Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Siapa yang tidak kenal dengan peta diatas? Itulah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan negara kita tercinta. Indonesia begitu luas dari tanah Sabang
yang ada di bumi Serambi Mekah hingga ke Merauke yang ada di Bumi Cendrawasih.
Tidak hanya luas daratannya saja, tapi lautan Indonesia juga begitu luas. Sebuah anugrah
dari Tuhan yang patut kita syukuri dan jaga. Indonesia merupakan sebuah negara besar
dengan terdiri lebih dari 17.000 pulau baik besar maupun kecil. Indonesia terdiri dari 33
propinsi dimana merupakan hasil pemekaran yang dulunya hanya 27 propinsi. Indonesia
terdiri berbagai macam suku, budaya dan agama. Penduduknya yang hampir mencapai
250 juta lebih ternyata bukanlah perkara mudah bagi pemimpin Indonesia untuk
mengurusnya. Kompleknya berbagai macam persoalan yang ada membuat Indonesia
semakin terpuruk dalam ketidakpastian akan kesejahteraan rakyat.
Jakarta yang merupakan ibukota dari Indonesia sendiri ternyata mempunyai
segudang masalah yang sampai sekarang belum ditemukan pemecahannya oleh para
pemimpin-pemimpinya. Pulau Jawa yang merupakan sebagai pusat akan seluruh kegiatan
pemerintahan di Indonesia juga ternyata mempunyai banyak problematika yang tidak
sedikit.
Bagaimana dengan daerah lain di luar pulau Jawa???
Fakta menunjukan ternyata kondisi di luar Pulau Jawa jauh lebih memprihatinkan.
Banyak masalah yang tidak kunjung selesai. Selain masalah kesejahteraan yang tidak
kunjung selesai, konflik antar kelompok masyarakat juga menjadi salah satu problem yang
patut diperhatikan.

Setelah Nangroe Aceh Darussalam yang bergejolak karena Gerakan Aceh


Merdekanya (GAM) berhasil diredakan dengan berbagai jalan diantaranya dengan operasi
militer bahkan dialog dengan GAM secara langsung. Kini muncul lagi gerakan yang
sampai sekarang belum terselesaikan yaitu Organisasi Papua Merdeka yang berada di
Tanah Cenderawasih, Irian Jaya. Seperti gerakan sparatis di daerah lainnya, pada dasarnya
OPM juga ingin memisahkan diri dari NKRI. Entah kenapa hingga sekarang konflik
berkepentingan ini belum juga dapat terselesaikan. Mengapa Papua tetap bergolak?
Apakah ada kepentingan yang menungganginya? Begitu kompleks masalah yang ada di
Papua, tapi kita harus yakin bahwa sesungguhnya Papua adalah Indonesia yang cinta
damai dan ingin hidup dalam kerukunan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM?
2. Apa penyebab utama konflik Papua?
3. Apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam usaha menyelesaikan konflik
Papua sejak masa reformasi?

1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.

Untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran Sejarah.


Untuk mengetahui sejarah terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM.
Untuk mengetahui penyebab utama konflik Papua.
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik
Papua.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat
yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Lahirnya OPM di kota
Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap
barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) dimana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh.
Picu "Proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua
(PVK = Papoea Vrijwilligers Korps) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta
penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran
yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu.
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala
di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "Proklamasi OPM" serta
"Pengibaran Bendera OPM" yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya. Soalnya,
untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di
masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan
si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan
Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para
pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya,
melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas
Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia
telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan
AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan
Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian
Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara
tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM
mendapat perhatian luas.
Dengan segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling
penting untuk disorot? Secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting
dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari,
tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan
berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan
Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
3

Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan,


Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan
tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan
Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari
Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah
migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum terjun dalam
pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan
Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan
orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua
Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu.
Tonggak sejarah yang kedua adalah empat tahun sesudah pemberontakan OPM di
daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah
komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "Proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa
itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura,
dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki
dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas
tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet
Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah
Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di
Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM)
dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur.
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya
menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk
TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat,
sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di
bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia
menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan
bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan
Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia
membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai
Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal
PROKLAMASI
4

Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong
sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan
pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan
pada Anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah
diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure). Semoga Tuhan
beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati
dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah
dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem (Brigadir-Jenderal)
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai
sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri
Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?)
TEPENAL Republik Papua Barat.
Tonggak sejarah ketiga yaitu Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai
negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang
mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan
bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong,
yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.
Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch.
Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui,
pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam
penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua
tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang
dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9
Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan
"makar".
Tonggak sejarah keempat yaitu pada tanggal 26 April 1984. Pada tanggal ini,
pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran
nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk
sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada
tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap,
ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang
5

menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua


Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi
terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana
Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota
Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang
lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk
mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Tonggak sejarah kelima yaitu pada tanggal 14 Des 1988. Seperti yang telah
disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom
Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan
pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini,
sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua
Barat" yang sebelumnya. Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang
sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada
tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil
"Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga
warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda. Sedang ke-13
garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang
akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando
Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu
memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah
bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang
dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering
dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak
Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura.
Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai.
Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga
tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan
diresmikan oleh Rumkorem.

2.2. Penyebab Utama Konflik Papua

Di tanah Papua, baik OPM maupun PDP tetap pada tekadnya memperjuangkan
satu tujuan, yaitu memerdekakan diri dari Indonesia. Tujuan mereka disinyalir Pemerintah
Indonesia mencakup beberapa hal pokok, yaitu antara lain :
1. Kekecewaan Ekonomi
Sejak berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Papua merasa terpinggirkan secara
ekonomi, kekayaan alam Papua yang berlimpah tidak pernah dirasakan manfaatnya
secara langsung. Ketika pertama kali bergabung dengan Indonesia kekayaan alam di
Papua langsung ditarik ke Jakarta untuk membenahi keadaan perekonomian nasional
yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan ekonomi yang pada saat itu terjadi
tingkat inflasi yang mencapai 250 %. Dengan bantuan kekayaan Papua lah keadaan
ekonomi Indonesia semakin membaik, akan tetapi keadaan yang terus membaik ini
tidak pula merubah kebijakan yang diberlakukan di Papua. Kekayaan alam Papua terus
diserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian ke Papua dalam jumlah yang
seharusnya.
Disaat pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan ekonomi pemerintah
dianggap sebagai kebijakan yang paling membawa kekecewaan secara ekonomis oleh
rakyat Papua. Pertama, kebijakan pemerintah mengenai transmigrasi. Kebijakan ini
secara kasat mata memang dianggap berhasil oleh beberapa kalangan. Kebijakan ini
memang memajukan sebagian daerah di Papua, karena setelah kebijakan ini
dilaksanakan lokasi transmigrasi tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Pemerintah
pun mulai membangun sarana dan prasarana, seperti infrastruktur jalan, dan sarana
publik seperti tempat ibadah, puskesmas, serta fasilitas pendidikan. Namun fasilitasfasilitas yang mulai dibangun tersebut hanya terjadi di wilayah transmigrasi saja, yang
mayoritasnya adalah penduduk pendatang di Papua. Penduduk lokal tetap berada pada
kondisi yang memprihatinkan dengan keadaan ekonomi mereka semakin memburuk,
serta tanpa ada fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Kedua adalah
mengenai HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang kebijakannya hanya menguntungkan
para pemilik modal dari luar Papua untuk mengelola hutan di kawasan tempat tinggal
mereka. Hutan yang dulunya mereka gunakan untuk menyambung hidup, maupun
sarana spiritual, kini pengelolaannya sudah berada di tangan lain. Masyarakat setempat
kembali menjalani hidup semakin miskin. Kemudian faktor ekonomi yang lain adalah
berdirinya PT. Freeport. Sejak awal berdirinya PT. Freeport di Papua, sebenarnya telah
menuai berbagai protes dari kalangan masyarakat sekitar. Alasan masyarakat Papua ini
melakukan protes dikarenakan cara-cara/ proses pembangunan proyek yang merugikan
rakyat Papua, sampai kebijakan-kebijakan setelah proyek Freeport ini berlangsung.
Hal ini mendukung rakyat Papua yang merasa sangat kecewa terhadap PT. Freeport
dan Pemerintah, akhirnya berpaling ke OPM. Dengan isu isu inilah seakan-akan
OPM semakin merasa kuat di Papua. Rakyat Papua mendukung OPM denagn berbagai
7

cara, antara lain dengan bergabung langsung di lapangan untuk melakukan aksi-aksi/
gerakan-gerakan fisik, penyebaran pamplet, menghadiri rapat OPM serta menyediakan
tempat tinggal bagi OPM, menyediakan bahan makanan, sampai pakaian para OPM.
2.

Peminggiran Sosial Budaya


Salah satu imbas dari adanya program transmigrasi Papua terkesan sebagai
pemusnahan etnik Papua. Sikap pemerintah yang lebih memperhatikan warga
transmigrannya membuat warga asli Papua semakin terpinggirkan. Upaya ini sering
dianggap sebagai tindakan/ upaya untuk memusnahkan etnik Papua di masa
mendatang. The Institute for Human Rights and Advocacy, dalam sebuah penelitian
yang dilakukannya menemukan bahwa kebijakan transmigrasi yang digelar
Pemerintah Indonesia menyebabkan krisis identitas bagi rakyat Papua. Oleh karena
itu, mereka akhirnya berpegang pada identitas etnisitas Melanesia dan Agama Kristen,
yang pada akhirnya menjadikan kedua hal tersebut sebagai landasan upaya sparatism
yang mereka usung.

3.

Diskriminasi Politik dan Hukum


Selama bertahun tahun, sejak berintegrasinya Papua dengan Indonesia, rakyat
Papua masih merasakan diskriminasi politik dan hukum sebagai akibat dari
implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tanpa mempertimbangkan elemenelemen putra daerah. Wujud dari diskriminasi ini adalah mendominasinya etnis nonPapua dalam jajaran birokrasi Papua. Selain itu, represifnya militer membuat rakyat
Papua merasa tertekan dan terkucilkan. Upaya penuntutan hak oleh rakyat Papua
dijawab dengan tindakan militer. Bahkan, pemerintah Indonesia menerapkan Daerah
Operasi Militer (DOM) di Papua dengan dalih untuk memberantas OPM, dimana
tentara Indonesia justru melakukan banyak tindakan pembunuhan, penculikan, atau
tindakan kekerasan lainnya yang menimbulkan ingatan traumatis dan kekecewaan
dalam benak rakyat Papua.

2.3. Upaya Upaya Penyelesaikan Konflik Papua sejak masa Reformasi


Ketika Orde Baru berkuasa, beberapa bentuk penyelesaian konflik di Papua
kebanyakan diselesaikan dengan pendekatan militer dan ekonomi yang dipusatkan secara
terpusat tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal. Pada pasca Reformasi,
terlihat ada pergeseran dalam kebijakan pemerintah pusat. Diantara kebijakan tersebut
adalah penghapusan DOM dan diberikannya otonomi khusus untuk Papua. Pasca
penghapusan DOM, peristiwa berdarah tetap muncul di bumi Papua. Dua diantaranya
yang mendapatkan perhatian besar adalah kasus Timika dan Abepura. Kasus Timika yang
melibatkan pembunuhan 3 pegawai Freeport tanggal 31 Agustus 2001 yang membahas
keterlibatan Amerika serikat dalam konflik Papua. Konflik ini berhasil diredam dengan
tanpa campur tangan AS (Amerika Serikat) terlalu jauh.
8

Kasus Abepura terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 yang diawali dengan
penyerangan Markas Polsek Abepura oleh 15 orang dengan senjata tajam. Akibat
penyerangan tersebut, Brigadir (Pol) Petrus Epaa tewas dan tiga polisi lainnya luka-luka.
Setelah kejadian, petugas kepolisian melakukan penyisiran di enam lokasi yang di duga
menjadi tempat persembunyian pelaku. Pada masa pemerintahan Preside Abdurrahman
Wahid, pendekatan resolusi konflik yang diambil cenderung memilih pendekatan yang
lebih liberal dan sosial. Pendekatan resolusi dari sisi sosial digunakan sebagai upaya nonkoersif untuk mengatasi rasa diskriminatif yang selama ini dirasakan oleh rakyat Papua.
Langkah pertama dari presiden Wahid tersebut adalah mengubah nama Papua yang
sebelumnya bernama Irian Jaya yang resmi dikeluarkan pada bulan Januari 2000.
Sejak 1 Januari 2002, Pemerintah Daerah (Pemda) Papua secara resmi telah
mengumumkan pemberlakuan otonomi khusus, walau belum ada satu Peraturan Daerah
(Perda) mengatur realisasi otonomi khusus tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut,
maka nama Provinsi Papua sudah wajib digunakan secara resmi dalam surat menyurat,
dokumentasi, pembukuan, pemberian nama instansi, lembaga, yayasan, atau acara resmi
maupun non-resmi lain dalam proses pengadilan, seminar, dialog resmi, surat dinas,
pemasangan papan reklame, berbagai kegiatan di perguruan tinggi, dan seterusnya.
Langkah resolusi konflik yang diambil Presiden Abdurrahman Wahid bisa
dikatakan sangat akomodatif dan diusahakan tanpa adanya kekerasan sekalipun. Selain
kebijakan tersebut di atas, Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Januari 2000,
meminta maaf kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang
dilakukan TNI. Presiden juga mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua
dan dilaksanakannya Kongres Papua pada bulan Mei 2000 dan bahkan menyumbangkan
dana sebesar 1 milyar rupiah. Selain itu Presiden juga sempat menemui Theys pada bulan
Mei 2001, yang dalam kongres Papua diklaim sebagai Pemimpin Besar Resolusi Papua.
Pada masa Presiden Megawati, pemfokusan pada pendekatan pemberian otonomi khusus
pada Papua dengan menetapkan UU No. 21/ 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Selain itu pemerintah pusat juga melakukan beberapa kali pendekatan untuk mencegah
pengembalian Otonomi Khusus oleh rakyat Papua, yang mereka anggap terlalu lamban
dalam pelaksanaanya. Salah satu pendekatan pencegahan tersebut dengan mengadakan
pertemuan dengan wakil dari DPRD Papua yang dihadiri langsung oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
BAB III
PENUTUP
3.1........................................................................................................................Kesimpulan
Tanah Papua yang elok dan luas pada dasarnya merupakan daya tarik tersendiri
bagi suatu pulau, dengan tertanam berbagai kekayaan alamnya yang eksotis serta
didukung oleh kekayaan bawah tanah yang bernilai ekonomis sangat tinggi menjadikan
9

