Anda di halaman 1dari 23

Makalah Sosiologi

KONFLIK SOSIAL
PAPUA
Dosen pengampu : Wahyu Hidayat, S. IP., MH

Disusun Oleh
Kelompok II

Adriana Tandi Tasik 1701414203


Devi Putri Yulianti 1701414113
Nur Annisa 1701414202
Novia Sari Intan 1701414204
Rini Pertiwi P 1701414117
Salmita 1701414116
Winda Aras 1701414181
Wiwin 1701414205

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa atas
perlindunganNya dan pertolonganNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Ilmu PengetahuanSosial, yaitu tentang KONFLIK SOSIAL PAPUA. Oleh karena itu,
makalah ini berisi tentang contoh-contoh konkret konflik social yang terjadi di Papua.
Di sini kami mengambil topik tentang Konflik Papua. Melalui makalah ini,
kami harap para pembaca dapat mengetahui Akar Pokok Permasalahan Papua serta
dapat mengerti tentang Bagaimana Mencari Solusi Untuk Menyelesaikan Konflik
Papua yang telah berlangsung lama sehingga penduduk Papua dapat hidup tenang di
atas Tanah Leluhur mereka.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan dari penulis apabila makalah ini dapat
terpakai sesuai fungsinya, dan pembacanya dapat mengerti dengan jelas apa yang
dibahas didalamnya. Tidak lupa juga penulis menerima kritikan dan saran yang
membangun, yang sangat diharapkan demi memperbaiki pembuatan makalah di
kemudian hari.

Palopo, September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar isi............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua ............................................. 3


2.2 Sejarah Konflik Papua .............................................................................. 6
2.3 Dampak dari konflik Papua....................................................................... 13
2.4 Upaya Penyelesaian Konflik di Papua ...................................................... 14
2.5 Bentuk konflik di Papua ............................................................................ 17
2.6 Argumentasi Terhadap Konflik Papua ...................................................... 17

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 19


3.2 Saran .......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal
antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang
asli Papua telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi
secara tuntas. Masihadanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan
Merdeka dan Referendum,serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan
berlangsungnya aksi pengembalianUndang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi
diantara orang asliPapua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli
Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau
pendukung gerakan separatis. Adanyastigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak
lain, orang Papua juga tidak mempercayaiPemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan
ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara
Pemerintah dan orang Papua.
Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicarikan
solusinya, makaPapua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal
ini pada gilirannyaakan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di
Tanah Papua.
Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik,
Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian.
Kampanye ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD). Dalam
perkembangan selanjutnya, parapimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai
sebagai suatu visi bersama dari masa depanTanah Papua yang perlu diperjuangkan
secara bersama oleh setiap orang yang hidup diTanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam
dari setiaporang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan

1
memperlihatkan bahwabanyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri
dalam upaya menciptakanperdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang
tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam
kampanye perdamaian ini. Pada hal merekasebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk
mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya.
Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam
upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah
leluhurnya menjaditanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat
suatu kehidupan yangpenuh kedamaian
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun menemukan beberapa
masalah yang timbul dari penjelasan di atas, antara lain:
1. Apa penyebab konflik kekerasan di Papua?
2. Apa sejarah konflik Papua?
3. Apa Dampak dari konflik Papua?
4. Apa upaya penyelesaian konflik di Papua?
5. Apa bentuk konflik di Papua?
6. Apa argumentasi terhadap konflik di Papua?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Konflik Kekerasan Sosial di Papua


Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial
yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang
dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di
Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
1. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta
masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh
mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan
utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang
jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi
penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas
lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, karena memang tidak
dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan
transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi
keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk
bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang
mendukung masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi
masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat
penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari
sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-
Sempan di Omawita.
2. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam
bidang pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama

3
pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang
pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih
orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada
benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang
dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan
terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan
hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di
sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA)
sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara
lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik
Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh
pekerja dari kaum pendatang.
3. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan
Lokal Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada
pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua,
tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur
budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara
sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai
hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan
penindasan tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap
menopang tuntutan Papua Merdeka.
4. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain
intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan
dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas
SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi,
pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli
berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:

