Upaya untuk mengerahkan tenaga kerja masyarakat dengan kerja paksa pada masa Jepang
disebut romusha. Jepang memberlakukan sistem kerja paksa atau romusha terhadap rakyat
pribumi adalah untuk memperbaiki perekonomiannya dan membantunya dalam Perang Asia
Timur Raya. Romusha berlangsung selama tiga tahun pendudukan Jepang di Indonesia, yaitu
sejak 1942 hingga 1945.
Sejarah
Awal kedatangan Jepang ke Indonesia pada 1942 disambut baik oleh rakyat pribumi,
karena mereka dianggap berhasil mengusir Belanda yang sudah lama menjajah. Padahal, tujuan
kedatangan Jepang adalah untuk mendapat keuntungan dari berbagai sumber daya yang ada di
Indonesia. Tidak berbeda dari Belanda, Jepang pun ingin memanfaatkan sumber daya manusia
dan alam dari Indonesia untuk memajukan perekonomian mereka. Jepang lantas merekrut tenaga
kerja pribumi, yang awalnya dipekerjakan secara sukarela dan ditempatkan tidak jauh dari
tempat tinggalnya. Namun, dalam perkembangannya, Jepang mulai melakukan sistem kerja
paksa atau romusha dan mengirim rakyat pribumi ke berbagai negara di Asia Tenggara. Bahkan,
semua keluarga juga diwajibkan untuk menyerahkan setiap anak laki-laki mereka untuk bekerja
dengan Jepang. Alasan lain Jepang melakukan romusha adalah mereka saat itu juga sedang
terdesak dalam Perang Asia Timur Raya.
Tujuan Romusha
Pada masa Perang Asia Timur Raya, Jepang membutuhkan bantuan untuk mengerjakan
berbagai pembangunan, seperti kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api, jembatan, dan
lapangan udara di Indonesia. Oleh sebab itu, Jepang mengerahkan tenaga rakyat pribumi.
Penduduk Indonesia, yang belum menyadari tujuan kedatangan Jepang, pun bersedia membantu
mengerjakan berbagai proyek. Tenaga kerja romusha mayoritas diambil dari desa-desa, terutama
orang-orang berpendidikan rendah, karena mudah dikelabui. Setelah itu, mereka dipekerjakan
secara sukarela. Pemerintah Jepang berhasil mengerahkan sekitar 30.000 orang pekerja romusha
ke luar Jawa. Secara keseluruhan, diperkirakan terdapat 4 hingga 10 juta pekerja romusha pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia. Tidak hanya ke luar Jawa, para tenaga kerja romusha
juga dikirim ke luar negeri, seperti Myanmar, Malaysia, dan Thailand.
Dampak Romusha
Selama Jepang menerapkan romusha, banyak rakyat pribumi berada dalam kondisi yang
menyedihkan. Para tenaga kerja romusha diminta untuk mengerjakan setiap proyek
pembangunan yang sedang dijalankan oleh Jepang. Namun, banyak yang menderita kelaparan,
bahkan meninggal karena kelelahan. Penderitaan pun semakin dirasakan oleh rakyat pribumi
pada pertengahan 1943, ketika Jepang semakin mengeskploitasi rakyat Indonesia. Penerapan
romusha terus berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, hingga 1945.
dampak negatif dari romusha ini adalah adanya kerja paksa yang dilakukan oleh jepang dan
ekspolitasi yang berlebihan (besar-besaran ) terharap SDA maupun SDM. dibalik semua
kerugian yang dialama pribumi terdapat sisi positifnya yaitu rakyat pribumi mendapkan
pelatihan militer guna untuk mempertahankan kemerdekaan.
