Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul Islam dan Modernitas Bagian I “Kemudahan Hidup Manusia dalam
Beribadah dan Bermuamalah”. Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Ahmad Zaldi Assegaf yang telah memberikan bimbingan kepada kami hingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Artinya:
“Dan mereka berkata, apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda
benda yang hancur, benarkah akan dibangkitkan lagi sebagai makhluk yang
baru?”
Ungkapan yang lebih operasional dan lebih mengacu kepada aktivitas
pembaruan ditemukan pada hadis-hadis Rasulullah SAW salah satunya
yaitu :
“Sesungguhnya iman itu (bisa) usang di dalam hati salah seorang
diantara kamu sebagaimana usangnya sebuah baju. Maka mintalah kepada
Allah untuk memperbarui iman yang ada dalam hatimu.” (HR. Thabrani)
Dari pengertian di atas, maka modernisasi atau tajdid secara
etimologis dapat dipahami sebagai gagasan yang mengandung tiga makna
yang berkesinambungan, tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Ketiga
makna tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
2. Masyarakat Modern
Beberapa ibadah didalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-
lain dimaksudkan sebagai upaya kearah pencapaian puncak prestasi
tersebut.
Ibadah dan Muamalah merupakan dua hal penting yang akan selalu ada
ketika kita mencoba menggali lebih dalam mengenai agama Islam.
Keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda dari segi pengertian dan
fungsinya sendiri-sendiri.
Menurut Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Ibadah secara bahasa
(etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Allah Azza wa Jalla
memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ada dua hal yang melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu karena
cinta atau karena takut. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena
Ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan
keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan keindahan
Nya munculah dorongan untuk berIbadah kepada-Nya. Sedangkan
ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan
Ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebuAllah SWT.
3. Berjiwa sosial
Yang Dia melihatmu sewaktu kamu berdiri (shalat) dan bolak balik
dalam sujud Ketika seorang hamba berIbadah, Allah SWT benar-benar
berada berada dihadapannya, maka harus dapat merasakan/melihat
kehadiran-Nya atau setidaknya dia tahu bahwa Allah SWT sedang
memperhatikannya.
5. Terkabul doa-doanya
Transaksi Asuransi
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan
menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua,
mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga,
mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga
inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, Risk
sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di
mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama,
proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection,
mutual responsibility).
Di era modern menghadapi risiko dilakukan secara
terencana, terorganisir dan terlembaga. Pada dasarnya asuransi
adalah semangat bergotong royong (takaful) dalam menghadap
risiko secara kolektif, terencana dan teratur.
Secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah diakui
dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini,
Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful
sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Meskipun
sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi
adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah
seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk
membahas asuransi dalam karyanya yang popular,
yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti’man Al-
Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala al Dar al Mukhtar.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan
konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional.
Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong
(ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya
penggantian (tabaduli). Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah
merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang
amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana
yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan,
sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
Dalam Asuranasi Islam menggunakan akad wakalah dan
tabarru’ atau mudlarabah dan ta’awun. Implementasi akad
takafuli dan tabarru‘ dalam sistem asuransi syariah diadakan
dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk
produk yang mengandung unsur tabungan (saving),
maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening
dana anggota dan satunya lagi rekening tabarru‘. Sedangkan
untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non
saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya
ke dalam rekening tabarru‘. Keberadaan
rekening tabarru‘ menjadi sangat penting untuk menjawab
pertanyaan ketidakjelasan asuransi dari sudut tuntutan
pembayaran.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudharabah dan
ta’awun. Secara teknisnya, mudharabah adalah akad kerja sama
usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan
100 persen modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di
sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahib al-mal) dan
pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagikan menurut kesepakatan yang
dicatat dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian,
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan
akibat kelalaian pengelola.
Dalam model mudharabah, seluruh peserta bertanggung
jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain termasuk
untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya
reasuransi, medical expenses, legal fee, dan lainnya). Sedangkan
pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua
pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi
sesuai dengan kapasitasnya dalam akad mudharabah. Berbeda
dengan akad mudharabah adalah akad wakalah, takaful yang
berfungsi sebagai wakil peserta di mana dalam menjalankan
fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya
jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka.
Hukum asuransi mengetengahkan pendapat hukum
muamalah yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hal
yang menjadi perbedaan masyarakat (ibda‘ al-qawl al-tsalits fi al-
masa’il al-khilafiyyah). Dengan tetap mengikuti salah satu imam
madzhab fiqih meskipun tidak secara keseluruhan diterapkan.
