Oleh:
Nursela Yunika Mesita
Mahasiswa S1 Penddikan Sejarah FIS UM
e-mail: selayunika86@gmail.com
Sumber:http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/52/
Back_Sea_map.png , diakses pada tanggal 6 April 2019.
Gambar 1. Posisi Strategis Krimea dan Laut Hitam
Setelah mengetahui kepentingan-kepentingan yang dimiliki antara Uni
Eropa khususnya AS dan Rusia di Ukraina, perlu diketahui tentang kondisi Ukraina
pada kurun waktu awal milenium dan proses terjadinya krisis yang menjadi pemicu
ketegangan antara kedua negara tersebut. Konflik di Ukraina sebenanya sudah
terjadi pada awal milenium pada saat pemilu 2004. Pada pemilu ini diikuti oleh dua
kandidat calon presiden yang berbeda pandangan. Viktor Yuschenko yang
berhaluan barat (yang dimaksud barat disini adalah US, UE, dan NATO) basis masa
ada di wilayah barat dari Ukraina, dan Viktor Yanukovich yang lebih berhaluan
kearah kerjasama Rusia, basis masa ada di wilayah timur yang berbatasan langsung
dengan Rusia (BBC, 2014:a). Pada Pemilu 2004 Yanukovich memenangkan kursi
Presiden, namun akibat isu-isu yang beredar di masyarakat Ukraina, bahwa adanya
indikasi pemalsuan suara serta kabar mengenai praktik pembunuhan Yuschenko
oleh pihak Yanukovich membuat rakyat bergerak untuk memprotes hasil dari
pemilu yang telah berlangsung, demonstrasi inilah yang selanjutnya dikenal dengan
nama Revolusi Oranye mengingat tanda tangan Yuschenko pada saat kampanye
yang berwarna oranye. Revolusi tersebut akhirnya membuat Mahkamah Agung
Ukraina membatalkan hasil pemilu dan mengamandemen undang-undang pemilu
serta diadakannya pemilu Ulang (Lane, 2008)
Pemilihan ulang dimenangkan oleh kubu Yuschenko pada 26 Desember
2004. Seelah terpilih menjadi presiden, rakyat menggangap bahwa tidak terjadinya
perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
Konflik internal di Ukraina masih berlanjut sampai pada pemilu presiden tahun
2010 yang diselenggarakan tanggal 7 Februari 2010 dan di menangkan oleh
Yanukovic. Krisis Ukraina mencapai puncaknya ketika presiden Yanukovic yang
memiliki kedekatan dengan Rusia, dalam hal ini kekuatan Rusia tidak hanya
terletak pada pengaruhnya terhadap konsumsi gas Ukraina, melainkan sektor
perdagangan juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempertahankan
dominasinya di Ukraina (Fadly, 2015:8).
Atas alasan kedekatan tersebut, pada tanggal 21 November 2013 keputusan
Yanukovic untuk melakukan penangguhan penandatanganan EU-Ukraine
Association Agreement, hal ini memicu protes keras dari masyarakat Ukraina yang
pro-Barat dan lebih memilih perjanjian kerjasama dengan Rusia. Protes masyarakat
Ukraina pro-Barat dilakukan dengan mendirikan tenda di pusat Kiev, ibukota
Ukraina. Kepastian penolakan perjanjian dengan Uni Eropa membuat sekitar 1.000
masyarakat melakukan demonstrasi di Lapangan Kemerdekaan Kiev tanggal 30
November 2013 (Fadly, 2015:9). Presiden Yanukovic pada saat itu mendapat dua
pilihan kerjasama dari Uni Eropa dan Rusia.
Tawaran yang dijanjikan oleh Uni Eropa adalah jika Ukraina
menandatangani kesepakatan untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan Uni
Eropa, Uni Eropa akan menghapuskan 98% pagar tarif beacukai untuk barang-
barang eks Ukraina setiap tahun, Kiev akan mencapai kira- kira Euro 500 juta.
Sebagai gantinya, Kiev harus mengurangi deficit anggaran keuangan dan
meningkatkan harga bahan bakar (Khatimah, 2009). Sementara itu, Rusia
berkomitmen segera melakukan investasi sebanyak puluhan miliar USD pada
Ukraina. Usulan tawaran yang diajukan Uni Eropa dianggap tidak memberikan
jaminan yang cukup untuk mendongkrak kesulitan financial negerinya. (Kamasa,
2014:91). Jika dicermati, apabila Ukraina bekerja sama dengan Uni Eropa, Ukraina
akan mendapatkan keuntungan jangka panjang, sedangkan jika Ukraina mengikuti
Rusia, Ukraina akan segera mendapatkan kepentingan finansial jangka pendek yang
langsung berupa tunai.
Akibat keputusan ini demonstrasi di Keiv meningkat menjadi kerusuhan
akibat adanya bentrokan antara aparat keamanan dengan para demonsra. Sampai
pada tanggal 1 Desember 2013, sekitar 300.000 ribu orang turun ke Keiv untuk
menambah jumlah massa anti pemerintahan. Diperkirakan jumlah massa meningkat
menjadi 500.000 orang. Melihat kondisi yang semakin memburuk, dengan
kekerasan yang terus terjadi akibat bentrok demonstran yang juga menelan banyak
korban jiwa. Akhirnya tanggal 22 Februari 2014 Badan Legislatif Nasional
mencopot Viktor Yanukovich dari jabatannya dengan alasan bahwa ia tidak dapat
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai presiden. Sebelum Viktor Yanukovich
digulingkan, terlebih daluhu perdana menteri, dan seluruh anggota Cabinet of
Minister mengundurkan diri di bawah tekanan barat (Yoni, 2014). Kondidi Ukraina
saat mengalami krisis dan banyaknya demonstran.
Sumber:https://www.google.co.id/demonstrasi+di+ukraina+2013+
&tbm=isch&ve
Gambar 2. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Ukraina
Kondisi Ukraina masih dalam instabilitas setelah keputusan pemberhentian
Yanukovych. Dalam krisis ini, AS tampil sebagai pendukung pihak oposisi yang
ingin menguasai pemerintahan selagi Rusia mendukung rezim pemerintahan
Yanukovich yang baru saja digulingkan. Menurut (Buntaran, 2018) dalam krisis
Ukraina, Amerika Serikat melihat Rusia sebagai musuh. Melihat psosisi
Yanukovych yang sudah rapuh, Rusia menurunkan pasukan militernya di Krimea,
bagian timur Ukraina. Hal ini kemudian ditanggapi oleh AS dengan kecaman
terhadap Rusia dan permintaan kepada Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa
(OSCE) untuk segera mengirimkan pasukan pemantauan ke Ukraina yang bertujuan
untuk menghindari terjadinya konflik perbatasan dan mengingatkan kepada Rusia
akan pentingnya penghormatan terhadap integritas teritorial (Kamasa, 2014).
Perselisihan antara Amerika Serikat dan Rusia di Ukraina semakin
memanas, Rusia yang tidak mau menarik pasukan militernya di Krimea AS
melakukan aksi nyata dengan memberikan sanksi ekonomi bagi Rusia. Sanksi ini
berupa larangan perjalanan, pembekuan aset, serta larangan berbisnis dengan orang
Amerika bagi sejumlah pejabat Rusia. Uni Eropa sebagai sekuu AS turut
menerapkan sanksi tersebut pada Rusia. Suasana ketegangan diperparah dengan
keika Republik Otonom Crimea menggelar referendum untuk memisahkan diri dari
Ukraina dan bergabung dengan Rusia. Rusia yang mendapat angin segar dari
referendum tersebut kemudian menandatangani dekrit yang mengamini keputusan
Parlemen Krimea. (Fadly, 2015) berpendapat bahwa, Krimea berhasil dikuasai
secara cepat oleh demonstran pro-Rusia tanpa adanya pertumpahan darah, selain
karena faktor pemerintah pusat di Keiv yang masih sangat rapuh pasca tergulingnya
Yanukovych, Rusia memiliki barak militer di Sevastopol dan mayoritas penduduk
Ukraina di Krimea beretnis Rusia cenderung mendukung demonstran. Wilayah
Krimea yang menjadi konflik:
Sumber:http://news.bbcimg.co.uk/media/images/73286000/gif/_7
3286672_Krimea_black_sea_fleet_624.gif diakses pada tanggal
5 April 2019
Gambar 3. Krimea dan Kekuatan Armada Laut Hitam Rusia
Ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Rusia dalam Krisis
Ukraina ini tidak hanya diwujudkan dengan kecaman dan pemberlakuan sanksi
ekonomi (Larrabee, 2006). Kembalinya hubungan konfrontatif yang begitu panas
antara Gedung Putih dan Moskow juga ditunjukkan dengan isu militer. Sejak
pecahnya krisis Ukraina, khususnya sejak pemisahan Krimea dan munculnya
kelompok separatis di Ukraina Timur, militer Amerika Serikat dan NATO menjadi
lebih aktif bergerak di wilayah Eropa Timur dengan memberikan pelatihan militer
bagi negara-negara Eropa Timur serta peningkatan jumlah pasukan di Laut Hitam.
Sementara itu, Rusia juga meningkatkan aktivitas pasukan militernya dengan rajin
menggelar latihan militer di Laut Baltik, Laut Hitam, serta perbatasan Ukraina.
Vladimir Putin juga sempat menggertak dengan menyatakan bahwa Rusia mampu
meretakan Eropa dengan tanah jika NATO memprovokasi dengan mengarahkan
moncong senjatanya ke arah Rusia melalui latihan militer yang mereka lakukan.
Pasca pengambilan Krimea oleh Rusia, AS dan UE semakin memperketat
sanksi ekonomi bagi Rusia. Sanksi tersebut berhasil membuat Rusia mengalami
kesulitan finansial sebab AS membatasi pinjaman perusahaan Rusia. Rusia
mengalami kerugian besar atas kasusu geopolitik ini, namun Rusia tetap tidak
bersedia melepaskan Krimea. Rusia justru memberikan sanksi balik pada AS dan
UE dengan larangan mengimpor produk pertanian, makanan dan bahan mentah
selama satu tahun. Aksi saling berbalas sanksi menunjukkan perbedaan antara
keduanya terkait Krisis Ukraina. Rusia menginginkan krisis Ukraina diakhiri
dengan perundingan antara Pemerintah Ukraina dengan separatis pro-Rusia.
Sementara AS bersikeras penyelesaian konflik harus dilakukan dengan legitimasi
pemerintahan pro-Barat dan penarikan militer dari Ukraina. Sampai akhirnya
masalah ini dibawa dan diselesaikan di forum PBB.
Setidaknya PBB telah melakukan 23 sesi yang membahas krisis Ukraina
dari Februari-September 2014 (Kementerian Luar Negeri RI, 2014). Pemaparkan
situasi di Ukraina dan Krimea tersebut salah satunya adalah pertemuan ke tujuh
dengan keputusan Kesepakatan Jenewa (Zafirah, 2018). Kesepakatan Jenewa
adalah pertemuan empat pihak Ukraina, Rusia, AS, dan UE untuk membahas krisis
Ukraina. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen mengenai kesepakatan untuk
meredakan ketegangan di Ukraina. Beberapa poin penting yang disepakati antara
lain:
• Mengecam tindakan ekstrimisme,rasisme, dan intoleransi, sertamenyerukan agar
semua pihak menahandiri dari segala tindakan kekerasan danprovokatif.
• Agar seluruh pihak bersenjatameletakkan senjata dan
membebaskansertamengosongkan tempat-tempat yang dikuasai secara ilegal.
• Pemberian amnesti kepada pihak yangmeninggalkan gedung dan meletakkan
senjata, kecuali bagi yang dianggapmelakukan kesalahan besar.
sampai pada peremuan ke tujuh titik terang masih belum diemukan dan pembahasan
masalah ini masih dilanjutkan di forum PBB.
Kesimpulan
Krisis yang berlangsung di Ukraina bukan saja hanya kepentingan ekonomi
maupun politik melainkan akibat dari perpanjangan tangan kedua kubu rakyat
Ukraina yang berbeda haluan sehingga sangat sulit untuk mencapai kata sepakat
diantara keduanya. Diperlukan Konsultasi trilateral antara UE–Ukraina, UE–Rusia,
dan Ukraina–Rusia untuk mengambil jalan tengah yang dicapai dalam membenahi
krisis di Ukraina serta mampu mendukung kepercayaan antar pihak tanpa
mencampuri urusan internal Ukraina. Krisis Ukraina membawa dampak yang
cukup berat bagi Ukraina baik dibidang ekonomi yang mengalami kemerosotan
pendapatan dan utang yang cukup besar. Kerugian dibidang sosial juga cukup berat
karena banyaknya korban jiwa yang terluka maupun meninggal akibat krisis ini.
Dampak di bidang poliik dan militer juga mendominasi dalam krisis ini,
keadaan politik yang kacau dan menjadi akar permasalahannya. Militer Ukraina
juga harus melawan ikut campur tangannya Rusia dan AS dalam masalah ini. Selain
dampak tersebut krisis Ukraina inilah yang menyebabkan tensi antara Uni Eropa
khususnya AS dengan Rusia semakin memanas yang keduanya memiliki
kepentingan masing-masing di Ukraina.
Saran
Artikel ilmialh ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan
baru bagi para pembaca. Mahasiswa selaku penulis artikel juga dituntut untuk lebih
gemar membaca dan dapat menumbuhkan semangat akademisi untuk belajar dan
belajar lagi. Potensi kepenulisan mahasiswa dihaapkan dapat menjadikan banyak
mahasiswa berprestasi dan unggul di berbagai bidang khususnya karya ilmiah.
Apabila dalam penyusuan artikel ilmiah ini terdapat banyak kekrangan dan
kesalahan, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kedepannya diharapkan
ada yang menyempurnakan artikel ilmiah ini lebih lanjut.
Daftar Rujukan