4
Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-
konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang
telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme
tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap
mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme Papua yang
mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia,
tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan
Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai
bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan
anti- Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada
masa Orde Baru tidak mampu memadamk an nasionalisme ini, namun justru
memperkuatnya.
Sedangkan menurut peneliti Tim Kajian Papua dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisyah Putri Budiarti mengatakan, ada empat akar
konflik di Papua yaitu:
1. Diskriminasi rasial terhadap masyarakat Papua salah sat temuan kajian LIPI.
Masalah itu menjadi pemicu konflik di Papua baru-baru ini. Yaitu kasus
kekerasaan rasial di Surabaya, Jawa Timur. Masuk ke Indonesia, ini harus
diperhatikan.
2. Pelanggaran HAM di tanah Papua, kasus tersebut menumpuk sejak zaman
orde baru dan perilaku represif kerap terjadi sampai saat ini. Salah satu kasus
yang terjadi saat masa reformasi adalah kasus Wasior Wamena.
3. Kegagalan pembangunan di Papua, masalah pembangunan tersebut masih
terjadi hingga kini. Berdasarkan riset LIPI, kondisi kemiskinan semakin tinggi
dan indeks pembangunan manusia (IPM) semakin rendah di wilayah
kabupaten dan kota dengan mayoritas orang asli Papua.
4. Masalah terakhir adalah status politik dan sejarah masuknya Papua ke I
donesia. Pemerintah cenderung menghindari masalah tersebut, padahal
seharusnya diperhatikan pemerintah. Aisyah menyarankan, pemerintah harus

5
memperhatikan masalah ini. Ini ada perbedaan prespektif tentang status
politik dan integrasi Papua
2.2 Sejarah Konflik Papua
Era administrasi sementara PBB
1962 - 1969
 15 Agustus 1962: Perjanjian New York oleh kerajaan Belanda, Republik
Indonesia dan PBB. Wilayah Irian Barat diserahkan oleh kerajaan Belanda
pada administrasi Otoritas Eksekutif Sementara PBB, diikuti dengan
pertempuran sporadic antara milisi/tentara pro-Indonesia dan pro-Belanda
hingga 1969.
 1966-1967: pemboman udara Pegunungan Arfak
 Januari – Maret 1967: Pengeboman udara wilayah Ayamaru dan Teminabuan
 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di
Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
 April 1969: Pengeboman udara Danau Wissel (daerah pantai dan Enarotali),
14.000 selamat melarikan diri ke hutan.
Era Orde Baru
1969– 1980
 Juli – Agustus 1969: Penentuan pendapat rakyat menentukan bahwa wilayah
Irian Barat adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
 Tanpa sumber: 500 mayat ditemukan di hutan Kecematan Lereh, barat daya
Bandara Sentani, Jayapura.
 Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia.
Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya
di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
 Juni 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di
Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum
ditembak.
 1974: Di Biak Utara, 45 tewas.

6
 1075: Di Biak, setidaknya 41 orang dari desa Arwam dan Rumbin tewas.
 1977: Pengeboman udara Akimuga (tambang Freeport McMoRan Inc).
 April 1978: Enam mayat yang tidak dapat diidentifikasi ditemukan di
kecamatan Dosai, Jayapura.
 Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah
untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai
mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke
dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai
simpatisan OPM dicurigai.
 Juni 1978: 14 mayat korban tembak ditemukan di Barat Bandara Sentani,
Jayapura.
 Tanpa sumber: Biak Utara, 12 orang tertembak.
1980– 1998
 1981: 10 tewas, 58 menghilang di daerah Paniai.
 September – Desember 1981: 13.000 diduga tewas di dataran tinggi tengah.
 Juli 1984: Angkatan Laut, Udara, dan Darat menyerbu Desa nagasawa/Ormo
Kecil, 200 orang tewas.
 Pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel,
termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan
24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano
Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane,
dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
 1986 – 1987:34 tertembak di Paniai/Wissel Lake District.
 8 Januari 1996: Krisis sandera Mapenduma, militant OPM yang dipimpin
Kelly Kwalik menyandera 26 orang di Irian Jaya, memicu Operasi
pembebasan sandera Mapenduma (dua sandera tewas) dan Insiden
Penembakan Timika 1996 (16 orang tewas).
 9 Mei 1996: krisis sandera Mapenduma, berakhir dengan serbuan Kopassus ke
Desa Geselama, di Mimika.

