kegagalan penyelenggaraan pemilu: (1) pemerintah baru belum siap,
termasuk dalam hal perangkat undang-undang pemilu. (2) kondisi keamanan negara belum
stabil akibat konflik internal antarkekuatan politik serta gangguan dari luar (Sekutu dan
NICA). Para pemimpin negara masih disibukkan urusan konsolidasi.

Meskipun demikian, tanpa melalui proses pemilu, sejarah mencatat Sutan Syahrir tiga
kali diberi mandat oleh Presiden Sukarno untuk membentuk pemerintahan dan menjadi
perdana menterinya. la digantikan oleh Amir Syarifuddin (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948).
Setelah itu, Indonesia kembali ke Kabinet Hatta I yang bercorak presidensial (29 Januari
1948 - 4 Agustus 1948). Disusul Kabinet Darurat (PDRI), yang berlangsung dari 19
Desember 1948-13 Juli 1949, dan Kabinet Hatta II yang bercorak presidensial (4 Agustus -
20 Agustus 1949).

Lain di Jakarta, lain lagi di daerah-daerah. Di Jakarta, para tokoh bangsa sibuk mencari
format terbaik negara Republik Indonesia yang baru merdeka, terutama terkait sistem
ketatanegaraannya. Pada saat yang sama, kondisi sosial-politik Indonesia sebetulnya masih
sangat rawan. Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya terancam
diduduki kembali oleh Belanda (NICA) yang datang dengan dibonceng pasukan Sekutu.

Itulah yang memicu serangkaian perlawanan bersenjata di berbagai tempat: Bandung,


Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Makassar, Manado, Medan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, sambil merumuskan cara terbaik bernegara, bangsa Indonesia
pada saat yang sama harus mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya.

Anda mungkin juga menyukai