A. Sejarah Nusantara
Ancangan Sejarah manapun tidak akan mencapai tujuannya jika tidak memperhatikan faktor geografis.1
Berdasarkan latar belakang historis bahwa tata Nusantara adalah sebuah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa kuno. Kata
ini terdiri dari kata-kata nusa yang berarti pulau dan antara berarti lain. Istilah ini digunakan dalam konsep kenegaraan Jawa
artinya daerah di luar pengaruh budaya Jawa. Dalam penggunaan bahasa modern, istilah nusantara biasanya meliputi daerah
kepulauan Asia Tenggara atau wilayah Austronesia. Sehingga pada masa sekarang ini banyak orang menggunakan istilah geografis
ini untuk menunjukkan sebagai satu kesatuan pulau di Nusantara termasuk wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya (Malaysia,
Singapura) dan Filipina bahkan beberapa negara di wilayah Indochina seperti Kamboja akan tetapi tidak termasuk wilayah Papua. Di
sisi lain, istilah geografis Nusantara saat ini sering diartikan sebagai Indonesia yang merupakan satu entitas politik. Fokus dari
diskusi buku ajar ini adalah kepada istilah geografis Nusantara sebagai wilayah Indonesia pada masa sekarang ini.
Wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia
dan Australia. Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat persinggahan bagi pelayar dan pedagang
terutama dari China ke India atau sebaliknya. Persinggahan para pelayar dan pedagang dari berbagai mancanegara telah
menjadikan Nusantara sebagai tempat kehadiran semua kebudayaan besar didunia. Bukti-bukti penemuan artefak-artefak seperti
prasasti, uang logam dan gerabah memberikan informasi kehadiran bangsa-bangsa besar tersebut. Seperti prasasti berbahasa
Tamil ditemukan di desa Lobu Tua pesisir Barat Sumatra (Barus)1, porselin dan gerabah Cina ditemukan di Palembang, nisan dan
uang logam Arab ditemukan di Aceh. Dari penemuan-penemuan tersebut, para arkeolog dan sejarahwan menyusun kronologis
sejarah Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sekitar seribu tahun lamanya, dari abad ke-5 sampai ke-15, kebudayaan-kebudayaan
India mempengaruhi Sumatra, Jawa dan Bali, dan Kalimantan bersamaan dengan dataran-dataran rendah yang luas di
Semenanjung Indocina. Kebudayaan India ini awalnya pada penyebaran agama Hindu dan Buddha dan Islam di Indonesia. Di Jawa
Tengah, candi Borobudur dan Prambanan adalah monumen yang sama nilainya dengan Angkor dan Pagan.
Pada abad ke-7 hingga ke-14, kerajaan Budha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi
ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan
Semenanjung Melayu. Pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya
adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dalam
Islam tiba di Indonesia sekitar abad ke-12, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir dekad ke-16 di Jawa dan
Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoriti Hindu. Agama Islam ini dibawa oleh pedagang Arab dari Parsi dan
Gujarat melalui pembauran. Kesultanan kecil Samudra Pasai disebelah utara Sumatra menjadi bandar yang ramai pada masa itu.
Berdasarkan catatan Gastaldi (1548), seorang ahli kosmografi dan enjineer dari Italia, pelabuhan atau bandar kesultanan Samudra
sebagai yang terbaik di pulau tersebut, dan melalui proses evolusi nama, istilah Sumatra dikenalkan pertama kali oleh orang Eropa
Nichol de Conti, sebelumnya Marcopolo menyebut dengan Samara, kemudian Friar dan Odoric menyebut dengan Sumoltra,
Ibnu Battuta menyebut Samudra. 2 Melalui evolusi yang sama, nama Borneo pada mulanya adalah nama sebuah pelabuhan
Brunei, yang pada masa itu merupakan nama kerajaan terpenting di Kalimantan Barat.3
Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan
saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam didorong hubungan
perdagangan di luar Nusantara; umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut.
Kerajaan penting termasuk Mataram di Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.
Peradaban Eropa, hadir sejak abad ke-16, mula-mula dalam bentuk peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania
Raya, dan Belanda. Marcopolo menjadi orang Eropa pertama yang bercerita tentang perjalanannya ke bandar-bandar pantai utara
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah Nusantara dengan memanfaatkan perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Pada dekad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara
langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (Verenigde
Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah
tersebut oleh parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. VOC menjadi terlibat
dalam politik internal Jawa pada masa itu dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan
Banten. Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir dekad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas
Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Pada 1901 pihak Belanda melancarkan
Politik Etis (Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit
perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial
secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini. Pada saat ini,
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota-kota dengan berbagai macam fasilitas seperti bangunan perkantoran, rumah sakit,
Penetrasi Jepang di Asia Tenggara pada tahun 1941 disambut pada bulan yang sama dengan menerima bantuan Jepang untuk
mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Nusantara beriklim tropis sesuai dengan letaknya yang melintang di sepanjang garis khatulistiwa. Dataran Indonesia kurang lebih
1.904.000 kilometer persegi terletak antara 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang selatan serta 950 dan 1400 garis bujur timur.
Dataran ini dibagi menjadi empat satuan geografis yaitu kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi),
Kepulauan Sunda Kecil (Lombok, Sumba, Sumbawa, Komodo, Flores, Alor, Savu, dan Lembata), Kepulauan Maluku (Halmahera,
Ternate, Tidore, Seram dan Ambon), dan Irian Jaya beserta kepulauan Aru. Seluruh pulau di Indonesia termasuk dalam zona iklim
khatulistiwa dengan suhu yang hampir konstan serta dipengaruhi oleh angin musim dan angin pasat.
Secara geologis, Nusantara terdiri dari bentukan vulkanik dan nonvulkanik yang saling berjalin, sehingga Indonesia merupakan
wilayah seismik paling aktif di dunia, tercatat kira-kira 500 gempa bumi setahun. Sejak akhir tahun 2004 hingga 2006 tercatat lebih
dari 1000 kali gempa bumi. Selain gempa bumi, wilayah Nusantara juga merupakan wilayah yang rawan tsunami, berdasarkan
katalog gempa (1629 - 2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali, terakhir kali bencana tsunami yang paling
Indonesia memiliki 18,018 buah pulau yang tersebar di sekitar khatulistiwa mulai dari 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang
selatan serta 950 dan 1400 garis bujur timur. Diantara puluhan ribu pulau tersebut terdapat lima pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, dengan pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%)
populasi Indonesia hidup dipulau ini. Flora dan fauna Indonesia sangatlah beragam jenisnya. Setiap pulau memiliki kekhasan sendiri
dan sering menjadi ikon dalam perkembangan wilayah atau daerah tersebut. Selain itu, Indonesia juga kaya dengan keberagaman
etnis, terdapat kurang lebih 300 suku yang berbicara dalam 500 bahasa dan dialek.
Berdasarkan sosial linguistik, kebanyakan orang Indonesia berbahasa Austronesia yang kelompok wilayahnya persebarannya
meliputi banyak pulau di Asia Tenggara, sebagian dari Vietnam Selatan, Taiwan Mikronesia, Polinesia dan Madagaskar sehingga
memiliki banyak kesamaan warisan budaya. Pengaruh budaya Austronesia pada budaya Indoenesia terlihat dalam budaya materi,
organisasi sosial, kepercayaan, mitos, serta bahasa. Indonesia, selain kekayaan bahasa, masing-masing etnis memiliki keunikan
adat istiadat dan budaya yang sering direfleksikan dalam keunikan arsitektur lokal atau vernakular. Apabila setiap etnik memiliki
satu karakteristik arsitektur vernakular, maka terdapat kurang lebih 500 arsitektur vernakular di Indonesia yag merupakan kekayaan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan Australia. Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat
persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau sebaliknya. Selain kedua bangsa Asia ini, terdapat juga
pengaruh lain dari berbagai budaya hebat di dunia seperti peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan
Belanda. Dari luas dan letak wilayahnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara besar yang cukup berpengaruh di Asia. Jaringan
ini telah berlangsung beratus tahun lamanya, beberapa peninggalan budaya yang nampak atas pengaruh yang pernah singgah
masih ada seperti misalnya kebudayaan India pengaruhnya mencakup terhadap penyebaran dan perkembangan Hindu Buddha dan
Islam di Indonesia yang bisa diketahui dari tinggalan budayanya yaitu arsitektur candi dan arsitektur masjid bergaya Moghul di
Indonesia. Sama halnya dengan India, pengaruh kebudayaan China hingga sekarang ini masih sangat besar dapat terlihat dalam
berbagai sapek kehidupan; kepercayaan, bahasa, makanan, sistem pertanian dan lain sebagainya.
Kemajuan maritim di China pada masa Dinasti Ming telah membawa pelayar-pelayar tangguh mengarungi wilayah Nusantara.
Perdagangan silang antara China dan India telah membuat Nusantara dan Asia Tenggara menjadi tempat persinggahan setiap kali
berlayar. Pertukaran budaya terjadi dengan adanya interaksi perdagangan antara pedagang atau pelayar China dengan penduduk
setempat yang disinggahi. Terdapat banyak tinggalan sejarah yang mendapat pengaruh peradaban Cina di Indonesia terutama
pada klenteng dan bangunan pertokoan yang tersebar pada kota-kota lama di seluruh wilayah Indonesia.
Budaya Jepang pertama kali masuk ke Nusantara pada sepertiga abad ke 20. Melalui propaganda militer saudara tua Jepang
dengan leluasa masuk ke wilayah Nusantara. Penetrasi politik Jepang selama 3,5 tahun tidak banyak meninggalkan monumen atau
tinggalan bangunan bersejarah di Indonesia seperti halnya India dan Cina, akan tetapi kemiripan pada arsitektur vernakular yang
sangat dipengaruhi oleh budaya Austronesia menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ajar ini. Sebagai salah satu negara
besar dengan konsep arsitektur timur yang kuat pernah menduduki Nusantara maka sangat penting untuk diketahui bagaimana
Pembahasan buku ajar ini selain menjabarkan sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari
peradaban Asia (India, Cina dan Jepang) di Indonesia juga membahas konsep dan perkembangan arsitektur di ketiga negara
tersebut. Arsitektur Nusantara, dan Arsitektur Asia : India, Cina dan Jepang mewakili pemikiran tentang arsitektur timur.
Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi
atas tiga bagian besar yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi. Sebenarnya
terdapat satu zaman lagi sebelum zaman Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi tentang
zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.1 Perkembangan
arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan
Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi
tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk
arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial).
Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan
pembangunan candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang
arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang
Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai berikut :
Arsitektur vernakular
Arsitektur Kolonial
.
2 Arsitektur NUSANTARA PADA ERA
Hindu dan Buddha
Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8 hingga ke-10
yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran Siwa, sementara dinasti
Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa
prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga
Syailendra di bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa
Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha
Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan
Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang berkuasa
Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-prasasti. Prasasti dari
kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ni berbentuk yupa. Yaitu tugu
peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada
tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh
seorang raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita
tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga bercerita tentang bangunan suci
(candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak bisa ditelusuri namanya dengan candi yang dikenal.
Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan prasasti, terdapat pula candi-candi
yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau.
Ada juga berita tentang keberadaan kerajaan tersebut berasal dari berita ekspedisi pada pendeta Buddha
Tiongkok (Cina) ke nusantara misalnya berita dari pendeta I-Tsing yang menyebutkan keberadaan kerajaan
Holing (Kaling), kerajaan-kerajaan di Sumatera : Tulang Bawang (Sumatera Selatan), Melayu (Jambi), dan
Sriwijaya. Dari I-Tsing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan pusat kegiatan ilmiah agama Budha pada masa
itu. Buku atau kitab kuno juga merupakan sumber informasi keberadaan kerajaan-kerajaan di masa lampau,
Berikut adalah rangkuman dari berbagai sumber terhadap beberapa prasasti dan candi peninggalan kerajaan-
Airlangga Pucangan, dikenal dengan Arca Wisnu dan Belahan, Jawa TImur Hindu
Prasasati Calcutta garuda (garuda-
mukha)
Kerajaan Kadiri Sri Jayawarsa, 1104 - - Hindu
Singhasari Prajnaparamita (Ken Kidal, 1427 M Hindu-Budha
Dedes) Jago. 1268 M Budha
Jawi Siwa-Budha
Wur are,1289 M Joko Dolok
Pamalayu. 1292 M Amoghapaca Singhasari Siwa-Budha
Hindu
Hindu
Hindu
B. Arsitektur Candi
Kata Candi pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi
Kematian dan Permaisuri Siwa. Maka, secara harfiah Candi bisa ditafsirkan sebagai bangunan yang digunakan
untuk keperluan pemakaman, atau bahkan sebagai makam. 1. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang
raja dikubur dibawah bagian tengah candi (peripih). Sehingga seringkali dulu candi digunakan sebagai tempat
pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Akan tetapi, Candi dibangun bukan semata hanyalah
sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal, lebih dari candi itu,
candi juga difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa yang dilambangkan sebagai arca. Arca
tersebut diletakan di ruang tengah candi dahulu kala hanya Pendeta yang memimpin acara pemuajaan yang
diperkenankan masuk kedalam ruang tersebut. Candi lebih diyakini sebagai kuil atau tempat pemujaan
Secara
vertikal,
struktur
bangunan
candi terdiri
dari tiga
bagian yang
melambangkan
kosmologi atau
kepercayaan
terhadap
pembagian
dunia sebagai
satu kesatuan
alam semesta
yang sering
disebut
dengan
Triloka terdiri
dari dunia
manusia
(bhurloka),
dunia tengah
untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa (svarloka). Ketiga tingkatan
ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagian kaki, badan dan kepala. Arsitektur candi sering
juga diidentikan dengan makna perlambangan Gunung Meru. Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru
adalah sebuah gunung di pusat jagat yang berfungsi sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi
surga. Keyakinan seolah-olah mengatakan bahwa gunung sebagai tempat tinggal para dewa.
Pada bangunan candi di Indonesia, selain berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat di ruang
dalam candi, elemen atau bagian bangunan yang terdapat pada arsitektur candi baik candi Hindu dan Buddha
Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan Siwa untuk membunuh seorang raksasa. Kala ini
diwujudkan dalam berbagai variasi bentuk seperti mahkluk aneh tanpa rahang bawah atau hiasan dengan
satu mata. Sedangkan Mekara adalah binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri,
dan ekor seperti ikan, yang semuanya merupakan lambang air dan birahi.2 Hiasan mekara ini sering
ditemukan baik pada candi Hindu dan Buddha. Biasanya patung makara ditemukan pada gapura sebagian
besar candi klasik awal, makara jarang ditemukan pada jaman klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatra,
seperti di kompleks candi Padang Lawas, dimana didirikan perkiraan pada abad 10 mekara ini masih terus
digunakan.
Peripih adalah sebuah peti batu yang digunakan awalnya sebagai tempat abu jenazah seorang raja,
kemudian pada kenyataan lain, peripih digunakan sebagai wadah untuk menaruh unsur-unsur yang
melambangkan dunia materi : emas, perak, perunggu, batu akik dan biji-bijian yang diduga sebagai
benda-benda upacara pemujaan. Di dalam peripih terdapat bagian-bagian yang diatur dalam pola seperti
falsafah melambangkan kubah syurga (Dome og Heaven) atau melambangkan struktur kosmik yang
Lingga dan yoni adalah sepasang relief atau monumen yang terdapat pada candi Hindu Siwa. Lingga
terdiri dari silinder terpadu atau berdiri diatas dasar yang disebut yoni.
Bangunan candidi Indonesia umumnya dibangun dengan cara a joint vif, yaitu bebatuan yang saling
ditumpuk diatasnya tanpa ada bahan pengikat. Pada awalnya teknik penumpukan batu dilakukan dengan
cara membuat perkuatan dengan memotong bagian balok batu untuk membuat semacam lidah dan tekukan
yang saling mengunci dengan balok-balok yang bersebelahan baik secara mendatar maupun ke atas. Pada
awal abad ke-9, ahli bangunan Jawa menggunakan teknik India mengenai dinding batu berdaun ganda. Jawa
merupakan satu-satunya wilayah di Asia Tenggara yang menggunakan cara konstruksi seperti ini. Teknik ini
memerlukan pembuatan sepasang dinding sejajar dan pengisian rongga diantaranya dari puing atau dari batu
dengan bentuk yang tidak beraturan direkatkan dengan lumpur, kadang-kadang ditambah sedikit kapur
seperti di Loro Joggrang. Lapisan luar batu biasanya diarahkan ke bagian luar dalam serangkaian bebatuan
menggantung berjarak tidak rata yang menghasilkan kesan bagian luar bagikan dipahat atau di sesak.
Setelah abad ke 9, teknik kontruksi candi agak sedikit berubah sejalan dengan peralihan pusat politik pada
Pembangunan candi memiliki tata cara dn upacara ritual. Upacara yang dilaksanakan serigkali dicatat dalam
tulisan batu (piagem) atau lempengan perak atau tembaga. Yang brinisiatif membangun candi pada pertama
kalinya adalah bangsawan (orang suci) dengan mengajak orang-orang di kampungnya (sekelilingnya) untuk
bergotong royong membangun candi. Pertama sekali bangsawan yang menyelenggarakan acara membagikan
hadiahpada semua orang yang datang. Kemudian peserta menghiasi diri dengan bunga dan pewarna dan
batu suci diletakkan ditengah halaman candi yang yang akan dibangun. Tata cara urutan pembangunan candi
Melihat dari masa pembangunan candi-candi di Nusantara, maka dibagi atas tiga periode1 yaitu masa Klasik
Awal (600 M-900 M), dimana candi Prambanan dan Borobudur dibangun pada masa ini, kemudian masa
Klasik Madya (900 M- 1250 M) yaitu candi-candi yang terdapat di Sumatera seperti candi-candi yang ada di
Padang Lawas, Muara Takus, dan Muara Jambi. Candi-candi yang dibangun pada Masa Klasik Akhir (1250 M
1500 M) umumnya terdiri dari konstruksi bata yang secara meluas banyak terdapat di Jawa Timur dimana
Jika dilihat dari sudut pengelompokkan langgam atau jenis serta agama yang mewakili keberadaan candi
tersebut, Soekmono membagi menjadi tiga jenis yaitu jenis Jawa tengah Utara mewakili agama Hindu (Siwa),
jenis Jawa Tengah Selatan mewakili agama Budha (Mahayana) dan jenis Jawa Timur mewakili aliran
Tantrayana (baik Siwa maupun Budha). Dalam hal ini kellompok candi Loro Jonggrang meruipakan
perkecualian, karena berasal dari jaman setelah berpadunya keluarga Sanjaya dan keluarga Syailendra
sehingga susunannya terlihat sebagai kelompok candi di Jawa Tengah Selatan akan tetapi keagamaannya
mewakili agama Hindu. Pengelompokkan ini sejalan dengan pengelompokkan candi berdasarkan masa
pembangunannya.
Candi-candi di Jawa Tengah Utara merupakan candi pada masa klasik awal. Candi di wilayah ini merupakan
pemujaan terhadap Siwa dengan bentuk mendekati tipe candi di India, sebagai contoh yaitu candi Arjuna
yang merupakan kelompok candi Dieng. Dahulunya, diperkirakan di candi tersebut pernah terdapat arca atau
lingga yang akan dimandikan dengan upacara khusus, dengan pengaturan bilik dan saluran air suci
menembus tembok, upacara ini mirip dengan upacara Siwais dengan cara yang sama seperti candi-candi
Palawa di India selatan. Begitu pula halnya dengan candi Bima dimana pada awalnya sama dengan bentuk
candi dari provinsi Orissa di India, akan tetapi kemudian banyak mengalami perubahan sekitar tahun 800 M
disesuaikan dengan penggunaannya oleh penganut Budha. Beberapa candi yang terpenting lain pada masa
dan wilayah ini adalah Candi Gunung Wukir dekat Magelang (732 M), Candi Badut, dekat Malang (760 M),
Candi-candi di Jawa Tengah Selatan merupakan candi-candi Budha pertama di Jawa atau dikategorikan juga
sebagai candi pada masa Klasik awal. Candi yang termasuk adalah candi Kalasan, dekat Yogyakarta (778 M),
candi Sari di dekat candi kalasan, candi Borobudur, candi Mendut di sebelah timur Borobudur, kelompok
candi Sewu di dekat Prambanan, kelompok candi Plaosan disebelah timur candi Sewu.
Sebenarnya, terdapat perbedaaan yang cukup signifikan antara candi Jawa Tengah Utara dengan candi Jawa
tengah Selatan karena perbedaan peruntukan bangunan keagamaannya. Misalnya, kelompok candi Dieng dan
kelompok candi Gedung songo yang merupakan candi Hindu didalamnya terdapat yoni dan lingga, dan
sebagian besar menghadap ke barat. Akan tetapi kemudian, dominasi candi Budha di Jawa tengah Selatan
telah memberikan image bahwa candi di Jawa tengah adalah candi budha, dan memang kemudian pengruh
Budha juga terdapat pada candi-candi di Jawa tengah Utara. Sehingga akhirnya bisa dikatakan tidak ada
perbedaan yang mendasar antara candi di Jawa tengah Utara dengan candi di Jawa tengah Selatan, hanya
candi di Jawa tengah Selatan lebih mewah dan lebih megah dari segi bentuk dan hiasan daripada candi di
Jawa Tengah Utara. Oleh karena itu, sering tipe candi di kedua wilayah ini disatukan, perbedaan yang
Candi-candi terpenting di Jawa Timur adalah candi-candi di sekitar Malang : candi Kidal (candi Anusapati),
candi Jago disebut juga candi Wisnuwardhana, candi Singosari (candi Krtanagara). Kemudian candi Jawi
dekat Prigen, kelompok candi Panataran dekat Blitar, candi Jabung dekat Kraksaan.
Perbedaan dari kedua tipe candi antara dua wilayah ini dijelaskan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perbedaan bentuk dan langgam candi Jawa tengah dan Jawa Timur.
Bentuk dan Tipe candi Jawa Tengah Bentuk dan Tipe candi Jawa Timur
Di pulau Sumatra seperti candi Muara takus, candi-candi di Padang Lawas terdapat beberapa candi yang
digolongkan sebagai candi pada masa klasik madya. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-11 dan ke-
13 merupakan tempat pemujaan dari batubata aliran Budha esoterik. Diperkirakan bahwa keberadaan candi-
candi ini berhubungan erat dengan kerajaan Adityawarman, seorang putra Pangeran Jawa yang pindah dan
mendirikan kerajaan di pedalaman Sumatra. Bukti sejarah berupa prsasasti Adityawarman mengungkapkan
beberapa fakta sejarah di pedalaman sumatra saat itu. Selain prasasti, terdapat cerita sajarah Kerajaan
Pannei (di daerah sekitar sungai Panai, Padang Lawas) diserang oleh kerajaan Cola (India Selatan) pada
tahun 1025. Salah satu Bangunan biaro (berasal dari kata vihara) di Padang Lawas memiliki hiasan singa
Selain kedua bentuk dan langgam diatas, terdapat tipe lain dari candi yang berbeda yang sering disebut
dengan pertirtaan dan candi padas. Kelompok ini dimasukan kedalam candi pada masa klasik akhir.
Pentirtaan dan Candi padas yang terkenal adalah candi belahan di lereng gunung Penanggungan dekat
Mojokerto, dikenal dengan candi berundak, candi Tikus di bekas kota Majapahit (abad ke-14), dan gunung
kawi di Tampaksiring (Bali). Kemudian ada lagi jenis bangunan candi yang berupa gapura, terdapat dua jenis
gapura yaitu yang pertama, bagian pintu keluar masuk yang mana bagian tubuhnya terdapat lobang pintu,
misalnya candi Jedong, candi Plumbangan, dan candi Bajang Ratu. Jenis gapura kedua, rupanya seperti
bangunan candi yang dibelah dua atau disebut juga dengan candi bentar yang biasanya identik dengan seni
bangunan pada masa Majapahit. Selain candi Waringin Lawang di Majapahit, juga terdapat di Kapal, Bali.
3 .
Islam masuk ke Indonesia kurang lebih abad ke-13 sangat terkait dengan perkembangan perdagangan di
wilayah Nusantara. Pada awalnya kedatangan Islam ke nusantara melalui pembauran para pedagang yang
berasal dari Gujarat, sebuah wilayah di bagian barat India. Pada masa tersebut terdapat beberapa kota-kota
pelabuhan seperti Barus, Pasai, Banten, Demak, Madura yang menjadi titik pertemuan dan penyebaran
Islam di nusantara.
Dalam ekspedisi Marco Polo dari Tiongkok ke Persia tahun 1292, kemudian singgah di Peureula, bagian
utara Sumatera (Aceh), pada waktu itu dijelaskan bahwa terdapat penduduk yang beragama Islam dan juga
pedagang-pedagang dari India yang giat menyebarkan agama tersebut walaupun disekitar kota masih
banyak yang belum memeluk Islam. Tak lama setelah persinggahannya tersebut, pada tahun 1297 di
Samudra, sebuah kerajaan di Aceh, ditemukan makam raja Islam, salah satunya makam Sultan Malik al-
Saleh. Dari bukti sejarah ini, disimpulkan bahwa Kerajaan Samudra menjadi kerajaan Islam yang pertama di
Nusantara. Samudra menjadi pelabuhan niaga yang terpenting di Nusantara hingga akhir abad ke-14. Pada
awal abad ke-15, Malaka timbul sebagai pusat perdagangan dan pangkal penyebaran agama Islam.
Sementara di bagian Timur Nusantara timbul pula pusat kegiatan Islam, yaitu Ternate (1430) yang
meluaskan ajaran Islam hingga ke pantai timur Sulawesi. Kejayaan Malaka mencapai daerah Riau (Kampar,
Indragiri), akan tetapi tidak lama bertahan hingga Portugis menakhlukan Malaka pada tahun 1511. Di pulau
Jawa, kerajaan Majapahit mendekati masa punjak kejayaannya dibawah pemerintahan raja Hayam Wuruk
(1611). Demikian pula, Majapahit digantikan kedudukannya oleh Kerajaan Demak yang kemudian meluaskan
agama Islam ke seluruh Jawa hingga bagian selatan Kalimantan sehingga tersebut kerajaan Mataram dan
Banten menjadi kerajaan Islam yang besar setelah Demak. Pada abad ke-16 juga timbul kerajaan Brunei
yang meluaskan ke Islaman hingga bagian barat Kalimantan, dan juga Filipina. Atas kegiatan orang-orang
Bugis, maka Islam masuk ke Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara dan juga beberapa pulau di Nusa
Tenggara. Kerajaan Goa menjadi kerajaan besar Islam pada masa itu. Dari Ternate (Kesultanan Ternate dan
Tidore), Islam meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, dan di daerah pantai Timur Sulawesi serta
Sulawesi Utara. Demikianlah, hingga akhir abad ke 16, boleh dikata bahwa Islam telah tersebar dan mulai
mengakar di Nusantara. 1
Penyebaran Islam keseluruh Kepulauan Indonesia terbagi dalam tiga tataolahsejarah berbeda (three
dintinct historical processes), yang mana masing-masing dikaitkan dengan pola perkembangan. Pendirian
negara Islam di Sumatera utara mencerminkan pemunculan pemerintah baru bukan melalui penakhlukan
atau peralihan kerajaan yang ada. Namun di Jawa, penguasa Islam menggantikan kekuasaan politis raja
Hindu. Elit politik baru tidak sepenuhnya merombak ideologi ataupun lambang penampilan luar penguasa
lama; melainkan mereka sangat mempertahankan kesinambungan dengan masa sebelumnya seraya
memperkuat peralihan dan perluasan pemerintahan Hindu terdahulu. Sementara di Indonesia timur
(Kalimantan, Sulawesi dan Maluku), raja-raja dengan mudah beralih ke Islam, tidak ada perubahan berarti
Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan kota pertama di Indonesia adalah peningkatan
perdagangan kelautan Asia secara umum pada abad ke-13 dan ke-14. Pada masa itu, perdagangan rempah-
rempah dari nusantara ke beberapa negara Asia seperti India dan China mengalami kemajuan yang pesat
sementara bangsa Eropa mulai menapak kakinya menguasai pusat pemasok utama rempah-rempah saat itu
di Banda. Pusat kerajaan Hindu dan Budha yang sebelumnya menjadi tempat tujuan dan persinggahan dari
pedagang dan biksu China maupun India seperti Sriwijaya/Palembang, Mataram dan Trowulan telah tumbuh
menjadi pemukiman perkotaan. Disamping itu pusat kerajaan Islam yang tumbuh setelah pudarnya
kejayaan kerajaan Hindu Budha menjadi bandar-bandar baru sebagai titik pintu masuk menuju perairan
internasional bersamaan dengan perkembangan kota-kota pelabuhan yang mulai dikuasai oleh Potugis dan
VOC.
Bukti kebahasaan sering dikaitkan dengan kemunculan tradisi pemukiman perkotaan di Asia Tenggara.
Sebutan Bandar sering digunakan untuk kota-kota pelabuhan saat itu, kata ini berasal dari bahasa Persia
yang berarti pelabuhan dagang resmi diterjemahkan secara bebas sebagai town dan city dalam bahasa
Inggris, cicade (Portugis), stad (Belanda). Sementara, istilah kota dalam babad tanah Jawi padanannya
khita, kuta, kuto dan negeri, istilah yang sering digunakan sebelumnya pada masa Hindu. Sebutan kuto
dalam beberapa sastra Jawa Kuno dan Jawa Peralihan juga dicantumkan seperti dalam Kitab Bomakywya,
Ramayana, Bharatayuddha, dan Pararaton. Sebutan kuto ini memiliki persamaan dengan kata yang lazim
didapatkan dalam bahasa Belanda sebagai burcht, kaasteel, vesting, vesterkte legerplaats. 3 Kemudian
dalam bahasa Hindi, kota semula menggambarkan pemukiman bertembok atau benteng, tetapi kemudian
menjadi pusat masyarakat, dan sekarang mencakup konsep kota Metropolitan. Dari bukti kebahasaan
tersebut diketahui ada dua model kota yang dilihat dari pola modern kehidupan kota yaitu pelabuhan dan
benteng.
tampaknya
kota yang
muncul;
pertama, kota
sebagai
pelabuhan
dagang
dengan pintu
masuk
menuju jalur
perairan
internasional,
dan kedua,
kota sebagai pusat administratif dengan daerah pertanian yang makmur. Kota yang terletak di pesisir dan
muara-muara sungai besar disebut sebagai pusat Kerajaan Maritim berfungsi sebagai pelabuhan atau titik
masuk dan keluar pelayaran seperti Sriwijaya/Palembang, Aceh/Pasai, Banten, Batavia, Banjarmasin,
Semarang, Demak, Jepara, Gersik, Tuban, Surabaya, Makassar, Ternate dan Banda. Sedangkan kota jenis
kedua, kota yang berada di pedalaman (hinterland) seperti Pagaruyung, Jambi dan Mataram. Perkembangan
perdagangan monopoli rempah oleh Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) juga mempengaruhi
Pertumbuhan kota dan permukiman pada kedua kota memiliki karakteristik dan pola sendiri. Kota pesisir di
utara pulau Jawa dalam sejarah sangat berbeda dengan daerah pedalaman. Kota pedalaman dicirikan
dengan kota dengan istana yang memiliki upacara yang rumit dengan arsitektur yang didasarkan pada
penduduk yang bermata pencaharian utama pertanian. Sementara disepanjang pantai utara digambarkan
sebagai masyarakat kosmopolitan dengan sederet bandar perdagangan yang lebih cenderung memandang
ke luar daripada ke dalam. Perkembangan kota-kota pesisir ini mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia
Belanda sehingga pada abad ke-17 berkembang pesat dapat dilihat dari perwujudan arsitekturnya.
Kemajuan kota-kota tersebut selain didukung oleh faktor geografi, politik dan ekonomi, juga tidak terlepas
dari faktor magis-religius atau unsur kosmologi. Seperti halnya pada pendirian kota kerajaan di Indonesia
seperti Yogyakarta, Surakarta, Demak, Cirebon, Banten, dan lain-lain biasanya dihubungkan simbol meru
dalam mitologi Hindu. Umumnya kota-kota di Jawa mengikuti poros utara-selatan. Dari beberapa
keterangan, lukisan, map, terhadap beberapa kota tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa morpologi kota-
kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara mempunyai ciri antara lain : ada yang
berpagar keliling/benteng (Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Demak, Banten) ada juga yang tidak berpagar
keliling (kota Majapahit, Aceh, Gersik, Tuban, Surabaya), pasar, tempat peribadatan (mesjid),
perkampungan, kelompok bangunan keraton, tempat raja atau penguasa yang biasanya terletak di bagian
selatan. Pembuatan pagar keliling masa itu ber fungsi sebagai benteng pertahanan terhadap gangguan dari
luar kota. Selain itu, dari sudut ekonomi, pagar keliling diperlukan sebagai tempat pemungutan bea-cukai
barang-barang dagangan yang keluar masuk kota. Biasanya perkampungan pendatang atau pedagang baik
dari wilayah Indonesia yang lain, maupun dari Gujarat, Parsi, Arab, dan Cina (perkampungan dan pasar
berada di luar pagar keliling. Pengelompokan perkampungan pendatang ada yang berdasarkan etnis dan
ada juga yang berdasarkan pekerjaannya. Sehingga pada saat itu terdapat sebutan Kampung Melayu,
Kampung Makasar, Bugis, Ternate, Banda, dan Banjar dan lain sebagainya. Demikian pula kampung
pendatang dari luar wilayah Indonesia dikenal dengan nama kampung Gujarat, Arab, Benggala dan Cina. Di
Aceh, kampung pendatang juga dikelompokkan berdasarkan pekerjaannya seperti kampung Pande
( tukang), begitu pula halnya di kota Cirebon, ada yang disebut dengan Panjunan, adalah sebutan untuk
kampung para pembuat periuk belanga (a jun). Elemen lain dalam kota masa Islam awal adalah lebuh
agung atau alun-alun, lapangan yang terletak di tengah-tengah kota dan berfungsi sebagai tempat
Perekembangan
pesat pada
kota-kota
pelabuhan
dagang Islam
membentuk
titik perhatian
utama
pembaharuan
arsitektur dan
pembangunan
masyarakat
pertanian melanjutkan penyesuaian susunan ruang sejenis mandala pada zaman Hindu-Budha. Sementara
itu, masjid menggantikan candi sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Islam datang ke Indonesia tidak
menyebabkan revolusi dalam gaya bangunan, sehingga peralihan dari zaman Hindu-Budha ke era Islam
memberikan suatu warna eklektisme seperti halnya yang terlihat peninggalan yang tersisa pemakaman
Imogiri di Yogyakarta, Masjid Kudus, Istana Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Deli dan Ternate.
Masa Islam Awal ditandai dengan ditemukannya bentuk monumen seperti makam, mesjid, kuburan dan
keraton. Beberapa makam berasas Islam yang ditemukan diperkirakan dibangun pada masa sebelum
masyarakat Indonesia sepenuhnya beralih ke Islam. Batu nisan Islam tertua di Indonesia adalah nisan
seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Habatallah ditemukan di Leran Surabaya sebelah barat,
Jawa Timur. Akan tetapi tidak ada informasi yang detail mengenai wanita tersebut.4 Makam yang lain
ditemukan di Aceh diyakini sebagai makam penguasa pelabuhan Samudra di pantai utara Aceh. Makam yang
masih terawat hingga saat ini adalah makam Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419 di Gresik, Jawa
Timur. Dari segi perletakan, makam kadang-kadang berada di dekat mesjid, dan seringkali terletak di tanah
lapang di luar desa/kota bersangkutan. Makam tidak pernah ditemukan dalam lingkungan istana setempat.
Tidak ada bentuk dan hiasan makam yang spesifik, salah satu ciri utama bentuk makam yaitu balok batu
persegi panjang yang menyerupai bangunan, terukir dengan ayat-ayat yang diambil dari Al Quran serta
dibubuhi ragam hias yang disebut sayap; sedangkan jenis yang satu lagi lebih umum disebut sebagai bentuk
jada atau club. Jenis ini dipakai oleh orang-orang sepanjang Sumatera, dekat kepulauan Riau, dan
Semenanjung Malaka pada abad ke-15 dan 17. 5 Bentuk dan makam di Jawa dipengaruhi oleh budaya Hindu
yang berkembang pada masa sebelumnya. Beberapa makam para sufi atau ulama sperti di Jawa dikenal
Berdasarkan uraian tentang kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam awal dijelaskan
bahwa mesjid menjadi tempat peribadatan menggantikan fungsi candi pada masa tersebut. Letak mesjid di
kota-kota pusat kerajaan di Jawa disebelah barat alun-alun dan tidak terpisahkan dari komponen inti kota
yaitu keraton. Dahulu, pusat kota kerajaan terdiri dari bangunan keraton/istana, alun-alun, masjid, dan
tempat tinggal para bangsawan. Dari keterangan dan data sejarah disebutkan bahwa pada sebuah kota
pusat kerajaan terdapat beberapa buah mesjid disamping beberapa langgar atau surau atau meunasah.
Biasanya inisitaif dari mendirikan mesjid mula-mula timbul dari sultan atau wali, diperkuat dengan unsur-
unsur tradisional yang memandang raja atau sultan dan wali sebagai orang-orang magis. Menurut babad,
mesjid-mesjid kuno yang didirikan di bawah pimpinan Wali Sanga secara gotong royong adlah mesjid Agung
Demak dan Mesjid Agung Cirebon. Di Sumatera, pendirian mesjid juga di inisiasi oleh Sultan atua Raja,
begitu juga dari segi letak, seringkali dekat dengan istana. Pada awalnya mesjid didirikan sebagai tempat
ibadaah, sejalan dengan perkembangan politik dan pemerintahan, mesjid juga digunakan sebagai pusat
kehidupan masyarakat yang berhubungan urusan keagamaan seperti wakaf, peradilan, hukum Islam, zakat.
negeri Islam. Mesjid-mesjid kuno pada awal perkembangan Islam yang mengadopsi konsep-konsep
arsitektur Candi (Hindu/Budha), arsitektur lokal serta arsitektur Cina. Kekhasan gaya arsitektur mesjid-
mesjid kuno ini dinyatakan oleh bentuk atap tumpang atau bertingkat 2,3,5, dengan puncaknya dihiasi
mustaka atau memolo, denahnya persegiempat atau bujursangkar dengan serambi di depan atau di
samping; fondasinya pejal dan tinggi, pada bagian depan atau samping terdapat parit berair (kulah) serta
gerbang. Umumnya mesjid tua di Jawa berciri seperangkat empat tiang yang dikenal dengan saka guru
seperti :
Kemudian, sekitar awal abad ke-19, arsitektur mesjid-mesjid yang mendapat pengaruh arsitektur India,
Timur Tengah dan Kolonial Belanda. Beberapa mesjid yang mendapat pengaruh gaya ini adalah :
Perkembangan
mesjid sangat
pesat setelah
kemerdekaan
Negara Indonesia.
arsitektur mesjid
dipengaruhi oleh
berkembang pada
mesjid pasca
kemerdekaan
Indonesia awal yang menonjol yaitu Masjid Agung Istiqlal Jakarta dirancang oleh arsitek F.Silaban, kemudian
Arsitektur mesjid di Indonesia beragam, tidak ada suatu rancangan atau pola tertentu yang mengikat.
Namun, pada umumnya arsitektur mesjid Indonesia mempunyai konsep dan elemen sebagai berikut:
Ruang Utama, ruang utama tempat sholat, terdapat didalamnya mihrab dan mimbar
Mihrab, ruang tempat berdiri imam ( pemimpin sholat berjamaah ) yang berbentuk ceruk atau
Mimbar, kursi atau singgahsana atau tahta tempat para pemimpin memberikan atau
Maksurah, bilik berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang yang
Halaman Terbuka, bagian dari masjid yang berupa lapangan terbuku biasanya dibangun tamana
Serambi, selasar atau koridor yang mengelilingi ruang utama, biasanya tidak berdinding penuh
Tempat bersuci, tempat mengambil wudhu sebelum masuk ke dalam Masjid berupa kolam,
Dibagian belakang dan samping mesjid kuno di Indonesia biasanya terdapat pula makam raja-raja atau
sultan-sultan, anggota keluarga raja dan orang-orang yang dianggap keramat, H.A.R Gibb dan Kramer6
menjelaskan mengutip dari Masjid makam ini digolongkan sebagai masyhad, contohnya mesjid Demak,
mesjid Kadilangu, mesjid Ampel, mesjeid Kuto Gede, Mesjid banten dan sebagainya.
Keraton atau istana selama masa Islam tumbuh subur di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sumbawa, Sulawesi dan Maluku. Setiap raja, besar atau kecil, membangun gugus bangunan lambang
kejayaan dan kekuasaan. Umumnya keraton atau istana berada di dalam pagar keliling dan di pusat kota
kerajaan. Sehingga terdapat perbedaan di antara dunia dalam dan dunia luar yang diwakili oleh istana
(di Jawa terkadng dikenal dengan Dalem) serta lingkungan alam sekitar di luar istana. Pagar keliling tersebut
juga membedakan antara ruang yang sakral dan profan. Lingkungan di dalam istana dikenal sebagai ruang
yang bersifat sakral, beradab dan halus, dan lingkungan di luar istana sebagai sesuatu yang liar, kasar dan
profan. Tata letak istana/keraton diibaratkan berporos pada gunung yang suci atau berada dalam satu garis
imajiner dengan gunung dan laut, seperti halnya yang terjadi di Jawa, Sumatera, Sumbawa, dan ternate,
dibelakang keraton/istana terdapat gunung yang dianggap suci. Didalam satu kompleks istana terdapat
beberapa bangunan yang mana orientasi atau penempatannya mengekspresikan perumpamaan tingkatan
atau hierarki dalam masyarakat tersebut. Hal ini terlihat dalam kompleks keraton Yogyakarta.
Di Sumatera, terdapat beberapa istana Kerajaan Islam yang berkuasa pada masa lampau. Sekarang ini
masih terdapat beberapa peninggalan bangunannya meskipun kekuasaan raja telah hilang karena
Seperti halnya dengan mesjid, hampir tidak ada suatu pola khusus dalam rancangan istana. Unsur
arsitektur lokal dan kolonial mendominasi konsep arsitektural istana pada abad ke-19 dan ke-20, seperti
4A .
Berdasarkan linguistik, kebanyakan orang Indonesia berbahasa Austronesia, suku bangsa ini memiliki
kekayaan 700 - 800 bahasa tersebar pada banyak pulau di Asia Tenggara, termasuk pula Vietnam Selatan,
Taiwan, Mikronesia, Polinesia dan Madagaskar. Selain kekayaan bahasa, juga memiliki kekayaan dari
budaya materi seperti arsitektur. Budaya Austronesia diperkirakan berasal dari masyarakat yang hidup
disepanjang sungai di Cina Selatan dan Vietnam utara sekitar pertengahan abad ke-4 SM. Persebaran
orang-orang ini dari tanah leluhur berlangsung sekitar 6.000 tahun yang lalu, dan memuncak sekitar 500 M
budaya
Austronesia
terlihat
dalam
budaya
materi,
organisasi
sosial,
kepercayaan,
mitos, dan
bahasa.
Pengaruh
yang tampak dalam budaya materi adalah pengetahuan bercocok tanam padi, irigasi, beternak kerbau dan
kambing, penggunaan logam yang sederhana, dan pelayaran. Termasuk pula budaya berburu, mendirikan
megalit, upacara ritual kematian, berlayar, menenun, membuat gerabah juga peralatan kampak batu untuk
bertukang dan sebagai peralatan memotong. Kearifan nenek moyang, mitos, animisme, penguburan mayat
dalam peti, tempat pemujaan yang terletak di tempat yang tinggi merupakan pengaruh dalam
kepercayaan. Tradisi monumen-monumen dari batu besar masih subur di beberapa tempat di Indonesia;
yang paling menonjol di pulau Nias (pantai barat Sumatra) dan Sumba di kepulauan Nusa Tenggara.
Banyak kosa kata dalam bahasa Austronesia saat ini mempunyai asal yang sama, misalnya kata rumah, di
Jawa disebut omah, toraja banua, di Roti (Nusa tenggara) uma, minangkabau rumah. Begitu pula
halnya pengaruh dalam konsep dan bentuk rumah Austronesia di Indonesia, bagi orang Austronesia rumah
bukan sekedar tempat tinggal, melainkan merupakan bangunan teratur berlambang yang menunjukkan
sejumlah ide penting perwujudan keramat para leluhur, perwujudan fisik jatidiri kelompok, dunia kecil di
jagad raya, dan ungkapan tingkat dan kedudukan sosial. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rapoport,
bahwa rumah pada masyarakat tradisional mengekspresikan hierarki status masyarakat dan budaya lokal.1
Ciri dan karakteristik mendasar dari rumah austronesia yaitu terdiri atas bangunan persegi empat, berdiri di
atas tiang-tiang, beratap ilalang. Pintu masuk berupa tangga yang ditakik dan ada perapian dengan rak di
atasnya untuk kayu bakar dan penyimpanan. Bentuk dasar ini mengalami pembaharuan di daerah
Austronesia dan ditemukan di rumah Batak, rumah gadang di Minangkabau, rumah Tongkonan di
Pengaturan perlambang rumah di dalam rumah yang merupakan ciri lain dari rumah austronesia sering
menggunakan pasangan koordinasi ruang yang berlawanan dalam dan luar, depan dan belakang,
kiri dan kanan , timur dan barat dipetakan dalam kelompok sosial yang dikaitkan dengan hubungan
erat antar jenis kelamin, sanak dan saudara, generasi muda dan tua, bahkan antara yang masih hidup dan
yang sudah meninggal, untuk membentuk opografi perlambang yang mengatur dan mewakili hubungan
sosial ini.2
Perlambangan dalam rumah austronesia nampak pada struktur dan bentuk atap menggambarkan berbagai
macam bentuk dan simbol dari benda seperti kipas, perahu, dan tanduk kerbau yang mencerminkan
kekuasaan dan nilai kesakralan. Simbol tersebut umumnya juga terdapat pada dinding penutup atap
(gable-end). Status sosial atau hierarki dari rumah sering digambarkan dalam dekorasi yang ada di dinding
penutup atap.
Kata Vernakular berasal dari vernaculus (latin) berarti asli (native). Maka vernakular arsiektur dapat
diartikan sebagai arsitektur asli yang dibangun oleh masyarakat setempat. Paul Oliver dalam bukunya
Ensikolopedia Arsitektur Vernakular menjabarkan bahwa arsitektur vernakular konteks dengan lingkungan
sumber daya setempat yang dibangun oleh suatu masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana
untuk memenuhi kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tantanan budaya
masyarakat dari masyarakat tersebut. Arsitektur vernakular ini terdiri dari rumah dan bangunan lain seperti
" Vernacular architecture owes its spectacular longevity to a constant redistribution of hard-won knowledge,
"Building is a craft culture which consists in the repetition of a limited number of types and in their
traditionally been handed over from generation to generation. A living pattern language is essential to true
Dalam hal ini, pengertian vernakular arsitektur sering juga disamakan dengan arsitektur tradisional. Josep
Prijotomo berpendapat bahwa secara konotatif kata tradisi dapat diartikan sebagai pewarisan atau
penerusan norma-norma adat istiadat atau pewarisan budaya yang turun temurun dari generasi ke
generasi. Kemudian, Ismunandar menjelaskan bahwa arsitektur traditional, yang diturunkan dari generasi
ke generasi. Arsitektur dan bangunan tradisional merupakan hasil seni budaya tradisional, yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia budaya tradisional, yang mampu memberikan ikatan lahir
bathin. Di dunia global, kata tradisional sering digunakan untuk membedakan dengan modern. Di
Indonesia, sebutan yang berasal dari kata Belanda traditionell Architectuur, pada waktu itu istilah ini
diberikan untuk karya-karya arsitektur asli daerah di Indonesia, salah satu alasannya adalah untuk
membedakan jenis arsitektur yang timbul dan berkembang dan merupakan karakteristik suku-suku bangsa
di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh dan berkembang atas dasar pemikiran dan perkembangan
5
arsitektur di Eropa, khususnya arsitektur kolonial Belanda. Kata tradisional berasal dari kata tradisi yang
di Indonesia sama artinya dengan adat (custom), kata adat ini di adopsi dari bahasa Arab. Sehingga
seringkali bangunan tradisional disebut dengan rumah adat. Pada prinsipnya, baik di dunia global dan
Indonesia, kata tradisional diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan secara turun temurun dari generasi ke
generasi.
Selain itu, istilah-istilah lain sering bersentuhan arti dan maknanya dengan vernakular arsitektur yaitu
arsitektur rakyat (Folk Architecture), arsitektur lokal atau kontekstual (indigenous architecture) bahkan ada
juga yang kemiripan dengan arsitektur alamiah (spontanous architecture). Secara garis arsitektur rakyat
diartikan sebagai arsitektur yang menyimbolkan budaya suatu suku bangsa dengan beberapa atribut yang
melekat dengannya. Sementara itu, arsitektur lokal atau kontekstual, adalah arstektur yang beradaptasi
dengan kondisi budaya, geografi, iklim dan lingkungan dan arsitektur alamiah adalah arsitektur yang
dibangun oleh satu masyarakat berdasarkan proses alamiah seperti kebutuhan dasar manusia.
Terdapat beberapa perdebatan tentang sebutan yang tepat bagi arsitektur Indonesia ini, akan tetapi karena
kemiripan makna dan arti satu dengan yang lainnya yang semuanya terangkum dalam pengertian arsitektur
vernakular seperti yang di jelaskan oleh Paul Oliver dalam bukunya Ensiklopedia Vernacular Architecture,
maka penggunaan istilah vernakular menjadi pilihan dalam buku ajar ini.
Indonesia adalah negara kaya dengan ratusan etnis yang mana setiap etnis memiliki kekhususan budaya
tersendiri, sehingga terdapat pula ratusan tipe rumah vernakular di Indonesia. Dari semua tipe tersebut,
terdapat beberapa tipe yang memiliki keunikan dan karakteristik yang sangat kuat seperti yang terlihat
Dari keberagaman arsitektur vernakular Indonesia, jika ditelusuri terdapat kesamaan dari keberagaman
tersebut yang berasal dari akar yang sama yaitu budaya Austronesia. Bahkan kesamaan dari keberagaman
itu juga nampak dari pada arsitektur non-austronesia seperti Papua. Kesamaan ciri-ciri arsitektur vernakular
Sebagian besar rumah vernakular Indonesia kecuali rumah Jawa, Bali, Lombok dan Papua,
menggunakan struktur rangka tiang kayu atau tipe rumah panggung sebagai upaya adaptasi dengan
iklim dan geografi, menggunakan sistem sambungan tarik dan tekan (sistem pen) tanpa menggunakan
paku dan sistem cros-log foundation (balok kayu yang saling tumpang tindih secara horizontal).
Tiang bangunan mempunyai alas batu. Tiang tidak ditanam didalam tanah, melainkan beralas batu
Lantai bangunan didukung oleh tiang dan balok kayu yang saling mengikat satu sama lain,
Pemanjangan bubungan atap sering dangan sopi-sopi mencondong keluar. Seringklai pemanjangan
dibuat lekukan sehingga menimbulkan daya tarik estetis. Dominasi atap tampak pada keseluruhan
bangunan. Proporsi atap lebih besar dari pada badan dan kaki (bagian bawah) bangunan. Selain itu itu
Memiliki ornamen pada dinding penutup atap (gable end) yang menyimbolkan status sosial,
Tipikal perkampungan di Indonesia pada dasarnya menggambarkan respon terhadap kondisi alam, tatanan
sosial, sistem bercocok tanam, dan kosmologi masyarakat yang mendiaminya. Konsep ruang dalam tatanan
rumah dan kampung merupakan bagian penting dari tradisi vernakular. Di Indonesia, terdapat dua tipe
tatanan permukiman dan rumah dari kampung-kampung tradisional yaitu linear dan konsentris. Di masa
mendatang tatanan ini mengalami evolusi dalam perkembangannya seperti bentuk radial pada kampung di
Sumba Barat dan Ruteng di Flores, begitu pula bentuk huruf T pada kampung di Nias Selatan
Kampung-kampung dengan tantanan linear biasanya terdapat di pesisir-pesisir pantai Indonesia, namun
juga terdapat di pedalaman Sumatra, Nias, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan beberapa wilayah di Jawa.
Bangunan pada kampung bersifat linear letaknya berbaris dan berhadapan satu sama lainnya, diantara
barisan bangunan tersebut terdapat ruang bersama yang digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperi
berkumpul, pemujaan atau ritual keagamaan, acara kesenian dan lain sebagainya. Pada ruang terbuka ini
pula sering ditempatkan batu megalith, tugu dan tiang sakral keagamaan seperti halnya yang nampak pada
kampung-kampung di Nias dan Sumba. Bangunan pemimpin (chief house) atau raja ditempatkan dekat
dekat batu atau tugu tersebut atau di ujung pelataran yang membelah barisan rumah dan menjadi akhir
dari deretan rumah dan kampung, tetapi ada juga yang ditempatkan di tengah-tengah barisan seperti
Ditinjau dari fungsinya, bangunan vernakular Indonesia umumnya terdiri dari tiga bagian ; rumah tinggal,
bale adat atau ruang pengadilan atau ruang musyawarah, dan lumbung. Letak ketiga bangunan tersebut
bisa saling berhadapan seperti halnya yang terjadi di perkampungan Batak Toba dan Bali Aga.
Perkampungan dengan pola konsentris terdapat di Flores dan Sumba dan Jawa Tengah. Tantanan
perkampungan seperti ini memiliki bagian tengah yang dianggap sakral dan penting, misalnya ruang
terbuka (tempat berkumpul), batu megalith, tugu atau kuburan para nenek moyang. Orientasi dari barisan
rumah menghadap ke titik tersebut yang terdiri dari beberapa layer berdasarkan hierarki atau kedudukan
dari status sosial masyarakat. Secara evolusi beberapa kampung memiliki pola gabungan dari linear dan
Pola perkampungan dan perletakan rumah pimpinan menandakan sistem sosial dan kekuatan masyarakat
yang mendiaminya. Kampung dengan pola kosentris menyimbolkan penerapan sistem pemerintahan pada
kekuatan tunggal yang memusat. Terdapat strata sosial agak kompleks dengan kekuatan terpusat pada
satu orang, grup atau kelompok. Semetara, kampung dengan pola linear menggambarkan demokrasi dari
Selain kedua tatanan tersebut, ada juga yang disebut dengan pola menyebar (scattered type) atau disperse
settlement pattern. Pola perkampungan ini seringkali menggambarkan persamaan struktur sosial (less
stratified social struktur) dan kelompok masyarakat yang lebih kecil, bahkan seringkali mencerminkan
kehidupan yang berpindah-pindah sebagai akibat dari pergantian sistem bercocok tanam.
Konsep tatanan ruang dalam rumah umumnya sama dengan konsep tantanan ruang dalam satu
perkampungan. Pembagian ruang dapat dikategorikan secara vertikal dan horizontal, seperti yang telah
dibahas sebelumnya bahwa pembagian ruang ini sebagai respon terhadap sistem sosial kekerabatan,
Secara horizontal, terdapat bagian dari rumah yang dianggap paling sakral atau suci adalah bagian yang
paling dalam atau belakang, sehingga menjadi tempat pemujaan atau penyimpanan benda-benda keramat
atau warisan leluhur. Di dalam rumah Jawa, ruang yang paling suci berada pada bagian inti rumah yang
disebut dengan dalem tepatnya di senthong. Di rumah Batak Toba, bagian yang paling inti atau penting
yaitu terletak pada sisi sebelah kanan belakang dari interior rumah yang diebut dengan jabu bona,.
Secara vertikal, pembagiann ruang terdiri dari bagian atas, tengah dan bawah, dengan bagian atas sebagai
ruang yang paling sakral sehingga barang-barang yang dianggap keramat disimpan di dalam ruang atas ini.
Ruang tengah, adalah untuk kehidupan manusia dan ruang bawah adalah untuk binatang ternak atau
gudang. Pembagian atas tiga bagian ini (tripatite) dipengaruhi oleh kondisi alam dan kosmologi dari
masyarakatnya. Umumnya masyarakat primitif memiliki kepercayaan terhadap pembagian dunia atau alam
ke dalam tiga bagian yaitu dunia atas sebagai tempat para dewa, dunia tengah bagi kehidupan manusia,
Dari segi bentuk dan morphologi ruang, umumnya rumah vernakular di Indonesia terdiri dari persegi
panjang dan bujur sangkar seperti halnya rumah Aceh, Melayu, Batak, Nias Selatan, Mentawai, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Sumba. Namun ada juga yang menggunakan bentuk lingkaran dan ellips
seperti rumah di Nias Utara, Lombok dan Papua. Bentuk dan organisasi ruang bergantung kepada
kebiasaan dan adat istiadat setempat. Beberapa rumah vernakular Indonesia merupakan tipe rumah
komunal artinya terdapat beberapa keluarga yang memiliki kekerabatan dengan beberapa generasi yang
berbeda, tinggal dalam satu rumah besar seperti rumah Batak Toba, Karo, Mingkabau, Mentawai,
Kalimantan, Lio (Flores), Sumba. Keluarga tersebut menempati masing-masing ruang dengan masing-
masing letak yang telah disepakati, ada yang hanya dibatasi oleh dinding ada pula yang dibatasi oleh
perbedaan tinggi lantai, alas (tikar) saja. Ruang-ruang tersebut dihubungkan oleh ruang bersama.
Umumnya dalam satu rumah terdapat pemimpin sebagai kepala suku mendiami salah satu ruang yang
Salah satu ciri arsitektur vernakular adalah menggunakan bahan yang alami dan teknik konstruksi yang
sederhana dengan cara menyusun tiang dan balok. Penyatuan semua bagian bangunan dilakukan dengan
cara membentuk dan menyambung bagian kayu dengan beberapa alat khusus sederhana seperti kampak,
gergaji, pahat, golok (parang). Untuk kemudahan pemasangan, seringkali tiang dan balok disambung di
Penyusunan tiang dan balok pada prinsipnya tidak menggunakan paku, tapi menggunakan sambungan
lubang dengan pasak, sambungan pangku dan sambungan takik. Susunan tiang-tiang tersebut bersandar
di atas batu pondasi dengan stabilitas didapat dari rel-rel melintang yang masuk ke lubang yang dibuat di
dalam tiang.
Perkuatan sistem konstruksi rumah untuk mengantisipasi kondisi alam yang arawan gempa terlihat pada
rumah Nias, dengan menambahkan penopang atau batang silang menbentuk huruf X dan V.
Pada bangunan lumbung di Indonesia memiliki kekhususan dari teknik konstruksi yaitu pemasangan
piringan kayu besar disusun di atas puncak tiang dasar untuk mencegah hewan pengerat mencapai tempat
penyimpanan padi.
Bagi orang Indonesia rumah lebih dari sekedar tempat tinggal, tempat berteduh dari panas dan hujan
melainkan merupakan bangunan yang ditata secara perlambang yang konteks dengan sosial budaya
masyarakat yang tinggal didalamnya. Dengan kata lain, rumah menjadi perlambang status kedudukan
seseorang dalam masyarakat, sehingga diperlukan tata cara dalam pendirian rumah. Dalam hal ini,
mendirikan rumah dapat dilihat sebagai penerapan hidup dalam lingkungan sosial yang diwakilinya.
Upacara dilakukan mulai dari pembersihan lahan rumah, penentuan titik pembangunan rumah, pendirian
tiang utama/seri/tengah, pemasangan bubungan atau atap rumah, sampai upacara masuk/penghunian
rumah. Hal ini dilakukan secara bertahap dan melibatkan pemilik rumah dan pemuka kampung atau ahli
tukang (chief carpenter) atau orang yang dianggap keramat atau sakti. Misalnya, proses pembersihan dan
pendirian tanda rumah dilakukan pemilik rumah dalam hal ini ibu/perempuan pemilik rumah dengan orang
sakti yang dipanggil bomoh yang tahapannya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Upacara pembersihan dan meminta izin kepada roh di dunia dan dewa-dewa yang memiliki tanah dilakukan
oleh hampir semua etnis atau masyarakat tradisional Indonesia. Ritual ini bertujuan untuk memberikan
spirit atau jiwa bagi kehidupan yang berlangsung didalam rumah/bangunan yang didirikan. Spirit atau jiwa
dari rumah yang didirikan sering disimbolkan dalam benda keramat yang diletakkan di dalam rumah,
seringkali di letakkan pada bagian tengah atau atas (atap) rumah. Misalnya raga-raga6 yang digantung
dibawah atap rumah Batak Toba. Selain menjadi jiwa atau nyawa dari rumah, berfungsi juga mengusir roh-
Selain itu, rumah juga dianggap sebagai perwujudan jagad kecil dari jagat raya. Rumah adalah tempat
kelahiran, perkawinan dan kematian. Seringkali upacara yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut
dikaitkan dengan arah mata angin dan pergerakan matahari. Sehingga unsur kejagadan ini menciptakan
tatanan upacara yang mengatur kegiatan di dalam rumah. Sebagai contoh timur dianggap serupa dengan
hal-hal memberi kehidupan dan barat identik dengan kematian; maka wanita melahirkan ditempatkan di
bagian timur rumah dan orang meninggal ditempatkan dibaringkan di bagian barat. Dalam sisi tegak,
pembagian ruang dalam rumah sebagai jagad kecil merefleksikan pembagian ruang dalam alam semesta.
Sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia membagi alam kedalam tiga bagian; dunia atas, dunia
tengah dan dunia bawah. Kosmologi ini juga mempengaruhi pembagian ruang dalam rumah ; ruang
dibawah atap disamakan dengan alam dewa dan leluhur, lantai mewakili dunia biasa pengalaman sehari-
hari dan ruang kosong dibawah rumah dihubungkan dengan alam baka yang dihuni oleh roh jahat, jiwa
orang mati dan hal-hal gaib lainnya. Pembagian ini sangat jelas terlihat pada rumah-rumah di Sumatra
khususnya Batak Toba7, rumah di Kalimantan, Tongkonan di Toraja, Sulawesi dan beberapa rumah Sumba
di Nusa Tenggara.
Dalam
masyarakat
tradisional,
selain
pembagian
rumah yang
dikaitkan
dengan simbol
sebagai jagad
kecil, arah
kejagadan
rumah sesuai
dengan
penataan
ruang
perlambang
lain, seperti pembagian dengan konsep berdasar gender serta gagasan mengatur perilaku pria dan wanita.
Seringkali wanita dikaitkan dengan bagian dalam atau belakang rumah, dan pria serupa dengan bagian
depan atau luar rumah. Pengaturan ruangan keluarga di dalam rumah suku Minangkabau di Sumatera
C.1. Sumatra
C.2. Jawa
C.3. Kalimantan
C.5. Sulawesi
C.6. Papua
.
5 Arsitektur kolonial indonesia
Kolonialisasi wilayah Indonesia didahului oleh kemunduran dari pengaruh Majapahit yang berhasil
mempersatukan Nusantara. Diawali dengan perdagangan bilateral yang dilakukan oleh Persekutuan Dagang
Hindia Timur atau lebih dikenal dengan sebutan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) kemudian
ekspansi ke penguasaan perdagangan dan wilayah. Sebelumnya ekspansi Portugis yang dipimpin oleh
Alfonso De Albuquerque masuk melalui pendudukan yang dimulai di Malaka pada tahun 1511, setelah
Malaka ditaklukan oleh Portugis, sasaran berikutnya adalah kepulauan Maluku yang berpusat di Pulau
Banda dan Ternate dengan maksud menguasai perdagangan rempah yang sangat menguntungkan di Asia.
Dimulai dengan perhubungan dagang dengan masyarakat setempat, Portugis dan Perusahaan Belanda
yang dikenal dengan VOC lalu kemudian meluas pada hubungan kerjasama dengan raja-raja karena pada
masa itu umumnya pemerintahan di Indonesia berbentuk Kerajaan. Sehingga pada akhirnya banyak raja-
raja yang takhluk dan tunduk dengan pemerintahan kolonial yang disebut dengan Pemerintah Hindia
Belanda.