RAKYAT INDRAMAYU MENAGNGKAT SENJATA
pristiwa ini terjadi disebabkan karena, pada tanggal 1 Maret 1942 Tentara ke 16 Jepang
berhasil mendarat di Jawa tiga tempat sekaligus. Pada 3 Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di
Eratan Weten Indramayu tepatnya di kampung Sumur Sereh. Jepang menguasai daerah tersebut
karena mengincar kekayaan sumber-sumber bahan mentah, terurama minyak bumi, yang
dimanfaatkan untuk kepentingan perangnya.
Pada saat itu, para serdadu Jepang yang umumnya berpangkat jenderal datang ke sebuah
pendopo yang ada di Indramayu. Mereka pun menuntut penduduk setempat memberi hormat.
Siapa pun yang menolak, maka akan dipukul atau diteriaki bagero yang berarti bodoh. Sejak saat
itu, rakyat menjadi sangat murka terhadap Jepang. Kemarahan mereka memuncak saat penduduk
Indramayu yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani diwajibkan untuk menyerahkan hasil
panen padi. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemberontakan petani di Indramayu terhadap
Jepang.
Jalannya perlawanan
Perlawanan rakyat Indramayu diprakarsai oleh petani dan dipimpin oleh para ulama.
Beberapa tokoh Indramayu dalam perlawanan rakyat terhadap Jepang adalah Haji Madriyas, Haji
Kartiwa, dan Kyai Srengseng. Pada Maret 1944, petani yang ada di Desa Kaplongan
melancarkan protes karena masalah kewajiban serah padi. Tentara Jepang yang ada di Cirebon
setelah mendengar masalah itu segera datang dengan membawa satu kompi truk melalui Desa
Kedungbunder. Setelah itu, ditambah lagi satu truk polisi berisi senjata lengkap menuju ke Desa
Kaplongan. Sebelumnya, para petani di Desa Kaplongan sudah memperhitungkan segala
kemungkinan yang akan terjadi, sehingga begitu pasukan Jepang datang mereka sudah siap. Para
petani sudah mempersenjatai diri dengan aneka senjata, seperti bambu runcing, golok, tombak,
dan keris. Pertempuran pun terjadi yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak.
Dari Desa Kaplongan sendiri ada empat orang yang meninggal karena ditembak tentara Jepang,
yakni Abu Hasan, Tobur, Abdul Kadir, dan Khozin. Adanya aksi protes dari rakyat Indramayu di
Desa Kaplongan mengobarkan semangat perlawanan juga di desa-
Desa lain, seperti di Desa Cidempet. Pada 6 Mei 1944, pemberontakan pun meletus di
Cidempet, dengan sebab perlawanan yang sama. Tokoh-tokoh yang memelopori protes sosial di
Desa Cidempet sendiri adalah Haji Madriyas, Haji Dulkarim, Sura, Karsina, Sliyeg, dan Tasiah.
Mereka lah yag memimpin ratusan hingga ribuan rakyat dari desa-desa di Kecamatan Lohbener,
Sindang, dan Losarang untuk melawan Jepang.
Akhir perlawanan rakyat Indramayu
Dampak
Pemberontakan petani Indramayu yang berakhir pada bentrok fisik membuat korban jiwa
berjatuhan. Banyak tentara Jepang yang tewas, begitu pula dengan para petani dan ulama yang
gugur atau dipenjara oleh Jepang. Kendati demikian, pasca-perlawanan berlangsung, rakyat
Indramayu justru semakin giat bekerja karena hasil panen tidak lagi disetor kepada Jepang, yang
telah angkat kaki dari Indonesia.
Dalam perlawanan tersebut juga terdapat semboyan rakyat Indramau yaitu yang berbunyi " lebih
baik mati melawan daripada mati kelaparan ".
