Anda di halaman 1dari 4

Pepera 1969, Satu ”Manipulasi 

Sejarah”
Temuan Prof Drooglever (I)
Pepera 1969, Satu ”Manipulasi Sejarah”

JAKARTA —Penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 suatu “manipulasi sejarah”. Demikian
kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den Haag, 15
November 2005, dengan membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van
Westelijk Nieuw Guinea , en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht” (tindakan bebas
memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas penentuan nasib sendiri).
Karya ilmiah setebal 700 halaman dengan 14 bab itu dimulai tahun 1999 atas perintah Menlu
Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh parlemen Belanda. Penugasan kepada sang
profesor sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama yang dimotori oleh
Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.
Gerakan politik tadi mendapat angin segar setelah Gus Dur berkunjung ke Belanda pada Februari
2000. Gus Dur sebagai Presiden, dengan wawasan politik yang luas dan demokratis, telah
mengubah paradigma Jakarta yang cenderung tertutup terhadap aspirasi rakyat Papua. Nama
Papua dikembalikan kepada rakyat, bahkan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora
sebagai lambang budaya dan identitas orang Papua, bukan sebagai bendera nasional.
Sikap Gus Dur tadi tentu tidak disambut baik oleh hardliners di Jakarta , di antaranya Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri yang merasa Gus Dur telah mengkhianati perjuangan Bung
Karno, yang telah memberi nama Irian kepada tanah dan bangsa yang tinggal di bekas koloni
Belanda, Nederlands Nieuw Guinea .

Dua Konteks
Dua konteks yang mendorong penelitian itu dilakukan adalah, pertama karena Kongres II Rakyat
Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua merasa jalan
sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan oleh kepentingan politik
Jakarta . Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.
Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis
Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu adalah suatu
penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962
diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni
hak untuk menentukan nasib Papua.
Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act
of free choice atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia . Artinya, apakah benar-
benar sesuai dengan azas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses itu
bukan suatu act of free choice.
Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap itu juga diambil oleh
Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional.
Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika
Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia
menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tidak dipakai
Bagi Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini,
sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti
Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik tingkat
tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act free choice
bagi kepentingan Indonesia.
Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang berhasil
mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun. Kebenaran itu kini
tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai
negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi kemanusiaan.

Anti “Amber”
Droogelever memaparkan antara 1962-1969 terjadi suatu proses penyimpangan dari ketentuan
New York Agreement, dimana rakyat Papua dijamin berdasarkan praktik internasional untuk
memilih sesuai hati nurani, apakah merdeka atau bergabung dengan Indonesia.
Buku Pepera terdiri dari 14 pasal, secara historis menuturkan bagaimana orang Papua yang baru
bersentuhan dengan dunia modern di abad 16 oleh bangsa Spanyol. Antara abad 16 hingga akhir
Perang Dunia II Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, tak punya niat untuk
memperhatikan Papua, karena secara ekonomis wilayah itu tak punya arti.
Kendati demikian, tak boleh disangkal peranan para misionaris barat yang memulai gerakan
penginjilannya di Papua di tahun 1855. Era baru bagi Papua, dimulai oleh semangat pekabaran
injil, dan inilah proses dimana Tanah Papua dikuasai oleh para penginjil asal Jerman, Belanda
dan penginjil serta guru jemaat asal Maluku dan Kei.
Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih rendah oleh
orang Ambon dan Kei. Sebaliknya, orang Papua bersikap mencurigai orang Ambon dan Kei
sebagai “amber” (sebutan untuk pendatang) sebagai mereka yang merampok, dengan mengingat
perang hongi yang penuh darah dan perbudakan.
Sentimen anti “amber” berkembang sejak awal abad 20 dan dari waktu ke waktu belum sempat
mengalami proses pertobatan dan rekonsiliasi. Drooglever menggarisbawahi sentimen anti
“amber” itu tetap hidup subur, kendati perjumpaan orang Papua dengan para pendatang itu
semakin besar, pasca-Perang Dunia ke II.

Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologia GKI Abepura dan anggota eksekutif Partnership
for Governance Reform Indonesia
Temuan Prof Drooglever (2-Habis)
Papua, Semangat Berdaulat Dirontokkan Bung Karno

