Anda di halaman 1dari 6

Daerah-daerah konservasi masyarakat adat Wakatobi yang dikontruksi oleh berbagai

mitos adalah sebagai berikut (Sumiman Udu):


1.

Cerita Untu Wa Ode dan Daerah Konservasi Adat Untu Wa Ode


Cerita atau mitos Untu Wa Ode tumbuh dan berkembang di wilayah Wangi-Wangi

khususnya di daerah Waha. Dalam cerita tersebut mengisahkan tentang kisah salah satu keluarga
yang mememiliki kekerabatan dengan imbu yang ada di laut, dan menunggu karang yang ada di
tanjung Untu Wa Ode. Melalui cerita itulah tumbuh kesadaran kolektif untuk tidak mengganggu
wilayah konservasi tersebut, karena cerita itu juga disertai sanksi berupa kualat atau salah
piara1[6]. Bahkan ketika perahu melewati daerah Untu Wa Ode, mereka tidak boleh
membunyikan dayung ke sampan dan tidak boleh ribut (Wawancara dengan La Sali, 29 Mei
2013). Tentunya hadirnya mitos tersebut memiliki maksud tersendiri sebagaimana dikemukakan
oleh Susanto P.S. Harry (1987: 91) bahwa dalam berbagai tipenya, mitos dapat dipandang
sebagai sejarah yang sakral pada waktu yang awal, mitos juga mengungkapkan tindakan kreatif
dan makhluk supernatural untuk menyatakan kesakralan karya mereka. Sehingga mitos-mitos
yang membentuk kesadaran tentang suatu tempat memiliki tujuan-tujuan kreatif yang mampu
melindungi suatu kawasan yang mesti dilindungi oleh masyarakat adat.
Rupanya masyarakat adat Wakatobi menghadirkan mitos untuk mendukung berbagai
kawasan konservasi mereka secara tidak langsung, karena mereka menganggap bahwa mitos
tersebut sebagai suatu kenyataan atau suatu peristiwa yang nyata. Hal ini dapat didukung oleh
adanya pengakuan masyarakat setempat bahwa mereka memiliki hubungan lahir batin dengan
beberapa daerah wilayah konservasi, ini dapat dilihat pada kepercayaan masyarakat Waha yang
mempercayai hubungan batiniah mereka dengan imbu yang menunggu Wilayah konservasi Untu
Wa Ode.
Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh TNC WWF Wakatobi, Daerah konservasi
adat Untu Wa Ode merupakan salah satu kawasan tempat bertelurnya ikan towoula, kurapu (ikan
sunu) dan longa-longa (kobra laut) yang ada di bagian utara pulau Wangi-Wangi (Wawancara,
Saleh Hanan, 3 Mei 2013). Melalui mitos Untu Wa Ode, kawasan ini terjaga dan lestari sampai
sekarang. Masyarakat tidak berani untuk merusak wilayah konservasi adat ini. Namun pelan1

pelan telah ada pergeseran makna mitos Untu Wa Ode di dalam masyarakat setempat sebagai
akibat dari adanya perubahan dari masyarakat. Akibatnya nilai-nilai sakral mitos Untu Wa Ode
semakin berkurang. Terlebih ditambah dengan adanya beberapa pengalaman masyarakat yang
melihat turis dan nelayan dari luar Wakatobi yang berenang dan melakukan penangkapan di
wilayah ini, namun mereka tidak diganggu atau dikutuk oleh makhluk penunggu wilayah Untu
Wa Ode sebagaimana yang disosialisasikan dalam mitos Untu Wa Ode.
Untuk mengantisipasi pergeseran tersebut, maka pada tahun 2000 wilayah-wilayah
konservasi adat ini diusulkan untuk menjadi daerah zonasi oleh pemerintah kabupaten Wakatobi.
Namun pada waktu itu terjadi masalah, karena masyarakat setempat tidak mau menerima sistem
zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Masyarakat adat tidak terbiasa dengan konsep zonasi
dan mereka setuju kalau wilayah zonasi itu disesuaikan dengan ruang konservasi masyarakat
adat. Akhirnya nanti pada tahun 2007, baru daerah-daerah konservasi adat ini ditetapkan sebagai
daerah zonasi oleh pemerintah kabupaten Wakatobi.
Di samping itu, di kawasan ini juga terdapat mitos yang menghubungkan Untu Wa Ode
dengan mitos hutan Wa Bue-Bue yang merupakan kawasan hutan adat atau mutika nusara
kadhia Wanse. Melalui mitos itu, hutan Wa Bue-Bue merupakan wilayah kota waliullah yang
merupakan ruang konservasi adat di wilayah benteng Wa Bue-Bue. Menurut kesadaran
masyarakat setempat kota Waliullah ini memiliki tiga buah pelabuhan yaitu, Untu Wa Ode, Watu
Towengka, dan Umbu Kapota. Tiga buah pelabuhan ini merupakan daerah-daerah konservasi
adat yang sampai saat ini telah dilanjutkan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi sebagai daerah
zonasi dan merupakan tempat-tempat renang yang indah karena karang-karangnya yang masih
utuh.
2. Mitos Pasi Koko dan Konservasi Karang Pasi Koko
Mitos Pasi Koko adalah mitos yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Wakatobi. Dalam mitos tersebut, dijelaskan bahwa daerah konservasi Pasi Koko adalah pusat
kota hantu laut atau imbu. Bagi masyarakat tradisional Wakatobi, kawasan Pasi Koko dikenal
sebagai salah satu daerah berbahaya dalam pelayaran tradisional mereka. Barang siapa yang
merusak karang, berarti merusak kota hantu dan akan mendapatkan kutukan.
Secara geografis, wilayah ini adalah pertemuan dua arus antara pulau Binongko dan
karang Tomia sehingga menghasilkan arus laut yang kuat dan bahkan masyarakat setempat

percaya bahwa perahu dapat saja tenggelam dan hilang di daerah ini. Wilayah ini memiliki arus
laut yang berputar sehingga menurut masyarakat setempat wilayah ini dapat menenggelamkan
sebuah perahu hingga ke dasar laut.
Berdasarkan hasil survei tim TNC WWF Wakatobi wilayah Pasi Koko memiliki karang
yang indah, dan memiliki ikan yang banyak, namun dewasa ini sudah banyak nelayan dari luar
Wakatobi yang datang melakukan pemboman dan pembiusan. Mereka melakukan pemboman
dan pembiusan karena mereka tidak takut dengan berbagai mitos yang mengatakan bahwa Pasi
Koko adalah wilayah pusat kota hantu laut. Oleh karena itu, wilayah konservasi adat hanya
berlaku pada masyarakat setempat, dan tidak berlaku pada masyarakat yang bukan dari
masyarakat adat Wakatobi.
Di samping itu, beberapa kawasan konservasi laut yang dilindungi oleh mitos adalah
mitos tentang karamah di Untu Melambi di daerah Patuno. Melalui mitos keramat itu, wilayah
ini sangat ditakuti oleh masyarakat tradisional Wakatobi. Bahwa jika menebang kayu di wilayah
ini dipercayai akan mendatangkan penyakit bagi masyarakat sekitar. Namun datangnya beberapa
orang konservatif dalam agama Islam, menyebabkan daerah ini dibuka menjadi tempat madrasah
tsanawiah swasta. Akibatnya masyarakat sudah tidak terlalu percaya dengan adanya mitos
mengenai kekuatan ghaib yang dimiliki oleh tempat karamah tersebut. Dampaknya pada
tindakan pembukaan hutan yang ada di wilayah Untu Melambi dan menjadikannya sebagai
lokasi sekolah. Pada hal wilayah ini merupakan salah satu wilayah konservasi adat yang selama
ini mempertahankan hutan lindung di daerah ini.
3. Mitos Tindoi dan Konservasi Hutan Adat Tindoi
Selain beberapa mitos yang mendukung wilayah konservasi masyarakat adat Wakatobi di
wilayah laut. Mereka juga memiliki tradisi lisan yang melindungi kawasan hutan. Di dalam
wilayah sara Wanse ada beberapa hutan yang dilindungi oleh mitos yaitu Tindoi, motika Umbu
Wungka atau motika waliullah, motika Wa Bue-Bue. Menurut masyarakat setempat, Tindoi
merupakan salah satu karamah yang dihuni oleh orang-orang suci. Mereka mempercayai bahwa
keluhur mereka yang ada di Tindoi adalah orang-orang suci yang termasuk dalam kelompok
waliullah. Orang-orang suci ini senantiasa menjaga dan melindungi hutan dan masyarakat Tindoi
dari kerusakan. Menurut Wa Yai (86) tanda bahwa orang-orang tua yang memiliki kuburan di

