Anda di halaman 1dari 13

ILMUIMAN.

NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik


Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel-
cerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak
dibaca. Karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala
internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya
tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam.

***

Kira-kira Sejarah Papua


Selayang Pandang Masa Lampau

Jaman sekarang (saja), banyak spot di Papua itu merupakan daerah ganas yang masih
belum terambah oleh peradaban manusia modern. Seperti apa sih sebetulnya sejarah
pulau besar ini?

Catatan sejarah menyebutkan, di jaman jayanya Sriwijaya, yaitu sekitar abad ke-7,
kerajaan ini pernah mengirimkan burung-burung asli Papua ke negeri Tiongkok. Waktu
itu, Papuanya disebut Janggi. Ini mengindikasikan bahwa peradaban nusantara termaju
waktu itu, telah mengenal pulau Papua. Bahkan, diduga, para pelaut hindu/budha yang
menyebar ke nusantara sejak abad pertama pernah juga mencapai pulau Papua itu,
dan pulau besar itu dinamai dengan bahasa Sansekerta sebagai Samudranta atau "di
ujung samudra".

Walau begitu, sampai berabad-abad, di Papua itu belum ada kerajaan mapan yang
solid seperti di bagian nusantara yang lain. Dan juga belum diklaim oleh negeri
manapun juga sebagai bagian dari teritorialnya. Baru di abad ke-13, catatan Cina
menyebutkan, bahwa Papua itu, yang dicatat sebagai Tung-ki, berada di bawah kendali
suatu negeri di Maluku. Ada yang menduga Sriwijaya.. tapi itu kelewat ngarang juga.

Di abad ke-13 juga, Majapahit berjaya. Dan kitab Negara Kertagama, yang secara
indah coba menggambarkan kejayaan Majapahit, telah menyebutkan bahwa Papua itu
bagian dari Majapahit. Yang bisa jadi, Majapahit itu 'megang' induknya Papua, yaitu
Maluku, lalu mengklaim seluruh teritorial bawahannya, yaitu termasuk Papua, berarti
juga menginduk ke Majapahit pulak.

Setelah orang-orang Eropa malang melintang di Indonesia Timur, tahun 1660 ada
sebuah perjanjian, antara Tidore dan Ternate, di bawah pengawasan VOC Belanda.
Perjanjian itu menetapkan bahwa seluruh wilayah Papua berada di bawah kekuasaan
Kesultanan Tidore. Nah, di titik ini, yaitu di abad ke-17, baru terang bahwa Papua itu
bagian dari nusantara. Diakui minimal oleh Ternate, Tidore, dan VOC Belanda. Yang
mana, mestinya, nyambung ke yang lain, negeri-negeri eropa yang menjelajah ke
nusantara juga mengakui, dan negeri-negeri yang punya hubungan diplomatik dengan
Ternate dan Tidore juga mengakui.

***

Sejarah Papua Jaman Moderen

Saat Hindia Belanda jaya, Papua ini ditempatkan sebagai bagian dari Karesidenan
(atau Provinsi?) Maluku (yang beribukota di Ambon). Pada peta tahun 1931 hal ini
ditegaskan lagi, tetapi wilayahnya adalah tidak keseluruhan Papua, melainkan separuh
saja (47% luas daratan), yaitu seperti wilayah Papua yang saat ini menjadi bagian dari
Indonesia. Sedang sisi timurnya (53%), itu menjadi bagian dari yang dipegang oleh
Kerajaan Inggris sejak selepas perang dunia pertama, kelak menjadi Papua Nugini atau
PNG, sebelumnya disebut British New Guinea, yang oleh Inggris terus dititipkan ke
Australia.

Sebelum perang itu, sisi utaranya PNG (dan kepulauan Bugenvil) adalah koloni Jerman
sejak sekitar tahun 1884 (German New Guinea), sedangkan PNG sisi selatan itulah
British New Guinea yang asli, yang oleh Inggris terus dititipkan ke Australia, yaitu sejak
sekitar 1884-1885 juga.

Saat perang dunia kedua, Papua ini diserang Jepang. Sisi barat yang merupakan
bagian Hindia Belanda, hampir keseluruhannya direbut Jepang, kecuali daerah
Merauke. Sedangkan sisi timurnya, bagian utara nyaris ujung ke ujung dikontrol oleh
Jepang, sedang bagian selatannya, yaitu kurang lebihnya dari kota Port Moresby
sampai ke Merauke itu, dan perairan di sekitarnya, masih di tangan sekutu, dalam hal
ini utamanya adalah gabungan Australia-Amerika. Walau begitu, penguasaan teritorial
tidaklah menyeluruh. Para pelaku perang cuma mondok di tepi-tepinya saja, kurang
lebih sepanjang pesisir, dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Biak, Numfoor,
Yapen, kepulauan Bougenville, seperti itu. Bagian tengahnya pulau raksasa Papua itu,
tetaplah merupakan rimba raya super ganas yang nyaris tidak bertuan, dan paling cuma
dihuni oleh penduduk asli, suku-suku terpencil, yang tidak berada dalam keadaan
perang dengan siapapun.

Di selatan PNG ini, sempat terjadi perang laut dahsyat yang disebut Perang Laut
Kepulauan Koral, yang merupakan titik balik saat sekutu mulai mendapatkan
momentum ofensif.

Operasi militer sepanjang perang di sekitar Papua ini banyak yang ganas luar biasa,
tidak cuma ganas pertempurannya, tetapi juga ganas situasi alamnya. Jalur
pertempuran darat tek-tok maju mundur (antara tentara Jepang dan tentara Australia)
yang paling terkenal di Australia adanya di Jalur Kokoda (atau Kokoda Trail), yaitu
antara Port Moresby memotong ke utara sampai ke pesisir utara. Yang kurang lebihnya,
dalam pertempuran Kokoda Trail itu, Jepang kalah, Australia pun kalah. Yang menang
keganasan alam! Mohon maklum, pulau raksasa Papua itu adalah pulau terbesar kedua
di dunia setelah Greenland. Nyaris seperti benua tersendiri, tapi penduduknya dikit
banget, dan tingkat pembangunannya masih amat minim (bahkan sampai sekarang).

Saat Jepang surut, tentara Amerika menyerang posisi-posisi mereka satu demi satu di
utara, kebanyakannya melalui serangan kapal laut, serangan udara, dan pendaratan
yang sifatnya 'lompat katak'. Yaitu bukan menyusur pesisir lewat jalan darat (karena itu
mustahil), tetapi setelah merebut satu titik, mereka melompat ke titik berikutnya lewat
laut dan udara. Satu demi satu posisi Jepang tersapu, termasuk di wilayah yang
sebelumnya milik Belanda, yaitu kota Holandia (Jayapura masa kini), Biak, Numfoor,
dan seterusnya. Karena cekikan logistik yang menggila, bisa dipastikan, kalau ada
tentara Jepang yang kececer, maka mereka akan mati kelaparan, atau kehausan, atau
mati karena penyakit, binatang buasa, atau mati karena kecelakaan di alam. Walau
begitu, karena mentalitas orang Jepang yang luar biasa, konon ada juga pelarian-
pelarian Jepang yang selamat, survive sampai perang berakhir (atau sampai mati
secara alami), dan mondok di pemukiman-pemukiman suku terpencil.

Saat Indonesia merdeka, dan lalu Belanda coba merebut lagi kemerdekaan itu, orang-
orang republik yang baru merdeka itu tidak punya sumber daya memadai untuk
sekaligus menggerakkan Papua dan pulau-pulau nusantara lainnya yang
pembangunannya masih terbelakang. Sehingga, praktis Papua itu (sisi barat), kota-
kotanya kenceng dipegang oleh Belanda (tapi tetap saja, belantaranya.. masih tak
bertuan. Bebas merdeka. Paling sekedar dihuni oleh suku-suku setempat yang relatif
terisolir).

Nah, berasarkan itulah, maka saat ujungnya Belanda posisinya kalah, dan terpaksa
mengakui kedaulatan Indonesia di ujung 1949, mereka coba akal-akalan, Papuanya
tidak mereka lepaskan, dia kekepin terus. Awalnya dibilang tahun berikutnya akan
diproses terpisah, tapi kenyataannya, bertahun-tahun terus dikekepin, dengan alasan,
bahwa administrasi pemerintah Indonesia tidak menunjukkan eksistensinya di situ.
Bokis bener. Mohon maklum, kalau memang alasannya soal administrasi, di pulau
Bawean, pulau Sapudi, pulau Simeuleu, kepulauan Seribu bahkan, dan sekian ribu
pulau-pulau kecil lainnya, maka pada masa itu.. administrasi pemerintahan Indonesia
juga tidak beneran eksis kok. Bahkan sampai sekarang, ada pulau yang bahkan tidak
berpenghuni manusia!

Presiden Sukarno yang militan tidak mau diakali seperti itu, lalu dia gerakkanlah
Komando Trikora atau Operasi Trikora 1961-1962! Belanda salah langkah. Berhubung
komando Trikora itu didukung militansi rakyat (dan tentara) Indonesia yang sekian kali
lipat lebih besar dari Belanda, yang negerinya jauh di eropa sono. Dan Indonesia
didukung oleh blok timur (pimpinan Uni Sovyet) yang juga nggak kira-kira
menggelontorkan persenjataan dan sumber daya militer lain. Sementara
Belanda?Harapannya untuk mendapat bekingan dari blok barat ternyata cuma berupa
dukungan intelijen, tapi info intelijen itu mengkuatirkan.
Walhasil, akhirnya Belanda kalah. Tidak cuma Papuanya balik ke tangan Indonesia,
seperti semestinya karena Indonesia itu merupakaan jelamaan Hindia Belanda, tapi
juga Belanda kehilangan banyak aset lain, yang dipaksa dinasionalisasi oleh Indonesia.
Detilnya bisa dicari di internet.

Oleh Indonesia, Papua Barat (menurut Belanda) alias Irian Barat (menurut Indonesia di
jaman Trikora), lantas ditetapkan menjadi propinsi tersendiri: Irian Jaya. Dengan
ibukotanya: Jayapura (tetap lokasinya, tapi sebelumnya bernama Holandia).

Di jaman reformasi, Irian Jaya ini terus mendapatkan hak otonomi khusus, dan berubah
namanya menjadi Propinsi Papua. Kemudian, dimekarkan menjadi dua propinsi, yaitu
Propinsi Papua (beribukota di Jayapura) dan Propinsi Irian Jaya Barat (beribukota di
Manokwari, walau kota terbesarnya Sorong. Sekarang sepertinya ganti nama jadi
Papua Barat). Batasnya dengan PNG atau Papua Nugini adalah di garis bujur timur 141
derajat, yang memotong utara ke selatan, yang sepertinya digambar asal saja di atas
peta tanpa terlalu memperhatikan situasi geografis di lapangan. Mohon maklum,
sepertinya, yang menggambarnya itu orang Jerman, yang di antara kolonialis eropa,
termasuk kolonialis paling buncit yang rada culun.

***

Beberapa Fakta Lebih Detil

Jadi, ceritanya, sebelum perang dunia pertama, Papua timur itu, terbagi dua. Yang
selatan koloni Inggris, dan yang utara, itu koloni Jerman. Selepas perang dunia
pertama, koloni Jerman tersebut diambil dan dimandatkan ke Inggris. Terus oleh
Inggrisnya dititipkan ke Australia, yang merupakan koloni dia yang lain yang lebih
mapan.

Etnis-etnis aslinya, oleh para penjelajah eropa disebut sebagai orang Melanesia.
Kemudian, orang Portugis dan orang-orang asia tenggara menyebut mereka orang
Papua. Penduduk yang jarang, dan terpencar-pencar, menyebabkan bahasa asli
mereka pun banyak sekali, berbeda di tiap-tiap suku, mencapai 234 bahasa (or so)
yang tidak saling dipahami satu sama lainnya. Yaitu menurut penelitian tahun 1963-an,
tapi beberapa bahasa di antaranya, di masa kini, diyakini sudah tidak ada penutur
aslinya, dan puluhan lainnya, jumlah penuturnya sedikit sekali, tidak sampai 50 orang.
Jadi, bahasa itu semacam kode bahasa rahasia. Yang punah mungkin juga ada. Salah
satu situs menyebutkan, ada bahasa namanya bahasa Tandia, penuturnya paling
tinggal dua orang. Dan bahasa Mapia bahkan penuturnya tinggal satu orang. Mau
ngomong ama siape tuh si aki?

Di sisi lain, berhubung interaksi dengan kawasan nusantara lain sudah intens dari lama
(bahkan mungkin sejak masa Sriwijaya di abad ke-7), banyak di kalangan mereka bisa
menggunakan bahasa Melayu pasar sebagai pengantar. Sisi barat lantas berbahasa
Indonesia sebagai pengantar umum (dengan dialek dan aksen khas Papua yang sudah
ada sejak Indonesia belum merdeka), sedang sisi timur menggunakan bahasa Inggris
yang lebih mainstream, walaupun dalam penulisan, masih cukup kental influence
Jerman. Jadi, Papua Nugini ditulis begitu saja sesuai spelling Jerman, dan bukannya
ditulis Papue New Guinea.

Orang eropa mulai melihat Papua itu di awal abad ke-16 saat Portugis (dan Spanyol)
masih suka nyasap-nyasap gak jelas, dan orang Belanda belum mulai menjelajah. Saat
itu katanya mereka masih amat primitif. Untuk cocok tanam mereka masih
mengandalkan peralatan dari kayu, batu, dan tulang binatang. Mereka belum punya
sistem pertanian produktif. Yang mereka dagangkan di pinggir pantai atau pinggir
sungai besar terutama tembikar, ornamen kerang, dan bahan makanan. Dipertukarkan
dengan hasil hutan dan hasil laut.

Yang pertama nyebut 'Papua', sepertinya penjelajah Portugis Jorge de Menezes yang
nekat menyengaja visit ke sana sekitar 1526-1527. Tidak jelas juga, dia bisa pulang apa
keburu kena malaria akut. Konon kata 'papua' itu sendiri maknanya terkait istilah
melayu kuno untuk menggambarkan rambut keriting melanesia. Penjelajah Spanyol
yang datang belakangan (Yñigo Ortiz de Retez, 1545), terus menyebutnya Nugini.
Menurut dia, penduduknya mirip parah dengan penduduk pantai Guinea Afrika. Atau
bisa juga, dia matanya siwer! Wallahualam. Mohon maklum, penjelajah yang kelamaan
di laut, melihat onta dibedakin pun bisa menyangka itu perempuan cantik, toh?

Walau begitu, untuk masuk ke hutannya.. ngeri-ngeri sedap. Tidak ada yang berani,
sampai ada orang Rusia nekat, Nicholai Miklukho-Maklai, yang blusukan sejak 1870.
Punten pisan, di pedalaman, tradisi-tradisi kanibal, orang makan orang masih ada pada
saat itu. Dan bahkan, sepertinya ada terus sampai Papua Nugini merdeka (dari
Australia) pada tahun 1975. Cuma ini tidak perlu menjadi hal yang mengherankan,
karena suku-suku Batak, pun,.. yaitu sebelum Si Singamangaraja XII dianiaya
Belanda,.. juga ada yang punya tradisi kanibal. Padahal hutan-hutan di Batak tidaklah
seterpencil di Papua. Bisa saja itu dianggap local wisdom untuk daerah seganas itu.

Menjelajah, tapi tidak ingin mengkolonisasi. Begitu semangat orang-orang Eropa


awalnya. Saat koloni Queensland coba mencaplok daerah selatan timur 1883 (sekitar
Port Moresby masa kini), oleh pemerintah Inggris dihalangi. "Lu ngapain coba-coba
meluaskan ke koloni ke tempat jin buang anak? Jin aja yang ke sono belum tentu bisa
balik!" Begitu mungkin argumen pemerintah Inggris.

Cuma kemudian, orang Jerman yang malah bikin koloni. Yaitu di Papua Timur sisi
utara. Bagi Jerman yang telanjur telat, celingak-celinguk nggak bisa nemu daerah lain
yang bisa dikolonisasi sih. Semua sudah diambil Inggris, Belanda, Perancis, Portugis,
Spanyol. Jadi, daripada tidak sama sekali.. ya, dia mondoklah sedapetnya. Dapetnya di
Papua timur bagian utara itu.
Inggris terus jadi gerah. Lantas dia proklamasikan wilayah protektorat 1884, atas
wilayah New Guinea sepanjang pantai selatan, termasuk pulau-pulau yang berdekatan.
Wilayah ini mereka sebut: British New Guinea. Beneran dianeksasi September 1888
(sebagai jajahan Inggris langsung). Berikutnya 1902, ditempatkan di bawah
Commonwealth of Australia.. terus dengan berbagai formatnya. Sampai kelak Papua
Nugini merdeka tahun 1975-an, secara de-jure-nya Papua Nugini itu milik Inggris, yaitu
menurut Inggris, dan konsensus internasional. Sedangkan menurut rakyat Papua
Nugini.. yah, Inggris itu kan sekedar merampok tanah nenek moyang mereka. Bagi kita,
ya sudahlah. Tidak perlu diperdebatkan. Karena kita tahu, semua yang ada di dunia ini,
dan di akhirat, itu sepenuhnya milik Allah subhanahuwataala. Walah. Sampe ke sono-
sono! Subhanallah.

Di sisi utaranya (dari Papua timur), berkembang koloni Jerman sejak 1884. Utamanya
dikembangkan untuk perdagangan kopra. Penguasaannya di bawah suatu perusahaan
semodel VOC atau EIC gitu, Perusahaan Nugini Jerman (New Guinea Kompanie atau
New Guinea Berlin atau apa gitu namanya), yang dibeking oleh piagam kekaisaran
Jerman, Mei 1885. Lalu, jadi beneran resmi koloni negeri Jerman, alias Nugini Jerman
per 1899.

Saat pecah perang dunia 1914, Australia merebut koloni Jerman tersebut. Perkebunan
eks Jerman yang mereka rebut, terus diberikan kepada para veteran perang Australia.
Dan 1921, Liga Bangsa-bangsa yang mengatur pembagian wilayah pasca perang,
memberikan wilayah utara tersebut kepada Inggris, tapi hak perwaliannya berada di
tangan Australia. Belakangan, selain perkebunan juga ada pertambangan (emas?).
Terus saja diurus oleh Australia, Papua Timur bagian utara dan selatan, sampai
kemudian, direbut Jepang 1942 sisi utaranya. Dan dijadikan wilayah pemerintahan
militer dari angkatan laut Jepang di bagian utara (tidak cuma yang timur, tapi termasuk
yang barat, nyaris keseluruhannya yang merupakan bagian Hindia Belanda). Sedang
bagian selatannya, juga dijadikan wilayah pemerintahan militer oleh Australia, bahkan
sampai menembus perbatasan wilayah barat dikit yang asalnya milik Belanda (yaitu
Merauke dan sekitarnya). Sampai kemudian, pasukan Amerika lompat katak, mengusir
titik-titik yang dikuasai Jepang sampai tuntas semuanya.

Sementara sisi Indonesia terus jadi Irian Jaya itu (kemudian belakangan: Propinsi
Papua dan Irjabar), sisi PNG terus dipegang Australia sampai kemerdekaan Oktober
1975. Salah satu pemimpin legendaris di awal-awalnya: Michael Somare. Secara politik,
tek-tok demokrasi di sana, gonta-ganti leaders, mirip seperti masa demokrasi
parlementer di Indonesia. Memunculkan instabilitas politik. Sisi legislatif, sistem
kehakiman dan sistem hukum sudah established dan konsisten mengadop sistem
Inggris-Australia, namun di jalanan, aksi kriminalitas kelasnya kelas berat (bahkan
sampai sekarang). Disebabkan karena law enforcement (sistem judikatif) kurang
berjalan efektif.

Pemberontakan di tanah Papua utamanya relatif tidak ada yang besar. Tapi,
pemberontakan di kepulauan Bougainville yang berdekatan sempat menelan korban 20
ribu jiwa (dimulai 1989, sampai gencatan senjata Oktober 1997). Gencatan senjata
permanen dimantapkan April 1998. Lalu, perjanjian damai full-nya diteken bersama
antara pemerintah dan para mantan kombatan Agustus 2001. Dikawal oleh pasukan
perdamaian PBB.

Sampai tahun 2000-an itu, sejak merdeka 1975, perekonomian PNG amat tergantung
bantuan donor dari negeri-negeri Barat (utamanya Australia). Bantuan per tahun dari
Australia bisa mendekati 15%-an dari GDP PNG kira-kira (tahun 2008, GDP sekitar $8
billion). Jadi orang yang sinis sempat bilang, PNG itu nyaris bangkrut (andai tidak
ditopang Australia). Walau begitu, selepas 2010, di PNG ditemukan cadangan gas
melimpah ruah, sehingga GDP-nya melejit mendekati $17billion (2014), dan mendekati
$20billion (2016). Toh sebagai bangsa kulit putih, yang sering kali tidak memandang
setara pada kulit hitam atau kulit berwarna,.. yah, gitu deh. Hubungan PNG-Australia
tidaklah mesra selalu. Sering diwarnai sentimen atau ketegangan juga. Perdana Menteri
Somare saja pernah digojlok abis saat dia mendarat di Brisbane, melakukan kunjungan
kenegaraan. Dan orang Australia tidak ada yang mau minta maaf. Sampai separah itu.

PNG itu penduduknya sekitar 7.5 juta. Sedang yang di sisi Indonesia, Papua Barat
penduduknya sekitar 0.9 juta (per 2014), dan Propinsi Papua penduduknya 3.5 juta (per
2014). Begitu menurut wikipedia. Kalau dari sisi GDP-nya: Propinsi Papua Rp. 178T
(sekitar $13billion, 2016), dan Propinsi Papua Barat atau Irjabar Rp. 68T (sekitar $5
billion, 2016).. yah masih jauh lebih makmur sisi Indonesia-lah, padahal tanahnya PNG
lebih luas. Yang pulau utamanya saja dia 53%, mana dia masih punya kepulauan
Bougenvil yang ukurannya lumayan besar.

***

Sejarah Beberapa Kota Di Papua

JAYAPURA. Kota terbesar di seantero kawasan kepulauan Papua (dan Bugenvil) tak
terbantahkan lagi adalah Jayapura. Penduduknya 400 ribuan. Di Jaman Belanda,
namanya Hollandia, berada di Humboldt Bay, yang sekarang disebut Teluk Yos
Sudarso. Sebelum belandanisasi, masyarakat menyebut daerah Jayapura itu sebagai
Numbay, merupakan titik perdagangan paling aktif di pulau itu (atau lebih persisnya
barter-barteran, yaitu sampai 1897-1905, nama Numbay tetap dipakai). Komunitas di
sana dipimpin oleh Ondoafi (kepala suku). Awalnya hubungan erat dengan luar pulau
adalah dengan kesultanan Ternate, kemudian Tidore. Dan bahkan belakangan
disaksikan oleh Belanda, disepakati dalam suatu perjanjian, yang membawahi Papua
adalah Tidore.

September 1909, barulah satu datasemen angkatan laut Belanda, di bawah Kapitein
FJP Sachse (setara kolonel) mendarat di Humboldt Bay dekat mulut sungai Numbay itu.
Tugasnya adalah untuk mengeksplorasi potensi sumber daya alam di situ, sekaligus
untuk mempertegas perbatasan antara daerah Belanda dengan daerah Jerman.
Sebagaimana disebut di atas, Jerman sudah memantapkan koloni di Nugini utara serta
Pulau Bugenvil sejak 1883-1884. Atau sekitar 20 tahun sebelum Kapitein itu datang.

Barak-barak dan kamp yang mereka bikin sepanjang sungai disebut Kloofkamp.
Dibangun dari batang pohon kelapa sekitar 40 biji, yang mereka beli dari pemiliknya
cuma senilai satu dolar (rijksdaalder) per pohon. Maret 1910, Belanda mengibarkan
bendera di situ dan mengubah nama daerah itu jadi Hollandia! Enak bener tuh main
tempatin tanah orang. Saat itu, di sisi lain teluk itu, sudah ada kamp orang-orang
Jerman (German-Huk atau German Corner), yang sekarang tidak dihuni lagi dan masih
merupakan bagian dari Indonesia juga. Teruslah nama Hollandia itu dipakai sampai
1962 saat oleh Indonesia diubah menjadi Jayapura.

Sepanjang diduduki Jepang 1942 nggak tahu namanya diganti apa. Bisa saja disebut
Numbay lagi (untuk sementara). Kemudian, oleh sekutu April 1944, Hollandia itu
diserang lewat pendaratan marinir. Lalu Jendral Douglas MacArthur dari Amerika
memakainya sebagai markas besar sementara, sampai dia sukses merebut kembali
Filipina, dan pindah ke sana Maret 1945. Di sekitar Hollandia alias Jayapura itu sempat
dibuat 20-an pangkalan tempur Amerika, dan sempat ada 500 ribuan tentara Amerika
yang mampir atau mondok di situ. Lapangan terbang tempur kelas wahid pun dibuat
oleh MacArthur saat itu secepat kilat.

Saat peralihan, selepas damai di ujung operasi Trikora, kota itu pakai dua nama:
Hollandia dan Kota Baru. Lalu, begitu diserahterimakan ke Indonesia, nama Hollandia
dihapus, dinamai Kota Baru. Kota baru ini tentu bagi kita terlalu generik, sehingga
kemudian dinamai Sukarnopura. Cuman itu terlalu orde lama banget, sehingga saat
orde baru berjaya, di akhir 1968 oleh Suharto namanya diganti lagi menjadi Jayapura.
Sampai sekarang.

BOVEN DIGOEL (alias Digul Atas). Banyak disebut di buku sejarah Indonesia nama
Boven Digoel (Upper Digoel atau Above Digoel mungkin kalau bahasa Inggris).
Luasannya 10 ribu hektaran. Terletak di timur sungai digul bagian hulu. Dirancang
cepat-cepat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai penjara alam yang kondisinya
ganas. Tadinya, dipersiapkan untuk menjebloskan orang-orang berpaham komunis
karena ada semacam ketakutan negeri Belanda jadi negeri komunis seperti kekaisaran
Rusia yang terus jadi Uni Sovyet. Lama-lama, siapapun bisa dijeblosin ke sana, atau
keputusan gubernur jenderal. Gubjen waktu itu punya hak untuk mengasingkan
siapapun, kemanapun, tanpa pengadilan. Asal tahu saja. Yang banyak ngerasain
ganasnya Boven Digul itu ujungnya tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Sutan Syahrir
pernah ke sana. Bung Hatta pernah dijeblosin ke sana juga. Yang jeblosinnya Gubjen
Cornelis de Jonge.

Kenapa sampai tempat itu muncul? Awalnya, hukuman pengasingan itu ke luar
nusantara. Terakhir yang diasingkan ke luar negeri adalah Semaun dan Darsono,
pemimpin pemogokan kaum buruh. Sebelas tahun sebelum itu: EFE Doewes Deker,
Suwardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo dibuang ke eropa. Sampai kemudian,
Kapten LT Becking mendirikan kamp Boven Digoel itu 1927, setelah dia cukup sukses
membasmi pemberontakan komunis di Banten November 1926.

Boven Digul bukan dirancang jadi kamp konsentrasi. Tidak ada tempat penyiksaan atau
isolasi. Yang ditawan di situ ya sudah, dibiarkan saja keleleran sampai mati, atau jadi
gila, atau jadi depresi berat. Sejak adanya kamp itu, pengasingan ke luar negeri
dihentikan. Dan selama Hindia Belanda, pemberontakan sosialis-komunis itu termasuk
pemberontakan nusantara pertama yang bersifat nasional (tidak kedaerahan). Gerakan
serentak terjadi di berbagai karesidenan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku. Digerakkan oleh tokoh-tokoh lintas agama dan aliran, multi etnis pulak. Para
tokohnya kemudian dikirim ke Digoel biar kapok.

Di Digoel ini, orang boleh kagum pada Bung Hatta. Walau ditempat seganas itu, dimana
orang paginya seger buger siangnya bisa dicaplok buaya or something, Bung Hatta
tidak bergeming sedikit pun dari idealismenya. Dia tetap mengatur jadwal hidup penuh
disiplin. Pagi buta tahajud. Ada jadwal sholat lima waktu. Ada jadwal nyuci. Ada jadwal
jalan-jalan. Ada jadwal mengajar tawanan-tawanan lain yang buta huruf. Begitu terus
dia jaga jadwal hidupnya. Sampai suatu ketika, orang Belanda coba mematahkan
mental para tahanan yang cendekia, kalau mau diperingan hukumannya, mereka mesti
berjanji secara tertulis tidak akan menentang pemerintah Hindia Belanda lagi. Semua
yang mau meneken perjanjian itu, maka akan diberi keringanan, yaitu diberikan
tunjangan untuk kebutuhan sehari-hari. Semua saja,.. menyerah. Termasuk Sutan
Syahrir. "Syahrir, ngapain kamu main mau saja meneken perjanjian seperti itu?
Bukankah kita ini pejuang kebangsaan?" Kira-kira begitu Bung Hatta mengkritik rekan
seperjuangannya.

Sutan Syahrir ya terus terang saja. "Yah, itu kan cuma sekedar neken. Bo'ong-bo'ong
dikit jadilah. Belanda juga sering bo'ongin kita. Udah saja saya teken itu, tapi besok-
besok kalau sudah bebas.. kita berjuang lagi", begitu kurang lebih argumen Syahrir.
Tapi Hatta tidak mau seperti itu. Integritasnya luar biasa. Untungnya, kemudian
pemerintah kolonial merasa kagok sendiri menjebloskan para cendekia ke tempat
seperti itu. Akhirnya, para tahanan yang dianggap cendekia, tempat pengasingannya
dipindahkan ke Banda Neira di kepulauan Maluku.

Dari para penyintas alias survivor itulah, dan juga para petugas Belanda yang ada di
sana, kemudian kisah Digul itu tersebar...

Katanya, melarikan diri dari sana itu tidak mungkin. Belantaranya rapat dan dipenuhi
binatang buas dan rintangan alam, sungainya juga banyak buaya raksasa dan binatang
buas. Cari mati. Kecuali kalau bisa menyusup diam-diam dan selamat, ke kapal logistik
yang rutin mensuplai kebutuhan ke situ lewat jalur sungai. Pusat kotanya disebut Tanah
Merah. Eh, atau mungkin itu tidak layak juga kalau disebut kota. Selain di Tanah Merah,
ada lagi pemukiman di Tanah Tinggi.
Di Tanah Merah ada pusat administrasi militer serta tempat penahanan beneran
semacam penjara. Di Tanah Tinggi ada kamp untuk penempatan tahanan yang susah
diatur. Saat rombongan pertama datang, hunian amat jauh dari layak. Tahanannya ada
1300 orang, sebagian besar pemberontak komunis eks Banten. Berangkat Januari, tiba
Maret 1927 di kamp itu. Akhir Maretnya, datang lagi ratusan orang dari Sumatera Barat.
Simpatisan komunis juga. Sebagian boleh tetap di Tanah Merah, sebagian dijauhlah
lagi ke Tanah Tinggi. Setelah itu, tapol lain menyusul.

Kampung Tanah Merah sendiri, itu terbagi dua, dipisah jalan selebar dua meteran
aslinya. Kampung A dan Kampung B. Kampung A untuk yang tidak mau tunduk pada
pemerintah. Mereka disebut golongan naturalis, karena tiap bulan menerima makanan
ala kadarnya dari pemerintah kolonial setempat secara natura. Beras 18 kilo, ikan asin
2 kilo, teh 300 gram, kacang hijau 300 gram, minyak kelapa 2/3 botol. Kayak gitu. Yang
kampung B rada mending. Disebut Werkwillig, yaitu yang kerjasama dengan
pemerintah setempat. Yang kerja ini diupah 40 sen sehari. Kerjanya mencangkul parit,
gali selokan, dan pekerjaan kasar seperti itu. Di antara yang kelompok A, yang keras
banget dibilang onverzeonlijken (kepala batu), bener-bener pembangkang yang keras
bener. Mereka dikirim ke Tanah Tinggi atau Boven Digoel-nya yang beneran (Digul
Atas). Sedangkan Tanah Merah itu Digul Bawah. Jaraknya kira-kira sehari jalan kaki
lebih ke hulu dari Tanah Merah itu. Di sana semua ngumpul di satu barak. Jumlahnya
yang sempat ke sana puluhan orang. Mereka dijaga oleh serdadu yang tinggal di tangsi
sendiri yang lebih layak huni. Di situ tawanan banyak yang sakit parah, gila, atau stress
berat. Yang dimakan buaya juga ada. Jadi, terus banyak yang menyerah dan jadi
werkwillig (willing to work), dan terus bekerja di Tanah Merah yang lebih merupakan
'pemukiman biasa'.

Selain alam tidak bersahabat, suku Papua di sekitar Boven Digoel juga tidak mau
bersahabat dengan para tawanan. Masa itu ganas juga.

Sipir aja juga bengis semua. Biar tawanan politik, semua dianggap penjahat model
maling ayam saja. Setiba di lokasi, digeledah, ditelanjangin, semua barang pribadi
diperiksa, surat-surat disita. Setiap pagi digiring kumpul, apel. Terus kerja paksa ke
hutan atau rawa-rawa. Sebagian tawanan yang bekas pegawai pemerintah atau pekerja
swasta protes keras karena tidak terbiasa kerja kasar. Lama-lama kebijakan gila itu
dihapus.

Nyamuk malaria itu momok mengerikan di situ. Demam tinggi, orang kencingnya bisa
jadi item. Sipir aja juga bisa kejangkit. Panah racun atau bacokan dari suku setempat
juga kejadian. Yang terus jadi gila juga bukan satu dua orang. Beberapa bunuh diri.
Saling bunuh antar tawanan juga ada. Jadi setara hukuman mati pelan-pelan bagi
siapapun yang dibuang ke sana. Kalau mau cerita-cerita tentang kerasnya orang
diasingkan ke sana, silakan cari di internet atau toko buku. Dengan gemblengan yang
keras, hikmahnya.. yang keluar dari sana ujungnya malah pejuang-pejuang super
tangguh.
Ajaibnya, dengan determinasi luar biasa, ada beberapa tawanan berhasil kabur. Mereka
mencapai wilayah Papua sisi timur perbatasan yang dikuasai Australia, tapi oleh orang-
orang Australia terus ditangkepin dan dikembalikan lagi ke orang Belanda. Gagal
maning, gagal maning. Saat terus terjadi perang dunia. Daerah ini tidak sempat kerebut
Jepang. Tapi untuk mengantisipasi, oleh orang-orang Belanda para tawanan yang
masih di sana oleh Belanda dikirim ke Australia 1943. Beserta seluruh sipir dan handai
taulannya.

Belanda berharap orang-orang Indonesia yang 'ditolong' dengan dihantarkan ke


Australia itu akan membantu Belanda sepanjang jaman perang. Yang terjadi, malah
kebalikan. Para tahanan politik mendiskreditkan Belanda, sampai akhirnya serikat buruh
Australia memboikot, sempat tidak mau melayani kapal-kapal Belanda yang merapat di
benua kanguru.

Masa kini, Boven Digul telah jadi pemukiman penduduk papua. Naik pesawat twin otter,
perlu terbang 90 menit sampai ke Bandara Moppa, Merauke. Saat kemarau, jalan darat
sekarang juga bisa. Dari Tanah Merah jaraknya 500 kilometer ke Merauke. Capek juga.
Sebab jalur kereta apa saja, Bandung-Jogja, itu cuma 360-an kilometer, sebagai
perbandingan. Dengan kapal laut, seperti jaman Belanda, itu juga masih bisa. Menyusur
sungai, lalu menyusur laut sampai Merauke.

MERAUKE. Merauke ini dianggap kota Indonesia paling timur. Kalau tahun baru, dia
paling duluan melihat mata hari terbit di tanggal 1 Januarinya. Dekat dengan sungai
Maro, penduduknya sekitar 100 ribuan saja. Suku aslinya di situ disebut suku Marind
Anim dan Sohoers, yang dulunya dikenal sebagai pemburu kepala seperti suku Batak di
masa primitif.

Merauke mulai establish jadi satu kota Februari 1902. Di situ didirikan pos militer untuk
mencegah perbatasan Belanda digerus oleh tetangga British New Guinea. Lama-lama,
jadi kota. Dari situ, kemana-mana terus banyak dikirim bulu cendrawasih antara lain,
sampai jauh ke eropa segala. Bulu burung dari kayangan, begitu kata yang jualan.

Dari Merauke orang pribumi, Eropa, dan Cina "menyerbu" hutan di selatan Papua untuk
memburu burung sebanyak mungkin. Ketika perburuan dilarang pemerintah Belanda,
semua balik kampung untuk menghabiskan uang yang sudah mereka dapat. Hal ini
yang menyebabkan mengapa kemudian populasi penduduk Merauke tidak banyak.
Merauke adalah kota untuk pendatang (asing). Namun sekarang, banyak penduduk asli
Papua menetap di situ. Asal mula nama "Merauke" katanya berasal dari salah paham
pendatang pertama. "Eh, bro. Ini tempat namanya apa?" Orang setempat bilang "Maro-
ke!" Yang sebetulnya bermakna "Itu Sungai Maro!" Orang Marind berpikir, sungai Maro
(yang lebarnya 500 meter) itu lebih penting daripada spot di pinggir sungai itu yang
mereka sebut Gandin. Komunitas setempat sendiri, menyebut area itu Ermasoek.

Secara politis administratif, selain kota perbatasan di Papua timur, Merauke dulunya
jadi pos pemerintah Belanda untuk transit ke Boven Digoel. Sampai jaman perang.
Lantas, di jaman perang dunia, sempat terjadi pertempuran antara angkatan darat
Australia dengan tentara Jepang, tetapi pada akhirnya kota ini gagal direbut Jepang. Ini,
kurang lebih adalah kota satu-satunya di Hindia Belanda yang tidak kerebut Jepang.
Sampai akhir perang terus saja Merauke itu dijadikan basis sekutu, khususnya basis
angkatan udara Australia.

Masa kini, Merauke terus ditumbuhkan sebagai selayaknya kota Indonesia yang lain.

***

Penutup

Begitulah cerita kecil tentang kota di utara Papua dan selatan. Di sisi Indonesia,
panjang lagi cerita Papua. Kalau terkait perang dunia, selain pendaratan Hollandia itu
ada pangkalan lagi di Biak Numfoor. Bahkan di biak itu, landasannya sempat bertahun-
tahun jadi runway terpanjang senusantara karena dua runway disambungin lurus. Ada
serangan-serangan udara juga. Ada juga pendaratan di titik-titik lain, baik di sisi
Indonesia, maupun sisi PNG. Pas Jepang datang itu juga ada pendaratan-pendaratan
juga. Port Moresby dan lain-lain di sisi PNG itu juga punya cerita masing-masing. Dan
yang paling dekat ke Jayapura kota PNG yang sering disebut adalah Vanimo.

Pas jaman trikora, jaman komando mandala, itu juga panjang cerita kemana-mana.
Termasuk Pertempuran Laut Aru dan penerjunan pasukan payung.

Mengingat di Jayapuranya Belanda baru eksis 1909, dan di Merauke baru 1902, ya..
bisa dikira-kira.. wilayah itu cuma 'beneran dijajah' Belanda 33-40 tahun saja. Yaitu sisi
baratnya. Sedang sisi timur dan pulau Bugenvil, yang utara sudah dijajah eropa sejak
1883-84 yaitu pertamanya oleh Jerman. Dan selatannya, oleh Inggris dan
Commenwealth of Australia juga sekitar tahun 1884-1885. Alias sampai 1942 terjajah
eropa selama 57-59 tahun. Tapi kalau dihitung sampai merdekanya dari Australia 1975,
berarti dijajahnya 90-92 tahun. Lama juga.

Pertambangan juga panjang sejarahnya di sana. Ada cerita Freeport yang tak berujung,
dan ada pertambangan-pertambangan lain. Yang di sisi PNG, bahkan itu bisa
melejitkan GDP sampai berlipat-lipat, khususnya dari gas alam.

Jalan raya sekarang coba dibangun. Airport, pelabuhan. Infrastruktur jadi tantangan.
Fiber optik dan satelit juga menjangkau ke sana. Lapangan terbang, pelabuhan, itu juga
banyak. Kota-kota lain di sana lain waktu bisa dipelajari sendiri. Di sisi Indonesia,
maupun di sisi PNG. Insiden-insiden bersenjata juga eksis sporadis. OPM atau
organisasi papua merdeka juga sempat eksis. Perang suku juga ada terus dan terus,
walau tidak pernah kolosal. Yah, mau kolosal gimana? Penduduk cuma dikit.

Operasi militer, di masa orde baru juga sempat amat represif. Tidak hanya di jaman
DOM atau Daerah Operasi Militer. Jaman Pepera (penentuan pendapat rakyat) Papua,
yaitu selepas operasi trikora dan komando mandala, intimidasi dari tentara-tentara orde
baru juga lumayan represif. Cuma mohon maklum saja. Daerahnya memang daerah
ganas. Belanda juga selama di sana represif. Australia-Inggris juga represif. Jerman
juga ada represifnya. Jepang apalagi. Amerika juga ke sana dengan segenap kekuatan
penggempuran, dan juga jatuhin banyak bom.

Bencana dahsyat juga pernah beberapa kali kejadian. Gempa bumi, longsor, kebakaran
hutan, tsunami. Sama saja seperti wilayah nusantara lain. Daerah-daerah eksotik untuk
wisata juga luar biasa. Jaya pura itu sendiri dahsyat sekali karena di satu sisi pantai, di
sisi lain, perbukitannya yang tinggi banyak yang mencapai 700 di atas muka laut, atau
nyaris setinggi downtown Bandung. Sayang di pantai-pantainya yang indah dipandang
dari ketinggian itu, banyak sampah-sampah dan kurang tergarap jadi spot wisata yang
resik. Kalau mau yang lebih eksotik dari Jayapura, bisa dicoba Raja Ampat. Wisata
gunung, wisata hutan, itu juga eksis. Satu-satunya gunung yang di puncaknya ada salju
abadi di nusantara ini, ya tidak ada lain, cuma di Papua saja.

Singkatnya, tidaklah bisa kita pungkiri, wilayah Papua itu merupakan wilayah nusantara
yang unik. Di satu sisi, dia wilayah nusantara, di sisi lain, dia wilayah oceania-australia.

(ilmuiman.net / Selesai)

Anda mungkin juga menyukai