7
Era Reformasi
2000 - 2010
 6 Oktober 2000: Polisi merazia upacara pengibaran bendera di wamena,
massa mengumpul dan du awarga non-Papua tewas dalam sebab tidak jelas.
Massa memulai kerusuhan ke lingkungan migran dari daerah lain di
Indonesia, membakar dan menjarah took – toko. 7 warga Papua tertembak dan
24 warga non-Papua tewas.
 11 November 2001: Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Eluay, ditemukan
tewas di mobilnya di luar Jayapura setelah hilang diculik.
 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari
Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM
bertanggung jawab.
 Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera
separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
 15 oktober 2004: Pemberontakan menewaskan enam warga sipil dalam
serangan di puncak Jaya.
 16 Maret 2006: Tiga polisi dan seorang pilot tewas dan 24 orang lainnya
cedera dalam bentrokan dengan warga Papua dan mahasiswa yang telah
menuntut penutupan tambang Grasberg Freeport di provinsi Papua.
 Pada tanggal 9 Agustus 2008: Di Wamena, satu orang, Opinus Tabuni
(kerabat Buchtar Tabuni), tewas tertembak peluru kepolisian Indonesia yang
dipicu pengibaran bendera Bintang Kejora oleh aktivis di sebuah demostrasi
besar yang diorganisir oleh DAP (Dewan Adat Papua) dalam Hari
Internasional Masyarakat Adat Dunia.
 11-12 April 2009: Pertempuran antara tentara dan militan Papua menewaskan
11 orang termasuk 6 anggota tentara. Pada saat yang sama, sebuah bom
dijinakkan di kantor polisi di Biak.
 Pada tanggal 15 April 2009: Sebuah serangan terhadap sebuah konvoi polisi
di Tingginambut menewaskan satu orang dan melukai enam. OPM diduga
bertanggungjawab.

8
 11 Juli 2009: Seorang karyawan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc
warga Indonesia tewas ditembak dalam serangan di luar perusahaan tambang
itu di Papua.
 Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum,
kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI.
 12 Agustus 2009: Sebuah konvoi 16 bis karyawan Freeport-McMoRan
Copper disergap. Dua orang tewas dan 5 luka-luka.
2010- 2014
 Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT
Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung
Jawab.
 23 Maret 2010: Pemberontak menyerang sebuah konvoi tentara Indonesia.
melukai beberapa tentara.
 17 Mei 2010: TNI menyerang markas militan OPM, menewaskan satu
tersangka militan.
 Mei 2010: OPM diduga menewaskan 3 pekerja di sebuah lokasi konstruksi,
memicu sebuah operasi militer oleh TNI yang menyerbu sebuah desa, 2 tewas
dan seorang wanita diperkosa sementara rumah di 3 desa dibakar oleh militer.
 15 Juni 2010: Seorang perwira polisi Indonesia tewas tertembak saat patroli, 8
senjata api dicuri oleh pemberontak.
 Juli 2010: 12 rumah dan dua gereja rusak dan seorang wanita diperkosa saat
operasi TNI untuk menangkap Goliath Tabuni.
 23 Juni 2011: Seorang perwira polisi dari Jayapura ditembak oleh anggota
yang diduga dari OPM.
 20 Juli 2011: Seorang perwira TNI tewas dalam penyergapan terhadap
pasukan keamanan di distrik Puncak Jaya di Papua oleh pemberontak.
 31 Juli 2011:. Pemberontak menyerang sebuah mobil di Papua dengan senjata,
kapak dan pisau menewaskan seorang tentara dan tiga warga sipil dan melukai
tujuh orang, OPM menyangkal bertanggung jawab.

9
 1 Agustus 2011: Polri menyatakan bahwa anggota OPM menewaskan empat
warga sipil di dekat Tanjakan Gunung Merah, Paniai.
 2 Desember 2011: Seorang perwira kepolisian Jayapura ditemukan tewas di
samping sungai pada hari Kamis setelah ia diduga dibunuh oleh kelompok
orang yang bersenjata panah dan belati. OPM diduga bertanggung jawab.
 5 Desember 2011:. Dua perwira kepolisian tewas di Puncak Jaya selama
tembak-menembak dengan tersangka anggota OPM.
 12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi
menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera
Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.
 Juni 2012, Koordinator Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni
meninggal di rumah sakit setelah mengalami luka tembak dalam operasi
penangkapan oleh kepolisian Jayapura.
 22 Februari 2013, sebuah helikopter TNI rusak akibat tembakan dari darat
ketika mencoba untuk mengevakuasi mayat personel yang tewas melawan
OPM sebelumnya. Setidaknya 3 anggota kru terluka. 8 personel TNI tewas
dalam tembak-menembak sebelumnya.
 19 Juli 2013: Dua orang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)
tewas dalam kontak senjata dengan anggota Batalyon Infantri Raider 751
kodam XVII/Cenderaasih di Kecamatan Mulia, Puncak Jaya Papua.
 7 Januari 2014: Penembakan gelap terjadi di puncak jaya, seorang tukang
ojekyang diketahui bernama Abdul halil (43) tewas di sekitas SMA Wuyuneri
Distrik Mulin.
 9 - 24 April 2016: Konflik antara warga Distrik Gika dan Distrik Panaga di
Kabupaten Tolikara Provinsi Papua sedikitnya dua orang tewas, 17 orang luka
berat, dan 15 lainnya luka ringan. Dari kerugian materi, sebanyak 95 rumah
hangus dibakar, dan hewan ternak dijarah.
Penyebab konflik tersebut, sebagaimana dipaparkan Feri, adalah kecemburuan
mengenai pembagian dana bantuan pemerintah. Warga salah satu distrik
merasa dana bantuan ke distrik lain jauh lebih besar.

10
 1 Desember 2018: Dari Distrik Yigi, Nduga, Papua Barat pekerja PT Istaka
Karya yang tengah mengerjakan proyek jembatan di Kali Yigi – Kali Aurak,
19 diantaranya dibunuh oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Mereka
digiring dengan tangan terikat dan berjalan jongkok menuju lokasi
pembantaian, sedangkan untuk korban selamat berjumlah 13 orang mereka
berhasil selamat karena berpura – pura mati untuk mengelabui kelompok
bersenjata. Tidak hanya itu, Pos TNI Mbua di Kabupaten Nduga, Papua Barat
juga diserang keesokan harinya, Minggu (2/12) sekitar jam 18.30 WIT. Di pos
itu diperkirakan ada 21 anggota TNI. Sempat terjadi baku tembak yang
menyebabkan satu anggota TNI dari Yonif 755 Kostrad, Sertu Handoko
gugur. Total, 20 orang tewas akibat penyerangan kelompok ini. Aksi
penyerangan kelompok separatis ini ternyata tak berhenti sampai di situ. Pada
Rabu (5/12), penyerangan kembali dilakukan terhadap tim gabungan yang
tengah mengevakuasi jenazah Sertu Handoko. Dalam penyerangan ini,
Bharatu Wahyu, anggota Brimob Kelapa Dua Jakarta, tertembak saat kontak
senjata pasukan gabungan Polri dan TNI dengan kelompok kriminal separatis
bersenjata (KKSB) di Yigi, Distrik Yall, Kabupaten Nduga. Beruntung
nyawanya masih bisa diselamatkan. Dugaan awal, pemicu kejadian
pembunuhan tersebut karena para pekerja diduga merekam dan menyaksikan
kelompok separatis bersenjata sedang memperingati Hari Ulang Tahun
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang jatuh pada 1 Desember. Dugaan lain,
kelompok separatis ini kesal lantaran para pekerja berupaya membangun
infrastruktur di Papua. Sebab, pesatnya pembangunan di Papua akan
menghambat gerakan mereka. Dari penyerangan ini, muncul nama Egianus
Kogoya. Dia diduga sebagai pimpinan gerakan separatis Papua. Selama ini
serangkaian teror kelompok Egianus Kogoya sangat meresahkan. Egianus
juga aktor di balik penculikan 15 guru dan sejumlah tenaga kesehatan di
Mapenduma. Mereka disandera selama 14 hari mulai 3 Oktober hingga 17
Oktober 2018. Egianus bagian dari pemimpin separatis senior dan komandan
dari sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik. Di tahun

11
2009, Egianus membentuk kelompoknya usai Kelly tewas dalam
serangan polisi.
 15 Agustus 2019: Di tengan konflik bersenjata di Papua, tim kemanusiaan
yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga menyatakan 182 pengungsi
meninggal, kejadian yang disebut bencana besar tapi di Jakarta santai – santai
saja. John Jonga, anggota tim kemanusiaan menyatakan pengungsi yang
meninggal sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang adalah akibat
kedinginan, lapar dan sakit.
Berdasarka tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para
pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Yal
5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang. Sejumlah Distrik lain
yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal
4.001, distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.071. Mereka mengungsi ke
kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan, kata John. Ada yang ke
Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika.
 19 Agustus 2019: Kerusuhan di Manokwari Papua, di awali sikap rasisme ke
Mahasiswa Papua di Surabaya. Warga Papua di Manokwari, Papua Barat,
menggelar aksi dengan membakar ban bekas dan meletakan ranting pohon di
dejumlah ruas jaln di dalam kota manokwari, sejumlah ruas jalan diblokade,
yakni Jalan Yos Saudarso, Jalan Trikora Wosi dan jalan Manunggal Amban,
Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari. Terkait kerusuhan di
Manokwari, laporan terbaru menyebutkan ada aksi lempar batu antara aparat
keamanan dan warga. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap tindakan
persekusi dan rasisme yang dilakukan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas)
dan Oknum Aparat, terhadap mahasiswa Papua, di Malang, Surabaya, dan
Semarang. Akibat kerusuhan di Manokwari kerusakan parah akibat aksi
tersebut tak hanya terjadi fasilitas milik pemerintah. Tempat usaha dan
kendaraan pribadi pun turut dirusak oleh massa. Hasil inventarisir yang
dilakukan Direktorat Kriminal Umum, kerusakan parah terjadi pada gedung
permanen kantor Sekretariat serta gedung rapat DPRD Provinsi Papua Barat

12
yang rusak akibat pembakaran. Kantor Majelis Rakyat Papua (MPR) Papua
Barat, Kantor Dina Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua Barat,
kantor BPD Manokwari, Kantor Dinas Lingkungan Hidup Manokwari, serta
Kantor Satpol PP Manokwari.
 23 September 2019: Kerusuhan kembali terjadi di Wamena, Papua. Konflik
bermula dari perkataan guru kepada siswa yang berujung pembakaran dan
tembakan. Aksi unjuk rasa dilakukan oleh para siswa di Wamena, Senin yang
berujung kerusuhan. Dilansir Kompas.com, demonstran bersikap anarkistis
hingga membakar rumah warga, kantor pemerintah, PLN dan beberapa kios
masyarakat. Unjuk rasa yang berujung rusuh itu diduga dipicu oleh perkataan
bernada rasial seorang guru terhadap siswanya di Wamena. Hal itu membuat
siswa marah hingga kemudian kabar itu meluas dan memicu aksi unjuk rasa
pelajar di Kota Wamena. kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua
menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 26 orang, 22 orang adalah
masyarakat Papua pendatang, empat orang lainnya adalah masyarakat asli
Papua. Meraka meninggal dunia akibat kekerasan yang terjadi saat kerusuhan
di Wamena, ada juga yang meninggal karena tempat tinggalnya dibakar.
Mereka meninggal akibat luka bacok dan akibat terbakar, di dalam rumahnya
atau rukonya dibakar. Selain korban meninggal dunia bahwa ada 66 orang
terluka akibat kerusuhan tersebut.
2.3 Dampak Dari Konflik Papua
Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan.
Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan
Papua bakal lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah
sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung
kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap
untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis
Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada
aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini

13
dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi
penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang
adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi
sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa,
rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh
bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya.
Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap
dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir
masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka
panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak
masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di
Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang
akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan
kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama
mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat
menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di
daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju
dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.
2.4 Upaya Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia,
yaitu:
1. Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan
oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk perlawanan
masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang
dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996.
Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama

14
di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM).
2. Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1
Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua
petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “meng-
Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga
pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang
digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat
Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam
upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut
berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal
yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
a. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-
jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang
sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa
para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah
satu pihak.
b. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani
ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar
kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak
efektif.
c. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit
secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima
dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
d. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan
eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.

