Anda di halaman 1dari 24

Serangan Umum 1 Maret

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949
terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran
tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan
pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng,[butuh
rujukan] untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik
Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi
Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan
utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional
bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan
perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai
pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Latar belakang
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember
1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang
dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta
tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-
kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil
diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda
yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak
September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan
pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna
melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi
tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada
lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut.
Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil
guna memutarbalikkan propaganda Belanda.

Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan
Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan
Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu,
sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman
yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan
Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di
(dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlunya meyakinkan dunia internasional
terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada
pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia PDRI), ada organisasi TNI dan ada
tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan
spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United
Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh
dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang
dapat berbahasa Inggris, Belanda, atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan
tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut
dengan Panglima Divisi II dan III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar
Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh
Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur
Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng
Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol
Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk
pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas
R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati
Sangidi.

Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer III
menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas
bersama-sama yaitu:

Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan
III,

Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,

Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,

Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI
dan Koordinator Pemerintah Pusat,

Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.


Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian
juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan
eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus
melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung
disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi
III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler
adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran
utama adalah:

Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan
berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.

Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota
delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.

Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan
semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.

Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah
dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan
telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur
Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan
keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan
dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti
disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa
Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu
sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai,
mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta
wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian
PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari
pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa
Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara
Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik.
Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang
yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio
Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita
mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten
menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila
Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang
kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya
sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam.
Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo,
di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di
wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer
bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat,
atau paling tidak dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati
Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan
perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu
pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan.
Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan
dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan
ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah
dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan
Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop)
tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat
dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI
(Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa
dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati
tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil
pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-
masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18
Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel
Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah
yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan
pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah
Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III
Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol.
Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.
Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-
pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain
juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang
mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)
dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh
dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan
tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI.
Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng,
dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui
pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah
Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera
mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun,
yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan


terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi
dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat
pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap
desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk
menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta
rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat
berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung
alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto
berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung
sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug
di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan
Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada
Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret
1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua
pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25
Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi.
Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara)
pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10
daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jalannya serangan Umum


Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh
wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX,
sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur
[[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan
oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol
Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat
tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan
telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari
sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota.
Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke
batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor
Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir
Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6
jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI
mundur

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di
Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara
besar-besaran Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak
pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat
menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Kerugian di kedua belah pihak


Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu
14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut,
keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti
biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan
pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan
pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton
guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit
tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut
majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan
Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret


Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa
gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-
besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines
di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W.
Hutagalung, ketika bertemu pada tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.

Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia,
mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan
Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI
yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu
melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke
tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri,
pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib
Hindia Belanda untuk selamanya.

Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret


Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah
ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-
episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area, Oktober 1945), Palagan
Ambarawa (12 15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (April 1946), Perang Puputan Margarana
Bali (20 November 1946), Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang (1 5 Januari 1947) dan juga
tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki
selama sekitar dua bulan sebagian bersama keluarga mereka - dari Yogyakarta/Jawa Tengah ke
Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa
Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi
pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat
Indonesia adalah perjuangan arek - arek Suroboyo pada Pertempuran di Surabaya / Peristiwa 10
November 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan.

Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan
ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta yang kemudian
dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -
dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan
instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -
berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat
memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan
PBB.

Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI,
Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari
Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta
adalah dari Brigade IX dan Brigade X, didukung oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas
mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling tidak
memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau
komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk
menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI,
Yogyakarta, tanpa perlawanan dari TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak
sanggup menahan serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan
memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan
perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan
perbekalan untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar
TNI.

Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara)
Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri,
melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat,
yang waktu itu berada di Wiladek.

Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade
dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di
atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa Inggris) yang akan disampaikan kepada pihak AURI
untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi ini,
perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan
instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.

Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22
Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar
Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa.
Struktur dan hierarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat


menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan.
Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin
dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang
yang dalam hierarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta
pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang
ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat
peran beberapa atasan langsung Letkol Suharto.

Masih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di
wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini
terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang
ditujukan kepada Komandan Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa
Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan
Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam
serangan ke kota adalah Brigade IX.

Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa Komandan
Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi
tertulis.

Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1
Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk antara lain: "... mengadakan
perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia
luar...".

Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah
untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan
oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1948.

Dokumen ketiga yang membuktikan bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima
Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan
kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan
penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi
bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah
Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1
Maret 1949.
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang
Sugeng, yaitu:

Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,

Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan

Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,

membuktikan bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan
dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat
antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr.
Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution,
yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen
menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga
Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan
Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.

Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal
18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang
Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah
Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di
Banaran.

Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat
dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan
teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks
tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949.
Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah "dipersiapkan"
untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa
Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam
catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan
teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut
adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.

Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan
keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hierarki militer beberapa tingkat di atas Suharto.
Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi
Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak
ditulis untuk kepentingan penguasa.

Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hierarki
militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh
seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir
5, Kolonel Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan: "Peliharalah terus
hierarchie ketentaraan"

Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi
militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui
mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah
menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru
mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para
pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan
umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu
komandan kompi, berpangkat Kapten).

Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan
kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti
disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka,
dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.

Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar yang
menjadi incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu
berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-
pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang
ditulis oleh Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima
Besar, antara lain:

"Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah
ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari
hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama
setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur
Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa
Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto
Tirtoprojo. Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota
dan daerah datang menemui Pak Dirman.

Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk
memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:

"Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di antaranya


Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik, Letnan Basuki
dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo
untuk menghadap Sri Sultan Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap
Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten Cokropranolo. Tanggal 3.3.1949 di
desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan satu kompi tentara dipimpin Letkol.
Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman"

Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima
Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar,
dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil,
seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap Belanda.

Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil
keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu
sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih
mempunyai atasan langsung, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya
hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H.
Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di desa
Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing,
tidak jauh dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang
komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga
jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam
berjalan kaki.

Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan
tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang
Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku Buwono IX.

Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat
banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang
sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah
digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum
adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1
Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana
jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M.
Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949
menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan
seluruh potensi yang ada di bawah komandonya.

Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta
tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah
komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin
dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III
sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel
Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk
mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah
Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.

Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak
atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik
Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan
untuk tidak ke luar kota.

Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah
dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar
Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama
sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan
Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada
seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang,
Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa
kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke
luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat
rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang
mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil
Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya.

Pada era reformasi


Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang dari
Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol Suharto
dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada Suharto untuk melaksanakan
serangan atas kota Yogyakarta, dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1
Maret 1949. Sebagaimana dikemukakan di atas, hierarki dan garis komando militer berfungsi dengan
baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis
komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi
militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan
komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari
atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat. Dengan
demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar
garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada
komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.

Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas
pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta
tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri. Di
beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana
disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga
berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat
Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan
adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia
tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi
Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel Suharto, untuk
melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.

Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak
dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap:
... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949
masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk
memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak
menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal ... ... Namun ia harus cepat bertindak karena
waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk
menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan
siasat.

Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga
Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya
berbunyi: ... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam
pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia
menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua
minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX - Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan
Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.

Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam


otobiografinya menyebutkan bahwa: ... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang
tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...

Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk membantah versi
Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto berkuasa, terlibat dalam konspirasi
pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan
Film "Janur Kuning". Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan
sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan oleh Suharto
dan merekayasa legenda baru. Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan
kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala
sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada penjelasan, mengenai apa yang
dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB IX.

Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat,
sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan
suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan
terhadap Yogyakarta tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja
perundingan di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah
Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).

Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni
2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada Suharto.
Koridor.com menuliskan:"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C
Marsoedi menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota RI
Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948-1949 di
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta, Kamis, Marsoedi mengemukakan,
tidaklah benar bila ide itu berasal dari Soeharto, yang saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III
berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.

Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX.
"Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto," katanya. Ia menjelaskan,
pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan
kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH Prabuningrat, saudara Sri
Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX. Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap
karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana
pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari
pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. "Tunggu perintah lebih
lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu. Ia mengungkapkan, sebelum bertemu
Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian
dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."

Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid
mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998): "Gubernur Militer Bambang Sugeng
itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak
terasa, tetapi sebagai panglima, dia tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya
mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hierarki yang diterjang".

Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." Marsudi,
yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu
tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima
Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan
hierarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus akrab dengan para perwira
yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup
mendengar dan mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang
Sugeng. Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat pimpinan
tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 -di mana disusun
"Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan
perjalanan kaki berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan
"Grand Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono
dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol Suharto.

Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan
harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari 1949,
sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang
Sugeng. Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hierarki
yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan
pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh
bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai
kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang
hierarki. Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang
menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai
komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau
boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara
Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat
mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar.

Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa
pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini
mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di
mana dikutip: "Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim
kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta
persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan
gerilya... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam
pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia
menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua
minggu....Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. ...Melalui kurir pula ia
memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya
dianggapnya sudah cukup."

Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas, tidak
mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan perintah langsung
kepada seorang komandan pasukan untuk melaksanakan suatu serangan besar, tanpa
sepengetahuan atasan komandan pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan
berbagai pasukan yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain,
selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar radio. Dari otobiografi
almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang
yang terbit pertama kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel Simatupang, Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen
tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I
(Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1
Maret 1949. Pemberi perintah adalah Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang
Sugeng. Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain
menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia
memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan: ... Melalui
kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh
pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.

Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya
berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara Belanda
dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan
tersebut berjudul "6 jam di Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas,
sehingga jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila
pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar pukul
12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore
hari. Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang
notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto,
yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada
para atasannya. Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal
penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa
kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas
kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta
dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.

Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun skenario untuk peran HB IX tidak mengetahui
mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walau
pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat
kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang
menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah
untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup". Dikemukakan juga kesaksian
seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang
ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan:...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat
dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.

TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah
pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut
memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar
"pakar sejarah" untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti
yang selama ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak
berbeda dengan "tukang jahit.

Skenario yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui
batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah.
Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak diubah titik-komanya): "...
kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala
itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada Syafruddin Prawiranegara dilain fihak kedudukan
kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan
pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita hanya
menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak
perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar
Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang
dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam
Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator
Keamanan maka mulailah dia menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor
pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda
yang mengatakan Pemerintah RI telah "hilang" semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah
sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah,
kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan
pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya
pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law
pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan
Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi dia
mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."

Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan
utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena
dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram
tersebut. Memang ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra
(Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan
bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.

Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan
Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya,
sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama
dalam penulisan buku ini...".

Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan
transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian,
terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang
memperkuat semua kesaksian. Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari
berbagai media massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah
Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang-ataupun tidak
mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan
latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu
pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang
dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan
Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.
Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat
pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan
pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):"...yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan
untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah
mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk
SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima
kode dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."

memang, adalah suatu novum, yaitu"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak
Bud.." Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat
mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen mana
pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga
catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau
perintah dari HB IX dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak
pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu, Simatupang juga tidak
menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu
Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan
Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang
Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang
menulis:..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah
dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu
dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf
Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta,
sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau
serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya
bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah
bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan
New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana
Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas
Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita

Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang
penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang
selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-
dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau
menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.

Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas
perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya
keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik
atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga
Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan
serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang
secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di
dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga
kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu
sumber pembuktian, dapat menuliskan: "... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui
Budiarjo..."

Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan BBC, serta melampirkan sejumlah
kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah dikenal.
Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta
izin kepada Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga
yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian serangan,
memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk menyampaikan teks siaran ke pemancar
radio AURI di Playen; singkatnya, juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh
Suharto, kini dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero
yang baru. Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut adalah
operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada
satu pun dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX
sebagai pemrakarsa serangan, dan Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".

Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan
Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas
tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah
menulis surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk
meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi
secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini."
demikian Budi Hartono.

Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui
SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau
memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya.

Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa "Serangan Spektakuler" -
bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara
Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan
saat perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut
difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi
Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan Umum" (serangan secara besar-besaran yang
serentak dilancarkan) di seluruh wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap
Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah
keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa
TNI masih ada. Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan
berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan,
persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan
banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara
dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan
pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.

Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar
Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Jawa Barat, Jawa
Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan
kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara
reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana
dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo:"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang
Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada
beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya,
sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri."

Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan
pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi
menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak
penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story
tersebut.

Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu "never
ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru,
sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.

Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan
perintah ataupun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang
Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -
Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B.
Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada,
serta sesuai hierarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas
dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer
yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta-
tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal
berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.

Perkembangan kontroversi serangan umum 1 maret


Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki
Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku
sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B.
Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang.
Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai
perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada
tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.

Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas,
terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua
versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang
berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.

Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan
dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan,
edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16
November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis
oleh Sabam Siagian).

Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku
tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai
dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta
pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut
diterbitkan, dan menulis kata sambutan.

Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat
promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala
Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi
Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" Head
Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat:
"dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk
sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara
Republik dari wilayah yang diduduki Belanda."

Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer
Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan
pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh
Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel
G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang dalam pertemuan
pada 9 November 1999 di Gedung Joang 45, Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima,
Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani
penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan
registrasi perlengkapan medis.
Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan
diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers oleh Aliansi
Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI.
Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga
hadir Dr. Anhar Gonggong, yang mengakui bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi
Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut
(Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun
radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).

Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela
Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi.
Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia
mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim
seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab,
bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun
Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis
mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Dia juga hadir
dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang
diselenggarakan di Gedung Joang 45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W.
Hutagalung dari Jawa Timur seperti Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP
Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah).

Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai
dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara
sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum
penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari
harian Kompas.

Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi
Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun
Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada
komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta,
yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim
Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu.
Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan
undangan kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.

Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang
sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan.
Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku
baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah
pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah
final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi
terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai