Anda di halaman 1dari 17

Solusi Komprehensif Menuju

Papua Baru: Penyelesaian Konflik Papua


Secara Damai, Adil dan Bermartabat
Laksamana Muda TNI (Purn.) Untung Suropati
Chairman of the Institute for Defense and Strategic Research
untungsuropati@ymail.com

Abstrak
Insiden pembunuhan 28 pekerja PT Istaka Karya yang tengah mengerjakan proyek
jalan Trans Papua tanggal 2 Desember 2018 oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di
Kabupaten Nduga kembali mengingatkan kita akan bara persoalan yang belum kunjung
padam di Tanah Papua. Sudah tak terhitung aksi kekerasan yang menelan banyak korban
jiwa di kedua belah pihak terjadi sejak Papua resmi menjadi bagian integral negara
Republik Indonesia, menyusul dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
tahun 1969. Kaum nasionalis dan masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap
bahwa pro-kontra masuknya Papua menjadi bagian integral negara Republik Indonesia
dengan sendirinya selesai sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945. Klaim tersebut diperkuat dengan disetujuinya hasil Pepera di Sidang Umum PBB
tanggal 19 November 1969. Dengan latar belakang dan argumentasi yang berbeda, tentu
tidak demikian pandangan kaum nasionalis Papua dan warga asli Papua pada umumnya.
Dengan fakta demikian, tidak aneh apabila Papua terus bergolak. Bukan hanya Jakarta
yang harus terkuras energinya, tapi rakyat Papua mau tidak mau juga harus menanggung
beban dan akibatnya. Di sinilah di satu sisi, para elite Jakarta perlu memahami duduk
perkara konflik Papua, di sisi lain para tokoh Papua harus berpikir positif, konstruktif dan
realistis. Kajian ini dibuat sebagai kontribusi pemikiran guna mencari solusi komprehensif
menuju Papua Baru, yaitu Papua yang bebas konflik, maju dan sejahtera.

Kata kunci: KKB, Pepera, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sidang Umum PBB,
nasionalis, Indonesia, nasionalis Papua, Papua Baru

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 73


foto: youtube.com

PENDAHULUAN Prapanca. Setelah Majapahit runtuh tahun


Istilah Papua yang dimaksud dalam 1478 karena serbuan Demak, selama beberapa
tulisan ini adalah Tanah Papua yang secara abad Tanah Papua berada di bawah kekuasaan
administratif terdiri dari dua provinsi, yaitu Kesultanan Tidore (Alua 2006:8). Belanda
Provinsi Papua dan Papua Barat. Integrasi sendiri yang malang melintang di Nusantara
Papua ke Indonesia memiliki sejarah panjang sejak pendaratan Cornelis de Houtman di
dan penuh liku. Beberapa catatan sejarah Banten tahun 1596, baru menguasai Tanah
dan bukti-bukti artefak menunjukkan bahwa Papua setelah Traktat London ditandatangani
Papua sejak awal abad ke-8 pernah di bawah tahun 1824. Menyusul kemudian dibangun
kekuasaan Sriwijaya. Pada masa ini Papua benteng Fort du Bus di Kampung Lobo,
dikenal dengan nama Janggi. Surutnya Teluk Triton, Kaimana tahun 1828. Pendirian
Sriwijaya abad ke-12 menyebabkan kontrol benteng yang namanya diambil dari nama
atas Papua berangsur-angsur surut dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu
beralih ke Majapahit, kerajaan maritim yang - L.P.J. du Bus de Gisignies - bertujuan untuk
menggantikan dominasi Sriwijaya di Nusantara. perlindungan diri dari kemungkinan gangguan
Kekuasaan Majapahit yang terbentang luas Inggris, rival utama Belanda di Nusantara.
hingga ke Papua, diperkirakan tercapai pada Namun demikian pemerintahan Hindia
masa Majapahit mencapai puncak kejayaan di Belanda baru benar-benar efektif setelah
bawah Hayam Wuruk dengan mahapatihnya pendirian pos pemerintahan di Manokwari
yang terkenal, Gajah Mada. Kekuasaan tanggal 8 November 1898. Itulah tanggal yang
Majapahit atas Papua tercatat dalam Kakawin diperingati sebagai hari jadi Kota Manokwari
Nagarakretagama pupuh XIV karya Mpu hingga kini.

74 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


Memasuki pertengahan abad ke-20, dinamika perubahan zaman, tidak kurang lima
tepatnya menjelang kekalahan Jepang tahun kali kota tersebut pernah berganti nama, yaitu
1945 melawan Sekutu dalam PD II, sejarah Numbay, Hollandia, Kota Baru, Sukarnopura,
Papua memasuki babak baru. Dalam Sidang sebelum akhirnya menjadi Jayapura tahun
BPUPKI bulan Juli 1945 pembahasan status 1968. Itulah kali pertama Sang Merah Putih
politik Papua menjadi topik menarik, sekaligus resmi berkibar di Tanah Papua. Selanjutnya
memicu perdebatan sengit. Para peserta tanggal 4 Mei 1963, di depan ribuan rakyat di
sidang yang umumnya kaum intelektual dan tempat yang sama, Sukarno berpidato. Dalam
tokoh pejuang, seperti Sukarno, Mohammad pidatonya yang berapi-api, dengan tegas
Yamin dan Kahar Muzakar berpendapat bahwa Sukarno berkata bahwa sejak proklamasi
walaupun secara etnografis kedua bangsa kemerdekaan 17 Agustus 1945, debat status
Indonesia dan Papua berbeda, tapi karena Papua sejatinya tidak diperlukan lagi. Sebagai
Papua adalah eks-jajahan Belanda, maka eks-wilayah Hindia Belanda dengan sendirinya
Papua dengan sendirinya menjadi bagian Papua menjadi bagian integral Indonesia,
Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan, tanpa embel-embel apapun, termasuk kedok
Papua bahkan pernah di bawah kekuasaan etnis dan budaya. Penegasan Sukarno penting
Sriwijaya dan Majapahit jauh sebelum untuk digarisbawahi, karena dalam KMB,
Belanda datang ke Nusantara. Belum lagi Belanda tetap kukuh berpendirian bahwa
kalkulasi geopolitik era Perang Dingin yang secara etnografis rakyat Papua bukanlah
menyebabkan masuknya Papua ke Indonesia bangsa Indonesia, sehingga tidak cukup alasan
menjadi satu-satunya pilihan. Di antara banyak menjadi bagian dari Indonesia. Menganggap
tokoh, Mohammad Hatta berpandangan beda. sikap Belanda terlalu mengada-ada, Sukarno
Menurutnya secara etnografis integrasi Papua bergeming. Karena tidak ada titik temu,
ke Indonesia tidak tepat, karena bangsa akhirnya disepakati status Papua akan
Papua ras Melanesia, dan Indonesia ras ditentukan melalui perundingan satu tahun
Polinesia. Solusi paling tepat, menyerahkan kemudian. Seiring perjalanan waktu, Belanda
keputusan tersebut sepenuhnya kepada terus memperkuat kehadiran militernya di
rakyat Papua. Debat seputar isu Papua makin Papua. Hingga Sidang Umum PBB tahun 1960,
mencuat setelah Indonesia merdeka tanggal atau 12 tahun setelah KMB, ternyata tak
17 Agustus 1945. Pro-kontra terus berlanjut satupun sesuai rencana perundingan digelar.
hingga penyerahan kedaulatan atas Hindia Ironisnya, dalam sidang yang membahas status
Belanda pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB) Papua tersebut, Belanda kembali bermanuver.
di Den Haag tanggal 27 Desember 1949 karena Proses dekolonisasi Papua akan dilakukan
Belanda tetap enggan menyerahkan Papua. dengan cara menyerahkannya melalui
Konflik Indonesia vs Belanda relatif mereda pihak ketiga. Belanda bahkan menawarkan
pasca-penandatanganan Persetujuan New bantuan 30 juta gulden tiap tahunnya untuk
York tanggal 15 Agustus 1962. Penyerahan membiayai pemerintahan Papua, sampai tiba
kedaulatan tidak langsung dari Belanda ke waktu penentuan keinginan yang sebenarnya
Indonesia, tapi melalui perantara, yaitu dari orang asli Papua.1
PBB, dalam hal ini United Nations Temporary Seringnya Belanda sejak Agresi Militer
Executive Authority (UNTEA). Setelah itu, Belanda I, Agresi Militer Belanda II, KMB,
barulah dari UNTEA ke Indonesia. hingga Sidang Umum PBB tahun 1960
Penyerahan Papua dari UNTEA ke bersikap licik, membuat Sukarno hilang
Indonesia dilaksanakan tanggal 1 Mei 1963 di kesabaran dan memilih cara lain. Dalam
Kota Baru yang bernama asli Numbay. Seiring rapat raksasa di Alun-Alun Utara Yogyakarta