Yaitu kafalah atau mudlarabah di satu sisi dan akad tabarru’
untuk saling memberi. Hal ini ditetapkan karena asuransi sudah
menjadi urf dan maslahah bagi masyarakat.
Transaksi Pasar Modal
Pasar modal adalah tempat di mana modal
diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal
(investor) dengan orang yang memerlukan modal (issuer) untuk
mengembangkan investasi. Pasar modal sama seperti pasar biasa
pada umumnya, yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli
dengan objek yang diperjualbelikan adalah hak kepemilikan
perusahaan dan surat pernyataan hutang perusahaan.
Di Indonesia, Langkah awal perkembangan pasar modal
Islam (pasar modal syariah) dimulai dengan membentuk
reksadana (mutual fund) syariah, Jakarta Islamic Index (JII)
serta Obligasi Syariah (Islamic Bond) yang efektif mulai 30
Oktober 2002. Sedangkan Pasar Modal Syariah sendiri mulai
diresmikan pada 14 Maret 2003. Dalam kandungan isinya, pasar
modal syariah sama dengan pasar modal konvensional, namun
ada beberapa peraturan-peraturan syariah yang harus dipatuhi.
Pasar modal memiliki peran yang besar dalam sistem
ekonomi sebuah negara karena pasar modal menjalankan dua
fungsi secara bersama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi
keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi
karena pasarnya menyediakan kemudahan yang
mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki
kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana
(issuer). Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan,
karena memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh
upah (return) bagi pemilik dana sesuai dengan karakteristik
investasi yang dipilih.
Pelaksanaan transaksi saham harus dilakukan menurut
prinsip kehati-hatian serta tidak melakukan spekulasi dan
manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba
dan maysir. Transaksi-transaksi seperti ini meliputi: Najsy, yaitu
melakukan penawaran palsu; Bay‘ al-ma‘dum, yaitu melakukan
penjualan atas barang (saham) yang belum dimiliki (short
selling); Insider Trading, yaitu memakai informasi orang dalam
untuk memperoleh keuntungan terhadap transaksi yang
dilarang; Menimbulkan informasi yang menyesatkan; Margin
Trading, yaitu melakukan transaksi atas saham syariah dengan
fasilitas pinjaman yang berasaskan bunga atas kewajiban
penyelesaian pembelian saham syariah tersebut; Ihtikar
(menimbun), yaitu melakukan pembelian atau dan
penghimpunan suatu saham Syariah untuk mempengaruhi
perubahan harga saham syariah, dengan tujuan mempengaruhi
pihak lain.
Sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar timbul
disebabkan oleh dua sebab utama. Pertama, kurangnya
informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pihak yang
melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya
control atau skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua,
karena tidak adanya objek. Ada pula yang membolehkan
transaksi dengan objek yang secara faktual belum ada, dengan
syarat pihak yang melakukan transaksi memiliki kontrol untuk
hampir boleh memastikannya di masa depan.
Pada dasarnya gharar adalah bentuk transaksi yang
mengandung cacat atau bahkan dapat mengakibatkan kerugian.
Mungkin termasuk di dalamnya adalah setiap transaksi yang
mengandung unsur ketidakpastian dan spekulasi. Namun
ketidakpastian dan spekulasi bukan merupakan alasan utama
mengapa suatu transaksi tidak sah disebabkan oleh gharar.
Spekulasi yang dilarang dalam hukum Islam adalah transaksi
yang menodai hak salah satu pihak atau para pihak yang
melakukan transasksi
Secara umum, mekanisme pasar (bursa efek/stock exchange)
yang sepatutnya menurut syariah meliputi beberapa aspek,
yaitu: Kelayakan penawaran (penawaran yang sesuai),
kelayakan permintaan dan kelayakan kekuatan pasar.
Selain proses pasar, juga diperhatikan modal yang
diperdagangkan. Para ahli fiqih kontemporer bersepakat bahwa
haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari
perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram.
Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi
minuman keras, babi dan apa saja yang berkaitan dengan babi;
jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi; industri
hiburan yang haram, seperti kasino, perjudian, pelacuran, media
porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli
saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang
mengharamkan segala aktivitas tersebut
BAB III
KESIMPULAN
http://nurulmutmainna1293.blogspot.co.id/2014/05/ibadah-dan-
muamalah.html
http://hendrapgmi.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-ibadah-dan-
muamalah.html
http://cyberdakwah.com/2013/12/respons-fiqh-muamalah-terhadap-
perniagaan-modern/