Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PKN

PELANGGARAN HAM
DOM DI ACEH TAHUN 1989-1998

Kelompok 7
1. Darul Larasati Prasetyaningrum
2. Deo Dedianto
3. Gea Febrianingrum
4. M. Alfiyan Chairi Hakim
5. Retno Wulandari

15.8555
15.8560
15.8632
15.8748
15.8844

SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK


2016 - 2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun makalah ini ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah
mata kuliah PKN yang berjudul Kasus Pelanggaran HAM, DOM Aceh Tahun
1989-1998 tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini di tujukan sebagai salah satu mata kuliah PKN di
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Makalah ini berisikan tentang bagaimana
kasus pelanggaran HAM Daerah Operasi Militer yang di berlakukan di Aceh pada
tahun 1989-1998. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak dan sumber yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga penulis dapat melewati
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sara
yang membangun dari pembaca.

Jakarta, 13 Januari 2017

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................


ii
Daftar Isi ..................................................................................................................
iii
2

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1
1.3 Tujuan ..................................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................
3
2.1 Definisi HAM ......................................................................................................
3
2.2 Pengertian Pelanggaran HAM..............................................................................
8
2.3 Kasus Pelanggaran HAM DOM di Aceh Tahun 1989-1998 ...............................
11
2.4 Jenis Pelanggaran HAM pada Saat DOM Aceh...................................................
14
2.5 Pengusutan Masalah dan Peran Pemerintah.........................................................
19
BAB III PENUTUP .................................................................................................
33
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................
33
3.2 Saran ....................................................................................................................
34
Daftar Pustaka ...........................................................................................................
35
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak istimewa manusia yang sudah ada
sejak manusia pertama kali dilahirkan. Dalam realitanya di kehidupan, banyak
terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sehingga diperlukan lembaga
peradilan untuk menangani kasus-kasus tersebut.
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan HAM mengemukakan
pengertian pelanggaran HAM dan pengadilan HAM secara jelas.
DOM adalah Operasi Jaring Merah yang mulai digelar pada 1989 untuk
menumpas GAM. Operasi ini di bawah kendali Kodam I/ Bukit Barisan di Medan
dengan dua korem yang berada di Aceh, yaitu korem 011/Liliwangsa di
Lhokseumawe dan Korem 012/Teuku Umar di Banda Aceh. Pada tahun 1990,
dikerahkan 6.000 pasukan tambahan. Jumlah yang sangat besar untuk menumpas
anggota GAM yang hanya berjumlah 203 pada waktu itu.
Dampak yang ditimbulkan DOM-yang berakhir pada tanggal 17 agustus
1998memang luar biasa buruk.Bukan saja mengakibatkan rusaknya tatanan
sosial masyarakat Aceh namun juga menimbulkan banyaknya korban fisik. Dari
laporan Tim Komnas HAM untuk kasus Aceh tanggal 24 Agustus 1998
menyatakan, selama DOM diberlakukan, sebanyak 781 orang meninggal dunia
akibat tindak kekerasan, 368 orang dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita
menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 15.00020.000 anak menjadi yatim, 102 bangunan dibakar dan terjadi 102 kasus
perkosaan.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah Pelanggaran HAM, kasus DOM di Aceh pada
tahun 1989-1998, maka masalah yang akan diidentifikasikan adalah :
1. Apa pengertian Hak Asasi Manusia?
2. Apa saja yang termasuk pelanggaran HAM ?
3. Bagaimana kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada tahun
1989-1998?
4. Bagaimana penyusutan kasus pelanggaran HAM di Aceh?
5

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud Hak Asasi Manusia.
2. Mengetahui apa saja yang termasuk pelanggaran HAM.
3. Mengetahui kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh pada
tahun 1989-1998.
4. Mengetahui bagaimana penyusutan kasus pelanggaran HAM yang ada di
Aceh.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi HAM
Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM merupakan hak dasar yang dimiliki
oleh setiap manusia yang didapatkan sejak lahir dimana secara kodrati HAM
sudah melekat dalam diri manusia dan tak ada satupun orang yang berhak
mengganggu gugat karena HAM bagian dari anugrah Tuhan, itulah keyakinan
yang dimiliki oleh manusia yang sadar bahwa kita semua makhluk ciptaan Tuhan
yang memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lainnya sehingga mesti
berhak bebas dan memiliki martabat serta hak-hak secara sama.
Pengertian HAM seperti yang dikemukakan oleh Jan Matersondari (komisi
hak asasi manusia PBB), dalam Ari Wibowo (2008:3), ialah hak-hak yang melekat
pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Menurut Burhanuddin Lopa, dalam Ari Wibowo (2008:3), pada kalimat mustahil
dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai
manusia yang bertanggung jawab. Alasan ditambahkan kata tanggung jawab
tersebut ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab
atas segala yang dilakukannya.
Mulai lahir, manusia telah mempunyai hak asasi yang mesti dijunjung tinggi
dan diakui semua orang yaitu HAM. Hak Asasi Manusia mucul dari keyakinan
manusia itu sendiri bahwasanya semua manusia selaku makhluk Tuhan adalah
sama serta sederajat. Manusia dilahirkan memiliki martabat juga hak-hak yang
sama. Bagi dasar itulah manusia mesti diperlakukan secara sama setimpal dan
beradab. HAM bersifat universal, artinya berlaku bakal semua manusia tanpa
mebeda-bedakannya berdasarkan atas ras, keyakinan, suku dan bangsa (etnis).
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), cakupannya sangatlah luas,
baik HAM yang bersifat individual (perseorangan) maupun HAM yang bersifat
komunal atau kolektif (masyarakat). Upaya penegakannya juga sudah berlangsung
berabad-abad, walaupun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, secara
eksplisit baru terlihat sejak berakhirnya perang Dunia II, dan semakin intensif
sejak akhir abad ke-20. Sudah banyak juga dokumen yang dihasilkan tentang hal
itu, yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Khusus dalam kehidupan kita
7

berbangsa, sejak beberapa dasawarsa terakhir ini terlihat perkembangan yang


cukup menggembirakan sehubungan dengan upaya penegakan dan pemenuhan
HAM ini. Misalnya kita melihat terbentuknya sejumlah komisi Nasional HAM;
ada yang bersifat umum atau menyeluruh (yaitu Komnas HAM), dan ada juga
yang bersifat khusus, misalnya untuk perempuan (Komnas Perempuan) dan untuk
anak (Komnas Anak). Di bidang perundang-undangan, perkembangan terakhir
yang patut dicatat antara lain adalah hasil amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun
2002, yang antara lain membuat ditambahkannya satu bab khusus tentang HAM
(yaitu bab X, yang terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 28 A -28 J). Bab dan pasalpasal ini banyak menyerap (mengadopsi dan meratifikasi ) isi the Universal
Declaration of Human Rights maupun dokumen-dokumen HAM lainnya yang
disusun dan disepakati secara internasional
HAM dalam UUD 1945
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerinatah itu dengan tidak
ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang -undang
Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya
Pasal 28 B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah
(2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 28 C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas


hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya
Pasal 28 D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
(2) Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalm
pemerintahan
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
Pasal 28 E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya,
memilih

pendidikan

kewarganegaraan,

dan

memilih

pengajaran,
tempat

memilih

tinggal

di

pekerjaan,
wilayah

memilih

negara

dan

meninggalkannya serta berhak kembali.


(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28 G
(1) Setiap orang berhak atas perlindung diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasinya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan
(3) Setiap orang berhak atas imbalan jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun.
Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yanbg bersifat diskriminatif
atas dasar apaun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asaso manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokrastis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menajlan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimabangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak mengembangkan diri
c. Hak memperoleh keadilan
d. Hak atas kebebasan pribadi
10

e. Hak atas rasa aman


f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak urut serta dalam pemerintahan
Franklin D. Rosevelt, dalam Ari Wibowo (2008:4), pada permulaan perang
dunia II merumuskan adanya empat hak, yaitu:
a. Freedom of speech (Kebebasan untuk berbicara dan mengemukaan
pendapat)
b. Freedom of Religion (Kebebasan beragama)
c. Fredom of Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d. Freedom of Want (Kebebasan dari kemelaratan)

2.2 Pengertian Pelanggaran HAM


Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng
termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UndangUndang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan

demikian

pelanggaran

HAM

merupakan

tindakan

pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh


institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa
ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya.

11

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :


a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
Pembunuhan masal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan
(UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan
berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan,
perbudakkan dll.
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

Pemukulan
Penganiayaan
Pencemaran nama baik
Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapat
Menghilangkan nyawa orang lain

Apa yang terjadi di Aceh dalam satu dekade ini khususnya pada masa orde
baru ( 1989 1998 ) merupakan tragedi kemanusiaan yang mengandung
pelanggaran HAM yang berat. Mencabut hak hidup orang yang belum terbukti
bersalah adalah pelanggaran yang paling asasi, apalagi jika hal itu dilakukan
secara primitif di abad modern yang serba canggih sekarang ini. Secara
Machiavelis pun kita akan menganjurkan kepada Soeharto dan tentara-tentaranya
agar memakai senjata mutakhir dan modern kalau memubuh rakyat, jangan
dengan cara yang sadis dan kejam seperti di Aceh. Kill Them Softly, bunuhlah
mereka secara lembut dengan cara berdebat secara terbuka dan demokratis tentang
persoalan-soalan yang di perselisihkan. Kalau dengan cara biadab, dinosaurus di
zaman dulu pun bisa melakukannya. Pembunuhan yang dilakukan alat-alat Negara
terhadap orang-orang Aceh sangat mudah dibuktikan, tanpa perlu turun tim pecari

12

pakta seorang pun. Anjing saja bisa mengendus di mana mayat-mayat para
syuhada itu terkubur secara serampangan. Maka, TFP DPR yang dipimpin Hari
Sabarno, hendaknya ada lagi TFP yang dibentuk Komnas HAM dan TFP ABRI
yang bertolak ke Aceh dalam waktu dekat. Sehingga, pelanggaran HAM dan
hukum, yang sebagian besar diduga dilakukan aparat keamanan bisa segera dan
dipertanggungjawabkan. Dibanding kasus penculikan dan penghilangan para
aktivis prodemokrasi di Jakarta apa yang terjadi di Aceh jauh lebih dahsyat.
Betapa banyak korban akibat operasi yang bersandikan Jaring Merah itu. Di
antaranya, banyak anak-anak yang kini menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan
tidak sedikit yang mengalami trauma sepanjang hidupnya akibat diperkosa secara
bergilir oleh oknum-oknum militer. Karena itu, DOM adalah sebuah upaya yang
sistematis untuk memusnahkan orang Aceh dibumi Nusantara ini. Bahwa DOM
yang ada di Serambi Mekah ini tidak lain dari penghancuran kultur dan etnis
Aceh. Persis seperti yang dialami komunitas muslim Bosnia dan Albania di
Semenanjung Balkan.
Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau
kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau
mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh
undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang
demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran
hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang
atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal
tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga
mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang
berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau
mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan
13

Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga


untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya

pribadi

manusia

Indonesia

seutuhnya

dan

kemampuan

berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.


Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat

pengurangan,

penyimpangan,

atau

penghapusan

pengakuan,

pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara
Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD45 dan dijabarkan melalui
UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat
diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan
HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ruang lingkup
kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu:
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan
dilakukan.

14

2.3 Kasus Pelanggaran HAM DOM di Aceh Tahun 1989-1999


Daerah operasi militier atau disebut juga operasi jaringan merah dia
aceh tahun 1989-1999. Operasi tersebut

berfungsi mengamankan dari

gerakan separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sejak tahun 1976. DOM
yang diberlakukan awalnya untuk tujuan menciptakan rasa aman dan
kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun sejak Aceh dinyatakan sebagai
Daerah Operasi Militer, yang tejadi adalah banyaknya pelanggaranpelanggaran HAM. Selain itu terjadi juga pembantaian peradaban
religious. Banyak masyarakat aceh yang tidak mempunyai hubungan
dengan GAM dan DOM menjadi korban. Sehingga banyak disebut juga
sebagai pemusnahan dan pembantaian peradaban muslim pada masa rezim
Soeharto. Pelanggaran-pelanggaran ham tersebut dilakukan oleh aparat
militer yang seharusnya bertugas sebagai alat pertahanan Negara, bukan
melanggar HAM. Dalam kontitusi Indonesia, konsep HAM ada dalam
pasal 28A. Sebenarnya Negara Indonesia merupakan Negara yang
menghormati HAM dan memiliki tujuan untuk menegakan HAM, yang
terlihat pada saat itu malah sebaliknya. Berbagai pelanggaran hak asasi
manusia terjadi di Aceh selama operasi militer. Operasi ini ditandai
sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi
sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan
pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya
operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM. Desa yang dicurigai
menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka
militan diculik dan disiksa.

Ratusan warga Aceh hilang diciduk atau

dibantai karena dituduh sebagai anggota GPK. Mayat mereka dikubur


(antara lain) di Bukit Tengkorak atau dibuang ke Sungai Tamiang.
Tuntutan mencabut status DOM pun marak. Penyiksaan yang dialami
masyarakat sipil di Aceh selama berlangsung operasi militer. Pelanggaranpelanggaran itu secara umum digolongkan menjadi 3 yaitu :
A. Operasi Kekerasan Militer

15

Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi


manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun
rakyat sipil Aceh. Penyiksaan-penyiksaan tersebut antara lain ada yang
diestrum, ditelanjangi, diperkosa, sampai melahirkan anak haram, dikubur
hidup-hidup, digorok, ditembak didepan orang ramai, dan dikubur secara
massal.Pelanggaran HAM yang dilakukan mencapai 3.000 kasus.
B. Pelanggaran terhadap Umat Islam Aceh
Pelecehan agama cukup banyak terjadi dalam peristiwa DOM Aceh
ini. Kejadian-kejadian yang dilakuakn DOM kepada umat Islam selama
berkuasa di Aceh beberapa diantaranya adalah tidak boleh menutup aurat
saat sholat, diciduk dimasjid kemudian dibantai, penculikan santri, para
dai disiksa, dikubur 3 hari lalu disiksa, dipaksa membantu operasi
kemudian dihabisi. Dengan kekuasaan yang diberikan pemerintah Orde
Baru, para tentra-tentara tersebut dapat berbuat semamu mereka tanpa
mempunyai sifat kemanusiaan. Dari pelanggaran-pelanggran itu umat
muslim di aceh tersiksa.
C. Kekerasan Terhadap Perempuan Aceh
Berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami perempuan adalah
pelecehan seksual yang dilakuakn aparat militer, sehingga para
perumpuan-perumpuan itu mengalami gangguan mental. Korban atau
keluarga selalu berusaha untuk menutupi kejadian tersebut. Selain adanya
ancaman dari pelaku untuk tidak mengungkap kejadian tersebut pada
orang lain, karena pelakunya aparat yang sedang bertugas di daerah
tersebut,

membuat

korban/keluarga

selalu

berada

dalam

kondisi

diintimidasi. Sebagai akibatnya adalah penderitaan dan trauma yang


dialami korban sangat mendalam.
Dampak yang ditimbulkan DOM-yang berakhir pada tanggal 17
agustus 1998memang luar biasa buruk.Bukan saja mengakibatkan
rusaknya tatanan sosial masyarakat Aceh namun juga menimbulkan
banyaknya korban fisik. Dari laporan Tim Komnas HAM untuk kasus

16

Aceh tanggal 24 Agustus 1998 menyatakan, selama DOM diberlakukan,


sebanyak 781 orang meninggal dunia akibat tindak kekerasan, 368 orang
dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita menjadi janda karena suaminya
dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 15.000-20.000 anak menjadi
yatim, 102 bangunan dibakar dan terjadi 102 kasus perkosaan.
Upaya-upaya yang dilakukan agar dicabutnya DOM dari wilayah
Aceh, merupakan usaha yang panjang dan meletihkan. Berbagai
komponen masyarakat Aceh mendesak pemerintah agar DOM dicabut.
Pada tanggal 7 Agustus 1998 Menhankam/pangab Jenderal TNI Wiranto
menyatakan segera menarik pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri
operasi militer. Dengan kata lain DOM dicabut.
Pasca pencabutan DOM di Aceh langkah-langkah rehabilitasi situasi
Aceh oleh ABRI dan Pemda. Banyak keluarga di Aceh yang sumber
ekonominya terganggu lantaran bapaknya meninggal, serta pendidikan
anak-anak tersendat. Dan yang juga penting adalah menghapusan perasaan
traumatis bagi keluarga karena menyaksikan bagaimana anggota
keluarganya dibunuh. Pertanggungjawaban secara hukum, politik, dan
sosial terhadap rakyat Aceh yang sudah dibuat takut dan merana selama
sekian tahun.
2.4 Jenis Pelanggaran HAM pada Saat DOM Aceh
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara
Republik Indonesia,yakni: Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,dan Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di Indonesia
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibedabedakan menjadi sebagai berikut :
a. Hak hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, bebas dari ancaman, dan kebebasan
bergerak.
b. Hak hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki
sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.

17

c. Hak hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
d. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan ( rights of legal equality).
e. Hak hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
f. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan,
penggeledahan, dan peradilan.
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa pelanggaran HAM yang
terjadi di Aceh kebanyakan pelanggaran atas hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi
dan juga hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan (procedural rights). Berikut ini adalah beberapa contoh kasus dari
setiap jenis hak asasi yang dilanggar pada saat DOM Aceh.
1. Hak Asasi Pribadi
a. Status Wajib Lapor yang Tak Jelas
Meski kesalahan belum jelas, namun mereka
meninggalkan

terpaksa

kerja, mengeluarkan ongkos untuk labi-labi, juga

ongkos RBT, hanya untuk menghadap ke Pos Sattisyang ditunjuk.


Harapan dihapuskannya wajib lapor juga dikemukakan Sulaiman
Gade (56) dan anaknya M Rafi Sulaiman (36) warga Panton Raya,
Tripa. Cut Ali Rani (52) dan Ibrahim Asyik (63), keduanya warga
Dayah Teumanah Tripa. Bahkan juga sudah diikutkan penataran P-4
segala, tetap wajib lapor seminggu sekali sampai sekarang.
b. Disiksa Sembilan Malam, Dibiarkan dalam Keadaan Lapar
Abdul Gani Berdan (26), warga Jiem-jiem, Bandar Baru, Pidie.
Jebolan SD yang punya tiga anak ini mengalami

siksaan pada

tanggal 11 Oktober 1992 di Pos Sattis setempat. Ketika itu, ia


bersama tujuh penduduk lainnya, dijemput sore hari (15.00 WIB) oleh
tiga oknum berseragam loreng. Di Pos Sattis itu mereka disiksa selama
sembilan hari sembilan malam. Selama tiga hari korban tidak diberi
makan. Perutnya perih luar biasa. Setelah itu, seperti dilaporkan Siti
Aminah (29), istri korban, Abdul Gani Berdan berhasil pulang dengan
keadaan yang sangat memprihatinkan. Saat pergi ia masih tegap,
18

pulang pakai tongkat. Itulah yang dimaksud Aminah sebagai keadaan


yang memprihatinkan itu.
c. Diciduk Dimasjid, Dibantai Di Lapangan
Maddin Islam (45), juga tewas secara tragis. Warga Pante Bayeun,
Simpang Ulim, Aceh Timur ini menurut istrinya, Asni (40), diciduk
dari masjid setempat pada pukul 10.00 WIB di tahun 1990. Ia dijemput
ke masjid karena setelah dicari kerumah, ia tak ada. Korban dibawa
oleh sekitar 15 anggota berseragam loreng dengan truk. Bersama
Madin Ismail, juga ada beberapa warga yang kala itu diboyong
untuk, katanya, diperiksa. Tapi, pada siang hari, Madin Ismail
dibawa kelapangan sepak bola, lalu ditembak persis dibawah
telinganya hingga tembus kesebelah. Mayat ayah dari enam anak ini
dibawa pulang oleh warga kampung pada petang hari, lalu
dikebumikan
d. Tak Boleh tutup Aurat saat Shalat
Sayed Abdullah SH (42) diambil dari rumahnya pada bulan
Ramadhan 1994 dan kemudian dibawa ke posko keamana di kota
Bakti, Pidie. Tanpa ditanya apa-apa, Sayed Abdullah langsung
ditelanjangi dan dianiaya secara bergantian. Masih dalam keadaan
telanjang, dibawa lagi dengan mobil menuju Tangse. Ketika masuk
waktu shalat, ia meminta pakaian untuk shalat namun tak diberikan
dan dipaksa untuk shalat dalam keadaan telanjang
2. Hak Asasi Ekonomi
a. Sepeda Motor Pun Diculik
Selain penculikan terhadap orang, tentara-tentara yang bertugas di
Aceh pada saat itu juga melakukan penculikan terhadap sepeda
motor. Setidaknya ada 15 motor yang diambil bersamaan dengan
diculiknya orang-orang oleh para tentara. Hingga kini, motor-motor
tersebut tak pernah kembali kepada pemiliknya. Lucunya,

pada

beberapa kasus, beberapa hari setelah pengambilan sepeda motor itu,


oknum tersebut datang lagi untuk mengambil

surat-surat

seperti

BPKB dan STNK. Mereka minta semua surat-surat tersebut, dan


masyarakat tak berani menahannya karena takut.
b. Harta Dijarah, Rumah Dibakar

19

Daftar orang hilang, diculik, dan dibunuh orang-orang tak dikenal


di Aceh Utara berdasarkan pengaduan keluarganya ke LSM Yayasan
Putra Dewantara (Yapda) Lhokseumawe dan LBH Iskandar Muda
telah mencapai 176 kasus. Pihak pengadu mengaku keluarga mereka
hilang sekitar tahun 1989-1994 dan ada juga yang hilangnya tahun
1997. Menurut para pelapor, korban-korban dan ada yang diketahui
sudah dibunuh. Sebagaimana diceritakan janda Rohani Sufi (50)
penduduk Reungkam Kecamatan Matang Kuli, pada 19 Februari
1992

suaminya Abdul Rani

(58)

dijemput

penculik. Korban

ditembak di depan istri dan anaknya, kemudian rumah dibakar serta


sepeda motor diambil penculik dan tidak dikembalikan. 39 Kisah
serupa juga diceritakan janda Fauziah (35) penduduk Tempok
Masjid Cunda Kecamatan Muara Dua, suaminya T Zainal Abidin (41)
dijemput orang yang tidak dikenal ketika membeli rokok. Kemudin
penculik datang ke rumah mengambil semua perabot rumah tangganya
dan bahan pecah belah. Sampai sekarang tidak dikembalikan,ujar
Fauziah ketika mengadu ke LBH Iskandar Muda. Selain LBH Iskandar
Muda, kini muncul Yapda yang juga untuk membantu mendata
identitas korban penculikan. Direktur Eksekutif Yapda Zulfikar MS
didampingi Divisi Community Organizer Sugito Tassan mengatakan,
pihaknya telah menerima pengaduan orang hilang 25 kasus. Kecuali
itu, katanya, juga LSM Yapda menerima pengaduan korban perkosaan
oleh penculik. Namum, pihaknya belum mendata secara rinci kasus
tersebut. Direktur Yapda juga bagian dari

Kontras Aceh

dan

Ketua Walhi Aceh itu, mengaku para keluarga korban yang


mengadu menangis di depannya sambil menunjukkan foto keluarga
mereka yang hilang.
c. Rumah Dibakar, Tak Diberi Ganti Rugi
Teuku Nurdin, 70 tahun, benar-benar mengalami nasib sial
yang

berkelanjutan. Warga Ulee Reubek Barat, Seunuddon, Aceh

Utara ini pada 27 Juli 1990 didatangi lima anggota GPK di rumahnya
untuk minta makan sekaligus istirahat. Kalau tak diperkenalkan, ia
diancam akan dibunuh di bawah todongan senapan.

Tak

lama

20

kemudian,

terdengar bunyi

senjata dari

pihak ABRI yang

mengetahui kedatangan GPK ke rumah Teuku Nurdin. Maka, terjadilah


kontak senjata antara pihak ABRI dengan GPK. Tuan rumah, seperti
dikisahkan Hasan (30), anak korban, lari meninggalkan ajang
pertempuran itu. Dari saksi mata (tetangga) mereka kemudian tahu
bahwa rumah tersebut dibakar, dibantu oleh sejumlah masyarakat
yang dipaksa oleh aparat. Sedangkan GPK sempat melarikan diri.
Sebelum dibakar, barang-barang milik Nurdin,

senilai Rp 3 juta

diambil aparat. Esoknya, semua masyarakat setempat dikumpulkan


untuk ditanyai, siapa pemilik rumah yang dibakar tersebut.
Ternyata pemiliknya

adalah Nurdin,

yang kemudian Nurdin

melarikan diri ke Blang Geulumpang (rumah familinya). Setelah 20


hari baru ia kembali. Saat itu Danramil setempat berjanji akan
mengganti rugi rumah yang dibakar itu. Tapi, sampai sekarang janji
tersebut belum diujudkan.
3. Hak Asasi untuk Mendapatkan Perlakuan Tata Cara Peradilan dan
Perlindungan
a. Penyiksaan terhadap Korban Salah Tangkap
Seorang korban salah tangkap di Desa Matang Ubi,
Kecamatan

Samalanga,

Aceh

Utara, menjadi

kehilangan suara setelah keluar dari

lumpuh dan

kamp penyiksaan. Sementara

seorang warga Geulumpang Bungkok, Samalanga, mengalami stress


berat sehingga sering menyanyi, tertawa, atau menangis sendiri hingga
saat ini, juga setelah ditangani oleh aparat. Di Desa Matang Ubi, nasib
buruk itu diderita oleh M Diah Usman (50). Meski hanya empat hari
ditangani oleh oknum aparat, ia menderita lumpuh, dan tak mampu
bersuara sejak tahun 1991. Hari-hari M Diah sejak itu hanya
terbaring lemah ditempat tidur, dan hanya mampu berbicara dalam
bahasa isyarat. Nasib M. Diah, itu dilaporkan anaknya, Rusli ke LBH
Iskandar Muda. Rusli

pula yang mengurus ayahnya,

sekaligus

mencari makan unutk keluarga dengan cara menyeser benih udang


dipinggir

pantai.

Korban salah tangkap ini dijemput petugas

keamanan 25 April 1991 di rumahnya, Desa Kuala Cangkoi


21

Kecamatan Tanah Pasir. Ia dibawa ke camp penyiksaan di Km 307


Banda Aceh Medan, persis di Desa Matang Ubi Lhoksukon.
b. Hilang tak Berbekas Setelah Dijemput Paksa
Keluarganya mengungkapkan Apa Don yang bernama asli Zulkifli itu hilang tak
berbekas hampir delapan tahun sejak dijemput lima oknum

petugas,

di

kediamannya, 3 Nopember 1990. Menurut istrinya, Ely Zohra (45) yang


Apa Don dijemput oknum petugas tersebut dengan menggunakan mobil Taft
sekitar pukul

21.20 WIB.

Para penjemput, dilaporkan, tidak bersedia

menjelaskan ke mana Apa Don hendak dibawa. Karena sampai Minggu sore tak
kembali, tutur Ely Zohra, ia melaporkan kasus penjemputan misterius itu ke
Kodim Aceh Utara dan Korem 011/Lilawangsa, kedua institusi militer tersebut itu,
katanya, juga tidak dapat memberikan informasi tentang ke mana raibnya Apa
Don.
2.5 Pengusutan Masalah dan Peran Pemerintah
Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Di Aceh
Meskipun status DOM telah dicabut pada akhir Juli 1998 dan secara
resmi diumumkan pencabutan DOM pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh
Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM di depan sejumlah
ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin
hari semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM)
yang dikirim pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya
masing-masing serta diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda
Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12 Mei sampai 15 Januari 2001 dan
sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses bahkan telah dilakukan
juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu konflik di
Aceh.
Pasukan Penindak Rusuh Massa , Operasi Wibawa, Operasi
Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai dengan tujuan yang
pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak serius bagi
masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada Indonesia,

22

tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM


dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan
operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa,
Operasi Cinta Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi
hasilnya tidak dapat menuntaskan pemberontakan di Aceh.
Masyarakat Aceh yang sebagian besar pada waktu itu menghendaki
adanya referendum bagi Aceh seperti yang diberikan oleh Presiden B.J.
Habibie dalam menyelesaikan kasus Timor Timur. Namun tuntutan ini
tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah. Ketika Presiden B.J.
Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau membuat sembilan
janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden
B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga
memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan
dan pertumpahan darah. Selanjutnya Presiden di Masjid Baiturrahman
Aceh memberikan janji kepada rakyat Aceh dengan perincian sebagai
berikut : (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan
Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22).
1.

Melanjutkan program pembebasan narapidana yang terlibat aksi politik 1989-

2.

1998.
Meminta pemerintah daerah Aceh untuk membongkar kuburan massal korban
DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam dengan segala biaya di

3.

tanggung pemerintah.
Memberikan bantuan kesejahteraan dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim,
penyaluran kredit usaha, modal kerja atau bantuan lainnya kepada para janda,
korban perkosaan, cacat dan bentuk rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas

4.

sosial lainnya.
Merehabilitas dan membangun kembali bangunan-banguan desa-desa bekas
wilayah operasi keamanan, termasuk rehabilitas mental spritual bagi semua

5.

ekses operasi keamanan.


Meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, antara lain dengan meningkatkan status
85 madrasah swasta menjadi negeri, memberikan fasilitas yang memadai,

23

mendirikan madrasah aliyah unggulan, memberikan lahan untuk praktik dan


6.
7.
8.
9.

usaha Unsyiah, IAIN dan Pesantren.


Menghidupkan kembali jaringan kereta api di Aceh.
Mengembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang.
Memperpanjang landasan pacu Bandara Iskandar Muda.
Mengangkat 2.188 anak-anak korban DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa
testing.

Wacana untuk pemberian syariat islam dan khususnya Aceh juga


digagas pada masa era pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan
pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan
keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa keistimewaan Aceh
adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama,
adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada tanggal 8 November 1999 diadakan Sidang Umum Masyarakat
Pejuang Referendum (SU MPR) di Banda Aceh. Sebagian masyarakat
Aceh menuntut untuk referendum. Keputusan referendum tersebut
diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999. Sampai batas waktu yang
ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang pasti.
Pada waktu itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh apabila
pemerintah

tidak

bisa

memberikan

keputusan.

Namun

kalangan

mahasiswa di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) misalnya,


dengan tegas menyatakan, tidak akan terjadi perang besar-besaran di
Serambi Mekkah pasca 4 Desember 1999. Kuncinya, menurut mahasiswa
tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan militer itu bisa menjaga
sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah. Artinya jika TNI
tidak memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak akan
melakukan perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan
perlawanan terhadap TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM
selalu berusaha menarik pertempuran ke lokasi yang jauh dari
perkampungan penduduk. (Pane, Neta. S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan
Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)

24

Terhadap tuntutan referendum Aceh, pemerintah pusat tidak


merespon dan menyetujui tuntutan tersebut. Salah satu alasannya karena
takut Aceh akan lepas seperti kasus Timor Timur. Padahal sejak 1998
hingga 1999 di Aceh berkembang dua tuntutan yaitu referendum dan
merdeka. Sementara wacana otonomi khusus tenggelam oleh kedua isu
tersebut. Pada pertengahan 1999-2000 hampir seluruh lorong-lorong
gampong- gampong, jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh masyarakat Aceh
dengan tulisan referendum dan atau preemandum.
Puncak dari tuntutan referendum itu terlihat dari rekomendasi
musyawarah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14
September 1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) didirikan pada
14 sepetember 1999, keanggotaanya adalah para ulama seluruh Aceh.
Ulama Dayah adalah ulama yang memimpim pesantren tradisionaldi
Aceh) yang mengatakan bahwa penyelesaian Aceh hanya dapat dilakukan
melalui referendum dengan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung
dengan NKRI. Proses ini terjadi ketika pusat sedang sibuk menyiapkan
pemilu 1999 dan semua perhatian tertuju kesana, akibatnya perkembangan
konflik Aceh, sepertinya dibirakan berjalan dengan mekanismenya sendiri.
Abdurrahman Wahid yang sebelumnya menjadi Presiden menyetujui
referendum pada SU MPR bersama-sama dengan Amien Rais, ternyata
setelah Abdurrahman Wahid menjabat Presiden dan Amien Rais sebagai
ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak pernah diwujudkan.
Janji referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh, ketika
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat
dilihat pada siaran Radia Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa
sebagian rakyat Aceh menagih janji referendum kepada Presiden
Abdurrahman Wahid, sebagaimana dinyatakan oleh aktivis perempuan
Aceh, bernama Evi Zaian dari Forum Organisasi Perempuan Aceh (FOPA)
pada radioa Nikoya 106.15 FM yang didistribusikan pada 20 oktober
1999). Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh.
Ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahaman Wahid berunding

25

dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan


ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya,
program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II.
Jeda yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan
Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam
Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja
(tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi
komitmen keduanya) (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik
Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda kemanusiaan ini dilanjutkan kearah
moratotium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup menghentikan
kekerasan dan perang di Aceh.
Akhirnya pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid
menetapkan Intruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang langkahlangkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh. Menurut inpres ini,
pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelesaiakan masalah Aceh
adalah melalui politik, ekonomi, sosial dan hukum dan ketertiban
masyarakat, keamanan, serta informasi (Ahmad Farhan Hamid, Jalan
Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas,
Jakarta. 2006 hal 62). Inpres ini dikeluarkan terkait dengan eskalasi senjata
TNI-GAM dan berhentinya operasi Exxon Mobil.
.... pada 9 maret 2001 manajemen Exxon mobil di Aceh Utara
mengumumkan menghentikan untuk sementara produksi tiga ladang gas
alamnya, elite politik di Jakarta terperanjat. Apalagi faktor keamanan
dijadikan alasan. Desakan terhadap penggunaan operasi militer segara
berkumandang dari gedung wakil rakyat di Senayan. Para wakil rakyat
menuding pemerintah terlalu memberi angin kepada Gerakan Aceh
Merdeka yang jelas jelas ingin memisahkan diri dari NKRI. Jauh sebelum,
para petinggi militer sudah menyampaikan keluhan di berbagai media
mengenai sulitnya mereka bergerak akibat tidak adanya payung hukum.
Sedang Polri dengan kekuatan pendukung Brimob, mulai kewalahan
mengahdapi serangan GAM...

26

Dalam hal ini tak salah jika ada tekanan agar Inpres Nomor IV tahun
2001 di bidang keamanan diarahkan untuk memberikan kewenangan
kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan GAM disebut
sebagai kelompok separatis. Sebelum inpres tersebut dikeluarkan, sekitar
15 kompi pasukan TNI sedang berlatih di Batujajar, Jawa Barat untuk
diterjunkan ke Aceh. Sebelumnya, 2.500 personil dari berbagai kasatuan
TNI sudah dikirim ke Aceh dengan mendompleng pengamanan Presiden
Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Serambi Mekah (Kompas,
Exxon Mobil dan Gejolak Aceh, 24 September 2001). Penanganan bidang
keamanan ini diberi nama Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum
(OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, yang disebut sebagai
operasi terbatas. (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh
Pasca DOM, 14 Mei 2003).
Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid menggagas pemberian
otonomi khusus kepada masyarakat Aceh yang gagasan ini tidak pernah
diundangkan. Karena terlanjur dimakzulkan oleh MPR. Gagasan
pemberian otonomi khusus akhirnya di undangkan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputeri, melalui UU No 18 tahun 2001 tentang
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan syariat Islam untuk Aceh. Selain
itu, Presiden Megawati pada 11 Oktober 2001 memperpanjang Inpres No
IV Tahun 2001 menjadi Inpres No VII Tahun 2001. inpres ini berisi enam
langkah intruksi untuk menyelesaikan Aceh secara konprehensif di bidang
politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan,
serta informasi yang tidak jauh berbeda dengan inpres No IV Tahun 2001.
(Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang
wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 110).
Kedua inpres ini isinya sama tentang langkah-langkah menyeluruh
dalam penyelesaian kasus Aceh, baik di bidang ekonomi, sosial, politik
dan keamanan. Langkah ini di anggap sebagai antitesis dari langkah yang
dibangun oleh Presiden Abdurrahman Wahid, khusunya ketika ada jeda
kemanusiaan I dan II hingga moratorium. Upaya itu sebagai suatu cara

27

untuk menghentikan permusuhan dalam bentuk cease fire (gencatan


senjata) tetapi di sisi lain operasi-operasi keamanan pun terus dilakukan.
Di masa kepemimpinan Megawati saat ini konflik di Aceh juga
mendapat

perhatian

khusus.

Namun

seperti

pemimpin-pemimpin

sebelumnya, keputusan dalam penyelesaian kasus Aceh belum mencapai


finalnya Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah
telah menginstruksikan aparat keamanan untuk aktif menangani,
mengatasi dan menghentikan aksi-aksi terorisme GAM. Pemerintah juga
telah

memberitahu

masyarakat

internasional

bagaimana

repotnya

Indonesia menghadapi aksi terorisme di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan


Dawood dan anggota DPR asal Aceh, Teuku Syaiful Ahmad menolak
tindakan militer oleh pemerintah pusat. Sofyan meminta pemerintah untuk
tidak merusak forum dialog yang telah dibangun untuk penyelesaian kasus
Aceh (Kompas 5 Juli 2002).
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) Abdullah
Puteh dan ketua DPRD NAD Muhammad Yus menyatakan pihaknya akan
menanyakan kepada semua elemen masyarakat setempat apakah menerima
atau menolak rencana pemerintah pusat untuk mengubah status dari tertib
sipil menjadi darurat sipil atau darurat militer di provinsi itu. Sebaliknya,
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyampaikan kepada
DPRD penolakan terhadap kemungkinan darurat militer (Kompas. 6 Juli
2002). Menurut Ketua MPR Amien Rais ada tiga solusi untuk mengatasi
konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Pertama, pemerintah
segera berunding dengan pihak GAM. Kedua, semua pasal dalam W NAD
segera dilaksanakan. Ketiga, TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia menindak tegas semua pelaku kekerasan dari kelompok mana
pun.
DPRD Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam menolak
diberlakukannya status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Khusus
untuk darurat militer alasannya adalah situasi di Aceh dikhawatirkan akan
bertambah parah dan runyam karena sipil tidak dapat mengontrol aparat

28

keamanan maupun aparat GAM. Selain itu dikhawatirkan timbul anarki


yang berakibat luas dan berdampak pada citra TNI dan Polri. Menurut
Said Muchsin perlu ada satu aturan main yang baru untuk menyelesaikan
masalah-masalah keamanan yang ada di Aceh. DPRD Aceh mengimbau
untuk maju ke meja perundingan dan menginginkan ditempuhnya caracara damai dalam pemyelesaian konflik di Aceh. DPRD Aceh juga
mengharapkan

agar

GAM

memiliki

wacana

hati

nurani

untuk

mensejahterakan rakyat Aceh secara lahir dan batin. Amien Rais


berpendapat taruhan terakhir untuk menyelesaikan masalah di Provinsi
NAD adalah W No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam.
Yang penting adalah bagaimana mengimplementasikan undang-undang itu
secara murni dan konsekuen.
Untuk meretas jalan bagi keamanan di Aceh, Pemerintahan Presiden
Megawati pada 2 February 2002 melakukan perundingan di Swiss dengan
pihak GAM untuk membahas tawaran otonomi khusus dan langkah awal
pengehantian segela bentuk permusuhan. Pihak Gam menolak tawaran
otonomi khusus, dan tidak bersedia dialog apabila dalam situasi tekanan.
Akhirnya pada 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Geneva, Swiss
secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan
(CoHA- Cessation of Hostilities Agreement) dan membentuk suatu
Komite Keamanan Bersama Untuk memantau kesepakatan tersebut
dengan mediator Henry Dunant Center (HDC). (Sinar Harapan, UpayaUpaya Penyelesaian Konflik aceh Pasca- DOM, 14 Mei 2003).
Berbagai LSM di Aceh berpendapat pemberlakuan darurat sipil
ataupun darurat militer bukanlah ide terbaik bagi penyelesaian Aceh saat
ini. Persoalan Aceh hams diselesaikan secara berkeadilan dan demokratis
serta hares dijauhkan dari upaya-upaya penyelesaian lewat pendekatan
militer. Menurut Rufriadi, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Banda
Aceh, pemberlakuan darurat sipil atau darurat militer bukanlah ide terbaik
bagi penyelesaian Aceh saat ini. Lembaga Swadaya Masyarakat selalu

29

mendorong untuk terjadinya proses-proses dialog yang sekarang telah


terjadi antar pemerintah dan GAM dan berharap agar proses dialog tidak
diganggu dengan wacan adarurat sipil atau darurat militer. Alasan
penolakan terhadap pemberlakuan darurat militer adalah bahwa militer
tidak bisa mencoba menyelesaikan masalah Aceh. Yang diinginkan oleh
masyarakat Aceh adalah penyelesaian masalah secara bermartabat,
berkeadilan dan dalam forum dialog.
Hasil evaluasi sementara Menko Polkam selama tiga hari melakukan
kunjungan ke Aceh menunjukkan ada tiga masalah mendasar yang perlu
dicermati:
Pertama,

operasi

pemulihan

keamanan

harus

ditingkatkan

efektivitasnya supaya lebih cermat dan akurat yang dilengkapi dengan


peralatan yang mendukung tugas mereka.
Kedua, pendekatan kesejahteraan harus dikonkretkan dan harus
dirasakan oleh masyarakat Aceh.
Ketiga, format dialog antara pemerintah dan GAM harus ditata
kembali jika memang dialog tersebut akan berlanjut. Pemerintah juga
mengingatkan Henry Dunant Centre (HDC) agar berpegang teguh pada
mandat untuk menjadi mediator atau fasilitator dialog pemerintah dan
GAM, baik pra dialog, saat dialog maupun setelah dialog.
Ketika HDC bergerak terlalu jauh dengan melibatkan aktivis
LSM/NGO, itu berarti HDC telah menyalahi mandatnya dan menjadi
kurang netral. Saat ada konflik bare pemerintah dengan GAM, HDC malah
menjustifikasi dan justru menjadi juru bicara GAM. Karena itu pemerintah
mengingatkan HDC untuk kembali pada mandatnya.
Menurut Gus Dur pemerintah tidak perlu membuat status darurat
sipil atau darurat militer di Aceh. Menurutnya, kebijakan itu tidak akan
menyelesaikan pertikaian di Aceh. Kalau diberlakukan darurat sipil atau
darurat militer seperti yang dimaui tentara dan Polri, pasti akan ada

30

perlawanan. Sebab, rakyat Aceh akan dipakai oleh GAM untuk melawan.
Ia menyatakan satu-satunya jalan untuk menghentikan pertikaian di Aceh
adalah dengan berunding dan menghentikan kekerasan. Sedangkan
menurut Jenderal Ryamizard Ryacudu (KSAD) bahwa TM Angkatan Darat
tidak perlu lagi berunding dengan GAM. Ia mengemukakan GAM adalah
gerakan separatis yang sudah jelas ingin merusak keutuhan negara dan
harus ditumpas habis. (Kompas 12 Juli 2002).
Pemerintah kembali menghadapi kesulitan dalam menentukan
langkah penyelesaian kasus Aceh. Pemerintah berjanji akan mengambil
keputusan tentang penyelesaian masalah Aceh di awal Agustus 2002.
Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono jika pihak GAM
bersedia untuk tetap konsisten pada hasil dialog Geneva (Swiss), maka
pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan bahwa dialog akan
diteruskan. Sebelumnya di Sigli pada saat kunjungannya di Aceh, Menko
Polkam mengatakan bahwa pemerintah ingin berdialog dengan pimpinan
GAM di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood mengatakan
kewenangan untuk melakukan dialog tersentral pada para juru runding
GAM di Geneva (Swiss). Menurutnya GAM tidak bisa melaksanakan
dialog apabila harus meletakkan senjata dan menerima UU Otonomi
Khusus NAD. Pihak GAM juga tidak akan bersedia berdialog jika tidak
melibatkan Henry Dunant Centre sebagai mediator.
Dalam

pidato

"Progress

Report"

Sidang

Tahunan

Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Presiden Megawati menegaskan pemerintah


akan mengambil langkah-langkah yang lebih tegas terhadap gerakan
separatis bersenjata GAM untuk menjamin terwujudnya keamanan dan
keselamatan rakyat. Selama keinginan untuk melepaskan diri dari negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan aksi-aksi bersenjata serta teror
terhadap masyarakat terus berlanjut, penyelesaian masalah Aceh akan
semakin sulit terwujud.
Pemerintah memberi batas waktu kepada Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) hingga setelah Ramadhan (awal Desember 2002) untuk

31

memutuskan apakah akan meneruskan dialog dalam kerangka otonomi


khusus dan penghentian konflik bersenjata atau tidak. Apabila GAM tidak
menentukan sikap positifnya, pemerintah akan mengambil langkah keras
dan tepat termasuk meningkatkan intensitas operasi pemulihan keamanan
dan mempertahankan kedaulatan serta keutuhan Republik Indonesia. Juru
bicara militer GAM Sofwan Dawood menyatakan pemerintah hendaknya
tidak memaksa GAM untuk menerima Undang-undang Otonomi Khusus
Nanggroe Aceh

Darussalaam

(NAD).

Menurut

Susilo

Bambang

Yudhoyono bahwa seharusnya sesuai kesepakatan Geneva 10 Mei 2002


pemerintah ingin GAM mengakui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang
NAD. Pada April 2002 pemerintah melakukan konsultasi dengan
Pemerintah Swedia agar mendorong para pemimpin GAM di Swedia
melakukan dialog secara serius. Pemerintah juga melaksanakan pertemuan
dengan Henry Dunant Centre beserta para konsultannya di Singapura,
Jakarta, dan Aceh pada Agustus 2002 untuk mematangkan kesepakatan
Geneva.
Menurut Yudhoyono pemerintah tetap menghendaki penyelesaian
komprehensif dalam soal Aceh dengan lima pendekatan: pemulihan
keamanan, penegakan hukum dan HAM, percepatan pembangunan social
ekonomi, dialog dengan beberapa syarat diantaranya rehabilitasi dan
rekonsiliasi, dan amnesti. Menanggapi ajakan dialog dengan pemerintah,
pihak GAM melalui Sofwan Dawood mengatakan bahwa GAM menolak
UU NAD. Keberatan GAM menerima UU NAD karena GAM menuntut
kemerdekaan dari tangan Indonesia menurut prosedur internasional.
Terhadap sikap pemerintah yang memberi waktu hingga Ramadhan,
Sofwan Dawood mengatakan tidal ( perlu menunggu hingga Ramadhan
untuk berdialog. Pihak GAM siap apabila bulan Agustus ini diajak
berdialog dengan Pemerintah (Kompas, 20 agustus 2002).
Menurut pengamat militer Kusnanto Anggoro dan Wakil Ketua MPR
Agus Widjojo bahwa penyelesaian masalah di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalaam tidak bisa hanya mengandalkan keberhasilan operasi militer.

32

Operasi militer hanya sebagian kecil dari kebijakan penanganan Aceh


secara keseluruhan. Penyelesaian Aceh justru terletak pada koordinasi
antar lembaga dan penanganan berbagai sektor secara komprehensif dan
sinergis.
Intervensi pihak militer atas CoHa terlihat gamblang dua minggu
menjelang gagalnya pertemuan CoHA, 28 Arpril 2003 di Tokyo Jepang.
Bahkan antisipasi gagalnya CoHA tampak ketika kurang dari dua minggu,
pasukan organik telah dikirim ke Aceh (Moch, Nurhasyim. (ed) Evaluasi
Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta P2P LIPI, 2006).
Akhirnya pada 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarnoputeri
mengeluarkan keputusan Presiden No 28 Tahun 2003 tentang peningkatan
keadaan status di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Pendekatan militer
ini pun tidak berhasil menyelesaiakan masalah separatisme Aceh.
Meskipun dari segi jumlah TNI yang dikirimkan lebih dari 50 ribu
pasukan, karena prinsip pendekatan yang dianut dalam memerangi
separatisme yang menggunakan taktik perang gerilya adalah 1:10. dengan
biaya jumlah pasukan yang cukup besar dan hampir dalam waktu satu
tahun (19 Mei 2003- 18 Mei 2004) ternyata eksistensi GAM tidak dapat
ditumpas.
Upaya untuk menumpas pemberontakan GAM, baik di masa
Presiden Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tampaknya kurang
membuahkan

hasil.

Sejumlah

faktor

menjadi

kendala,

pertama

infrastruktur pembangunan tidak berjalan dan pemerintah daerah tidak


bekerja secara maksimal. Pemerintah daerah tidak berkerja karena situasi
keamanan yang tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini berlangsung
hingga tahun 2003, salah seorang pejabat di Pemerintahan Daerah
Kabupaten Aceh timur mengatakan bahwa pemerintah bekerja dengan cara
yang tidak sewajarnya, karena takut diteror dan dibunuh oleh kelompok
pemberontakan. Kedua, masih kentalnya pendekatan operasi-operasi
keamanan dalam menyelesaikan konflik Aceh. Ketiga, kebijakan yang
sifatnya

untuk

membangun

ekonomi

sulit

dilaksanakan

karena

33

pemerintahan daerah lumpuh, akibat konflik yang berlarut-larut. Keempat,


walaupun telah ada gencatan senjata pada maa Megawati Soekarnoputeri
melalui CoHA antara Pemerintah RI dengan GAM, Namun butir-butirnya
sulit diimplemtasikan di lapangan.
Kegagalan pendekatan penyelesaian separatisme di Aceh sejak Orde
Baru hingga Presiden Megawati Soekarnoputeri, tampak dalam tabel
berikut ini (Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun
Pasca MoU Helsinki, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008 hl 104):
Kegagalan Penyelesaian Konflik Sebelum Perundingan Helsinki
Periode
Pemerintahan

Kebijaksanaan
Penyelesesaian
Konflik Aceh

Hasil/ Dampak

Presiden Soeharto (19761998)

Pendekatan militer dengan


menekankan pada Operasi
Jaringan Merah untuk
menumbuhkan GAM (19901995)

1. Stabilitas keamanan dan


politik di Aceh terjamin.
GAM menyingkirkan keluar
negeri
2. Dampaknya, hancur
kekerasan dan pelanggaran
HAM.
3. Muncul generasi dendam
yang mendukung GAM.

Presiden Habibie
(1998-1999)

Kombinasi pendekatan antara Sebagai besar operasi


operasi keamanan dengan
keamanan yang dilakukan
kebijakan politik.
tidak efektif mengurangi atau
mengahmbat pertumbuhan
GAM. Kebijakan politik. 10
program Habibie untuk Aceh
tidak dapat dilaksanakan
karena yang bersangkutan
hanya kurang dari satu tahun
menjadi presiden.

Presiden Abdurrahman
Wahid

1. Jeda Kemanusiaan
2. Pengehentian permusuhan
(CoHA)
3. Inpres IV/2001 untuk
penanganan masalah konflik
Aceh
4. Otonomi Khusus Bagi
Aceh

1. Langkah dan janji Habibie


tidak diteruskan oleh
Presiden Abdurrahman
Wahid.
2. Jeda Kemanusiaan tidak
efektif untuk menghentikan
kekerasan.

34

3. CoHA mengalami
kegagalan karenagencatan
senjata yang menjadi acuan
uatamanya tidak diindahkan
oleh kedua belah pihak.
Presiden Megawati
Soekarnoputeri

1. Otonomi Khusus Aceh,


UU No 18 tahun 2001
2. Inpres No VII/2001
tentang penanganan masalah
konflik Aceh.
3. Melanjutkan CoHA.
4. Darurrat militer di Aceh,
Kepres No 23/2003 berlaku
19 Mei 2003 dan berakhir 18
Mei 2004

1. pemberian otonomi khusus


tidak dapat meredam
tuntutan kemerdekaan dari
GAM, karena prosesnya
ditentukan oleh pemerintah
pusat tanpa melibatkan
kelompok GAM.
2. Inpres No VII/2001 tidak
dapat berjalan maksimal,
karena program penanganan
konflik melalui CoHA untuk
penghentian permusuhan
tidak dijadikan sebagai dasar
kebijakan utama.
3. CoHA gagal karena
orientasi pemerintah pusat
yang memandang CoHA
sebagai keturunan GAM
untuk memperbesar
kelompoknya.
4. Operasi terpadu melalui
darurat militer gagal
diakukan karena operasi
terpadu pincang, lebih pada
operasi militer, kurang
disertai oleh operasi
kemanusiaan, peningkatan
kinerja pemerintahan dan
operasi penegakan hukum.

35

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa. Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi,
hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas
oleh siapapun. Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud
dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Operasi militer Indonesia di Aceh 1989-1998 atau juga disebut Operasi
Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada akhir
1989 sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah
Operasi Militer" (DOM), di manaTentara Nasional Indonesia diduga melakukan
pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang
GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor
di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan
dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut
diluncurkannya operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
Apa yang terjadi di Aceh dalam satu dekade ini khususnya pada masa orde
baru ( 1989 1998 ) merupakan tragedi kemanusiaan yang mengandung
pelanggaran HAM yang berat. Mencabut hak hidup orang yang belum terbukti
bersalah adalah pelanggaran yang paling asasi, apalagi jika hal itu dilakukan
secara primitif di abad modern yang serba canggih sekarang ini.

36

3.2 Saran
Sebagai warga Negara yang bertanggung jawab hendaknya kita senantiasa
mnghidari pelanggaran HAM agar tercipta Negara yang berkeadilan sosial. Lebih
menghargai kehidupan seseorang sehingga peristiwa pelanggaran HAM seperti
yang ada di Aceh tidak terulang kembali.

37

DAFTAR PUSTAKA
Barus Fauzan. 2015. Analisis Peristiwa Aceh 1990.
https://fauzanbrs94.wordpress.com/2015/04/22/analisis-peristiwa-aceh1990/ (Diakses pada 9 Januari 2017).
Chaidar Al, Dkk. 1999. Aceh Bersimbah Darah Mengungkap Penerapan Status
Daerah Operasi Militer(DOM) di Aceh 1989-1998. Jakarta : Pustaka AlKautsar. Buku Islam Utama. https://paulusmtangke.wordpress.com/hakasasi-manusia/ (Diakses 14 Januari 2017)
Info Aceh. 2013. DOM Aceh 1989-1998.
http://sekilasinfoaceh.blogspot.co.id/2013/03/dom-aceh-19891998_4715.html (Diakses pada 9 Januari 2017).
Muhammad Jafar. AW. (2009), Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal
Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis - Magister Ilmu Politik pada
Program Pascasarjana : Universitas Diponegoro.
Wikipedia. 2016. Operasi Militer Indonesia di Aceh 1990-1998.
https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_militer_Indonesia_di_Aceh_19901998 (Di akses pada 10 Januari 2017).

38

Anda mungkin juga menyukai