Papua sebagai tanah sempurna. Akan tetapi kekayaan yang melimpah ini tak dapat
dimanfaatkan lebih lanjut dan berguna. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat Papua
yang tertinggal. Seiring bergabungnya Papua menjadi bagian dari NKRI tidak seutuhnya
membawa kemaslahatan bagi rakyat Papua itu sendiri, justru sebaliknya, masyarakat
Papua masih merasa terdiskriminatif dari adanya kebijakan kebijakan pembangunan
pemerintah pusat. Dengan keadaan inilah timbulah berbagai gerakan-gerakan sparatis
yang menyerukan kemerdekaan Papua atas Indonesia, berbagai faktor pendorong dari segi
ekonomi, politik dan hukum, sosial-budaya menambah semangat para gerakan sparatis ini
untuk terus bergerilya menyerukan kemerdekaan papua. Akan tetapi dalam hal ini,
pemerintah pusat tidak pula tinggal diam, berbagai cara dan pendekatan digunakan untuk
meredam, menumpas, bahkan upaya pencegahan untuk mengendalikan gerakan-gerakan
sparatis ini, yang bertujuan untuk menjadikan Papua kembali kondusif.
A. Saran
Timbulnya gerakan gerakan sparatis di Papua sesungguhnya bisa dijadikan suatu
cermin diri bagi pemerintah Indonesia untuk tidak lagi menganak tirikan tanah Papua.
Pemerintah haruslah lebih perhatian dan memberi rasa adil dan aman untuk masyarakat
Papua. Berbagai hal sebenarnya lebih bisa dilakukan Pemerintah pusat untuk bisa
mengembalikan rasa kenasionalisme rakyat Papua. Salah satunya dengan mengembangkan
daerah Papua sesuai potensi alam yang dimiliki di setiap daerah di Papua. Dengan
pengembangan potensi ini, masyarakat asli Papua harus bertindak secara aktif untuk
meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain tidak hanya sebagai penonton. Selain itu
tingkat pendidikan dan kesehatan haruslah tetap menjadi prioritas bagi kebijakan
kebijakan yang akan diimplementasikan di Papua. Karena dengan pendidikan dan rohani
jasmani yang kuat, secara langsung dan tak langsung akan membuat rakyat Papua semakin
tegak berdiri.

10

DAFTAR REFERENSI

Buku Pendidikan Kewarganegaraan (LEMHANAS) (diakses tanggal 2 November 2015)


http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Papua_Merdeka (diakses tanggal 2 November 2015)
http://edudanews.blogspot.com/2011/10/stuktur-militer-komando-pusat-tentara.html (diakses
tanggal 2 November 2015)

11

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang maha luas rahmat dan
karunia-Nya, semoga kita termasuk ke dalam orang yang mendapatkannya. Shalawat dan
salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., keluarganya, para sahabatnya, dan
semoga kita termasuk ke dalam umatnya.
Dalam waktu yang begitu padat kami mencoba untuk mengambil celah-celah agar
kami dapat berdiskusi dalam menyelesaikan tugas ini. Bahkan kami baru pertama kali
tergabung dalam satu kelompok. Tapi walaupun begitu kami tetap dapat bekerjasama.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yang telah
membimbing kami dalam melakukan penyusunan tugas ini. Tak lupa kami sampaikan juga
kepada rekan-rekan yang telah memberikan referensi dan masukan bagi kami dalam
melakukan pengembangan akan tugas ini.
Kami sadar bahwa tugas yang kami susun mungkin masih banyak terdapat kekurangan
sehingga masih banyak diperlukan perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan dalam upaya
mendapatkan hasil yang jauh lebih baik.
Mungkin hanya itu saja pembuka dari kami, semoga tugas ini dapat memberikan
sedikit wawasan kepada kita semua dan arti akan pentingnya sebuah bela negara untuk
Indonesia.
Pagar Alam, November 2015
Penyusun

12

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1....................................................................................................................Latar Belakang 1
1.2...............................................................................................................Rumusan Masalah 2
1.3..................................................................................................................................Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.............................................................Sejarah Terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM 3
2.2..........................................................................................Penyebab Utama Konflik Papua 7
1. Kekecewaan Ekonomi................................................................................................7
2. Peminggiran Sosial Budaya........................................................................................8
3. Diskriminasi Politik dan Hukum................................................................................8
2.3................................Upaya Upaya Penyelesaikan Konflik Papua sejak masa Reformasi 8
BAB III PENUTUP
3.2..........................................................................................................................Kesimpulan 10
3.3....................................................................................................................................Saran 10
DAFTAR REFERENSI

13

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Aisyah Putri Anggraini


Cyntia Agetha
Jelviando
Merta Lena
Lia Kurniati
Yela Gusfita

Guru Pembimbing : Rina, S.Pd.

14

Anda mungkin juga menyukai