PERLAWANAN RAKYAT KALIMANTAN
Latar belakang
Pada 1943, Jepang mencurigai adanya komplotan-komplotan dari kalangan orang China,
pejabat, dan sultan Kalimantan Selatan akan melakukan perlawanan. Semua kalangan itu
kemudian dihancurkan melalui penangkapan-penangkapan di pada Juli 1943. Selain itu,
sebanyak 1.000 orang lainnya dipenjara, termasuk 12 sultan. Di Kalimantan Barat, hal sama juga
terjadi antara September 1943 sampai awal tahun 1944. Pada 16 Oktober 1943, tokoh-tokoh
masyarakat Pontianak dari berbagai golongan mengadakan pertemuan rahasia di Gedung Medan
Sepakat untuk merencanakan perlawanan terhadap Jepang. Namun, rencana tersebut tercium
pihak Jepang. Akibatnya, sebelum perlawanan dilancarkan, Jepang lebih dulu menangkap dan
membantai rakyat serta beberapa tokoh masyarakat Kalimantan Barat.
Tidak tahan dengan kekejaman Jepang, pada akhir 1944, orang-orang Dayak mulai
melancarkan serangan. Meski berhasil membunuh beberapa orang Jepang, perlawanan mereka
belum memberikan hasil yang berarti. Bahkan perlawanan rakyat dibalas oleh Jepang dengan
akibat-akibat yang sangat buruk. Pada awal 1945, orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di
pedalaman Kalimantan Barat bangkit melawan Jepang. Pasukan Jepang yang sibuk menghadapi
pendaratan pasukan Sekutu pun menjadi kelabakan. Bahkan kegarangan orang Dayak dalam
bertempur membuat banyak prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Hal itu membuat orang-orang
Dayak semakin berani memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk senapan,
tombak, parang, dan sumpit. Salah satu tokoh perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang
adalah Pang Suma, yang mulai melancarkan aksinya pada pertengahan Februari 1945. Hingga 13
Mei 1945, kondisi di Kalimantan Barat kian memburuk, terutama setelah kedatangan mandor
perusahaan kayu Jepang, Osaki. Selain kejam, Osaki memaksa ingin menikahi gadis Dayak.
Apabila niatnya itu ditolak, ia mengancam akan membunuh ayah gadis itu. Pada akhirnya, Pang
Suma memenggal Osaki dan membakar satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komandan
Kempeitai Kaisu Nagatani di Meliau.
Selain itu, pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi, juga dipenggal.
Peristiwa ini semakin membakar semangat orang-orang Dayak untuk melakukan perlawanan.
Gerakan perlawanan pun berkembang luas ke segenap rumpun Dayak di hulu, pesisir, dan
pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito, dan Mahakam. Sementara itu, Jepang yang semakin
panik segera mengerahkan pasukannya dan terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pang
Suma dan militer Jepang di Meliau. Sayangnya, Pang Suma gugur di medan perang bersama
sebagian pasukannya dan perlawanan berhasil dipadamkan Jepang. Kendati demikian, harapan
rakyat Kalimantan untuk mengusir Jepang terkabul. Pasalnya, tiga bulan setelah kematian Pang
Suma, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Perlawanan rakyat Kalimantan terhadap pendudukan Jepang dipimpin oleh Pang Suma, seroang
kepala suku Dayak. Pang Suma memiliki pengaruh yang besar di kalangan orang-orang atau
suku-suku di daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya. Perlawanan rakyat Kalimantan tersebut
dilatarbelakangi oleh penindasan yang dilakukan oleh militer Jepang terhadap penduduk asli
Kalimantan, dalam hal ini suku Dayak. Perlawanan Pang Suma berlangsung dari tahun 1944-
1945 dan berlangsung di hutan belantara Kalimantan. Pada awalnya perlawanan Pang Suma
mampu merepotkan pasukan Jepang karena medan dan kondisi geografis yang menguntungkan
bagi masyarakat Kalimantan. Namun perlawanan Pang Suma harus mengalami kegagalan setelah
Pang Suma tertembak oleh militer Jepang pada 17 Juli 1945. Dengan demikian, perlawanan
rakyat Kalimantan tersebut dilatarbelakangi oleh penindasan yang dilakukan oleh militer Jepang
dan dipimpin oleh Pang Suma.