wilayah hutan adat ini memiliki hati dan jiwa yang lurus dapat dilihat pada batang kayu yang
selalu lurus (wawancara, Wa Yai, 30 April 2013).
Dalam perkembangannya, pada tahun 2008 Wa Yai sebagai salah seorang juru kunci
tempat keramat gunung Tindoi menebang salah satu pohon di kawasan hutan tersebut, tepatnya
di sekitar kuburan anak-anak. Akibatnya, masyarakat di sekitar hutan Tindoi menjadi panik,
karena mereka percaya bahwa jika salah satu ranting pohon patah di gunung Tindoi, maka arah
ranting itu akan berdampak pada kematian bayi di arah ranting tersebut. Tetapi, jika dahan kayu
besar yang patah, maka itu menandakan bahwa yang akan meninggal adalah tokoh masyarakat.
Akibatnya masyarakat hampir membunuh Wa Yai dan melaporkannya ke polisi sebagai hukuman
atas tindakannya. Masyarakat setempat khususnya masyarakat Wuta Mohute dan Tai Bete sangat
khawatir atas kejadian penebangan pohon di wilayah hutan Tindoi tersebut. Bahkan mereka
mengancam akan membunuh Wa Yai jika terjadi suatu bencana sebagai akibat perbuatannya itu.
La Nia (66) mengatakan bahwa masyarakat Wanse di zaman dulu sangat takut untuk
merusak wilayah hutan di lingkungan konservasi Tindoi. Karena masyarakat percaya bahwa jika
mereka melakukan pengrusakan di daerah tersebut, maka mereka akan pendek umurnya
(Wawancara, 30 April 2013). Dengan pemahaman itu, masyarakat adat Wakatobi di sekitar
Tindoi secara tidak langsung melakukan konservasi terhadap hutan di wilayah Tindoi.
Mitos yang ada di wilayah Tindoi dipengaruhi oleh konsep Islam terutama dalam konsep
empat sahabat. Sehingga konsevasi hutan Tindoi dimulai dari cerita tentang keberadaan empat
sahabat yang memiliki faham kangkilo atau kesucian. Jika mereka menodai kesucian wilayah
konservasi adat ini akan mendapatkan kutukan. Bahkan ketika ditanya oleh peneliti, Wa Yai
mengatakan bahwa masyarakat Tindoi percaya bahwa masyarakat leluhur yang ada di Tindoi
yang menghuni wilayah ini adalah orang-orang suci, tidak berbohong dan tidak memakai hal-hal
yang bukan hak mereka.
Jika dibandingkan dengan beberapa wilayah hutan sara Wanse yang tidak dilindungi oleh
mitos seperti kaindea dan motika, maka hutan dan kaindea tersebut saat ini telah hampir habis
rambah oleh masyarakat. Mereka membuka lahan kebun. Akibatnya beberapa sumber air yang
ada di beberapa sungai di pegunungan pulau Wanci menjadi sangat rentan dengan kekeringan.
Pada hal menurut penuturan masyarakat setempat, sungai-sungai tersebut sangat jarang kering,
tetapi karena kaindea sudah mulai menipis maka setiap kemarau, sungai-sungai kecil tersebut
langsung kering.
4. Mitos Kota Waliullah dan Kawasan Hutan Bungi di Desa Longa

Masyarakat di kawasan timur pulau Wangi-Wangi mempercayai cerita Kota Waliullah


yang bertempat di hutan Bungi Desa Longa Kecamatan Wangi-Wangi. Selama berabad-abad
hutan ini dilindungi oleh mitos bahwa hutan tersebut merupakan salah satu kota yang dihuni oleh
waliullah. Bahkan mereka sampau saat ini masih mempercayai hubungan dagang mereka dengan
masyarakat kota tersebut. Mereka juga percaya bahwa mereka memiliki saudara di kota tersebut,
bahkan mereka dapat kawin dengan masyarakat waliullah di kota itu.
Mitos ini kemudian menyelamatkan hutan ini dari masyarakat setempat, tetapi karena
adanya perkembangan masyarakat dan kuatnya tekanan kemiskinan, informasi global, maka
pelan-pelan kepercayaan yang dibangun oleh mitos itu pelan-pelan menipis di dalam masyarakat
setempat. Akibatnya hutan ini sudah terancam hilang karena dirambah oleh masyarakat desa
Longa dan Patuno.
5. Mitos Moori dan Konservasi Hutan Suo-Suo di Tomia Timur
Cerita Moori merupakan salah mitos yang mendukung wilayah konservasi hutan di
benteng Suo-Suo Tomia Timur. Masyarakat Tomia sampai saat ini masih selalu datang berdoa
dan membuat sesajian di kuburan Ince Sulaiman yang ada di wilayah benteng Suo-Suo. Ini
tentunya berhubungan dengan sistem religi masyarakat Tomia, terutama dalam hubungannya
dengan Ince Sulaiman yang menyebarkan Islam pertama di daerah ini. Melalui cerita Moori
masyarakat Tomia tetap melindungi wilayah hutan Suo-Suo sebagai daerah keramat.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hutan Suo-Suo merupakan satu-satunya hutan
lindung yang ada di pulau ini.
Selain daerah konservasi di hutan Suo-Suo, masyarakat Tomia juga memiliki wilayah
konservasi alam Liang Kuri-Kuri di daerah Kulati. Liang Kuri-kuri merupakan hutan lindung
sara yang dimitoskan ditunggu oleh hiu kuning dan hantu laut. Masyarakat mempercayai bahwa
apabila memasuki wilayah itu tanpa hati-hati atau melakukan ritual tertentu, maka orang akan
seriang salah jalan atau tersesat (Wawancara dengan Sahruddin, 3 Mei 2013).
Selanjutnya wilayah konservasi adat di dalam masyarakat Tomia adalah wilayah
konservasi One Mombaa yang dilindungi dengan mitos hiu besar dan imbu atau hantu laut.
Berdasarkan hasil penelitian TNC WWF Wakatobi, wilayah ini adalah pusat inkubasi atau
pemijahan ikan di daerah Tomia dan sekaligus wilayah pengembangan resort. Wilayah ini juga
memiliki pemandangan karang yang baik, dan memiliki ikan yang melimpah, terlebih setelah
dikelola oleh Wakatobi Dive Resort.

6.

Mitos Buaya Emas dan Konservasi Hutan Mangrov di Mbara-mbara Togo Binongko
Masyarakat Togo Binongko memiliki mitos Buaya Emas yang selalu muncul di daerah

kawasan Hutan Mangrowe di Desa Hakka Kecamatan Togo Binongko. Karena kemunculan
buaya emas itu selalu tidak pasti, dan siapa saja yang melihatnya pasti sakit dan mati, maka
masyarakat di kawasan ini sangat hati-hati memasuki wilayah ini. Mereka takut jangan sampai
mereka terkena kutukan dari makhluk halus tersebut. Dampak dari mitos ini akhirnya melahirkan
kesadaran akan adanya makhluk halus yang menjaga hutan mangrowe tersebut. Masyarakat di
sekitar hutan manggrowe tersebut sampai saat ini masih selalu memberikan sesajian di sekitar
hutan manggrowe mbara-mbara.
Di samping itu, masyarakat Binongko juga memiliki hutan Wa Tampidha sebagai ruang
konservasi adat yang dibungkus dengan cerita Kota Waliullah. Melalui cerita itu, masyarakat
Binongko mempercayai bahwa daerah itu adalah wilayah hutan yang dihuni oleh para Waliullah.
Beberapa dekade yang lalu masyarakat Binongko masih melakukan perdagangan dengan sistem
barter dengan masyarakat waliullah yang menghuni wilayah hutan tersebut. Dengan adanya
mitos tersebut, maka masyarakat Binongko sampai saat ini masih menghormati dan menakuti
wilayah hutan ini (Wawancara Sahruddin, 3 Mei 2013).

Anda mungkin juga menyukai