1. Gerakan 3A
Sejak kedatangannya ke Indonesia, Jepang terus berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.
Gerakan 3 A yang berisi Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon pemimipin
Asia merupakan salah satu propaganda yang dilakukan Jepang dalam menarik hati rakyat
Indonesia. Gerakan 3 A ini berada dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Selain itu, ditambah pula
organisasi Pemuda Asia Raya yang dipimpin oleh Sukardjo Wiryopranoto. Namun pada
perkembangannya Gerakan 3 A gagal dalam mendapatkan simpati rakyat Indonesia hingga
akhirnya organisasi ini dibubarkan.
2. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa banyak perubahan pada rakyat Indonesia, Jepang
banyak memberikan peraturan dan kebijakan agar memperkuat posisi Jepang di Indonesia.
Jepang melarang berbagai pertemuan yang dilakukan rakyat Indonesia yang bersifat politik dan
bahkan pemerintah Jepang membubarkan organisasi pergerakan Indonesia yang sudah ada sejak
masa kolonial Belanda. Terkecuali Majelis Islam A’ la Indonesia (MIAI), karena kegiatannya
bersifat keagamaan, tidak mengadakan kegiatan politik dan strategi pergerakan yang bersifat
terbuka maka organisasi yang dibentuk pada September 1937 ini tidak dibubarkan oleh
pemerintah Jepang. Jepang memberikan kontribusi untuk mengembangkan kehidupan bragama
di Indonesia seperti Kantor Urusan Agama yang dipimpin oleh orang Indonesia yaitu KH
Hasyim Ashari. Pada perkembangan selanjutnya beberapa pesantren dikunjungi para pembesar
Jepang. Umat islam diizinkan membentuk Hizbullah yang memberikan pelatihan kemiliteran
bagi para pemuda islam. Semakin pesatnya perkembangan organisasi ini membuat kekhawatiran
serta mengancam eksistensi pendudukan Jepang, MIAI akhirnya dicurigai pihak Jepang. Pada
1943, MIAI dibubarkan dan sebagai penggantinya dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi).
3. Masyumi
Majelis Syuro Muslimin Indonesia berdiri pada 1943 sebagai pengganti MIAI. Masyumi
diketuai oleh KH Mas Mansur dan didampingi KH Hasyim Ashari. Organisasi ini dimanfaatkan
oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia untuk mengonsolidasikan organisasi-organisasi
islam lainnya, seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Islam dan Sarekat Islam. Tidak
jauh berbeda dengan organisasi pergerakan islam gabungan dalam MIAI, Masyumi memiliki visi
bahwa setiap umat Islam diwajibkan untuk jihad Fisabilillah (berjuang di jalan Allah) dalam
berbagai bidang, termasuk dalam bidang politik. Para kaum muda muslim, khususnya para santri
dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun politis.
4. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Dalam rangka membangkitkan semangat dan perasaan anti bangsa kulit putih, Jepang
mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada Maret 1942. Organisasi ini dipimpin oleh 4
serangkai yang memiliki tugas untuk memimpin rakyat Indonesia supaya mau menghapuskan
pengaruh barat. Adapun tujuannya memudatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka
membantu udaha Jepang memenangkan perang Asia Pasifik. Empat serangkai dianggap oleh
Jepang sebagai lambing dari pergerakan nasional Indonesia. Sebaliknya, para pemimipin
nasional memanfaatkan Putera untuk mempersiapkan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan.
Pemerintah pendudukan Jepang, tidak menyadari bahwa Putera menjadi sebuah wadah
pemupukan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.
5. Cuo Sangi In
Cuo Sangi In atau Badan Pertimbangan Pusat dibentuk oelh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada awlnya badan ini dimaksudkan Jepang sebagai pengendali politik di Indonesia. Akan tetapi,
justru oelh para pemimpin pergerakan nesional dimanfaatkan untuk mengimbangi politik Jepang.
Badan pertimbangan Pusat mempunyai tugasa mengajukan usul dan menjawab pertanyaan
pemerintah Jepang. Badan ini kemudian dijadikan sarana strategis bagi para tokoh pergerakan
Indonesia. Bangsa Indonesia diberi kesempatan menduduki jabatan kepala depatemen dan
residen yang sulit didapatkan pada masa pemerintah colonial Belanda.
6. Jawa Hokokai
Melalui pernyataan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi tentara Jepang pada 1944, di
jawa berdiri organisasi Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Organisasi ini lahir dengan
dorongan pada situsi Perang Asia Timur Raya yang semakin gencar. Jawa Hokokai
diorientasikan untuk memupuk semangat kebaktian, yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri,
mempertebal persaudaraan dan melaksanakan tugas untuk kepentingan pemerintah pendudukan
Jepang. Pimpinan Jawa Hokokai ditangani langsung oleh pimpinan militer Jepang dan
anggotanya diseleksi secara ketat. Jaringan organisasi ini dari pusat sampai daerah memiliki
bidang-bidang kegiatan, seperti guru, kewanitaan, perusahaan, dan kesenian. Jawa hokokai
bertugas mengerahkan rajyat secara paksa untuk mengumpukan padi, permata, besi tua, serta
menanam jarak. Hasilnya harus diserahkan ke pemerintah pendudukan Jepanguntuk membiayai
Perang Asia Timur Raya.
Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah melarang kegiatan
berkumpul dan rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang diperkuat dalam UU No. 3 pada 20 Maret
1942, yang isinya melarang segala macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda mengenai
aturan dan susunan organisasi Negara. Pergerakan politik rakyat Indonesia yang pada
pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar menjadi terhambat pada pemerintahan
Jepang.Pemerintah Jepang membuat berbagai badan untuk mengalihkan dan menumpulkan
radikalisme dari partai politik yang ada sebelumnya.
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas
disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta Eropa pada lapis
ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang berada di lapis kedua dan
Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga
berdampak pada perkebunan yang telah mereka bangun.Perkebunan milik Belanda dan Eropa
disita oleh Jepang.Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi,
rehabilitasi, dan pemberian kredit.
B. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang
A. Kebijakan pendidikan
Pada masa Jepang, bidang pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa
Indonesia mulai dipergunakan. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan
bahasa Jepang dijadikan sebagai bahasa wajib.Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa
Indonesia, komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya semakin
merekatkan keinginan untuk merdeka.Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan di Jakarta,
yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Kebijakan disini dapat kita lihat melalui penyerahan hasil panen berupa padi rakyat
secara paksa,penyerahan ini tentulah menyengsarakan rakyat.Disebabkan keinginan Jepang
bukan sekedar permintaan tapi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi masyarakat.Begitulah
kekajaman Jepang.Akibatnya banyak yang menderita kelaparan,rakyat menderita
kemiskinan,menurunnya kesehatan masyarakat,keadaan sosial semakin memburuk,dalam hal
pakaian,rakyat terpaksa memakai baju dari goni,sehingga banyak berjangkit penyakit kulit,serta
angka kematian semakin meningkat.
Pengerahan Romusha
Romusha adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada
masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah
petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha.Jumlah
orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4
hingga 10 juta. Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat
antara lain supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela,
melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja
(buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang.
Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu
diabaikan.Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta,
tepatnya di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh perangkat desa
dengan cara medatangi keluarga-keluarga yang memiliki tenaga potensial untuk dijadikan
romusha.
Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha,
karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara
paksa, dan tidak perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu
pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat
persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka Jepang denga
leluasa memanfaatkan tenaga manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu
romusha seakan-akan tidak menjadi beban.Mereka meninggal karena kekurangan makan,
kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit.Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan
siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.Dibarak-barak romusha tidak tersedia
perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi
kuat bekerja maka akan mati.
Pada umumnya mereka diperdapat dari desa-desa, terdiri dari pemuda petani dan
pengangguran.Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan
tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela
dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan, karena orang masih terpengaruh
propaganda “ intik kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat
barisan-barisan romusha untuk bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu.
Romusha yang diperkejakan di proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan,
barak-barak militer, berlangsung selama satu sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan
masa kerja romusha yang diperkejakan di proyek-proyek diluar keresidenan mereka. Tidak
hanya keluar Jawa, bahkan romusha dikirim ke luar Indonesia, seperti Birma, Muang, Tgai,
Vietnam dan Malaysia. Tidak sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In
agar para romusha diperlakukan secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk. Sejak
pagi buta sampai petang hari merekadipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan
perawatan cukup, membuat kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah dan mereka hampir tidak
punya sisa kekuatan. Jika ada diantara mereka yang beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu
akan mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari pengawas mereka orang Jepang.
Hanya pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah.Dalam keadaan demikian,
mereka tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit.Karena tidak sempat memasak air minum,
sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah disentri, karena tidak dapat
menghindari diri dari serangan
Perang Melawan Tirani Jepang
b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang
rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat
Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat
Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika
mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakankebijakan
Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh
masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat
Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.
Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin
menderita.
Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman
ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari
Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya
tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat
tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak
yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga
diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat
menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di manamana.
c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu.
Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya
hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para
petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya
kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu
juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu,
sehingga semakin membuat rakyat menderita.