Oleh
Dr Karel Phil Erari

Kontrol Belanda terhadap wilayah Papua, barulah terasa efektif setelah PD II (1950-1961).
Papua dibebaskan oleh tentara AS dari kekuasaan Jepang, dan untuk seterusnya kepada Belanda
diserahkan untuk diurus.
Dalam kurun waktu 11 tahun itu, dan ini terutama setelah Commisioner Van Eckhout
membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua dianggap sah menjadi koloni
Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan merupakan fokus dalam
kurun waktu tadi, dan Belanda yakin Papua harus dipisahkan dari Indonesia yang telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Rakyat Papua tidak tinggal diam. Suatu gerakan Messianis yang lahir di awal abad 20 terus
menampakkan perlawanan terhadap Belanda dan Jepang. Gerakan ini ternyata bukan saja suatu
fenomena agama adat, tetapi juga merupakan resistensi budaya dan politik untuk
mempertahankan identitas orang Papua.
Pada tahun 1961, Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan
bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang, dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai nyanyian
kebangsaan, bersamaan dengan Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad) yang sudah efektif
sejak 1960.
Semangat yang sempat lahir dan harapan untuk berdaulat sebagai satu bangsa, tiba-tiba
dirontokkan oleh Bung Karno melalui pidato Trikora 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Tujuan
Trikora ialah membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda”.
Drooglever menggambarkan interaksi tingkat elite antara PM Luns dari Belanda dan Presiden
AS, John F Kennedy asal Partai Demokrat, dimana Luns pada awalnya meminta PBB agar
proses internasionalisasi Papua tidak melibatkan pihak Indonesia .
Nampaknya Bung Karno tidak tinggal diam. Ia melirik dukungan militer Uni Sovjet. Ancaman
Indonesia untuk memperoleh dukungan Rusia, telah membuyarkan harapan Belanda mendapat
dukungan politik dan militer dari sekutunya.
Setelah Bung Karno mendeklarasikan invasi militer ke Papua dan rencana aneksasi secara
menyeluruh rakyat dan militer, Belanda terpaksa tunduk atas desakan AS untuk menyerah,
karena AS akan sangat sulit terlibat dalam suatu konfrontasi militer, jika terjadi perang baru di
kawasan itu. Pada 2 Januari 1962 Belanda bersedia melibatkan Indonesia dalam perundingan
tentang masa depan Nieuw Guinea , Papua.

Bunker’s Plan
Konfrontasi militer yang hampir pecah dan menyulut perang terbuka Belanda-Indonesia,
akhirnya diatasi oleh proposal Bunker, Duta Besar AS di PBB. Inti rencana Bunker ialah Papua
akan dialihkan dari Pemerintah Belanda ke Indonesia , di bawah pengawasan PBB.
Perdebatan di parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa setelah transisi tersebut, rakyat Papua
masih akan menentukan hak untuk berdiri sendiri.
Drooglever menyebutkan tentang drama memperebutkan dan mempertahankan Papua, oleh
Belanda dan Indonesia , akhirnya berakhir pada Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Perjanjian New York ini mengatur bahwa Papua akan segera dialihkan oleh Belanda kepada
PBB, dan di akhir 1969 akan dilakukan an act of free choice.
Kelemahan besar Belanda adalah, proses administrasi dalam masa transisi itu hanya dikelola
Indonesia , dan tidak akan ada lagi jaminan bahwa act of free choice bakal berlangsung di bawah
standar internasional.
Belanda masih bisa mengatakan telah melakukan yang terbaik bagi Papua, tetapi masyarakat
Belanda mencurigai Perjanjian 15 Agustus 1962 di New York itu adalah awal dari kegagalan
Belanda memenuhi janjinya kepada rakyat Papua untuk dapat menentukan nasibnya sendiri
secara adil dan benar.
Drooglever dalam studinya melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua. Ia mencatat
bahwa rakyat Papua sejak awal menyangsikan peralihan Papua kepada PBB (UNTEA) dan
rencana act of free choice tidak membawa harapan bagi orang Papua. Mereka saksikan kekuatan
PBB secara militer sangat lemah, apalagi penempatan pasukan perdamaian PBB asal Pakistan
hanya bertahan setahun.
Sementara itu pengiriman pasukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara dari Jakarta begitu
banyak, dimana sulit dibayangkan Indonesia akan melepaskan Papua menjadi negara yang
berdaulat. Kehadiran personel UNTEA sengaja dibatasi atas desakan Indonesia , sementara itu
Ortiz Sans diberi ruang gerak yang sempit, bahkan jumlah stafnya diperkecil.
Ketika Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan yang
tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagai pengantara
UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk melakukan suatu
act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu proses yang direkayasa
oleh Jakarta .
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan
maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli–Agustus 1969. Drooglever mencatat semua
saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para pengamat
mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice adalah tindakan yang
memalukan.
Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk
kepentingan Indonesia .
Dalam wawancara Drooglever dengan Radio Nederland, Drooglever mengatakan dirinya sadar
bahwa hasil penyelidikan tentang act of free choice dan kebenaran yang ia temukan, akan
membuat semacam iritasi di pihak RI, bahkan tidak ia maksudkan bahwa studinya akan menjadi
alasan untuk terancamnya NKRI
Kendati begitu, buku ini telah menyingkap sebuah noktah hitam dalam sejarah Kerajaan
Belanda, terhadap rakyat yang pernah dijajah, di Nederlands Nieuw Guinea, tapi berakhir dengan
peristiwa yang memalukan.

Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologia GKI Abepura dan anggota eksekutif Partnership
for Governance Reform Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai