Anda di halaman 1dari 9

Makalah Tentang Konflik Sosial Papua

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau
Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan
negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh
wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana
bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua
Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia
dan pulau terbesar pertama di Indonesia[1].

Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari
wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis,
dan telah mendorong bangsa bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten
Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah
kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki
kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang
bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun
1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8
juta jiwa pada tahun 2006[2].
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal
antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli
Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas.
Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan
Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi
pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua. Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang
asli Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah
RI. Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis.
Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak
mempercayai Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain
ini, dialog konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila
berbagai masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua
tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi
konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi
Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan
moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah
Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjuangkan
secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua. Sekalipun diakui oleh banyak
orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang yang
hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting
untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli
Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh
dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin atau minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi
secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui
tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat
suatu kehidupan yang penuh kedamaian[3].

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2. Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
3. Bagaimana solusi konflik papua?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
2. Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di Papua.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA


Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber
konflik Papua ke dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik
papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan
nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia.
Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua
telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya hasil penentuan tersebut oleh
majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969 itu
sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu
termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1
desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini
muncul sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan
memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di identifikasikan
secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan
keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami
kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi
Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan
justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan
salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya ketimpangan
yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu
diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan
terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal
melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi
justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi
ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli
dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus.
Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di
Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik,
sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme.
Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang Papua tercatat beberapa kali
menduduki jabatan gubernur[4].

B. SEJARAH KONFLIK PAPUA


Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua.
Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi
Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian
memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun
1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa
pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun
1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua
Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu
tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat
sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali
menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk
persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang
berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan
ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal
Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan
emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur
menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan
tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Bendera PapuaBarat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka
Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai
meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu
juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di
antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur
Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru.
Amerika Serikat diundang tapi menolak.
Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi
nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (Hai
Tanahkoe Papua), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua
dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November
1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19
Desember 1961, Soekarno menanggapipembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan
Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
bangsa[5].

C. SOLUSI KONFLIK PAPUA


Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil
Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18
bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di wilayah Papua[6].
Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya pembebasan Irian barat,
pemerintah belum mengutamakan nation building. Selama ini pemerintah hanya
mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan membangun
manusianya[7]. Maka dari itu, pengembangan state buildingerat kaitannya dengan motif
ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi salah satu alasan utama
konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik Papua dengan peristiwa
Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).
1. Belajar dari Quebec
Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana
periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik yang
bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual antara
pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi nasionalisme
Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan Inggris dan masyarakat
keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada.
Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM
Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara resmi
membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language Act
menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan, mengabaikan, atau
menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik
karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan adil.
Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara demokratis
yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat penyelesaian konflik
separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang paling legal dan
akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal memberikan ruang
seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen
mereka sebagai bagian dari upaya mereka menentukan arah masa depan negara.

2. Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan


Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa
tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi oleh jaring
konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan kekerasan dan stigma
terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis, yang dipraktekkan pemerintah
kita, justru membuat warga merasa tak diterima. Pendekatan militeristiklah yang membuat
orang Papua berpikir untuk merdeka, setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny
Giay[8].
Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi
pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu
mengakomodasi kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka.
Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga keturunan
Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesetaraan bagi warga
keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung mengutamakan pendekatan
keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana
nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya
ditetapkan DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus yang setiap lima
tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah sangat terjamin. Dengan
dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik berarti ada salah urus kebijakan di Papua,
dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara otomatis
menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus mendapat
akses ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang penting, akan tetapi harus
didampingi oleh orang-orang yang paham metode-metode penyelesaian konflik.
Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang represif berpotensi menimbulkan benih
bertumbuhnya nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam
separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan secara total
kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini semakin berkurang
junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen konflik pemerintah kanada dalam
menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia sebagai sebuah model demokrasi
konsesional yang paling berhasil dalam kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah
negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog
tidak akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog
hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan,
kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang
menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan
yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua,
atau bahkan mengatasnamakan suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai
Papua (JDP) berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
- Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru,
pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan
mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan
pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus
(otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21
November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi
Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui
implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah
meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah
membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian
Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu
perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Setelah
melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan
pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007
tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat tahun kemudian,
tepatnya 20 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B).
Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres
Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan
yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya
mengakui dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil
meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut
nyawa, baik warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus
berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan
pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah,
membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat
pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua?

- Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-
kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif. Konflik Papua
lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan
hilang dengan sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah
lebih memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik
Papua mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui
dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan
setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan
penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-
satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya,
sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan
menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua
menuntut suatu solusi komprehensif yang mengakomodasi dan mampu menjawab semua
dimensi permasalahan. Pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya
pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak
berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa
keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul
semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif.
Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak
yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara khusus, pemerintah tidak perlu
takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan
konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di
kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga
kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan
pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflik
Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama,
serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM[10].

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan
peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun
bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat pemerintah
untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan pula
bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusi-solusi yang ditawarkan
bias menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papua sehingga
masyarakat papua bias merasakan perdamaian di tanahnya.

Anda mungkin juga menyukai