Anda di halaman 1dari 18

A.

     Awal Masuk Jepang ke Indonesia


Sejarah masuknya Jepang ke Indonesia merupakan keinginan membentuk imperium di
Asia, Jepang telah berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl
Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941. Penyerangan tersebut bertujuan untuk
melumpuhkan kekuatan Amerika Serikat yang di perkirakan akan menjadi ganjalan bagi
ekspansi jepang di Asia. Dalam gerakannya ke selatan, jepang juga melakukan penyerangan ke
Indonesia yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima
Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung,. Jepang tanpa
banyak menemui perlawanan yang berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa
Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan senang, perasaan gembira
karena akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
Sebenarnya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ yang
disampaikan Jepang merupakan tipu muslihat agar bangsa Indonesia dapat menerima kedatangan
Balatentara Jepang. Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh
bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan negara
imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai
negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan
industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi
sangat penting artinya bagi kemajuan industri apabila tidak didukung dengan bahan mentah
(baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang industri yangluas.Dengan
demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk
menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, semboyan Gerakan 3A dan
pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat
dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di
Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia
mengalami kesengsaraan. Sumber-sumber ekonomi dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang
untuk kepentingan peperangan dan industri Jepang melalui cara berikut.
1.         Tidak sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah    
tenaga kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada proyek-
proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat Indonesia yang
meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya  mereka menderita kelaparan dan
berbagai penyakit. Jepang berupaya menghapus pengaruh kultural barat yang telah hinggap di
Hindi Belanda, dan yang kedua Jepang mengeruk sumber sumber kekayaan alam startegi yang
ada di tanah air kita. Pasokan sumber sumber ala mini digunakan untuk membiayai perang
Jepang dengan Sekutu.Di Asia Timur Raya dan Pasifik. Luasnya daerah pendudukan Jepang
membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu besar. Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk
membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan
jembatan. Tenaga tenaga kerja ini diambilkan dari penduduk Jawa yang cukup padat. Para tenaga
kerja ini dipaksa yang popular di sebut denga Romusa. Jejaring tentara Jepang untuk
menjalankan romusha hingga ke desa desa. Dalam catatan buku ini, setidaknya ada 300.000
tenaga romusha yang dikirim ke berbagai negara di Asia Tenggara, 70.000 orang diantaranya
dalam kondisi menyedihkan dan berakhir pada kematian. Para romusa juga melibatkan kaum
perempuan. Mereka dibujuk rayu di iming iming mendapatkan pekerjaan, namun mereka di
bawa ke kampong-kampung tertutup untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu).  Romusa
juga melibatkan tokoh pergerakan waktu itu. Mereka dipaksa oleh Jepang untuk menjadi tenaga
kerja paksa tersebut. Diantara para romusa yang berasal dari tokoh pergerakan adalah Soekarno
dan Otto Iskandardinata. Mereka berdua dipaksan tentara pendudukan Jepang untuk membuat
lapangan udara darurat. Jepang melakukan rekruitmen calon romusa, pola tingkatan, serta alokasi
tenaga kerja paksa ini. Basis paparannya melihat praktik romusa dan proyek proyeknya di
Gunung Madur dan sekitar Banten. Namun pada saat yang sama, Jepang berhasil memanipulasi
keberadaan romusa ini ke dunia internasional. Untuk menyamarkan keberadaan romusa, Jepang
memperhasul istilah romusa dengan “pekerja ekonomi” atau pahlawan pekerja. Pada
pertengahan tahun 1943, para romusa semakin di eksploitasi oleh Jepang. Karena kekalahan
Jepang pada Perang Pasifik, Romusa romusa ini digunakan sebagai tenaga swasembada untuk
mendukung perang secara langsung. Karena disetiap angkatan perang Jepang membutuhkan
tenaga tenaga kerja paksa ini untuk mengefisiensikan biaya perang Jepang. Pada situasi seperti
ini, permintaan terhadap romusa semakin tak terkendali.
        2.         Para petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada   
Pemerintah balatentara Jepang.
3.         Hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi
kebutuhan konsumsi perang. Romusha (rōmusha: "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi
orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di
Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober
1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di
berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha
tidak diketahui pasti  perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.

B.     Organisasi Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang

1.      Gerakan 3A
Sejak kedatangannya ke Indonesia, Jepang terus berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.
Gerakan 3 A yang berisi Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon pemimipin
Asia merupakan salah satu propaganda yang dilakukan Jepang dalam menarik hati rakyat
Indonesia. Gerakan 3 A ini berada dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Selain itu, ditambah pula
organisasi Pemuda Asia Raya yang dipimpin oleh Sukardjo Wiryopranoto. Namun pada
perkembangannya Gerakan 3 A gagal dalam mendapatkan simpati rakyat Indonesia hingga
akhirnya organisasi ini dibubarkan.  
2.      Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa banyak perubahan pada rakyat Indonesia, Jepang
banyak memberikan peraturan dan kebijakan agar memperkuat posisi Jepang di Indonesia.
Jepang melarang berbagai pertemuan yang dilakukan rakyat Indonesia yang bersifat politik dan
bahkan pemerintah Jepang membubarkan organisasi pergerakan Indonesia yang sudah ada sejak
masa kolonial Belanda.  Terkecuali Majelis Islam A’ la Indonesia (MIAI), karena kegiatannya
bersifat keagamaan, tidak mengadakan kegiatan politik dan strategi pergerakan yang bersifat
terbuka maka organisasi yang dibentuk pada September 1937 ini tidak dibubarkan oleh
pemerintah Jepang. Jepang memberikan kontribusi untuk mengembangkan kehidupan bragama
di Indonesia seperti Kantor Urusan Agama yang dipimpin oleh orang Indonesia yaitu KH
Hasyim Ashari. Pada perkembangan selanjutnya beberapa pesantren dikunjungi para pembesar
Jepang. Umat islam diizinkan membentuk Hizbullah yang memberikan pelatihan kemiliteran
bagi para pemuda islam. Semakin pesatnya perkembangan organisasi ini membuat kekhawatiran
serta mengancam eksistensi pendudukan Jepang, MIAI akhirnya dicurigai pihak Jepang. Pada
1943, MIAI dibubarkan dan sebagai penggantinya dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi).
3.      Masyumi
Majelis Syuro Muslimin Indonesia berdiri pada 1943 sebagai pengganti MIAI. Masyumi
diketuai oleh KH Mas Mansur dan didampingi KH Hasyim Ashari. Organisasi ini dimanfaatkan
oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia untuk mengonsolidasikan organisasi-organisasi
islam lainnya, seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Islam dan Sarekat Islam. Tidak
jauh berbeda dengan organisasi pergerakan islam gabungan dalam MIAI, Masyumi memiliki visi
bahwa setiap umat Islam diwajibkan untuk jihad Fisabilillah (berjuang di jalan Allah) dalam
berbagai bidang, termasuk dalam bidang politik. Para kaum muda muslim, khususnya para santri
dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun politis.
4.      Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Dalam rangka membangkitkan semangat dan perasaan anti bangsa kulit putih, Jepang
mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada Maret 1942. Organisasi ini dipimpin oleh 4
serangkai yang memiliki tugas untuk memimpin rakyat Indonesia supaya mau menghapuskan
pengaruh barat. Adapun tujuannya memudatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka
membantu udaha Jepang memenangkan perang Asia Pasifik. Empat serangkai dianggap oleh
Jepang sebagai lambing dari pergerakan nasional Indonesia. Sebaliknya, para pemimipin
nasional memanfaatkan Putera untuk mempersiapkan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan.
Pemerintah pendudukan Jepang, tidak menyadari bahwa Putera menjadi sebuah wadah
pemupukan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.
5.      Cuo Sangi In
Cuo Sangi In atau Badan Pertimbangan Pusat dibentuk oelh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada awlnya badan ini dimaksudkan Jepang sebagai pengendali politik di Indonesia. Akan tetapi,
justru oelh para pemimpin pergerakan nesional dimanfaatkan untuk mengimbangi politik Jepang.
Badan pertimbangan Pusat mempunyai tugasa mengajukan usul dan menjawab pertanyaan
pemerintah Jepang. Badan ini kemudian dijadikan sarana strategis bagi para tokoh pergerakan
Indonesia. Bangsa Indonesia diberi kesempatan menduduki jabatan kepala depatemen dan
residen yang sulit didapatkan pada masa pemerintah colonial Belanda.
6.      Jawa Hokokai
Melalui pernyataan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi tentara Jepang pada 1944, di
jawa berdiri organisasi Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Organisasi ini lahir dengan
dorongan pada situsi Perang Asia Timur Raya yang semakin gencar. Jawa Hokokai
diorientasikan untuk memupuk semangat kebaktian, yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri,
mempertebal persaudaraan dan melaksanakan tugas untuk kepentingan pemerintah pendudukan
Jepang. Pimpinan Jawa Hokokai ditangani langsung oleh pimpinan militer Jepang dan
anggotanya diseleksi secara ketat. Jaringan organisasi ini dari pusat sampai daerah memiliki
bidang-bidang kegiatan, seperti guru, kewanitaan, perusahaan, dan kesenian. Jawa hokokai
bertugas mengerahkan rajyat secara paksa untuk mengumpukan padi, permata, besi tua, serta
menanam jarak. Hasilnya harus diserahkan ke pemerintah pendudukan Jepanguntuk membiayai
Perang Asia Timur Raya.

7.      Seinendan, Fujinkai dan Keibodan


            Pada periode 1944-1945 kedudukan pasukan Jepang yang semula sebagai penyerang kini
berbalik menjadi bertahan. Dalam beberapa pertempuran pihak sekutu banyak mengalami
kemenangan. Untuk mempertahankan daerah pendudukannya, Jepang memerlukan dukungan
dari penduduk di negeri jajahannya. Oleh karena itu, pada 9 Maret 1943, dibentuklah organisasi
semi militer seinendan, yaitu berisan pemuda yang anggotanya berusia 14-22 tahun. Tujuan
dibentuknya seinendan adalah mendidik dan melatih para pemuda untuk dapat mempertahankan
tanah airnya dengan kekuatan sendiri. untuk memenuhi kebutuhan akan tenag wanita, pada
Agustus 1943, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Fujinkai atau perhimpuan wanita.
Usia anggotanya harus 15 tahun ke atas. Anggota ujinkai juga diberi pelatihan militer yang
dipersiapkan untuk membantu Jepang. Selain itu, untuk memenuhi keperluan tenaga pembantu
kepolisian , pemerintah pendudukan Jepang membentuk Keibodan atau barisan bantu polisi usia
anggotanya antara 20-35 tahun. Pemuda yang diterima adalah semua laki-laki yang berasal dari
setiap desa dan dibentuk di desa-desa untuk mengisolasi dari pengaruh kaum nasionalis. Mereka
diawasi oleh polisi secara ketat.
8.      Barisan Pelopor, Heiho, dan Pembela Tanah Air (Peta)
Untuk menyiapkan seluruh potensi rakyat Indonesia dalam membantu dan mendukung
kemenangan Jepang Perang Asia Timur Raya, pemerintah pendudukan Jepang pada 14
September 1944 membentuk barisan pelopor yang dipilih oleh golongan nasionalis, seperti Ir.
Sekarno, R.P. Suroso, Otto Iskandardinata dan dr. Buntaran. Barisan pelopor dilatih cara
menggunakan senapan dari akyu, bambu runcing serta dikerahkan untuk mendengarkan pidato
dari para pemimpin pergerakan nasional. Selain itu, dilatih pual cara menerahkan massa dan
membuat pertahanan. Sementara itu, pada April 1943, Jepang mengumumkan dan membuka
kesempatan bagi para pemuda untuk ikut menjadi anggota pembantu prajurit Jepang (Heiho).
Anggota Heiho langsung ditempatkan dalam struktur irganisasi militer Jepang, baik di Angkatan
Darat maupun Angkatan Laut. Heiho dianggap sebagai bagian dari angkatan perang Jepang
sehingga langsung diterjunkan dalam medan pertempuran, seperti kepulauan Solomon, Filifina
dan Indo Cina. Selanjutnya, pada 3 Oktober 9143, panglima tentar sukarela Pembela Tanah Air
(Peta). Tempat pelatiahan calon perwira dipudatkan di bogor. Setelah lulus, merka kemudian
diangkat menjadi daidanco (komandan batalyon), Codanco (Komandan
kompi), syudanco (komandan peleton) dan budanco (komandan regu).
A.    Kebijakan Umum Pemerintah Jepang

Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah melarang kegiatan
berkumpul dan rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang diperkuat dalam UU No. 3 pada 20 Maret
1942, yang isinya melarang segala macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda mengenai
aturan dan susunan organisasi Negara. Pergerakan politik rakyat Indonesia yang pada
pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar menjadi terhambat pada pemerintahan
Jepang.Pemerintah Jepang membuat berbagai badan untuk mengalihkan dan menumpulkan
radikalisme dari partai politik yang ada sebelumnya.
                                          
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas
disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta Eropa pada lapis
ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang berada di lapis kedua dan
Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga
berdampak pada perkebunan yang telah mereka bangun.Perkebunan milik Belanda dan Eropa
disita oleh Jepang.Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi,
rehabilitasi, dan pemberian kredit.
B.     Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang

Demi mencukupi kebutuhannya, Jepang mengeluarkan kebijakan ekonomi


romusha.Sedikitnya terdapat dua ratus ribu orang pribumi dipekerjakan, kebanyakan dari pekerja
itu bekerja sampai mati.Ribuan wanita Indonesia pun dipaksa untuk melayani tentara Jepang.
Kebijakan romusha sangat merugikan rakyat, banyaknya pekerja yang terlibat menjadi romusha
disebabkan ketidaktahuan mengenai apa sebenarnya romusha itu.
Sistem perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala desa.Kondisi
ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan yang lebih baik membuat rakyat
melamar menjadi romusha.Tenaga kerja yang melamar menjadi romusha dipaksa bekerja di
berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan Jepang.Pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan yang berat, seperti pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai,
lubang perlindugan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi.
Kebijakan lainnya adalah, penekanan angka produksi perkebunan karena tidak berkaitan
dengan kebutuhan perang, fokus utama Jepang adalah peningkatan produksi beras.Akibat
kebijakan ini, produksi perkebunan yang tinggi pada masa Hindia-Belanda, menjadi turun
drastis.Salah satunya adalah melemahnya industri gula.Industri gula melemah karena kebijakan
pemerintah Jepang untuk mengurangi produksi gula yang telah direncanakan sejak awal
kedatangan.Pengurangan ini dilakukian bertahap dan rahasia.
Semua perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang menyerahkan
pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang.Enam perusahaan Jepang
tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa.Jumlah perkebunan selama
pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85 (1942) menjadi 13 (1945).
Kecenderungan penurunan produksi ini berdampak kepada para petani.Para petani yang
memiliki tanah merasa diuntungkan dengan pengurangan produksi gula.Mereka tidak lagi
disibukkan dengan irigasi dan pengembalian tanah, mereka dapat menaman padi.Kondisi yang
berbeda dialami oleh petani yang tidak memiliki tanah, jumlahnya lebih banyak daripada petani
yang memiliki tanah.
 

Kebijakan Pengendalian Kegiatan Pendidikan Dan Kebudayaan

     A.    Kebijakan pendidikan

Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah


menghilangkan diskriminasi/perbedaan yang diterapkan Belanda.Pada pemerintahan Jepang,
siapa saja boleh mengenyam/merasakan pendidikan.Rakyat dari lapisan manapun berhak untuk
mengenyam pendidikan formal. Jepang pun juga menerapkan jenjang pendidikan formal seperti
di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Dimana sistem ini masih
diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini.Pelajaran utamanya yang paling intensif
sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah adalah setiap pagi sebelum memasuki kelas selalu
diadakan upacara bendera megibarkan bendera Jepang dan penghormatan kearah matahari
terbit.Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut dengan Taiso.
Dalam acara penaikan bendera Jepang semua siswa menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang yaitu Kimigayo.Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah sistem
pengajaran dan kurikulum yang di sesuaikan untuk kepentingan perang.Siswa memiliki
kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang.
Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan
Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib
mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.Kebijakan lain yang diterapkan Jepang yaitu para
siswa termasuk guru-gurunya harus upacara dan menunduk kearah matahari terbit dengan cara
rukuk atau (membungkuk)yang disebut upacara Seikeire.
Apabila bendera sedang dinaikkan tidak seorangpun boleh berjalan melaikan harus
berhenti menghadap kebendera dan memberi hormat.Disamping diharuskan hormat kepada
guru(sensei),maka setiap orangtua haru dihormati pula termasuk kepala kampung yang pada
waktu itu dinamakan Sonco.
Usaha Jepang dalam menjepangkan rakyat Indonesia termasuk juga para siswa dilihat
dengan adanya pelajaran bahasa Jepang meskipun dalam bentuk stensilan yang khusus disusun
untuk mempelajari bahasa Jepang.
 Dengan demikian,secara sistematis sekali pendudukan militer Jepang itu ingin
menjepangkan anak-anak Indonesia mulai dengan bahasa hurufnya Sekolah Rakyat.Untuk
keperluan menulis para siswa memakai batu tulis berwarna hitam.Untuk menanamkan semangat
patriotisme dihati rakyar dalam hal menyanjung Perang Asia Timur Raya,pemerintah Jepang
menciptakan lagu khusus tentang keberanian seorang Heiho yang diberinya judul Amat
Heiho,ceritanya menyerang sekutu sampai harus rela tewas demi kejayaan negara Jepang.
Hal ini dapat dipahami,pendidikan yang diberikan Jepang pada rakyat pribumi semata-
semata hanya untuk kepentingan Jepang,tanpa memikirkan kemajuan pendidikan rakyat
pribumi,karena melalui pendidikan,pemerintahan Jepang mulai memasukkan rasa simpati kepada
rakyat,terutama dalam mengenyam pendidikan,yang di zaman belanda untuk masuk Sekolah
rakyat saja sangat susah,hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan untuk sekolah.Sedangkan
Jepang sebaliknya,namun tujuan sebenarnya untuk menjepangkan rakyat Indonesia dan rasa
kecintaan kepada Jepang.
B.        Kebijakan Kebudayaan

Pada masa Jepang, bidang pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa
Indonesia mulai dipergunakan. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan
bahasa Jepang dijadikan sebagai bahasa wajib.Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa
Indonesia, komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya semakin
merekatkan keinginan untuk merdeka.Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan di Jakarta,
yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Kebijakan disini dapat kita lihat melalui penyerahan hasil panen berupa padi rakyat
secara paksa,penyerahan ini tentulah menyengsarakan rakyat.Disebabkan keinginan Jepang
bukan sekedar permintaan tapi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi masyarakat.Begitulah
kekajaman Jepang.Akibatnya banyak yang menderita kelaparan,rakyat menderita
kemiskinan,menurunnya kesehatan masyarakat,keadaan sosial semakin memburuk,dalam hal
pakaian,rakyat terpaksa memakai baju dari goni,sehingga banyak berjangkit penyakit kulit,serta
angka kematian semakin meningkat.

Pengerahan Romusha

Romusha adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada
masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah
petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha.Jumlah
orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4
hingga 10 juta. Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat
antara lain  supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela,
melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja
(buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang.
Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu
diabaikan.Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta,
tepatnya di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh perangkat desa
dengan cara medatangi keluarga-keluarga yang memiliki tenaga potensial untuk dijadikan
romusha.
Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha,
karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara
paksa, dan tidak perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu
pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat
persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka  Jepang denga
leluasa memanfaatkan tenaga manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu
romusha seakan-akan tidak menjadi beban.Mereka meninggal karena kekurangan makan,
kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit.Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan
siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.Dibarak-barak romusha tidak tersedia
perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi
kuat bekerja maka akan mati.
Pada umumnya mereka diperdapat dari desa-desa, terdiri dari pemuda petani dan
pengangguran.Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan
tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela
dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan, karena orang masih terpengaruh
propaganda “ intik kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat
barisan-barisan romusha untuk bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu.
Romusha yang diperkejakan di proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan,
barak-barak militer, berlangsung selama satu sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan
masa kerja romusha yang diperkejakan di proyek-proyek diluar keresidenan mereka. Tidak
hanya keluar Jawa, bahkan romusha dikirim ke luar Indonesia, seperti Birma, Muang, Tgai,
Vietnam dan Malaysia. Tidak sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In
agar para romusha diperlakukan secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk. Sejak
pagi buta sampai petang hari merekadipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan
perawatan cukup, membuat kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah dan mereka hampir tidak
punya sisa kekuatan. Jika ada diantara mereka yang beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu
akan mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari pengawas mereka orang Jepang.
Hanya pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah.Dalam keadaan demikian,
mereka tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit.Karena tidak sempat memasak air minum,
sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah disentri, karena tidak dapat
menghindari diri dari serangan
Perang Melawan Tirani Jepang

Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah


menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang
daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenangwenang.
Rakyat tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman
itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa pendudukan
Jepang banyak gadis dan perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang
dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau disekolahkan, ternyata
hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para gadis dan perempuan itu
disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kampkamp
itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan Sumatra Barat.
Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali penjajah
Jepang. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian timbul berbagai perlawanan.

a. Aceh Angkat Senjata


Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat
yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah
seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena
melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang,
terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan.
Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan
dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.

Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di


sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai
tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha
membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan
ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10
November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot
Plieng.

Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942,


saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka
rakyat- pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan
pedang dan kelewang, bertahan bahkan dapat memukul mundur tentara
Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, tetapi
dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan.
Kemudian, Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan
berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang
membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh.
Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil
meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul
Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan sholat, mereka ditembaki oleh
tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa.
Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150
orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya.

b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang
rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat
Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat
Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika
mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakankebijakan
Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh
masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat
Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.
Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin
menderita.
Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman
ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari
Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya
tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat
tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak
yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga
diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat
menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di manamana.

c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu.
Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya
hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para
petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya
kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu
juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu,
sehingga semakin membuat rakyat menderita.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan,


Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli,
muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener.
Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya
kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang
baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah
itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian
padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang
demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati
melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka
terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat
tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan
peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi
tanah airnya.
d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat.
Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama
dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena
himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan
di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang
pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang
luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau,
dan sekitarnya.
Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang
dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan
bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan
alam —rimba belantara, sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh—
perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di
kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal
dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata
itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan,
dan pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan
terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat
perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah.
Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan
ini akhirnya mengalami kegagalan juga.
e. Perlawanan Rakyat Irian
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat
di Papua. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di
luar batas kemanusiaan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian mereka
melancarkan perlawanan terhadap Jepang.
Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri”
yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak
merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat
Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat
kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk
melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.
Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang
tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan
umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka
melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan
menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya,
Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut.
Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau
Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata


Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan
Jepang yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang
ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana
mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang
dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak
Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya
untuk melawan Jepang.
Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan
rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi,
pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang luar biasa. Hal semacam ini
juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya di lingkungan Peta.

Anda mungkin juga menyukai