15
e. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga
asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar
Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih
lanjut.
f. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-
kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
g. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak
dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan
pelayanan publik.
h. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat
Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga
Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama
ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua
demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama,
Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang
bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk
berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks
mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau
mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari
pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat
bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan
yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering
ditempuh oleh para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama,
Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua,
Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan
bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui
proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan

16
kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para
pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
2.5 Bentuk Konflik di Papua
1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi
akibat adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena
terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut
dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa
yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah
dan juga kaum elit politik.
2.6 Argumentasi Terhadap Konflik Papua
Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik
yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar
belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua.
Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku,
separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama
otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di
wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan
terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kota-
kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan
diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua
dan Papua Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta
rendahnya tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan
faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah
sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan
bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak
aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan

17
luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia
dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua
menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran
Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-
kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di
daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting
dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan
tetap membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah
tidak akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut
kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah
sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun
pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif
dengan melakukan pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah
Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku
kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan
cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih
tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran
perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya. Kami harap pemerintah dapat
melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan- angan dari kita semua
khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Penyebab konflik di papua yaitu, terjadinya eksploitasi sumber daya alam
(sda), dominasi migran di berbagai bidang-bidang kehidupan, penyeragaman
identitas budaya dan pemerintahan, tindakan represif oleh militer.
2. Sejarah konflik di Papua yaitu 15 Agustus 1962: Perjanjian New York oleh
kerajaan Belanda, Republik Indonesia dan PBB. Wilayah Irian Barat
diserahkan oleh kerajaan Belanda pada administrasi Otoritas Eksekutif
Sementara PBB, diikuti dengan pertempuran sporadic antara milisi/tentara
pro-Indonesia dan pro-Belanda hingga 1969.
3. Dampak dari konflik Papua salah satunya Penyebab separatisme Papua yang
lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi
4. Upaya penyelesaian konflik di papua hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan
yang dilakukan pemerintah indonesia, yaitu pendekatan kekerasan dan
pendekatan non kekerasan.
5. Bentuk konflik di Papua yaitu, konflik kelas social, konflik rasial, dan konflik
politik.
6. Argumentasi terhadap konflik Papua, sekarang ini, kami dapat memahami
latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di
tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar
warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas
3.2 Saran
Konflik yang terjadi di Papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi negeri ini
maka dari pada itu diharapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
harus fleksibel dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah
satu daerah saja karena akan menimpulkan kecemburuan social tiap daerah
sehingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://centraldemokrasi.com/inforegional/15092011/konflik-di-papua-
dilatarbelakangi-politik. Di akses pada tanggal 22 September 2019
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua. Di akses pada tanggal 22 September
2019
http://www.imparsial.org/id/2010/executive-summary-penelitian-papua-tahun-2011-
kebijakan-keamanan-militer-di-papua-dan-implikasinya-terhadap-
ham.htmlKonflik Papua Di akses pada tanggal 22 September 2019
http://www.interseksi.org/blog/files/konflik_maluku.phphttp://ami23.wordpress.com/
2011/01/21/solusi-dari-konflik-sosial-yang-terjadi-papua Di akses pada
tanggal 22 September 2019
https://m.liputan6.com/news/read/4051448/lipi-sebut-ada-empat-akar-konflik-di-
papua. Di akses pada tanggal 24 September 2019
https://m.tribunnews.com/2018/12/06/penembakan-di-nduga-papua. Di akses pada
tanggal 24 September 2019
https://m.tribunnews.com/regional/2019/08/19/dugan-penyebab-kerusuhan-di-
manokwari-papua-diawali-sikap-rasisme-ke-mahasiswa-papua-di-semarang-
malang. Di akses pada tanggal 24 September 2019
https://m.tribunnews.com/regional/2019/09/24/kabar-terkini-kerusuhan-di-wamena-
korban-tewas-jadi-26-orang. Di akses pada tanggal 24 September 2019
https://www.merdeka.com/peristiwa/tragedi-berdarah-papua-di-penghujung-
2018.html. Di akses pada tanggal 24 September 2019 2019
https://www.slideshare.net/aiirmc/makalah-konflik-papua. Di akses pada tanggal 23
September 2019
https://www.tribunnews.com/regional/2019/09/23/kerusuhan-terjadi-di-wamena-
papua-perkataan-guru-kepada-siswa-yang-berujung-pembakaran-dan-
tembakan. Di akses pada tanggal 24 September 2019
Liputan6.com, Delvira Hutabarat pada 31 Agustus 2019, 11:10 WIB

20

Anda mungkin juga menyukai