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 75


tanggal 19 Desember 1961 dengan tegas pertengahan tahun 1969. Mempertimbangkan
Sukarno mengeluarkan perintah: gagalkan aspek geografis dan etnografis, Pepera
pembentukan negara Papua, kibarkan Sang dilaksanakan selama 19 hari, mulai tanggal
Merah Putih, laksanakan mobilisasi umum. 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 di delapan
Itulah yang kita kenal dengan Tri Komando kabupaten secara berturut-turut, yaitu
Rakyat (Trikora). Dipilihnya tanggal dan Merauke, Jayawijaya, Nabire, Fakfak, Sorong,
tempat tersebut bermakna sangat simbolik, Manokwari, Biak, dan Jayapura. Sesuai sistem
karena pada tanggal dan tempat itulah 13 Indonesia sebagai bangsa yang mengutamakan
tahun sebelumnya Belanda melakukan aksi dialog atau musyawarah, Pepera dilaksanakan
militer dan Sukarno beserta pejabat lainnya dengan sistem perwakilan melalui lembaga
ditawan. Betapa dipermalukannya bangsa Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang telah
Indonesia oleh sikap licik dan tindakan biadab dibentuk yang beranggotakan 1.026 orang.
Belanda dengan aksi militer tersebut yang kita Komposisi DMP terdiri dari unsur tradisional
menyebutnya sebagai Agresi Militer Belanda (suku/ adat) 400 orang, unsur daerah 360
II. Seolah-olah bermaksud ingin mengubur orang, dan unsur Orpol/ Ormas 266 orang.
kenangan pahit masa lalu, Trikora digelorakan Para anggota DMP adalah perwakilan rakyat
pada tanggal, bulan, dan tempat yang sama. Papua yang waktu itu berjumlah 815.904
Konon Mohammad Yamin adalah sosok di jiwa. Hasilnya dengan suara bulat seluruh
balik skenario tersebut. Didukung kekuataan anggota DMP memilih dan menetapkan
militer penuh dengan alutsista darat-laut- bergabung dengan Indonesia. Setelah hasil
udara eks-Rusia (Uni Sovyet) seharga 2,5 Pepera diumumkan tanggal 2 Agustus 1969,
miliar dollar Amerika Serikat yang sangat Ketua Pelaksana Pepera, yaitu Mendagri Amir
modern untuk ukuran zaman itu, Komando Machmud, tanggal 8 Agustus 1969 melaporkan
Mandala di bawah Mayjen TNI Suharto segera kepada Presiden Suharto. Tanggal 16 Agustus
bergerak menuntaskan misinya: kampanye 1969 Presiden Suharto menyampaikannya
militer merebut Papua (Irian Barat) dari dalam pidato pertanggungjawaban tahunan
cengkeraman Belanda. Diplomasi meriam di depan Sidang MPR. Tanggal 19 November
Sukarno bukan saja membuat Belanda 1969 keluarlah Resolusi PBB Nomor 2504. Dan
keder, tapi juga memicu kekhawatiran begitulah integrasi Papua ke Indonesia telah
pihak Rusia akan terlibat lebih jauh dan final dan sah menurut hukum internasional.
memetik keuntungan. Atas tekanan Amerika Pertanyaannya, mengapa Papua terus saja
Serikat, dengan berat hati akhirnya Belanda bergolak? Sampai kapan? Dalam kajian inilah
bersedia berunding. Inilah perundingan yang kita akan mencari dan mengurai akar masalah
melahirkan Persetujuan New York tanggal 15 konflik Papua beserta alternatif solusinya.
Agustus 1962. Dan begitulah tanggal 1 Mei
1963 Papua berhasil dibebaskan dan kembali PEMBAHASAN
ke pangkuan Ibu Pertiwi. Anatomi Konflik Papua
Namun demikian untuk memastikan Sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal
Papua adalah bagian integral Indonesia, maka 17 Agustus 1945, penyerahan kedaulatan
sesuai Persetujuan New York 1962 masih perlu pasca-KMB tanggal 27 Desember 1949, hingga
satu tahapan yang harus dilaksanakan, yaitu Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi
Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) tanggal 1 Mei 1963, Papua tidak pernah
bagi rakyat Papua yang biasa disebut Penentuan berhenti bergolak. Berbagai pihak baik dalam
Pendapat Rakyat (Pepera). Sesuai batas maupun luar negeri - salah satunya LIPI - telah
waktu yang ditentukan, Pepera dilaksanakan melakukan penelitian untuk mengidentifikasi

76 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


permasalahan, sehingga anatomi konflik Baru yang cenderung mengesampingkan
bisa dipetakan dan dicari jalan keluarnya. pendekatan persuasif, sebaliknya
Setidaknya terdapat lima isu strategis2 yang mengedepankan tindakan represif. Kegagalan
menjadi akar masalah Papua, yaitu sejarah pembangunan Papua dipicu banyak faktor,
integrasi Papua ke Indonesia; kekerasan antara lain kebijakan Orde Baru yang justru
politik dan pelanggaran HAM; kegagalan membuat rakyat Papua terpinggirkan. Selain
pembangunan Papua; inkonsistensi kebijakan itu, pengaruh kapitalisme internasional yang
Jakarta; dan strategi penanggulangan ujung-ujungnya eksploitasi kekayaan alam
gangguan keamanan. Sejak Papua dibebaskan Papua. Inkonsistensi kebijakan Jakarta,
dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tanggal khususnya terkait implementasi Otonomi
1 Mei 1963, sejarah integrasi Papua terus Khusus (Otsus) terutama pada masa-masa
dipersoalkan oleh kelompok nasionalis pemerintahan pasca-reformasi. Strategi
Papua. Mereka menganggap proses integrasi penanggulangan gangguan keamanan,
Papua ke Indonesia tidak sah karena penuh khususnya aksi kekerasan yang dilakukan
rekayasa. Anggapan tersebut tentu tidak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dinilai
terlepas dari intrik politik kekuasaan selama tidak efektif karena strategi yang diterapkan
proses dekolonisasi berlangsung sejak KMB. kurang mempertimbangkan kondisi psikologis
Seringnya terjadi kekerasan politik dan dan aspek sosial-budaya masyarakat
pelanggaran HAM disebabkan kebijakan Orde setempat.

Tabel-1
Akar Masalah, Konteks, Kontradiksi Narasi

Kontradiksi Narasi
Akar Masalah Konteks
Nasionalis Indonesia Nasionalis Papua

1. Pro-kontra sejarah Transisi kekuasaan dari - Secara historis Papua - Secara antropologis
integrasi, status politik Belanda ke Indonesia dan bagian Indonesia. Papua (Melanesia)
dan identitas politik rivalitas AS vs Uni Soviet - Status politik sah sesuai bukan bagian Indonesia
Papua (Perang Dingin) hukum internasional. (Polinesia).
- Integrasi artinya bebas - Pepera tidak sah karena
dari cengkeraman pelaksanaannya tidak
Belanda. sesuai aturan interna-
sional.
- Integrasi artinya koloni-
sasi Indonesia.
2. Kekerasan politik dan Otoritarianisme rezim Tindakan represif adalah Tindakan represif artinya
pelanggaran HAM Orde Baru dan intervensi cara untuk menjaga pelanggaran HAM
Kapitalisme Internasional kedaulatan dan keutuhan
wilayah negara
3. Kegagalan pembangu- Otoritarianisme rezim Pembangunan adalah cara Pembangunan artinya
nan Papua Orde Baru dan intervensi untuk memajukan Papua migrasi orang luar Papua
Kapitalisme Internasional dan marjinalisasi orang
Papua
4. Inkonsistensi kebijakan Reformasi dan demokra- Otsus adalah cara untuk Otsus artinya pelurusan
Jakarta (Otsus) tissi mengintegrasikan dan sejarah, perlindungan
membangunan Papua hak, dan repapuanisasi
5. Efektivitas strategi Melindungi rakyat, men- Kehadiran aparat kea- Kehadiran aparat kea-
penanggulangan gang- jaga stabilitas keamanan, manan adalah bagian dari manan identik dengan
guan keamanan dan meredam gerakan tanggung jawab negara perampasan hak dan
separatisme untuk melindungi rakyat pendindasan
dan menjaga stabilitas
keamanan.

Keterangan: Diolah dari berbagai sumber

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 77


Memahami Konflik Papua militer) maupun ideologis (agama, paham,
Tabel di sebelumnya hanya sarana ajaran) masuk Nusantara. Antara lain bangsa
untuk memudahkan kita mengidentifikasi Eropa yang awalnya hanya sekadar mencari
dan memahami anatomi konflik Papua rempah-rempah. Tapi sejarah mencatat,
yang telah berlangsung sekian lama dan selama 350 tahun Indonesia dijajah Belanda.
belum ada tanda-tanda mereda. Di luar Seiring perjalanan waktu, hingga pasca-
itu, bisa saja masih ada permasalahan lain PD II akhirnya Indonesia merdeka, dengan
yang bahkan mungkin menjadi masalah segala cara Belanda masih terus berusaha
besar bagi pihak tertentu. Kajian ini hanya menguasai kembali Indonesia. Hal tersebut
fokus pada lima masalah utama atau akar terus dilakukan hingga Persetujuan New
masalah sebagaimana tertera pada tabel. York 1962 yang di dalamnya berisi keharusan
Persoalan lain yang muncul kemudian, seperti rakyat Papua melaksanakan Pepera, suatu
pengibaran bendera Bintang Kejora, epidemi keputusan yang dengan berat hati Sukarno
kolera, dan HIV/AIDS pada dasarnya hanyalah harus menerimanya. Itulah sebabnya tiga
ekses dari persoalan masa lalu yang belum hari pasca-penyerahan Papua dari UNTEA,
terselesaikan. Penjelasan akar masalah, Sukarno merespons dengan berpidato di
konteks, dan kontradiksi narasi pada setiap Jayapura dan dengan tegas mengatakan
periode sejarah, sebagai berikut: bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1945, sejarah integrasi,
Pro-Kontra Sejarah Integrasi, Status Politik status politik dan identitas politik Papua
dan Identitas Politik Papua telah selesai. Alasannya bukan semata fakta
Akar masalah pertama adalah debat sejarah mendukung klaim tersebut, tapi tentu
sejarah integrasi, status politik dan karena Papua adalah juga wilayah jajahan
identitas politik Papua karena perbedaan Hindia Belanda.3
cara pandang yang diametral antara kaum Dalam pandangan kaum nasionalis
nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua. Indonesia, menurut Thorning dan Kivimaki
Kaum nasionalis Indonesia dan masyarakat (2002), orang Papua tanpa memandang
Indonesia pada umumnya menganggap suku, ras dan agama adalah termasuk orang
bahwa proses integrasi, status Papua Indonesia, karena mereka tinggal dalam
(milik Indonesia/ Belanda) dan ambiguitas wilayah eks-jajahan Hindia Belanda dan
kepapuaan masyarakat Papua telah terjawab mengalami nasib yang sama pada masa
dan tidak perlu dibahas lagi. Sebagaimana penjajahan. Konstitusi Indonesia tidak
telah dijelaskan, historiografi Papua terlacak mengenal adanya pengkhususan suku, ras
bahkan sejak Papua masih di bawah kekuasaan dan agama yang dikaitkan dengan hak-hak
Sriwijaya dan Majapahit, dua kerajaan maritim politik warga negara. Keanekaragaman suku,
Nusantara paling berpengaruh waktu itu. ras dan agama tapi tetap satu itulah esensi
Artinya, diskusi Papua tidak mungkin lepas dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi
sejarah Nusantara (baca: Indonesia). Hanya landasan semangat persatuan seperti tersurat
arsitektur geopolitik Nusantara memang dalam UUD 1945. Sebagaimana Sukarno dan
berubah drastis pasca-runtuhnya Majapahit Mohammad Yamin, para nasionalis Indonesia
tahun 1478 karena serbuan Demak. Tidak juga berpendapat bahwa status politik
adanya lagi kekuatan dominan, membuat Papua sebagai bagian integral Indonesia
Nusantara rapuh dan rentan. Pada periode telah selesai. Premis ini berdasar fakta
inilah berbagai pengaruh dan intervensi bahwa rakyat Papua melalui DMP telah
asing, baik secara fisik (perdagangan, memilih atau memutuskan bergabung dengan

78 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


Indonesia dalam Pepera. Oleh karena itu, ide berdasar cara pandang atau interpretasi
separatisme atau keinginan merdeka menjadi terhadap hukum internasional dan sejarah
satu persoalan yang tidak bisa ditoleransi, Papua. Contohnya Persetujuan New York
karena bertentangan dengan konstitusi. 1962 yang dalam prosesnya tidak melibatkan
Menurut golongan ini, keutuhan negara orang asli Papua sama sekali, sehingga
merupakan hal yang sakral. Dengan kata mereka merasa ditinggalkan. Hal yang sama
lain, masalah utama konflik Papua dilandasi terulang pada penentuan status politik Papua
pemikiran kaum nasionalis Indonesia terhadap melalui mekanisme Pepera tahun 1969. Kaum
konstruksi pemaknaan Papua sebagai wacana nasionalis Papua menganggap orang asli Papua
kolonial yang melegitimasi kehadiran tidak diberi tempat, karena dari 1.026 orang
Indonesia. Sayang pada saat bersamaan kaum perwakilannya di DMP, seluruhnya ditentukan
nasionalis Indonesia cenderung memandang pihak militer Indonesia. Secara keseluruhan,
rendah orang Papua. Hasil penelitian LIPI baik prosedur penentuan perwakilan DMP
(2004) memperkuat premis bahwa masalah maupun proses pelaksanaan Pepera dianggap
utama Papua karena perbedaan mendasar tidak fair, dan menghilangkan kesempatan
konstruksi nasionalisme Indonesia vs orang asli Papua untuk menentukan nasibnya
nasionalisme Papua.4 Thorning dan Kivimaki sendiri. Dengan kata lain, orang asli Papua
(2002) mengatakan bahwa sebagai sesama merasa tidak dilibatkan dalam proses
warga negara Indonesia, perbedaan ekonomi, pengambilan keputusan penting menyangkut
pendidikan dan budaya orang Papua telah masa depannya. Akibatnya, tidak sedikit
membedakan mereka pada wacana politik orang asli Papua memendam kekecewaan
dari orang-orang Indonesia lainnya. tentang proses integrasi Tanah Air mereka.
Kaum nasionalis Indonesia bisa saja
mengklaim bahwa sejarah integrasi, status Kekerasan Politik dan Pelanggaran HAM
politik dan identitas politik Papua telah Akar masalah kedua adalah kekerasan
final. Tapi tentu tidak demikian dengan kaum politik dan pelanggaran HAM yang disebabkan
nasionalis Papua, kelompok elite perlawanan oleh konstruksi nasionalisme Indonesia yang
yang menurut McGibbon (2006) kelahirannya didefinisikan secara militeristik. Oleh karena
dipicu janji-janji kosong kemerdekaan oleh itu, upaya mempertahankan keutuhan NKRI
Belanda. Tapi karena posisi tawar lemah, identik dengan perang melawan musuh. Bagi
Belanda cenderung enggan melanjutkan para nasionalis Indonesia yang umumnya
pembicaraan bertema kemerdekaan. telah tercekoki wacana patriotisme membabi
Walaupun usahanya mendeklarasikan buta, keutuhan NKRI adalah harga mati dan
kemerdekaan gagal, tapi semangatnya keinginan memisahkan diri dicap melanggar
tetap dipelihara oleh para nasionalis konstitusi. Konsepsi NKRI harga mati hingga
Papua kontemporer sebagai modal utama kini masih menjadi teks resmi penguasa
melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita (hegemonic official text) yang menjadi acuan
kemerdekaan. Kelompok inilah yang selama utama paham nasionalisme yang dianggap
ini dikenal gigih melakukan berbagai manuver paling sahih. Operasi Trikora yang digelar akhir
untuk membangun perlawanan. Antara lain tahun 1961 hingga pertengahan tahun 1962,
wacana kepapuaan berdasar perbedaan menyusul ditandatanganinya Persetujuan
ras, yaitu orang Papua ras Melanesia, dan New York 1962, dan kehadiran Pemerintah
orang-orang Indonesia lainnya ras Polinesia. Indonesia di bawah Orde Lama untuk pertama
Klaim rasial ini diperkuat dengan perbedaan kalinya sesudah itu, menandai babak baru
identitas politik dan identitas nasional dinamika politik Tanah Papua. Transisi rezim

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 79


dari Orde Lama ke Orde Baru tahun 1968, disebut teolog Jerman, J.B. Metz sebagai
praktis mengubah pula pola pendekatan dan “memoria passionis” atau ingatan kolektif
strategi pengelolaan Papua. Pada masa Orde tentang penderitaan berkepanjangan yang
Baru, kehadiran negara direpresentasikan dialami orang Papua akibat kekerasan. Lebih
militer, dan kepentingan negara identik jauh tindak kekerasan yang dialami orang
dengan kepentingan militer dengan rumusan Papua terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan
politik ala NKRI. Tidak aneh, aksi kekerasan psikologis, dan kekerasan struktural. Satu hal
politik dan pelanggaran HAM yang dilakukan yang pasti tindak kekerasan yang dilakukan
aparat selalu mampu dikemas dengan baik aparat keamanan baik pada masa Orde Baru
dan dijustifikasi sebagai tugas mulia TNI maupun sesudahnya, hingga kini masih tetap
dalam rangka mempertahankan NKRI. Oleh sulit diselesaikan melalui jalur hukum. Hal
karena itu, ketika kebijakan politik negara ini disebabkan logika negara yang masih
gagal memenuhi harapan rakyat, maka sangat diwarnai, atau didominasi konsepsi
tindakan mengkritik institusi negara artinya NKRI harga mati dan konstruksi nasionalisme-
mengkritik institusi militer. Akibatnya, setiap militer. Walaupun persoalan HAM telah diatur
aksi protes yang dilakukan rakyat Papua dalam Undang-Undang dan diberi ruang yang
terhadap kebijakan negara yang tidak sesuai cukup dalam wacana politik nasional, namun
dihadapi dengan pendekatan keamanan. tetap saja wacana tersebut hanya menjadi
Apalagi gerakan separatisme yang terang- jargon yang baru sebatas diteriakkan. Tidak
terangan dilakukan Organisasi Papua Merdeka heran, berbagai kasus pelanggaran HAM dan
(OPM). Walaupun Orde Baru telah runtuh dan tindak kekerasan dalam kamus politik NKRI
pengaruhnya memudar, tapi karakteristiknya ditempatkan pada posisi minor, atau bahkan
sebagai rezim militeristik yang bercirikan tidak dikenal.
cara-cara kekerasan terhadap rakyat Papua di
daerah tertentu masih sangat kental. Kegagalan Pembangunan Papua
Pastinya terdapat perubahan pola Akar masalah ketiga adalah kegagalan
aksi-reaksi seputar kekerasan politik dan pembangunan Papua. Selain faktor politis
pelanggaran HAM pasca-Orde Baru. Pertama, sebagaimana telah diuraikan, penelitian
setiap operasi militer yang digelar untuk LIPI (2004) menunjukkan bahwa kegagalan
menumpas aksi separatisme pasti dipersoalkan pembangunan Papua dan disparitas ekonomi
kalangan LSM dan gereja yang membuat citra yang terjadi dipengaruhi banyak faktor,
TNI makin terpuruk. Kedua, perjuangan politik antara lain masih adanya konflik kepentingan
menuntut kemerdekaan Papua, kini diambil para amber (kaum pendatang), diskriminasi
alih kaum intelektual dan tokoh-tokoh gereja. kebijakan, serta eksploitasi budaya dan
Menyikapi dinamika perubahan tersebut sumber daya alam Papua. Disahkannya UU No.
sayangnya Pemerintah dan TNI cenderung 21/2001 tentang Otsus Papua ternyata juga
statis. Akibatnya pola pendekatan dan tidak menjamin keberhasilan pembangunan
strategi penanganan yang diterapkan tidak yang tujuan utamanya untuk meningkatkan
mengalami perubahan berarti. Contohnya, taraf hidup rakyat Papua. Indikasinya terlihat
pengiriman pasukan selalu menjadi opsi pada tingkat pertumbuhan ekonomi pra dan
pertama untuk merespons indikasi apapun pasca-Otsus diterapkan. Menurut sumber
yang mengarah pada gerakan separatisme. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua
Walhasil pasca-reformasi kekerasan politik 2006, pertumbuhan ekonomi pra-Otsus dari
dan pelanggaran HAM tidak mengalami tahun 1995, 1996, 1997, 1998 beturut-turut
penurunan. Inilah yang memicu apa yang mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, 12,72%.

80 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


Sementara pasca-Otsus dari tahun 2002, 2003, (2006) menunjukkan bahwa jumlah penduduk
2004 beturut-turut hanya mencapai 8,7%, asli Papua mencapai 1.460.846 orang pada tahun
2,96%, 0,53%. Fakta tersebut menunjukkan 2006. Secara ekonomi, posisi penduduk asli Papua
bahwa pembangunan ekonomi lebih banyak berada dalam posisi termarjinalkan. Buktinya pada
dilakukan sebelum daripada sesudah Otsus. tahun 2003, kota-kota provinsi, kabupaten, dan
Ironis, mengingat kebijakan Otsus dibuat kota mayoritas (90%) dihuni kaum pendatang yang
untuk memacu pembangunan Papua.5 Selain menguasai sebagian besar (90%) perekonomian,
persoalan ekonomi, kondisi pendidikan dan perdagangan, tenaga kerja, transportasi, kantor-
kesehatan di Papua tidak jauh berbeda. kantor swasta, dan bisnis lainnya (Kompas/23
Tahun 2005 tingkat buta huruf masyarakat Februari 2003). Itulah penyulut kecemburuan
Papua mencapai 410.000 orang. Sementara sosial antara penduduk asli dan pendatang yang
rata-rata lama sekolah tahun 2003 hanya rawan dipolitisasi dan diprovokasi.
mencapai enam tahun. Dengan kata lain, rata- Dalam analisisnya McGibbon (2004)
rata tingkat pendidikan masyarakat Papua menyebut bahwa program pembangunan
hanya setingkat Sekolah Dasar. Sedangkan Orde Baru dalam beberapa segi memicu
alokasi dana untuk sektor pendidikan tahun menguatnya identitas kepapuaan. Antara lain
2005 mencapai 12,2% dari total dana Otsus. kebijakan migrasi yang membuat sentimen
Keseriusan pemerintah pada sektor kesehatan anti-Indonesia makin menguat. Hal senada
juga tergolong rendah. Bulan Januari 2003 diungkapkan Rumbiak dan Manning (1989),
tercatat 1.400 orang Papua mengidap HIV/ yaitu bahwa integrasi ekonomi kota-kota di
AIDS (Kompas/23 Februari 2003). Tidak heran Papua dan Indonesia Timur menyebabkan
proporsi penduduk Papua yang hanya1% buruh murah berbondong-bondong membanjiri
dari total penduduk Indonesia, tapi angka Papua. Ini yang membuat penyerapan tenaga
penderita HIV/AIDS mencapai 30% dari total kerja orang asli Papua sangat kurang.
penderita HIV/AIDS seluruh Indonesia tahun Bukti, permasalahan pembangunan bukan
2004. karena faktor dana, karena alokasi dana
Rendahnya pertumbuhan ekonomi justru pembangunan Papua jauh lebih tinggi
ketika Otsus diberlakukan, berdampak pada dibanding daerah-daerah lain di Indonesia.
meningkatnya jumlah penduduk miskin. Bagaimanapun kebijakan pembangunan Papua
Menurut sumber BPS Papua 2006, dari telah memacu berkembangnya investasi
2.556.419 orang penduduk Papua tahun 2004, dan penyerapan tenaga kerja di daerah
angka penduduk miskin mencapai 43%. Artinya, perkotaan, seperti Jayapura dan Sorong.
jumlah keluarga yang berkategori keluarga Tapi harus diakui dampaknya memang belum
miskin juga bertambah. Berdasar rilis Kepala terasa hingga pedalaman. Namun demikian
BPS Papua, tercatat 47,99% keluarga di Papua kebijakan pembangunan Orde Baru tidak
dan 36,85% keluarga di Irian Jaya Barat pada bisa dikatakan gagal juga karena terbukti
Maret 2006 dikategorikan sebagai keluarga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
miskin (Elsham News Service/6 September Papua cukup signifikan. Persoalannya adalah
2006). Selain itu, desa-desa di Papua juga bahwa pembangunan yang dilaksanakan
termasuk berkategori desa miskin atau desa dalam pandangan rakyat Papua tak lebih
tertinggal. Mayoritas desa, atau tepatnya sebagai cara negara memarjinalisasi rakyat
82,83% desa di Papua dan 81,29% desa di Papua. Wacana pembangunan juga dituding
Papua Barat merupakan desa tertinggal (Sinar hanya sebagai taktik negara memaksakan
Harapan/12 September 2006). Data BPS Papua sistem kapitalisme yang ujungnya eksploitasi
2006, sebagaimana dikutip dalam penelitian LIPI sumber alam Tanah Papua. Secara objektif

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 81


marjinalisasi rakyat Papua dan eksploitasi ketua. Setelah melalui pembahasan cukup
sumber alamnya bukanlah sebuah kegagalan alot selama tiga bulan, RUU tersebut disahkan
pembangunan. Di mata rakyat Papua, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal
secara denotatif pembangunan bukan untuk 20 Oktober 2001. Dua orang paling berjasa atas
meningkatkan kesejahteraan, tapi instrumen lahirnya UU Otsus adalah Gubernur Papua,
untuk meminggirkan. Bagi sebagian rakyat Jaap Solossa dan Ketua DPR Papua, John
Papua, pembangunan adalah terminologi Ibo. Sayang pihak-pihak yang terusik dengan
yang mengandung watak kekerasan. Tidak hadirnya UU No. 21/2001 tentang Otsus
heran, karena memang kaum pendatanglah terus melakukan berbagai manuver untuk
yang lebih banyak menikmati manisnya buah menggagalkan Undang-Undang tersebut.
pembangunan. Akhir dari pertarungan ini ialah keluarnya
Inpres No. I/2003 tentang Implementasi UU
Inkonsitensi Kebijakan Jakarta No. 45/1999 yang mengatur pemekaran Irian
Akar masalah keempat adalah Jaya menjadi tiga provinsi, yaitu Irian Jaya
inkonsistensi kebijakan Jakarta, atau Timur, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat.
tepatnya inkonsistensi kebijakanan Otsus Kelompok Solossa menengarai beberapa LSM
oleh Pemerintah Pusat. Menurut penelitian lokal, seperti Papua Watch dan putra daerah,
LIPI (2004), proses politik yang berujung seperti Dicky Asmuruf - mantan Sekda Provinsi
pada lahirnya UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua - yang waktu itu menempati posisi
berjalan alot, penuh liku, dan dramatis. cukup strategis di Depdagri, berada di balik ide
Berawal dari pertarungan politik dalam Dialog pemekaran. Di tingkat Jakarta, dua pejabat
Nasional tahun 1999 di mana rakyat Papua paling terkait soal Papua, Mendagri Hari
melalui Tim 100 menyampaikan tuntutan Sabarno dan Kepala BIN A.M. Hendroprijono,
kemerdekaan kepada Presiden B.J. Habibie. bukannya mendorong Pemerintah supaya
Sebagai presiden, B.J. Habibie berkonsultasi komit pada keputusan, yaitu UU No. 21/2001,
sekaligus meminta bantuan DPR RI hasil sebaliknya mendukung ide pemekaran yang
Pemilu 1999 mencari solusi damai. Hasilnya akhirnya melahirkan Provinsi Irian Jaya Barat.
tidak lain Otsus. Dalam Sidang Umum MPR Secara hukum terjadi benturan perundang-
tanggal 12-21 Oktober 1999, para anggota undangan antara UU No. 45/1999 dan UU
DPR khususnya orang asli Papua, seperti No. 21/2001 karena dalam Pasal 76 UU No.
Jaap Solossa, Ruben Gobay, dan Tony Rahail 21/2001 disebutkan bahwa pemekaran
berusaha memasukkan Otsus dalam TAP MPR Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi bisa
Nomor 4/1999 tentang GBHN 1999-2004. Draf dilakukan hanya dengan persetujuan Majelis
Otsus dibuat ketika Jaap Solossa menjabat Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Itupun
Gubernur Papua tanggal 23 November dengan catatan telah mempertimbangkan
2000 dengan memerintahkan Universitas aspek kesatuan sosial budaya. Secara politik,
Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Negeri pemaksaan terhadap pemberlakuan UU No.
Papua (UNIPA). Bulan April 2001, Rektor 45/1999 bisa diartikan sebagai upaya untuk
Uncen menyerahkan draf ke-14 (terakhir) menggagalkan pelaksanaan UU No. 21/2001.
kepada Gubernur yang selanjutnya diserahkan Artinya, Pemerintah telah melakukan
kepada Presiden dan DPR. Gubernur Solossa pengingkaran komitmen yang dibuatnya
membentuk Tim Asistensi RUU Otsus untuk sendiri. Inkonsistensi tersebut tentu saja
mengawal perjalanan RUU tersebut hingga ke memantik munculnya beragam persoalan
Jakarta. Tanggal 19 Juli 2001 DPR membentuk yang menambah pelik permasalahan.
Pansus RUU Otsus dengan Sabam Sirait sebagai Persoalan baru masa Otsus pasca-berlakunya

82 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


UU No. 45/1999, antara lain penyalahgunaan itulah yang diduga hanya menguntungkan
anggaran; tidak tersalurkannya aspirasi segelintir elite lokal yang menduduki
orang Papua melalui MRP; meningkatnya jabatan, SDM luar daerah, dan pengusaha
libido pemekaran provinsi/kabupaten; dan pendatang. Persoalan lain adalah munculnya
meningkatnya potensi konflik horizontal konflik horizontal sesama orang Papua karena
berlatar belakang suku dan agama. Dalam agama. Contohnya demonstrasi penolakan
jangka pendek persoalan tersebut memang pembangunan Masjid Raya Manokwari tahun
tidak muncul ke permukaan, tapi untuk 2005 dan pembangunan kampus Sekolah
jangka panjang dipastikan akan menjadi Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al-Fatah
sumber konflik baru. Jayapura tahun 2008.
Terkait dugaan penyalahgunaan
anggaran, laporan BPK Provinsi Papua Efektivitas Strategi Penanggulangan
tahun 2007 menyebutkan bahwa MRP telah Gangguan Keamanan
memberikan tunjangan melebihi ketentuan Akar masalah kelima adalah efektivitas
sesuai Permendagri sebesar Rp40 miliar tahun strategi penanggulangan gangguan keamanan.
2006. Juga dugaan penyalahgunaan anggaran Insiden pembunuhan 28 pekerja proyek jalan
pembangunan rumah dinas DPRP sebesar Rp5 Trans Papua akhir tahun lalu, tepatnya tanggal
miliar. Demikian pula penggunaan dana-dana 2 Desember 2018 oleh KKB di Kabupaten
publik yang tidak sesuai prioritas berdasar UU Nduga kembali mengingatkan kita akan bara
No. 21/2001. Sayangnya kasus-kasus tersebut persoalan yang ternyata masih menyala
seperti menguap begitu saja. Rumor yang di Tanah Papua. Catatan menunjukkan,
berkembang, hal tersebut sengaja dibiarkan kekerasan oleh aparat keamanan di Papua
sebagai kompensasi dukungan politik para terjadi sejak awal tahun 1960-an, atau
pejabat Pemprov Papua dan DPRP terhadap sebelum Operasi Trikora digelar. Namun
kebijakan Jakarta. Selain itu, aspirasi ingin demikian baru pada pertengahan tahun 1980-
menjadikan Bintang Kejora dan Burung an aksi kekerasan politik tersebut mencuat
Mambruk sebagai bendera dan simbol budaya ke permukaan. Dan pada dekade 1990-an,
yang justru direspons dengan keluarnya PP sejak kasus pelanggaran HAM di Tembagapura
No. 37/2007 yang berisi larangan penggunaan tahun 1994-1995an terkuak, isu kekerasan
simbol-simbol budaya daerah. Padahal bagi politik dan pelanggaran HAM mulai banyak
orang Papua, menurut MRP, bendera Bintang dibicarakan, bahkan menjadi wacana publik
Kejora dan Burung Mambruk hanyalah simbol nasional. Seiring menguatnya tuntutan
budaya. Tapi Jakarta menganggap Bintang kemerdekaan Papua pasca-otorianisme
Kejora dan Burung Mambruk adalah simbol Suharto tahun 1998, kekerasan politik juga
gerakan separatis. Bukti, upaya rekognisi kian marak. Rentang waktu tahun 1998-
terhadap identitas politik orang Papua 2006 adalah periode terburuk yang penuh
belum dipandang sebagai upaya memberi catatan aksi kekerasan politik oleh TNI dan
ruang yang cukup bagi berkembangnya Polri. Sebelum itu, yaitu periode antara
identitas kepapuaan dalam keindonesiaan. tahun 1965-1998, operasi militer yang digelar
Sementara, wacana pemekaran beberapa adalah dalam rangka memberangus gerakan
kabupaten, seperti pembentukan Kabupaten separatis OPM yang beroperasi di hutan-hutan
Asmat, dianggap hanya memicu persoalan dan daerah pedalaman Papua. Setelah itu,
baru karena minimnya persiapan, seperti tahun 1980-an sejumlah operasi digelar di
infrastruktur/sarana prasarana, SDM, dan beberapa kota, salah satunya Jayapura untuk
permodalan. Model-model pemekaran seperti memutus jaringan gerakan mereka. Sejak

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 83


tahun 1998 tindakan represif TNI dan Polri sekitar areal tambang PT Freeport Indonesia.
tidak jarang juga terjadi di daerah perkotaan Pada era ini pula terjadi pembunuhan,
karena tuntutan kemerdekaan sering kali penangkapan, dan penahanan sewenang-
diekspresikan dengan cara mengarak bendera wenang terhadap orang-orang yang kritis
Bintang Kejora di jalan-jalan di kota-kota terhadap pemerintah. Terbunuhnya pimpinan
Papua. Seperti biasa jumlah korban simpang grup musik Mambesak, Arnold C. Ap terjadi
siur, bervariasi antara 100 ribu - 500 jiwa. pada periode ini.
Kekerasan di Papua secara umum Rentetan aksi kekerasan dalam operasi
terbagi dalam tiga gelombang. Pertama, militer itulah yang disebut Robin Osborne
kekerasan tahun 1961-1969. Ini adalah sebagai “Perang Rahasia” Indonesia di Papua.
babak awal hadirnya kekuasaan Indonesia di Horor yang lebih dikenal publik Indonesia
Papua. Kekerasan tak terhindarkan akibat sebagai DOM tersebut berakhir tergilas
operasi militer dalam rangka misi penyusupan gelombang reformasi tahun 1998. Pencabutan
(infiltrasi) Operasi Trikora dan konsolidasi status DOM diumumkan Panglima TNI, Jenderal
kekuatan untuk menggalang dukungan TNI Wiranto pada Agustus 1998. Sayang
menjelang Pepera tahun 1969. Korban walaupun status DOM telah dicabut, tapi
kekerasan umumnya tokoh-tokoh Papua yang bukan berarti kekerasan berhenti. Satu hal
berdomisili di perkotaan. Di sinilah gerakan yang pasti, belum terlihat tanda-tanda atau
perlawanan terhadap Indonesia secara terbuka niat Pemerintah melakukan upaya investigasi.
mulai dikobarkan. Perlawanan dilakukan Padahal investigasi adalah langkah penting
secara politik di kota-kota dan bersenjata di yang dapat memberi gambaran komprehensif
hutan atau daerah pedalaman. Sejak itulah aksi kekerasan yang dilakukan secara terus-
perlawanan tersebut dinamai Organisasi Papua menerus oleh aparat keamanan terhadap
Merdeka (OPM). Kedua, kekerasan dalam rakyat Papua. Terutama tindakan keji
rangka mempertahankan kehadiran Indonesia terhadap kelompok yang selama ini distigma
yang berlangsung antara tahun 1970-1977. sebagai musuh atau ancaman terhadap negara
Kekerasan ini bertujuan untuk meredam (Indonesia). Juga belum ada penjelasan objektif
perlawanan terhadap hasil Pepera dan dan layak dipercaya tentang siapa sebenarnya
menyiapkan keamanan menyambut kehadiran pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
PT Freeport Indonesia di Papua. Selain itu berbagai aksi kekerasan. Artinya belum ada
juga untuk memastikan kemenangan Golkar kejelasan, apakah hal tersebut menjadi
pada Pemilu 1971 dan 1977. Ketiga, kekerasan tanggung jawab militer secara kelembagaan
yang identik dengan masa berlakunya Daerah atau perorangan dalam hal ini para komandan
Operasi Militer (DOM) antara tahun 1978-1998. atau individu di tingkat lapangan. Tentu juga
Ciri khas kekerasan selama 20 tahun masa klarifikasi di mana sesungguhnya posisi pihak
DOM adalah meluasnya kekerasan hingga ke sipil seperti Golkar yang mendominasi birokrasi
kampung-kampung dengan dalih membasmi dan DPRD Papua pada periode waktu tersebut.
OPM. Pada masa DOM inilah diduga kuat Tidak ketinggalan pula peran gerakan-gerakan
telah terjadi banyak pelanggaran HAM. Baik perlawanan seperti OPM dalam rangkaian
pengungsian secara besar-besaran ke Papua aksi kekerasan tersebut. Dari uraian tersebut
Nugini maupun pembunuhan dan penghilangan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi
orang. Selama berstatus DOM operasi militer penanggulangan gangguan keamanan sebagai
dilaksanakan dalam skala kecil di hampir bagian dari upaya penyelesaian konflik Papua
seluruh wilayah Papua. Namun yang paling secara damai, adil dan bermartabat tidak
banyak mengalami kekerasan adalah daerah di efektif sehingga hasilnya jauh dari harapan.

84 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


Alternatif Solusi Konflik Papua Indonesia dan Papua, para elite Jakarta dan
Mencermati kompleksitas permasalahan Papua khususnya akan tetap terbelah, dan
dan tidak efektifnya semua strategi yang gagal membangun masa depan bersama.
diterapkan, tiba saatnya kita mencari cara Setiap akar masalah konflik Papua yang
lain sehingga konflik Papua bisa segera didialogkan pada dasarnya sangat penting
diakhiri. Berdasar pengalaman konflik Aceh dan harus dipahami dengan benar oleh
dan banyak konflik lain di dunia, jalan masing-masing pihak, khususnya menyangkut
satu-satunya menuju penyelesaian konflik sejarah dan status politik Papua. Selama
Papua secara damai, adil dan bermartabat ini hubungan Jakarta - Papua terhalang
tidak lain adalah duduk bersama atau ‘tembok tebal’ perbedaan konstruksi sejarah
berunding, apapun namanya musyawarah tersebut. Oleh karena itu, perlu kesadaran
atau dialog. Selain menjadi bagian dari dan jiwa besar masing-masing pihak karena
kebenaran absolut sejarah tak akan pernah
proses trust building, tujuan utama dialog
bisa ditemukan. Di sinilah saling pengertian
adalah membangun suasana damai dan
akan peran dan posisi masing-masing menjadi
kondusif untuk mencari titik temu atas silang
sangat penting karena akan menjadi pemandu
pendapat atau pertentangan Jakarta - Papua,
arah menuju kesepakatan mengakhiri
sekaligus merumuskan dan menyepakati jalan
tahap konflik, dan selanjutnya memasuki
keluarnya. Contohnya dialog Pemerintah
tahap baru pasca-konflik. Perlu dicatat,
Indonesia dan GAM yang difasilitasi mantan
perbedaan konstruksi sejarah integrasi
Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari dari Papua selama ini belum pernah dibahas
Crisis Management Initiative (CMI) yang atau dinegosiasikan kedua pihak. Akibatnya
akhirnya melahirkan Nota Kesepahaman stigmatisasi dan ketidakpercayaan satu pihak
atau Memorandum of Understanding (MoU) terhadap pihak lain makin kuat. Demikian
Helsinki 2015. Cara tersebut mungkin pula ketidakpercayaan antarlembaga dan
bisa menjadi model bagaimana konflik masyarakat baik di Jakarta maupun Papua.
Papua kelak bisa diakhiri. MoU diperlukan Ketidaksolidan ini sangat berpengaruh,
karena itulah jalan bagi para elite Jakarta bahkan membelah kalangan orang sipil asli
dan Papua menuju kesepakatan bersama Papua sendiri. Pastinya perbedaan konstruksi
untuk menyusun Undang-Undang baru guna yang diametral ini juga berimbas pada
memperbaiki UU No. 21/2001 tentang Otsus konstruksi pemahaman identitas kepapuaan
yang pincang, bahkan dianggap telah mati dan keindonesiaan. Seperti telah dijelaskan,
oleh orang Papua. Dengan kata lain, semua kaum nasionalis Papua menganggap sejarah
kesepakatan yang telah dicapai akan masuk integrasi Papua ke Indonesia tidak sah karena
dalam Undang-Undang baru tersebut. Melihat dalam proses Persetujuan New York 1962
kondisi faktual Papua hari ini, tak diragukan orang asli Papua tidak dilibatkan. Demikian
lagi provinsi paling timur Indonesia tersebut pula pada penentuan status politik Papua
memerlukan lahirnya Undang-Undang baru melalui Pepera. Sementara kaum nasionalis
seperti UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Indonesia mengklaim pro-kontra sejarah
integrasi dan status politik Papua tidak
Aceh. Berdasar premis ini, dialog menjadi
relevan lagi karena sebagai jajahan wilayah
sangat penting dan relevan. Tanpa dialog,
Hindia Belanda dengan sendirinya Papua
revisi UU No. 21/2001 akan sia-sia belaka
menjadi bagian integral Indonesia. Belum
karena permasalahan yang sama akan
lagi bila kita melihatnya dari rentang sejarah
terulang di Undang-Undang tentang Otsus
yang lebih panjang, ketika Papua masih di
Papua yang baru. Tanpa dialog, masyarakat
bawah kekuasaan Sriwijaya abad ke-8.

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 85


Namun demikian kita perlu belajar PENUTUP
dari pengalaman Dialog Nasional Papua di Kesimpulan
Jakarta tahun 1999 yang berujung kegagalan. Dari perspektif yang lebih ideologis,
Dalam dialog tersebut, Presiden B.J. Habibie kompleksitas permasalahan Papua secara
didampingi sejumlah pejabat bertemu Tim substansial sebenarnya hanya persoalan
Seratus di bawah pimpinan Tom Beanal. seputar pemahaman dan relasi konsep
Dialog adalah metode umum paling efektif keindonesiaan dan kepapuaan. Parameternya
untuk menyelesaikan konflik. Tapi tingkat bisa diselisik dari jawaban apakah konsep
keberhasilannya sangat ditentukan faktor keindonesiaan telah dibangun dengan
pengalaman, keahlian dan pemahaman makna memberi ruang yang lebih adil dan ramah
dialog para pesertanya. Pastinya kegagalan
bagi tumbuhnya konsep kepapuaan sehingga
dialog tersebut 20 tahun lalu adalah bukti
proses inklusi kedua pihak berkembang secara
bahwa definisi dan makna dialog belum
mutual? Konsep keindonesiaan kontemporer
sepenuhnya dipahami para pihak. Dialog
sangat ditentukan oleh kepiawaian para
bukanlah pertemuan massal tiba-tiba yang
pemimpin Indonesia dalam menyelesaikan
diikuti sekian puluh atau ratus orang dan dalam
konflik Aceh dulu dan Papua kini. Indonesia
satu kali pertemuan semua persoalan beres.
Baru yang lebih adil dan ramah terhadap
Para pihak harus menyadari bahwa dialog
adalah sebuah proses panjang dan tidak jarang konsep keacehan telah lahir dan kini tengah
berseri yang membutuhkan pemahaman dan tumbuh di Bumi Aceh. Semangat, optimisme
toleransi tinggi atas setiap perbedaan kultur dan peluang yang sama akan tumbuh pula
politik kedua pihak. Dialog konflik Papua di Tanah Papua. Sebagaimana Aceh, Papua
khususnya, memprasyaratkan empat prinsip juga menjadi bagian penting dari konstruksi
dasar dialog, yaitu (1) kesetaraan (equality); keindonesiaan. Sukarno mengatakan bahwa
(2) kejujuran (honesty); (3) keterbukaan Papua adalah bab terakhir perjuangan
(openness); dan (4) ketulusan (sincerity). Indonesia melawan Belanda. Perjuangan
Penghargaan terhadap prinsip tersebut Indonesia melawan kolonialisme praktis
merefleksikan pengakuan atau rekognisi atas selesai menyusul diserahkannya Papua ke
adanya persoalan di Papua. Rekognisi adalah Indonesia melalui UNTEA tahun 1963. Sayang
faktor sangat esensial bagi tercapainya dalam perjalanannya, konsep keindonesiaan
rekonsiliasi di Papua. Sebaliknya, pengabaian dihadirkan dan dibangun dengan cara yang
terhadap prinsip tersebut akan berakibat salah.
tidak efektifnya dialog, bahkan deadlock. Selama lebih dari lima dekade
Mengingat kompleksitas permasalahan, dialog kekuasaan Indonesia di Papua - terutama
Papua perlu dirancang secara bertingkat dan pada masa Orde Baru - Indonesia hadir dengan
berlanjut, yaitu (1) dialog informal antarelite banyak memasang wajah garang. Indonesia
Papua; (2) dialog antarkelompok masyarakat hadir dengan wajah yang tidak memungkinkan
Papua; (3) dialog nasional pemerintah pusat
legitimasi politik Jakarta tumbuh dan kuat di
dan wakil masyarakat Papua; (4) dialog
Tanah Papua. Indonesia hadir dalam bentuk
internasional wakil Pemerintah Indonesia
pos-pos militer, kekerasan, ketidakadilan,
dan wakil masyarakat Papua yang dimediasi
marjinalisasi, kegagalan pembangunan,
pihak internasional. Pelibatan mediator
dan sejarah pengingkaran terhadap hak-
atau fasilitator dari kalangan internasional
hak dasar orang asli Papua. Indonesia gagal
yang netral, memiliki reputasi, dan tidak
memerankan dirinya sebagai sosok guru-guru
berkepentingan langsung dengan konflik Papua
penting artinya bagi keberhasilan dialog. SD yang penuh kasih sayang mengantarkan
anak-anak di pedalaman Papua untuk bisa

86 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


menatap masa depan. Indonesia gagal melalui proses dialog yang menghasilkan
merangkul LSM dan gereja untuk bersama- MoU Helsinki 2015, selanjutnya UU No.
sama menyiapkan SDM Papua berkualitas. 18/2001 tentang Otsus Aceh diperbaharui
Indonesia gagal merepresentasikan dirinya dengan UU No. 11/2006 tentang
sebagai dokter dan mantri yang penuh Pemerintahan Aceh.
dedikasi dan rela berkorban. Indonesia gagal
mengakomodasi konsep kepapuaan dalam DAFTAR PUSTAKA
keindonesiaan yang indah dan beragam. Adams, Cindy. 2018. Bung Karno Penyambung
Indonesia gagal memberikan perlindungan Lidah Rakyat. Jakarta: Yayasan Bung
dan rasa aman bagi warga negaranya orang Karno - PT Media Pressindo.
asli Papua. Indonesia lupa pada ajaran bijak Aditjondro, George Junus. 2000. Cahaya
tinggalan leluhur Nusantara “Ngluruk tanpo Bintang Kejora. Jakarta: ELSAM.
bolo - Menang tanpo ngasorake.” Wajar kita Amiruddin dan Aderito Soares. 2003.
gagal memenangkan hati dan pikiran rakyat Perjuangan Amungme antara Freeport
dan Militer. Jakarta: ELSAM.
Papua.
Amiruddin. 2006. “Operasi-operasi Militer di
Papua: Pagar Makan Tanaman?” dalam
Saran
Jurnal Penelitian Politik, LIPI, Vol. 3, No.
1. Kompleks dan beratnya tantangan,
1, hal. 3-23.
menuntut perjalanan menuju Papua
Andrianto, Tuhana Taufiq. 2001. Mengapa
Baru harus diawali dengan tekad dan
Papua Bergolak? Yogyakarta: Gama Global
keberanian kedua pihak merobohkan
Media.
“tembok tebal” yang menjadi penghalang Bappeda Papua. 2006. Profil Pembangunan
hubungan Jakarta - Papua. Daerah Provinsi Papua Tahun 2006.
2. Duduk bersama atau berunding yang Biro Pusat Statistik Provinsi Papua. 2008. Berita
dalam kajian ini disebut dialog adalah Resmi Statistik: Keadaan Kemiskinan di
cara paling efektif mengakhiri hubungan Provinsi Papua.
politik yang antagonistis menjadi Chauvel, Richard dan Ikrar Nusa Bhakti.
kooperatif. 2004. The Papua Conflict: Jakarta’s
3. Dialog adalah instrumen yang dapat Perceptions and Policies, East-West
mendorong perubahan pola hubungan Center, Washington.
dari tahap konflik menuju tahap pasca- Chauvel, Richard. 2005. Constructing
konflik. Pada titik inilah konflik dapat Papua Nationalism: History, Etnicity
dinyatakan berakhir. Stigma separatis dan and Adaptation, East-West Center,
saling curiga dapat dihilangkan. Tanpa Washington.
dialog, masyarakat Indonesia dan Papua, Departemen Dalam Negeri RI. 2003. Tinjauan
khususnya elite Jakarta dan Papua akan tentang Eksistensi Kebijakan Umum
terus terbelah dan gagal membangun Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Depdagri.
masa depan bersama. Departemen Luar Negeri RI. 1998. Sejarah
4. Format hubungan politik dapat disegarkan Kembalinya Irian Jaya ke Pangkuan
kembali melalui jalan kompromi dan Republik Indonesia. Jakarta: Direktorat
Organisasi Internasional.
kesepakatan yang dituangkan dalam
Heidbuchel, Esther. 2007. The West Papua
Undang-Undang baru sebagai perbaikan
Conflict in Indonesia: Actors, Issues and
dari UU No. 21/2001 tentang Otsus yang
Approaches. Wettenberg: Johannes
pincang, bahkan dianggap telah mati.
Hermann J & J Verlag.
Seperti halnya konflik Aceh, setelah

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 87


Husain, Farid. 2007. To See the Unseen: daan ras, kekhawatiran dimusnahkan
Scenes Behind the Aceh Peace Treaty. vs kekhawatiran disintegrasi, ketida-
Jakarta: Health and Hospital Indonesia. kpercayaan orang Papua terhadap Pe-
Kamma, F.Ch. 1972. Koreri: Messianic merintah vs ketidakpercayaan Pemerin-
Movements in the Biak-Numfor Culture tah terhadap orang Papua); Issue Level
Area. The Haag: Martinus Nijhoff.
(inkonsistensi kebijakan, pelanggaran
Kivimaki, Timo dan Rubern Thorning. 2002.
HAM, korupsi); Demand Level (integritas/
“Democratization and Regional Power
persatuan nasional vs tuntutan merdeka/
Sharing in Papua/ Irian Jaya: Increased
pelurusan sejarah); Compromise Level
Opportunities and Decreased Motivations
for Violence,” dalam Asian Survey, Vol. (Otonomi Khusus). Tapi deskripsi seperti
XLII, No. 4. itu kurang menjawab akar permasalahan
Manning, Chris dan Michael Rumbiak. 1989. konflik Papua.
Economic Development, Migrant Worker 3. C.L.M. Penders, The West New Guinea
and Indigeneous Labour in Irian Jaya Debacle: Dutch decolonization and In-
1970-1984. Canberra: National Center for donesia 1945-1962 (Leiden: KITLV, 2002),
Development Studies - Australia National hal. 287.
University. 4. Menurut Thorning dan Kivimaki (2002),
McGibbon, Rodd. 2006. Pitfalls of Papua: bagi kaum nasionalis Indonesia, orang
Understanding the conflict and its place in
Papua tanpa memandang suku, agama,
Australia - Indonesia relations. Paper No.
dan ras termasuk orang Indonesia karena
13 pada Lowy Institute for International
mereka termasuk orang yang tinggal da-
Policy, Australia.
lam wilayah eks-Hindia Belanda dan men-
Osborn, Robin. 2001. Kibaran Sampari:
Gerakan Pembebasan OPM dan Perang galami pengalaman yang sama pada masa
Rahasia di Papua Barat. Jakarta: ELSAM. penjajahan. Konstitusi Indonesia tidak
Penders, C.L.M. 2002. The West New Guinea memandang adanya pengkhususan bagi
Debacle: Dutch Decolonization and suku, agama, dan ras dalam kaitannya
Indonesia 1945-1962. Leiden: KITLV. dengan hak-hak politik karena perbedaan
suku, agama, dan ras adalah unsur-unsur
Endnotes pembentuk kesatuan sebagaimana ter-
1. Orang Papua yang dimaksud dalam tulisan maktub dalam UUD 1945. Para nasion-
ini adalah orang Papua asli sebagaimana alis Indonesia juga berpendapat bahwa
dimaksud dalam UU No. 21/2001, yaitu status politik Papua telah selesai karena
orang yang berasal dari suku ras Melane- perwakilan-perwakilan orang Papua telah
sia. Namun secara konseptual, merujuk memilih bergabung dengan Indonesia da-
pada Hall (dalam Woodward 1999 dan lam Pepera 1969 sebagaimana ditentukan
Bourdieu 1991), terminologi asli/ tidak dalam Persetujuan New York 1962. Bagi
asli bukan merupakan kategori fisik, tapi kelompok ini, gagasan separatisme ada-
konstruksi politik dalam pertarungan lah tindakan yang bertentangan dengan
kekuasaan. hukum karena keutuhan negara merupa-
2. Esther Heidbuchel (2007:158) membagi kan hal yang sakral.
konflik Papua dalam empat tingkatan: 5. Selain persoalan ekonomi, kondisi pendi-
Subjective Level (perbedaan stereotip dikan dan kesehatan di Papua juga ma-
orang Papua vs orang Indonesia, perbe- sih memprihatinkan. Tinggi angka buta

88 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019


huruf di Papua mencapai 410.000 orang
tahun 2005. Rata-rata lama sekolah ta-
hun 2003 adalah enam tahun. Artinya,
tingkat pendidikan rata-rata di Papua
hanya setingkat Sekolah Dasar. Padahal
alokasi dana Otsus sektor pendidikan ta-
hun 2005 mencapai 12,2%. Perhatian Pe-
merintah terhadap sektor kesehatan juga
tergolong masih sangat rendah. Bulan
Januari 2003, tercatat 1.400 orang Papua
mengidap HIV/AIDS (Kompas/ 23 Februari
2003). Proporsi penduduk Papua terhadap
Indonesia hanya 1%, tapi ironisnya jumlah
penderita HIV mencapai 30% dari total
jumlah penderita HIV di seluruh Indonesia
pada Desember 2004.

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 37 | MARET 2019 89

Anda mungkin juga menyukai