Untuk mengukuhkan penguasaan perdagangan rempah di Nusantara, VOC mendirikan pos-pos dagang
yang terdiri dari gudang, penginapan bagi pedagang utama (opperkoopsman) dan pegawainya di berbagai
kota di wilayah Nusantara seperti Maluku, Banda, Batavia, dan Makassar. Namun hubungan yang
bergejolak dengan penduduk asli dan saingan Eropa, memerlukan pertahanan dan tingkat kelengkapan bagi
pos dagang tersebut, sehingga akhirnya VOC mendirikan benteng-benteng pertahanan di beberapa kota
dagang tersebut, benteng tertua di pulau Banda didirikan tahun 1550. Kemudian setelah itu didirikan
juga beberapa benteng-benteng lain seperti benteng di Ternate tahun 1576, benteng Victoria di Ambon
pada tahun 1580, benteng di Banten tahun 1603, benteng di Batavia pada tahun 1619, dan benteng (Fort)
Rotterdam di Makasar.1
Setelah VOC memindahkan pusat perdagangannya di Batavia (pulau Jawa) maka batu pertama dimulainya
Arsitektur Kolonial menjadi kenyataan dengan didirikannya Fort Batavia yang kemudian berkembang pula
Setelah dilanda perang politik yang timbul dari perang Napoleon, administrasi VOC Hindia Belanda diganti
oleh pemerintahan jajahan yang dipertanggungjawabkan ke Belanda tahun 1800. Pemerintahan jajahan
Kota-kota di Nusantara pada masa prakolonial dapat dikelompokkan menjadi dua tipe kota, yaitu :
2. Pusat-pusat kerajaan yang bersifat homogen dan sakral yang berada di tengah-tengah daerah
Menurut Santoso (1984, Bab IV)2, konsepsi yang menghubungkan elemen-elemen pembentuk ruang pada
kota tradisional Jawa, antara satu dengan yang lain digunakan 2 prinsip yaitu :
Mikrokosmos-dualitis maksudnya setiap kota di Jawa dibagi atas dua bagian yaitu bagian profan
disebelah utara dan bagian sakral disebelah selatan. Perwujudan konsep ini tampak dari penempatan
benda secara simetris yang dimaksudkan sebagai lambang harmonis kehidupan, seperti penataan
Mikrokosmos-hierarkis maksudnya sebagai pengadaan ruang suci dengan tembok sebagai batas
antara ruang dalam dan luar. Tembok pembatas ini bukan sekedar batas yang berfungsi sebagai
penunjang keamanan atau batas teritorial, tetapi lebih merupakan struktur hubungan antara elemen-
Awalnya kota Kolonial Belanda berada di daerah pesisir yang dulunya merupakan kota-kota perdagangan
yang telah terjadi sejak masa Hindu dan Islam seperti kota Ambon, Batavia (Jakarta), Banten, Cirebon,
Palembang, Surabaya, Semarang, Ujung Pandang. Kemudian beberapa kota baru terbentuk selama masa
kolonial Belanda seperti kota Bandung, Medan, Balikpapan, Malang dan lain sebagainya.
Kemudian Pemerintahan Hindia Belanda juga mengadopsi konsep kota-kota asli dengan ciri budaya
Indonesia asli seperti kota Yogyakarta, Banten, Cirebon, Surakarta dan Banda Aceh. Pada kota-kota
tersebut Pemerintah kolonial hanya menambah beberapa elemen atau fasilitas yang menunjang kekuasaan
pemerintahan kolonial. Lodji, atau kantor residen biasanya terletak di sisi timur alun-alun, berhadapan
dengan mesjid. Kemudian bangunan lain yang dibangun pemerintah Hindia Belanda yaitu penjara kota juga
mengelilingi alun-alun. Pada masa itu Pemerintah kolonial membangun berbagai macam fasilitas kota
bangunan pusat pemerintahan, perkantoran (kantor pos, bank, pengadilan) stasiun, taman, rumah sakit,
gereja dan lain sebagainya di pusat kota-kota tersebut. Perpaduan khas antara unsur Belanda dan
Perkembangan Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dibagi atas 4 periode ( Helen Jessup:2, kutipan dari
Ir. Handinoto dalam bukunya Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya) :
Waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan
perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur Kolonial Belanda selama periode ini cenderung kehilangan
orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda. Bangunan perkotaan orang Belanda pada periode ini
masih bergaya Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan sempit, atap curam dan dinding
depan bertingkat bergaya Belanda di ujung teras.3 Bangunan ini tidak mempunyai suatu orientasi
bentuk yang jelas, atau tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Kediaman Reine de
Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Setelah pemerintahan tahun 1811-1815
Pada tahun 1865 oleh karena jarak yang jauh dan komunikasi yang sulit dengan Pemerintah Belanda
sehingga perkembangan kemajuan arsitektur modern di Belanda tidak sampai gemanya ke Indonesia.
Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang dipelopori oleh
GubernurJenderal HW yang dikenal dengan the Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya
arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya
berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal, iklim
dan material yang tersedia pada masa itu. Pada periode ini, gaya neo-klasik merupakan gaya arsitektur
Seperti Gereja Protestan di pusat kota tua Semarang, gereja Williams di Batavia (sekarang gereja), Balai
Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal
Indische Architectuur sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur Nasional Belanda pada waktu itu.
Abad ke 19 perkembangan Indische Architectuur atau dikenal dengan Rumah Landhuis yang merupakan
tipe rumah tinggal di seluruh Hindia Belanda pada masa itu memiliki karakter arsitektur seperti :
Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang (ruang makan)
dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya.
Pilar menjulang ke atas ( gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan
dan belakang.
3.
Tahun
1902-
1920-
an
Kaum
Liberal
Belanda pada masa antara tahun 1902 mendesak politik etis diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu
pemukiman orang Belanda di Indonesia tumbuh dengan cepat. Indishe Architectuur menjadi terdesak
dan sebagai gantinya muncul standar arsitektur modern yang berorientasi ke Belanda.
Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini
mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru
datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda.
Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-
unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan lebat tropik. Selain unsur-unsur
arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional (asli) Indonesia sehingga menjadi
konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada karya Maclaine Pont seperti kampus Technische
Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1900-1920-an4:
Menggunakan Gevel ( gable) pada tampak depan bangunan
Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment
( dengan entablure).
Tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oelh bangunan umum
dan menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada abad ke 20.
Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, segiempat ramping, dan ada yang dikombinasikan
o Membuat Galeri atau serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar
matahari.
Pada masa pendudukan Belanda, banyak terdapat arsitek Belanda yang berkarya di Hindia Belanda,
W.Lemei
Seorang arsitek terkemuka di masa Belanda, salah satu karyanya yang terkenal dan masih berdiri
hingga kini yaitu , rancangan bangunan dipengaruhi oleh gaya Art deco untuk jendela dan ventilasi,
meskipun denah berbeda secara keseluruhan bangunan kantor Gubernur ini mirip dengan bangunan
Balai Kota Hilversum di Netherland yang dirancang oleh Willem Dudok. W.Lemei juga merancang
Seorang arsitek Belanda yang berpraktik di Batavia dan terakhir menjadi professor perencanaan
perkotaan dan terakhir di Sekolah Teknik Bandung (ITB sekarang). Salah satu karya terbaiknya
adalah kantor lama perusahaan pelayaran kapal uap Belanda Stoomvart Maatschappij Netherland
(SMN) di pusat kota lama Semarang. Sepanjang tahun 20-an dan 30-an, Karsten merancang
sebagian pasar-pasar kotamadya yang meliputi Pasar Gede di Surakarta (1929), Pasar Johar
Semarang 91938). Karya arsitektur Karsten menunjukkan perhatiannya terhadap iklim tropik terlihat
pada tingginya jendela, kisi-kisi ventilasi yang menjulang tinggi dari lantai ke langit-langit yang
berfungsi selain sebagai corong pergantian udara yang leluasa juga memanfaatkan cahaya matahari.
Selain sebagai arsitek, Karsten juga berprofesi sebagai ahli perencana kota (planologi). Beberapa
karya rancangan kota atau kawasan Karsten perencanaan pengemnbagan kota Semarang, kawasan
Merupakan arsitek Belanda yang lahir dan besar di Netherlandsch Indie (Hindia Belanda) kemudian
mendapatkan pendidikan arsitektur di Sekolah Teknik di Delf (Belanda). Ia pernah berkarir dua tahun
setelah menamatkan studinya di Belanda dan termasuk salah satu arsitek Belanda yang terkemuka
saat itu, kemudian pulang dan berkarir di tanah kelahirannya, Hindia Belanda tahun 1911. Di Hindia
Belanda karyanya banyak terinspirasi oleh arsitektur vernakular nusantara dan juga menekankan
Gerbang masuk Pekan raya dan Pameran Perumahan Kolonial di Semarang tahun 1914
Museum Trowulan
Seorang arsitek terkemuka Belanda yang banyak berkarya di Indonesia (Hindia Belanda). Selain
itu hasil karya berupa tulisan dari hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia termasuk
arsitektur candi-candi, seperti bukunya yang berjudul Aesthetiek en oorsprong der Hindoe koenst
op Java (Estetika dan keaslian Hindu di Jawa) tahun 1924. Salah satu karyanya yang terkenal
adalah vila Isola di Bandung. Beberapa karya yang lain yaitu Societeit Concordia, gereja
Protestan, gereja Katolik, Jaarbeurs, beberapa rumah tinggal yang semuanya berada di Bandung.
Kemudian karyanya yang di Surabaya yaitu gedung International Credit (sekarang Kantor Aneka
Niaga), gedung Kolonial Bank Surabaya, kawasan beneden (sekarang kota lama), bangunan Java
Store.
C.Citroen
Salah seorang arsitek penting pada zaman Belanda, salah satu karyanya yang terkenal adalah
Radhuis atau Balai Kota di Ketabang Surabaya yang hingga sekarang ini masih difungsikan
sebagai Balai kota Surabaya. Arsitektur bangunan dapat dikatakan perpaduan selaras antara tiga
unsur : tradisional, modern dan tropis.2 Karya Citroen yang lain adalah sebuah gereja yang
berhadapan langsung dengan gedung Radhuis diresmikan pada tahun 1931. Bangunan gereja ini
mencerminkan arsitektur modern berbeda dengan bangunan Balai Kota didepan yang
memasukkan unsur tradisional. Kemudian, karya Citroen yang menggunakan arsitektur modern
kubisme yaitu sebuah rumah sakit di Raya Darmo yang mirip perancangannya dengan bangunan
gereja di depan Balai Kota dan gedung Borsumij di kawasan kota lama Surabaya. Gedung
Bursumij ini yang merupakan milik sebuah perusahaan dagang Belanda dinding-dindingnya
membentuk sebuah unit-unit blok tiga dimensional, dimana perspektif keseluruhan mirip dengan
sebuah kubus.
MJ. Hulswit & Peter JH. Cuypers, Edward Cuypers (Biro Arsitek Ed.Cuypers&Hulswit)
Sebuah biro arsitek ternama di Indonesia pada Belanda yang banyak karya di beberapa kota-kota
Pandang, Medan dan lain-lain. Biro arsitek ini merupakan cabang dari dari perusahaan yang
bernama Architecten Bureau Ed. Cuypers and Hulswit yang berpusat di Amsterdam Belanda.
Kantor pusat Javasche Bank di Batavia (Jakarta), Bandung, dan Medan. Kesemua
bangunan tersebut satu dengan lainnya berbeda dalam denah dan perletakannya,namun
masing-masing mempunyai ciri khas yang mirip yaitu arsitektur renaissance dan beberapa
Gedung Chartered Bank of India Australia dan China, sekarang masih difungsikan sebagai
bank. Bangunan yang berarsitektur neo-klasik ini terletak di belakang gedung kantor lama
Balai Kota Jakarta, sekarang museum Fatahillah, di kawasan kota lama Jakarta.
Kantor WEHA ( West Java Handel Maatshappij), disebelah utara dari museum Fatahillah.
Bangunan ini mewakili arsitektur transisi kalsik Eropa, modern dengan tetap berciri tropis.
Kantor lama NKPM, di jalan Merdeka Selatan, sekitar kawasan Monas Jakarta
AIA singkatan dari Algemeen Ingineurs en Architecten adalah sebuah biro umum sipil dan
arsitektur sekaligus sebagai kontraktor didirikan pada tahun 1916 oleh tiga orang arsitek dan
engineer masing-masing F.J.L Ghysell, Hein avon Essen dan F. Stlitz. Beberapa bangunan yang
Statsiun Kota, Jakarta, bagian fasade depan mirip dengan stasiun central Helsinki yang
Gereja Katolik di Jatinegara (Meester Cornelis), dan gereja Kristen di kawasan Menteng
Selain arsitek yang dijabarkan di atas, ada beberapa arsitek pada masa Belanda sempat berkarya di
Indonesia khusunya pada awal abad ke-20 yaitu P.A.J. Munjen (Gedung Lingkaran Seni Hindia Belanda/The
art society building, Jakarta, 1914), HP Berlage (Gedung Jawa Maluku tahun 1900, de Algemenee/
Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Cagak Hidup, 1900), Klinkhamer dan Oundag (Kantor Pusat
Perusahaan Jawatan Kereta Api Hindia Belanda di Semarang, 1902-1907), J. Gerber (Gedung Sate, 1920),
AF Aalbers (bangunan Bank DENIS, kini Bank Jabar tahun 1935, Homann Hotel tahun 1939).
.
6
Arsitektur INDONESIA pasca
kemerdekaan)
Arsitektur Indonesia awal kemerdekaan masih banyak dipengaruhi oleh Modernisme Belanda, terutama
aliran perancangan arsitektur Delf dan De Stijl. Hal ini diebabkan oleh kenyataan bahwa banyak arsitek
Indonesia pada saat itu belajar di Negeri Belanda atau bekerja untuk perusahaan-perusahaan konstruksi
Belanda sebelum Perang Dunia II. Namun tak dapat dipungkiri bahwa pilar arsitektur modern pasca
kemerdekaan Indonesia juga dipancangkan sejak didirikannya Sekolah Teknik pertama Technische
Hogeschool (TH) pada tanggal 3 Juli 1920 oleh Gubernur Hindia Belanda yang sekarang lebih dikenal
dengan Institut Teknologi Bandung. Kemudian perkembangan mulai pesat setelah Jurusan Arsitektur baru
dibuka pada tahun 1950. Tonggak pendidikan arsitektur di Indonesia juga mulai bergema setelah
beberapa lulusan pertama berkarya dan lulusan dari luar negeri kembali ke tanah air Indonesia. Mereka
yang berkarya setelah kemerdekaan merupakan arsitek generasi pertama Indonesia; Susilo, Suhamir dan
Silaban. Karyakarya arsitektural mereka banyak terpengaruhi oleh aliran Delf, yang menggabungkan
bangunan kotak dengan sistem kisi (grid) rasional yang memungkinkan penggunaan unsur-unsur pra-
cetak untuk dinding luar. Sebagian besar arsitek Indonesia mengerjakan rancangan sendiri pada akhir
dasawarsa 50-an, ketika menggantikan arsitek-arsitek Belanda yang pulang ke negerinya menyusul
pemberlakuan program nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat itu Presiden Soekarno
mengumumkan Dekrit Presiden yang disebut dengan Demokrasi terpmpin, program nasionalisasi ini
menyebabkan kesinambungan sejarah antara arsitektur modern Indonesia dan tradisi arsitektur Hindia
Belanda terhenti.
Kronologis perkembangan arsitektur Indonesia (modern) pasca kemerdekaan dibagi atas lima periode
yaitu 1
Periode Pertama
Periode ini ditandai dengan muncul kota satelit Kebayoran Baro di Jakarta oleh R. Soesilo. Periode ini
berlangsung setelah kemerdekaan hingga tahun 1960. Arsitek generasi pertama mendominasi periode ini
dengan pengaruh kuat dari aliran Delft. Beberapa arsitek yang muncul dan berkarya pada periode ini
adalah :
F. Silaban dengan karyanya SPMA, Bogor (1951), Bank Indonesia, Jakarta (1958), Markas Besar
Fokus arsitektur pada periode ini lebih kepada bagaimana mengembangkan arsitektur tropis modern
Periode kedua
Periode ini dipelopori oleh generasi Arsitek kedua Indonesia yaitu Suhartono (anak Susilo), Hasan Purbo,
dan Achmad Noeman. Periode ini berlangsung tahun 1960-1970, secara makro merupakan periode
pembentukan pendidikan arsitektur di Indonesia, seperti (Prof. Ir.) Hasan Purbo di Institut Teknologi
Bandung, (Prof. Ir.) Suhartono Susilo di Universitas Prahyangan Bandung, (Prof. Ir.) Sidharta di
Universitas Diponegoro Semarang, (Prof. Ir.) Parmono Atmadi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Terdapat sesuatu yang penting terjadi pada periode kedua ini yaitu kembalinya pada arsitek muda dari
pendidikan dan ITB menghasilkan lulusan pertama yang kemudian menggerakkan arsitektur pada periode
ini. Arsitek muda ini kemudian bergabaung sebagai generasi kedua Arsitek Indonesia. Beberapa dari
Hasan Purbo, Suhartono Susilo, Sidharta, Parmono Atmadi, Zaenuddin Kartadiwiria, Wastu
Meletusnya gerakan G30 S PKI mengakibatkan tidak banyaknya karya yang dihasilkan dalam periode ini.
Fokus arsitektur pada periode ini kecenderungan meninggalkan pemikiran arsitektur tropis modern
Indonesia yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya dan ketertarikan pada arsitektur tradisional mulai
Periode Ketiga
Periode ini berlangsung antara tahun 1970-1980 ditandai dengan munculnya orde baru dalam politik
Indonesia. Pencanangan pembangunan nasional berjangka (PELITA) yang dibuat penguasa politik pada
saat itu membuat iklim rancang bangun bergairah kembali. Periode ini merupakan puncak karya dari
Han Awal : Konsep Tower in Park pada kompleks Inversitas Atmadjaya, Jakarta
Soejoedi : Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kedutaan Prancis dan Sekretariat ASEAN.
Kemudian para lulusan pertama pendidikan arsitektur dalam negeri yang lulus pada tahun 1970-an
seperti Robi Sularto, Adhi Moersid, Yuswadi Saliya, Dharmawan, Eko Budiardjo, dan Gunawan Tjahyono
muncul sebagai generasi arsitek ketiga di Indonesia setelah dua generasi sebelumnya mencapai puncak
karyanya pada periode ketiga ini. Yang menjadi fokus arsitektur pada masa ini adalah pencarian identitas
Arsitektur Indonesia dan kebangkitan arsitektur tradisional. Tradisi modernis rasional yang dibawa dua
periode sebelumnya mendapat kritikan keras sejalan dengan derasnya arus pemikiran arsitektur dunia.
Periode Keempat
Periode ini berlangsung antara tahun 1980-1990, arsitek generasi ketiga mencapai puncak karyanya.
Proyek-proyek yang ditangani adalah proyek-proyek yang berskala besar (pemerintah). Periode ini
diramaikan juga oleh para arsitek yang juga merupakan produk kedua pendidikan arsitektur dalam negeri,
yaitu Josep Prijotomo, Budi Sukada, Bagoes P.Wiryomartono, Baskoro Tedjo, Zhou Fuyuan, Andi Siswanto
serta beberapa arsitek lulusan luar negeri yaitu Antonio Ismael, Budiman H. Hendropurnomo, dan Budi
Lim. Kemudian beberapa biro-biro arsitek muncul seperti biro arsitek: Atelier 6, Gubah Laras, Encona,
Puncak dari karya arsitek pada periode ketiga yang beberapa diselubungi oleh nama besar biro
arsiteknya, seperti :
Atelier 6 dengan karyanya Executive Club Hilton Jakarta, serial Hotel Santika, gedung STEKPI,
Hotel Nusa Dua dan Masjid Said Naum (karya terbaik Adhi Moersid).
Tripanoto Sri, dengan serial arsitektur Keluarga Cendana, kompleks TMII, RS. Kanker Indonesia.
Y.B. Mangunwijaya dari TH Aachen Jerman, dengan karyanya perumahan di Kali Code
Yogyakarta, tempat ziarah Sendang Sono, rumah tinggal Arief Budiman di Salatiga
Yang menjadi fokus arsitektur pada periode ini yaitu keinginan untuk mensenyawakan arsitektur modern
dan tradisional dengan penekanan lebih kepada simbol makna dan budaya dibandingkan dengan
Periode Kelima
Periode ini berlangsung antara tahun 1990-2000, merupakan kondisi kontemporer arsitektur Indonesia
dan percepatan peristiwa merupakan karakter yang menonjol pada periode ini. Periode ini ditandai
dengan munculnya arsitek muda Indonesia (AMI) : Sonny Sutanto, Marco Kusumawijaya dkk., dan
bergabungnya arsitek periode keempat (Josep Prijotomo dkk) dalam periode ini.
Beberapa karya yang menonjol periode ini dan mendapat penghargaan yaitu:
DCM (Budiman, Sonny, Dicky) : Tugu Park Hotel di Malang, Gedung Ford Foundation untuk
Budi Lim : Urban Infill di Bank Universal Hayam Wuruk dan Konservasi Bank Universal Melawai.
Arcadia (Gatot, Armand dan Tony) : The Condor, Dunia Fantasi Ancol.
Fokus arsitektur pada periode ini lebih kepada pengungkapan tradisi berarsitektur AMI yaitu peningkatan
.
7 sejarah perkembangan dan konsep
arsitektur india
Arsitektur India menunjukkan keberagaman ditnjau dari sejarah, budaya dan geografi. Keberagaman
arsitektur tersebut menyebabkan kesulitan untuk mengidentifikasikan ke dalam satu karakterisktik style
yang mewakili keseluruhannya. Kesemuanya merupakan hasil dari rangkaian tradisi masa kuno dan
berbagai ragam budaya setempat ke dalam tipe dan bentuk bangunan, serta pengaruh teknologi dari
Sejarah arsitektur India dimulai dari masa peradaban lembah Indus (Indus Valley Civilisation), kemudian
arsitektur pada masa Vedik1, berlanjut hingga masa Maurya-Gupta atau dikenal dengan era
perkembangan Buddha, arsitektur biara (monastery) dan batu/dinding pahat (rock cut), kemudian diikuti
dengan kemegahan bangunan kuil pada masa pertengahan. Sementara, penguasa Turki dan Afghannistan
di utara pada masa pertengahan telah membawa India kepada tradisi arsitektur kubah (dome dan vault).
Munculnya arsitektur Mughal pada abad ke-16 menggambarkan penggabungan antara elemen arsitektur
regional India dengan elemen arsitektur Persia dan Asia Barat. Pengaruh Barat terutama Eropa tak
terelakkan selama masa kolonisasi Eropa di India termasuk gaya Manneris, Barok, Neo-klasik, dan Neo-
gotik mulai dari abad ke-16 hingga akhir abad ke-19, yang kemudian dikenal dengan gaya Indo Saracenic.
Arsitektur India telah membawa pengaruh yang besar terutama ke Asia Timur sejak kelahiran dan
penyebaran agama Budha. Sejumlah elemen arsitektur India seperti stupa, sikhara, pagoda (meru),
torana (gerbang) telah menjadi simbol terkenal arsitektur Hindu dan Budha yang berkembang dan
digunakan di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti yang terdapat pada bangunan candi Angkor Wat di
Peradaban awal India dimulai dari Lembah Indus, yang terdiri dari permukiman perkotaan kuna termasuk
kota metropolitan; Mahenjo Daro dan Harappa dengan berbagai macam karakteristik rumah, tempat
pemandian yang dihubungkan dengan sistem drainase umum yang baik pada masa itu. Struktur kota
berbentuk grid diikuti jalur drainase disepanjang jalan umum dikelilingi oleh benteng. Selain benteng, tipe
bangunan yang penting lainnya saat itu adalah lumbung, tempat berdagang, pemandian umum, yang
terakhir ini diyakini sebagai tempat pemujaan untuk kesuburan. Keseragaman tatanan kota, tipologi
bangunan, dan ukurannya yang terbuat dari batu bata bakar yang menunjukkan koordinasi yang baik
B. Arsitektur Hindu
Seperti halnya diketahui dari sejarah perkembangan kebudayaan Timur, bahwa agama Hindu lahir di
lembah sungai Indus ( kawasan Sind dan Punjab ). Agama ini lahir dari perpaduan agama Tuhan Vedis
sebagai agama sukubangsa Aryan (Aria) dengan agama suku bangsa Dravidians (percaya adanya
inkarnasi) yang merupakan daerah invasi dari sukubangsa Aryan pada masa itu. Perpaduan itu tercetus
dalam buku Rig-Veda (kitab agama Veda) yang pada permulaan tahun masehi disempurnakan dengan
Arsitektur hindu dikenal lewat rancangan kuil-kuil hingga sampai ke Asia Tenggara mulai abad ke-5
hingga ke-13. Pada masa itu terdapat beberapa kerajaan yang terbagi wilayahnya menjadi utara dan
selatan. Dua kutub kerajaan ini mempengaruhi bentuk dan performansi dari kuil-kuil Hindu, seringkali
disebut dengan Kuil Dravida di India Selatan, dan kuil Nagara di India Utara. Diantara kedua style
tersebut juga berkembang kuil dengan style yang berbeda seperti yng terdapat di wilayah Bengal,
Kashmir dan Kerala. Umumnya kuil-kuil dengan rancangan terbaik yang menjadi ikon bagi arsitektur
Hindu berada di wilayah Selatan. Arsitektur kuil di India Selatan tidak menggunakan konsep arsitektur kuil
di India Utara yang dipengaruhi oleh Persia, Rajastan dan langgam Jaina. Di India Selatan terdapat tujuh
kerajaan yang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan arsitektur kuil Hindu yaitu:
Kerajaan Pallava, memerintah dari abad ke-6-9 Masehi. Kuil besar yang dibangun pada masa
pemerintahannya yaitu kuil Mahabalipuram dan ibukotanya Kanchipuram, sekarang berada di wilayah
Tamilnadu.
Kerajan Chola, kerajaan ini berkuasa pada tahun 900-1150 M diperintah oleh Rajaraja Chola I dan
putranya Rajendra Cholaruled dan membangun kuil Brihadeshvara dan kuil Siwa Thanjavur.
Kerajaan Chalukya Badami yang disebut Chalukya awal yang diperintah oleh, Badami pada tahun
543 - 753 M yang kemudian menghasilkan langgam Vesara disebut juga Arsitektur Chalukya Badami.
Contoh yang paling bagus dari seni kuil ini nampak pada kuil Pattadakal, Aihole dan Badami di
membangun beberapa kuil Dravida di Ellora (kuil Kailasanatha). Kuil lain yang menarik yaitu kuil Jaina
Chalukya Barat disebut juga Chalukya Akhir yang memerintah Decca dari tahun 973-1180 M
menghasilkan kembali langgam chalukya dikenal dengan langgam Gadag, yang artinya di dalam dan
antara (in-between). Terdapat lebih dari 50 kuil yang masih bediri di sekitar sungai Krishna, di tengah
Kartanaka. Kuil Kasi Vishveshvara di Lakkundi, Mallikarjuna di Kuruvatii, Kalleshwara di Bagali dan
Mahadeva di Itagi merupakan kuil-kuil yang indah dan menarik yang dibangun oleh arsitek-arsitek
Raja Hoysala memerintah India Selatn pada tahun 1100-1343M dan mengembangkan sebuah
konsep arsitektur yang disebut Hoysala Arsitektur id negara Karnataka. Karya arsitektur kuil yang
terbaik yaitu kuil Chennakesava di Belur, kuil Hoysaleswara di Halebidu, dan kuil Kesava di
Somanathapura.
Kerajaan Vijayanagar yang memerintah seluruh wilayah India Selatan pada tahun 1343-1565 M
membangun sejumlah kuil di ibukota Vijayangar dengan menggabungkan beberapa langgam yang
berkembang di India Selatan pada masa sebelumnya. Beberapa elemen yang dihasilkan dari karya
tersebut yaitu pilar Yali (pillar yang bersimbol kuda), balustrade (parapets) and pilar berhias
(manatapa). Beberapa raja yang memerintah Vijayanagar membangun kuil-kuil terkenal dengan gaya
arsitektur Vijayanagar.
Langgam Utara atau Hindu Arya, ditemukan hanya di wilayah Himalaya yang berbatasan
dengan ras Arya yang berbahasa Sancrit atau dikenal dengan the Bengal Presidency.
Langgam Kasmir atau Punjab, berbeda dari kedua diatas, akan tetapi lebih mirip kepada
Selama abad pertengahan, banyak kuil Hindu dibuat dari pahatan dinding tebing atau bukit. Hingga saat
ini konsep arsitektural Hindu mempengaruhi bangunan-bangunan atau arsitektur Budha. Konsep
merancang kuil dibuat oleh seorang Brahmin. Brahmin juga menentukan pemilihan tapak dan menguji
keadaan tanah, dan tebalnya sesuatu dinding atau tiang mengikut segi mithologykal adan astronomikal
Hindu yang dikenal dengan Formula Vastupurshamandala (tatanan untuk bangunan sakral). Tantanan
ini dituangkan dalam tatanan ilmu arsitektur Hindu dinamakan vastushastra. Tatanan inilah yang
Kuil-kuil hindu menggunakan bentuk empat persegi daripada bentuk lingkaran seperti yang digunakan
dalam arsitektur Budha. Bentuk empat persegi ini menyimbolkan kestabilan dan kekekalan. Beberapa ciri
lain dari arsitektur hindu yaitu penggunaan sistem trabeate yaitu massive block dari batu yang menjadi
material dasar dalam pembangunan kuil India. Sistem ini berupa tiang tegak dengan alang melintang
sistem ini digunakan dengan begitu meluas sekali. Walaupun sistem Arch Vault lebih ekonomis dan
digunakan di seluruh dunia. Mandala empat segi atau charta firasat arsitek Hindu, mengandung 64 atau
81 kotak. Brahma, Dewa utama, pemelihara dan pemusnah menduduki empat segi tengah. Dewa-dewa
Kuil hindu memiliki empat ruang prinsip dalam perancangannya yang menjadi konsep arsitektur Hindu
yaitu Garbha griha, Mantapa, Gopura dan Choultri dengan penjelasan sebagai berikut.
Merupakan bagian utama dan terpenting dari kuil dan merupakan inti/induk bangunan yang disebut
vimana (di India Selatan) atau mulaprasada (di India Utara). Denahnya berbentuk bujursangkar atau
persegi, untuk kuil yang kecil biasanya perbandingan antara tinggi dan lebar bangunan 1:1 atau
berbentuk kubus, dan kuil yang besar biasanya tingginya jauh lebih besar daripada lebarnya. Terdapat
bagian yang tegak lurus terbuat dari batu dan granit yang didekorasi dengan pilaster dan ornamen.
Vimana beratap tingkat seperti pyramid umumnya terbuat dari bata yang diplester dengan semen
kemudian diakhiri dengan dome kecil (umumnya di india selatan). Vimana yang terbesar di Tanjore yang
Pelataran depan atau Mantapa, ruang bagian luar yang sebagian dilingkupi dinding dilingkupi oleh
dinding yang memiliki pintu, satu pintu merupakan penghubung untuk ke vimana sedangkan pintu yang
lain merupakan akses dan masuknya cahaya ke ruang dalam. Ruang mandapa berbentuk bujursangkar
atau persegi, biasanya sama bentuknya dengan bangunan kuil inti (vimana). Beberapa kuil memilki
mandapa luar atau Maha Mandapa dan mandapa dalam atau Ardha Mandapas. Ada juga kuil yang
memiliki gabungan dari kedua mandapa, biasanya yang mandapa luar bersifat terbuka dan mandapa
dalam bersifat tertutup. Atapnya berbentuk piramid, tapi jauh lebih rendah dari atap vimana, sering juga
berbentuk flat yang tidak berornamen. Atap ditopang oleh pilar, akan tetapi sebisa mungkin dikurangi
jumlah pilar dengan membuat kotak-kotak pembalokan pada ceiling (bracketing) dan projecting cornices.
Gerbang atau Gopura adalah jalan masuk (entrance) untuk memasuki kompleks halaman kuil yang
berbentuk persegi yang biasanya mengitari vimana. Jumlah gerbang mengikuti jumlah dinding pagar,
kadang-kadang juga bisa melebihi jumlah dinding pagar. Bentuk gapura indentik dengan vimana,
meskipun demikian terdapat satu sisi yang lebih besar dan lebih panjang. Pada sisi yang panjang terdapat
Menurut Fergusson, gerbang piramid yang paling besar dimiliki oleh kuil di Combaconum, yang
merupakan ibukota Kerajaan Chola setelah penolakan Tanjore. Terdiri dari 12 tingkat termasuk basement
yang terbuat dari granit dan datar, sementara keseluruhan piramid terbuat dari batu bata diplester
B.4. Hall
berpilar
atau
Choultri,
Choultri ini
berada
bangunan
extra di
sekitar
kompleks
kuil biasanya
digunakan
untuk
berbagai
macam
kegiatan
upacara dengan tarian dan nyanyian serta upacara perkawinan. Pada awalnya sebagai beranda (porches),
kemudian berkembang menjadi ruang untuk berbagai kegiatan terutama untuk upacara yang
berhubungan dengan perkawinan. Hall berpilar yang besar yaitu ada di Tinnevelly yang terdiri dari 100
kolom pada sisi yang panjang dan 10 pada sisi yang lebarnya. Kemudian hall berpilar di Chillumbrum
terdiri dari 24 kolom pada sisi lebar dan 41 kolom pada sisi panjangnya.
C. Arsitektur Budha
Arsitektur
batu (stone
architecture)
juga telah
tumbuh di
India
terbukti pada
tinggalan
sejarah
istana
Pataliputra
dan juga
Ashoka
Stambha
(prasasti
tugu
monolitik)
yang
bertuliskan
maklumat
dari raja
Ashoka. Pada ujung atas prasasti terdapat ukiran batu berkepala empat singa yang menjadi simbol dari
kerajaan Ashoka. Pada masa Ashoka telah diperkenalkan arsitektur batu pahat yang mentradisi hingga
lebih dari 100 tahun lamanya hingga masa arsitektur Budha, Jaina dan Hindu, terdapat banyak ruang-
ruang pemujaan yang dipahat di dinding tebing atau gunung. Konon katanya tradisi ini berasal dari Mesir
kuna dan Persia. Pada saat yang sama, Viharas (Buddhist monasteries), mulai dibangun setelah kematian
Budha terutama pada masa Kerajaan Mauryan with karakteristik monumen stupa, chaitya; ruang meditasi
Arsitektur Budha berkembang pada masa Pemerintahan Ashoka, terdapat tiga bangunan yang penting
dalam arsitektur Budha yaitu chaitya (ruang meditasi para biksu), vihara (asrama) dan stupa (monumen
budha). Dalam satu lahan paling sedikit terdapat satu chaitya dan beberapa vihara.
C.1. Stupa
Stupa adalah monument untuk memperingati Budha dan para pengikutnya berbentuk setengah bulatan
mempunyai pengertian falsafah melambangkan kubah syurga (Dome of Heaven) atau melambangkan
struktur kosmik yang menetap terbuat dari batu atau tanah atau material lainnya dengan struktur dan
Bangunan stupa terdiri dari beberapa bagian atau elemen yang membentuk satu konsep arsitektur
sebagai berikut:
Harmika yaitu pagar empat segi stupa memberi peringatan syurga 33 tahun lambang dari peti
suci Budha dan menjadi sentral dari meditasi
Stambha, tiang yang bertuliskan ukiran ayat-ayat suci dari kitab Pali berfungsi sebagai alat
Vedik, pagar yang mengelilingi stupa pada mulanya dibuat dari bahan kayu, pada zaman syuga
digantikan dengan bahan batu.
Torana, gerbang (jalan/pintu masuk) ke dalam stupa yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Chaitya griha adalah tempat meditasi para sami Budha dalam mempelajari ajaran Budha, kata ini berasal
dari bahasa Sansekerta yang artinya tempat suci. Chaitya terdiri dari barisan tiang yang beratap, di
ujungnya yang membentuk membentuk garis keliling melingkari stupa yang ada didalamnya. Pada
beberapa site dari tipikal chaitya ada yang berbentuk sekuen dari bentuk persegi diakhiri dengan ruang
suci tempat stupa. Contoh Chaitya yang paling bagus terdapat Ajanta and Ellora.
Berbagai
macam
bentuk
dan
konsep
chaitya
dapat
dilihat
pada
gambar
berikut ini.
C.3.Vihara (Monasteries)
Monasteries (Vihara) merupakan asrama atau tempat tinggal para sami Buddha selama mereka
bermeditasi. Vihara terdiri dari ruang-ruang sel kecil yang terisolasi dan ruang bersama berupa hall yang
dikelilingi oleh tiang-tiang (portico) yang merefleksikan ruang komunal dari asrama, sehingga vihara
dikenal sebagai hall dengan serambi. Orientasi dari vihara bervariasi tidak ada arah tertentu sebagai
patokan. Berbagai macam tipikal dari vihara terdapat pada gambar berikut ini.
Cina memiliki
sejarah yang
panjang dan
bergejolak sejak
masa primitif
Peradaban Cina
mulai terbangun
lampau. Secara
umum Wilayah
Huabei ( China
Utaradan Huanan
( China Selatan ).Pada abad ke 2 SM terdapat suatu pemerintah yang bertsruktur di Cina yang memmasuki
masa ke kaisaran atau Dinasti. Dinasti Tang disebut sebagai masa emas dari Sejarah Cina, dimana pada saat
itu seni lukisan, patung, sastra, dan kayu cetak dan produksi massal buku mengalami perkembangan yang
pesat. Begitu pula, pada saat dinasti Tang ini pula, agama budha disebarkan ke Jepang. Pengaruh rancangan
arsitektur kota dan Budha pada masa itu sangat besar pada perancangan kota dan bangunan kuil Budha di
Jepang. Dinasti Ming, dinasti terakhir yang diperintah pribumi berkembang hingga ke Mongol atau Yuan yang
Cina memiliki wilayah yang luas dengan total area wilayah 9,596,960 kilometer persegi dihuni oleh beragam
etnis seperti suku Han, Zhuang, Uygur, Hui, Yi, Tibetan, Miao, Manchu, dan Mongol. Sejak dahulu Cina
memiliki kepercayaan kepada pemujaan roh nenek moyang, kemudian pada masa dinasti Chou sekitar tahun
1027-256 SM muncul suatu ajaran Konfusianisme, ajaran Lao-tse, Mo Ti, dan Mencius yang menjadi dasar
filosofi masyarkat Cina hingga kini. Budhisme yang berasal dari India. Budhisme mencapai titik emas dalam
Hierarki sosial dalam masyarakat diperkenalkan pada ketika mulai terbentuk suatu organisasi masyarakat
yang sejalan dengan ditemukannya aksara dan penulisan. Strata sosial pada masa itu masih terbagi atas
pekerjaan dan kemakmuran yang diperoleh misalnya Raja dan bangsawan, petani, seniman, dan pedagang.
Pada masa dinasti Chou sistem pertanian dikelola dengan baik, penerapan sistem pembajakan sawah meluas
hingga ke Asia Tenggara ketika terjadi ekspansi wilayah dan budaya ke bagian selatan Cina.
Cina masih terisolasi dari dunia luar hingga abad ke-2 Masehi ketika datang pengaruh Budha dari
India, pada masa itu Cina mengadopsi kemajuan ilmiah dari India. Kemudian kontak dengan Barat terjadi
pada masa Dinasti Yuan sekitar abad ke-12. Portugis menduduki Macao, dan Inggris di Hongkong. Pada abad
ke-19, Cina melepaskan Hongkong untuk menjadi satu negara sendiri setelah pendudukan Inggris pada
Seni Lukisan, kaligrafi dan keramik berkembang luas dan banyak dikagumi oleh bangsa lain. Keramik dan
porselin Cina merupakan suat komoditas perdagangan Cina ke beberapa negara pada masa itu.
Filosofi arsitektur Cina sangat dipengaruhi oleh filosofi dari kepercayaan dan ajaran Konfusianisme, Taoisme
dan Budhisme. Terdapat simbol dan lambang-lambang dari bentuk ideal dan keharmonisan dalam tatanan
masyarakat. Bentuk ideal dan keharmonisan dalam masyarakat tersebut dapat dilihat dari filosofi Tien-Yuan Ti-
Fang yang berarti langit bundar dan bumi persegi, dimana persegi melambangkan keteraturan, intelektualitas
manusia sebagai manifestasi penerapan keteraturan atas alam dan bundar melambangkan ketidakteraturan
sifat alam. Kemudian filosofi Tien-Yen-Chih-Chi, artinya diantara langit dan manusia yang menggambarkan
Konsep Keseimbangan dalam kehidupan diatur dalam dualitas Yin dan Yang, hong Shui atau Feng Shui. Yang
adalah sebagai energi positif, jantan, terang, kuat, buatan manusia. Sementara, yin digambarkan sebagai
Hong shui atau Feng Shui merupakan kompas kehidupan yang mengaur keseimbangan yang memiliki elemen
alam seperti angin, air, tanah dan metal. Kompas merupakan adaptasi metodis karya manusia terhadap
struktur alam raya sehingga menjadi pedoman dalam pendayagunaan energi dan sumber alam untuk
penyelarasan nafas dunia. Selain itu juga membantu manusia memanfaatkan gaya-gaya alam dari bumi dan
menyeimbangkan Yin dan Yang guna memperoleh Qi yang baik, yang menggambarkan kesehatan dan
vitalitas.
Hal-hal yang mempengaruhi Hong Shui menyangkut keseimbangan 5 (Lima) Unsur yaitu waktu Kelahiran,
kondisi tanah pada lokasi ( tapak) , arah dan ukuran bangunan, orientasi Ruang Dalam, pola Penempatan
ruang dalam
Dari filosofi arsitektur yang dijelaskan sebelumnya maka prinsip-prinsip dasar dalam arsitektur Cina adalah
sebagai berikut:
1. Memfokuskan pada bumi bukan surga, mengutamakan ilmu pengetahuan bukan kemuliaan, seperti
tidak ada pembedaan prinsip antara bangunan sakral/religius dengan bangunan umum, hanya arah
kegiatan, susunan ruang yang memiliki penekanan berbeda, secara umum bersifat sequensial
Horisontal, sakral Hirarkis Konsentris, mengutamakan posisi, gerak dan orientasi manusia dalam ruang
Potensialitas Dinding
Interior dengan elemen utama perabot berukir dengan warna megah sebagai lambang gengsi.
Pintu dan jendela menjadi elemen penunjang yang penting dalam tatanan permukaan
bangunan.
Adanya privasi berdasarkan rasa hormat dan keintiman tata laku/ Etiket Bangsa Cina yang
diterapkan secara vertikal dengan langit-langit, atap dan secara horisontal dengan Court Yard dan
Lantai
4. Hirarki dan Status, pada umumnya dicirikan oleh lokasi lahan terhadap jalan Utama/Strategis, jumlah
Court Yard, warna tiang, bentuk dan kerumitan ornamen atap, serta jumlah trave hall : 9 (kaisar ) 7
5. Koordinasi atau orientasi, sebagai sikap dan pandangan terhadap rumah sebagai sel dasar arsitektur
dan keluarga merupakan mikrokosmos dari tatanan masyarakat umum sehingga pengaturan dan
koordinasi sel dasar memiliki arti sebagai pengaturan dan koordinasi dunia
Hierarki pemerintahan administrasi perkotaan dan desa di Cina yang diterapkan sejak masa dinasti Chin terdiri
Dalam perencanaan kota-kota awal di Cina terdapat beberapa prinsip sebagai berikut.
1. Kota Berdinding
2. Konsep Keseimbangan
Komposisi Arsitektural
Komposisi Lansekap
Komposisi Taoisme : Informal, Asimetri, Misteri, Garis Lengkung, Tak Beraturan, Romantis dan
Alam Liar
Pemilihan Tapak berdasarakan pengamatan Aspek Alami : Topografi, Geologi, Sumber Air,
Orientasi
Hubungan Lahan dengan Bentuk/Struktur Kota dimana bentuk ditentukan oleh hubungan Simbolik,
Dari perjalan
sejarah yang
panjang
terhadap
perkembangan
arsitektur di
Cina terdapat
beberapa
tipologi
arsitektur Cina
seperti Istana,
Kuil atau
Kelenteng,
Gerbang (Pai Lou), Pagoda ( 5 7 tingkat), Tembok Raksasa sekitar 3000 kilometer, Kuburan yang memiliki
fungsi dan karakteristik sendiri. Pada dasarnya arsitektur Budha Cina terbagi atas arsitektur pagoda, kuil
Dari bangunan arsitektur religius yang beragam dan dipengaruhi oleh Budha, Cina juga kaya dengan
arsitektur vernakular. Di wilayah bagian selatan, yang merupakan induk dari rumpun Austronesia menjadi
konsep awal dari aristektur Austronesia. Beberapa tipologi rumah vernakular Cina yang ada di Cina dibagi atas
Rumah bata dengan ruang terbuka persegi di sebelah utara China (siheyuan) (I)
Arsitektur subterranean di wilayah loess seperti Shanxi, Shaanxi dan provinsi Henan (II)
Arsitektur dengan konstruksi kayu dan bata di sebelah barat dan barat daya China(III)
Arsitektur tanah liat dan kayu di Hakka (Fujian), Guangdong dan Jiangxi (V)
Batu bata, kayu dan bangunan batu sepanjang selatan China (VI)
Tipe rumah yang memiliki halamn tengah atau dijenal dengan sebutan siheyuan (Courtyard house)
Gerbang yang berornamen menuju ke court yard yang disebut dengan chuihuamen (hanging flower
gate)
Pada tipe dasar hanya terdapat satu ourt yard, sedangkan jumlah court yard bergantung pada besar
rumah.
Desa gua
Adanya courtyard
Keuntungannya, lebih banyak bukaan untuk sirkulasi udara dan angina dan lebih sedikit resikonya
terhadap
gempa
China
Bagian
Timur
(Eastern
China)
Terbagi
atas dua
geografi :
dataran
landai
(Jiangsu
dan
sebelah
utara
Zhejiang)
dan
berbukit
(sebelah
selatan
Brick house
Small courtyard
Hakka Region
Courtyard house
Adobe brick = tanah liat dan jerami yang dipadatkan kemudian dibakar
Jian adalah ruang yang berada pada interval kolom yang memiliki ukuran tertentu (lebar dan
Banyaknya jian mulai dari satu, tiga dan lima. Jumlah jian yang genap dihindarkan karena mewakili
9s .
Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kira-kira 4000 pulau mulai dari Hokkaido di utara
hingga Okinawa di Selatan. Ada empat pulau besar yang memiliki populasi cukup tinggi yaitu Honshu,
Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku Jepang beriklim sejuk, cuaca dingin berasal dari utara dan panas berasal dari
Selatan. Hampir seluruh wilayah memiliki empat musim; dingin, gugur, semi dan panas, terutama di wilayah
utara. Area pegunungan meliputi hampir 75% dari seluruh luas wilayahnya dan termasuk negara yang memiliki
gunung berapi yang banyak di dunia sehingga gempa sering terjadi dan terdapat banyak titik sumber air panas
(hotspring). Perkembangan budaya, ekonomi, dan politik mengalami proses yang panjang sejak dari masa
Perkembangan arsitektur Jepang yang dimulai sejak masa pra-sejarah yang pada saat itu sangat dipengaruhi
oleh budaya Austronesia hingga berbagai macam pengaruh dari negara tetangga: Cina dan Korea serta
pengaruh barat yang pertama kali dibawa bangsa Eropa. Secara singkat kronologi perkembangan arsitektur di
9.2. Kronologi
Perkembangan
Arsitektur
Jepang mulai
masa pra-
sejarah
hingga
modern
Berbagai tipe
dan fungsi
bangunan
yang
berkembang
mulai masa prasejarah, medieval (Nara) hingga periode Edo dalam arsitektur Jepang, antara lain rumah
primitif, bangunan religius: Kuil (Shinto dan Buddha), istana dan puri, rumah toko (machiya), rumah tinggal
prajurit (rumah para samurai), vila atau paviliun bangsawan, gedung teater kabuki, rumah tinggal petani
(minka), sekolah dan rumah tempat minum teh. Kesemuanya memiliki karakteristik desain tersendiri.
Pertumbuhan kota-kota baru di Jepang dimulai sejak masa Nara. Masuknya Budha pada abad ke-6 telah
membuka hubungan perdagangan internasional yang erat dengan Asia khususnya Cina yang dikuasai oleh
Dinasti Tang pada masa itu dan Kerajaan yang menguasai jalan sutra. Hubungan dagang tersebut telah
membawa pengaruh pada ekonomi, sosial politik dan hukum. Sehingga tidak heran bahwa perencanaan kota
Heian (Kyoto) merupakan replika yang lebih kecil dari desain kota Cangan, ibukota Dinasti Tang. Konsep itu
pula sebelumnya telah diadopsi dalam perencanaan kota Naniwa pada tahun 645 (sekarang Osaka), kota
Fujiwara pada tahun 694 (sekarang sebelah selatan kota Nara), kota Heijo pada tahun 710 (Nara), kota Kuni
Perencanaan kota-kota tersebut umumnya menggunakan konsep grid. Jalan menjadi pemisah setiap zona,
terdapat satu jalan raya utama menuju kompleks istana Kekaisaran yang memerintah pada masa itu dan
membelah kota menjadi dua bagian disebut Kota sebelah kiri (Sakyo) dan kota sebelah kanan (Ukyo). Rumah
kerabat atau bangsawan berada disekitar komplek istana. Besarnya kota banyaknya zona ditentukan dari sosial
ekonomi dan politik dari pemerintahan pada masa tersebut. Kota Heian lebih besar dari kota-kota awal Jepang
saat itu.
Rumah Primitif
Ciri-ciri dan karakteristik rumah Austronesia tampak pada rumah Jepang pada masa prasejarah. Pengaruh
budaya, iklim dan alam sangat menentukan konsep arsitektur rumah awal Jepang. Bentuk rumah tenda berdiri
diatas tanah yang dilubangi (pit dwelling) merupakan perkembangan dari rumah gua. Kemudian, sejalan
dengan perkembangan peradaban, telah mengakibatkan terjadinya evolusi pada bentuk dan konsep rumah. Pit
dwelling berevolusi menjadi pit dwelling dengan dinding, kemudian menjadi rumah panggung (raised floor
dwelling) dengan struktur kayu dan atap alang-alang. Semua perangkat dan peralatan yang digunakan
mengalami perubahan dan kemajuan. Pada saat itu rumah bukan lagi semata sebagai tempat berlindung dari
panas dan hujan akan tetapi sudah menjadi penanda status sosial di dalam masyarakat. Pada masa Jomon, pit
dwelling dengan dinding banyak didirikan, Kemudian pada masa Yayoi dan Kofun, rumah panggung (takayuka)
yang pada sebelumnya hanya dibangun sebagai tipikal lumbung menjadi favorit.
Pada masa Kofun, terdapat gap yang lebar antara kaum petani yang maju dan kaum aristokrat. Antara
pertengahan abad ke-4 hingga abad ke-5 muncul satu sistem strata sosial yang disebut uji-kabane.
Kemungkingan sistem strata sosial ini dipengaruhi oleh Kerajaan Silla di semenanjung Korea. Kemudian agama
Budha masuk dari Cina dan Korea, akan tetapi pada masa itu kepercayaan lokal (Shinto) yang disimbolkan
dengan Amaraterasu o-mikami (dewa Matahari) telah mengakar dan menjadi simbol pemerintahan pada masa
itu. Beberapa kuil Shinto yang megah telah dibangun baik di Ise, Izumo dan Sumiyoshi. Konstruksi ketiga kuil
ini menggambarkan konsep bangunan Austronesia; bangunan yang dinaikan, denah ruang persegi, lantai ruang
berada di atas tiang-tiang yang beralaskan batu, atap pelana, simbol menyilang seperti tanduk kuda di ujung
atap. Pada saat yang bersamaan waktu itu pengaruh Budha datang dari Cina dan Korea. Pengaruh teknik
Bangunan Religius
Setelah Budha masuk ke daratan Jepang dari Cina dan Korea, pengaruh arsitektur Budha dari Cina sangat
besar. Pada masa itu, orang Cina datang bukan hanya membawa dan menyebarkan agama Budha, akan tetapi
juga membawa atribut yang berhubungan dengan tempat peribadatan agama Budha. Kuil Budha pertama yang
dibangun abad ke-7 yaitu kompleks kuil Horyu-ji, di dekat Nara. Pembangunan kuil ini memakan waktu sekitar
8 tahun dan selama itu pula telah terjadi transfer teknologi arsitektur Budha antara para tukang dari Cina yang
datang khusus mendirikan bangunan tersebut dengan tukang Jepang sendiri. Konsep Pagoda bertingkat 5 yang
biasanya terdapat pada kuil Budha dari Cina diadopsi pada kuil ini. Jumlah Pagoda hanya satu dan berada di
tengah kompleks kuil. Material bangunan yang digunakan seperti halnya di Cina, kuil Budha ini terbuat
keseluruhan dari kayu, dengan konsep sambungan balok dan tiang menggunakan pasak dan tekan, bagian
sambungan balok atas menggunakan teknik bracket yang merupakan teknik konstruksi khas kuil Budha di Cina.
Setelah selesai pembangunan kuil Horyu-ji kemudian disambung dengan pembangunan kuil Todai-ji di sebelah
Timur dari kuil Horyu-ji, Nara pada tahun 745 yang memiliki dua buah pagoda tujuh tingkat didalamnya terdapat
patung Budha raksasa. Berikutnya, kuil Budha yang menerapkan konsep arsitektur Jepang berkembang pada masa Heian.
Kuil Budha terkenal pada itu dan mewakili kuil Budha berarsitektur Jepang yaitu Phoenix Hall di Uji, dekat Kyoto. Awalnya
bangunan ini adalah vila bangsawan, kemudian berubah menjadi kuil. Kuil ini merepresentasikan puncak dari kuil budha
dengan arsitektur Jepang yang kemudian dikenal dengan Fujiwara Style dengan penerapan konsep Pagoda yang baru
berbeda dari yang sebelumnya, disebut dengan hoto. Hoto menerapkan heaven dome dari simbol Budha pada atap pagoda
Pada abad ke-13 muncul konsep arsitektur kuil Zen-Budhisme. Konsep denah kuil Jepang melekat pada konsep simetris
pada kuil Cina. Penekanan pada hiasan patung dan eklektisme pada kuil Budha terus berlangsung hingga pertengahan abad
ke-14. Hingga sekarang ini kuil budha memiliki berbagai macam langgam namun konse pagoda bertingkat mulai
ditinggalkan, prototipe kuil Shinto diabadikan sebagai konsep awal kuil Shinto yang sederhana. Lokasi kuil yang dianggap
baik yaitu di atas lahan berbukit dekat dengan hutan, danau kemudian penataan tata ruang luar yang menunjang bagi
proses meditasi.
Rumah Rakyat
Biasa
( Machiya dan
Minka)
Perkembangan
perdagangan mulai
Heian. Pembentukan
perdagangan
internasional pada
perencanaan kota
menjadikan titik
tersebut lokasi
kota yang
direncanakan. Dari
perkembangan kota
tipe bangunan komersial yang disebut dengan Machiya (lebih mirip artinya dengan rumah toko di Indonesia).
Machiya adalah sebuah konsep rumah perkotaan/toko (townhouse) yang mulai berkembang sejak masa Heian
sejalan perkembangan perekonomian, konsep perdagangan dan politik yang membentuk pertumbuhan kota-
kota baru. Biasanya rumah tersebut tidak lebar, bagian depan untuk berdagang dan bagian belakang untuk
Selain machiya, rumah untuk rakyat biasa (commoners house) yang mengalami pertumbuhan pesat pada masa
Edo yaitu minka. Penekanan perekoknomian pada pertanian sejak masa medieval hingga awal modern telah
menyebabkan tumbuh suburnya tipe rumah petani. Minka ini bukan hanya sebagai rumah petani, tetapi
termasuk juga rumah para pedagang-pedagang kaya. Terdapat banyak tipe minka yang tersebar di seluruh
wilayah Jepang seperti tipe Odachi, Sasu, Gassho, Takabei, Bunto, Kudo dan lain sebagainya. Jika ditinjau dari
material dan teknologi bangunan, semua tipe minka menggunakan struktur kayu, dengan dinding dari plesteran
tanah liat, kayu dan bambu, atapnya dari jerami dan alang-alang serta genteng. Secara garis besar tatanan
ruang dalam minka dibagi atas tiga bagian yaitu Doma, ima dan zashiki. Doma adalah ruang dengan lantai
tanah, digunakan sebagai entrance, ruang kerja, dapur dan kandang ternak. Ima (hiroma/ itanoma) adalah
ruang keluarga (living room), dan zashiki adalah ruang tamu (guest room). Biasanya didalam ruang tamu diberi
alas tikar yang disebut tatami, terdapat tokonoma: sebuah yang ditinggikan lantainya, tempat hiasan lukisan
Ditinjau dari segi bentuk dan ruangnya maka terdapat beberapa bentuk yaitu persegi (sugoya), bentuk L
(magariya) dan Chmon (U-shape). Berdasarkan bentuk atap, terdapat tiga bentuk dasar atap yaitu atap pelana
atau kampung dengan sopi-sopi (kirizuma/gable roof), atap limasan (yosemune/hip roof), gabungan atap
pelana dan limasan (irimoya/hipped and gabled roof). Atap pelana atau kampung merupakan atap yang banyak
digunakan dalam rumah petani. Struktur bangunan bergantung kepda tipe bangunan dan atap.
Konsep kota Puri (casteltown) dimulai sejak masa shogun Momoyama. Bangunan puri (donjon) dan kota puri ini
dibangun sebagai benteng pertahanan atas serangan musuh. Pada saat itu (medieval era) di Jepang juga
disebut dengan era perang. Peperangan terjadi pada dasarnya terjadi antara dua kubu militer kuat Jepang
masa itu : Minamoto dan Taira, yang sering juga disebut dengan Genji dan Heike. Penggunaan senjata api
yang diperkenalkan oleh Portugis pada masa sebelumnya telah membawa wilayah Jepang kepada masa
peperangan yang hebat. Hampir setiap wilayah ibukota pemerintahan Shogun memiliki puri dengan desain dan
ukuran sesuai dengan kedudukan penguasa pada saat tersebut. Kuil Maruoka dan Matsumoto menjadi kuil
pertama yang dibangun pada akhir abad ke-16. Kuil yang terbesar dan termegah dibangun tahun 1609 hingga
sekarang ini masih berdiri adalah puri Himeji, terletak di Hyogo Prefecture, sebelah barat Tokyo. Puri ini
memiliki tinggi 45 meter, terdiri dari 5 tingkat dan 6 lantai (satu lantai dibangun dalam pondasi batu yang
tingginya 15 meter). Ada tiga bangunan puri di sekitar puri utama ini yang dinamakan puri barat, puri barat
laut, dan puri Timur. Keempat puri ini dihubungkan oleh koridor (watariyagura) dan dikelilingi oleh pagar
tembok tinggi. Jalan masuk dari gerbang hingga ke puri utama dibuat membingungkan dan menjebak sehingga
tidak mudah bagi musuh untuk masuk ke dalamnya. Pagar tembok dikelilingi oleh parit/selokan yang cukup
dalam dan lebar, sebagai pertahanan pertama terhadap serangan musuh. Tipikal tata ruang luar ini juga
Secara keseluruhan struktur bangunan puri terdiri dari konstruksi kayu, yang mudah terbakar sehingga menjadi
kelemahan ketika perang berlangsung. Akan tetapi pondasi bangunan yang tinggi dan terbuat dari batu
menyulitkan bagi musuh naik keatas. Pada dasarnya terdiri bangunan bertumpu pada dua tiang utama yang
besar menerus hingga ke bagian atas bangunan, tiang ini disebut dengan tiang kehidupan. Puri ini dirancang
sebagai tempat tinggal temporer selama pengepungan oleh musuh, bukan dirancang untuk didiami dalam
jangka waktu yang lama. Pada lantai atas, terdapat ruang pengintai yang digunakan untuk melakukan
serangan. Atap bangunan bertingkat dan menunjukkan kestabilan struktur bangunan. Lokasi puri ini berada di
Pembangunan rumah atau tempat minum teh dimulai sejak masa Kamakura dan mulai menjadi tradisi sejak
masa Muromachi. Pada awalnya upacara teh ini ditujukan untuk menjamu orang-orang yang dekat dengan
shogun yang berkuasa pada masa itu sambil santai dan menikmati seni porselin Cina. Kemudian dalam
perkembangannya tujuan dari pendirian rumah minum teh ini adalah untuk menjamu dan mengisi waktu
bersama teman, kerabat, kolega sambil menikmati seni rancangan taman disekitarnya dan interior bangunan
untuk menyegarkan pikiran tas kegiatan rutinitas yang membosankan. Upacara minum teh di dalam cangkir tak
bertangkai kecil memiliki seni dan aturan yang khas, rasanya teh yang segar dan hangat dapat menghilangkan
Desain rancangan rumah minum teh bervariasi di seluruh wilayah Jepang dan menekankan pada material alami
seperti kayu, bambu, dinding tanah liat, anyaman jerami. Ada beberapa tipe rumah minum teh seperti tipe
Taian, tipe Soan, tipe Konnichian, tipe Kebun (Tipe Fushinan dan Zangetsutei). Dari semua tipe tersebut dapat
dilihat bahwa tata ruang rumah minum teh adalah sederhana, pada prinsipnya terdiri dari dua ruang, ruang
duduk untuk minum teh, dan ruang pantri atau ruang untuk menyediakan teh atau ruang mencuci peralatan.
Ruang duduk biasanya beralas tikar atau tatami sedangkan ruang persiapan dan cuci berlantai papan kayu.
Seringkali terdapat tungku ditengah-tengah ruang duduk yang berfungsi untuk menghangatkan teh dan orang
yang duduk didalamnya dari cuaca dingin di luar bangunan. Ukuran besar ruang minum teh juga bervariasi
mulai dari dua tatami hingga empat setengah tatami, akan tetapi ada juga yang lebih dari empat setengah
tatami tergantung kebutuhan dan status sosial pemilik. Terkadang rumah teh berdekatan dengan rumah induk,
tapi ada juga yang terisolasi, tipe rumah teh ini seringkali digunakan untuk beristirahat melepaskan kepenatan
dan kelelahan setelah bekerja, misalnya tipe Fuhinan dan Zangetsutei, tipe ini terdapat di tengah kota Kyoto
Tipe Taian adalah tipe yang terdapat di kota yamasaki sebelah selatan Kyoto. Tipe ini memiliki hiasan pada
interior baik pada tokonoma yang disebut dengan murodoko. Tipe rumah teh dengan ukuran dua tatami
banyak terdapat di kepulauan Rikyu, sebelah selatan Jepang. Tipe Yuin merupakan rancangan rumah tea yang
banyak terdapat di Kyoto berikut dengan tipe Konnichian yang sering terdapat bersama-sama dengan tipe Yuin.
Tipe Joan banyak diterapkan di Inuyama, sebelah timur Kyoto (Jepang tengah).
Pada akhir abad pertengahan, para tukang menemukan satu sistem ukuran dan proporsi yang diterapkan untuk
seluruh tipe bangunan mulai dari kuil, rumah, pagoda, gerbang, istana dan lain sebagainya. Sistem tersebut
dinamakan Kiwari yang berarti pembagian kayu. Selain untuk menentukan panjang kayu untuk ruangan, juga
menentukan tebal tiang kayu. Standar ukuran rumah yang disebut dengan satu modul yaitu satu ken atau 6.5
syaku sama dengan 197 cm dan tebal kolom adalah 1/10 dari ken atau 19.7 cm. Sudut tiang kayu dipotong
450. Sistem ukuran ini masih berlangsung hingga sekarang ini, dan banyak diterapkan pada pembuatan industri
di Jepang..
Dalam
perkembangannya,
standar ukuran
syaku mengalami
perubahan. Pada
sama dengan 6
dengan 0.303 m,
Kemudian akhir-
satu standar
ukuran yang
dinamakan tsubo
yang sama
besarnya dengan 6
feet square atau 3.3. m2. Akan tetapi, sejak masa heian, untuk ukuran ruang telah digunakan konsep tatami.
Berbagai macam model dan konfigurasi tatami menentukan bentuk ruang. Hingga saat ini, konsep tatami ini
masih digunakan untuk menentukan besaran dan bentuk ruang walaupun merupakan bangunan dengan
.
10 PENUTUP
Pemikiran dan konsep arsitektur Timur bisa diwakili dari melihat konsep arsitektur di Nusantara, Cina dan
India. Terdapat perbedaan dan persamaan di antara arsitektur tersebut dimana kebudayaan yang lebih
dahulu di daerah tertentu mempengaruhi kebudayaan di daerah lain. Penyebaran abama menjadi satu
jalan untuk menyebarkan keilmuan baik dalam bidang kebudayaan, politik, dan arsitektur. Satu contoh
seperti evolusi stupa dari India hingga pagoda di Cina dan Jepang, kemudian di Indonesia menjadi meru
Pemikiran atas pembagian ruang sakral dan profan menjadi ciri dalam konsep rumah dan tata ruang kota
timur. Perletakannya tergantung dari agama, tradisi, lingkungan dan alam sekitar dari masyarakat yang
Strata sosial memberikan pengaruh dalam perletakan rumah dan desa. Seringkali simbol status dan
Pemikiran ketiga hal tersebut tidak kuat muncul dalam arsitektur Barat. Kecenderungan akan pemikiran
rasio sangat terlihat sehingga menjadi salah satu perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan
arsitektur timur.
D aftar Gambar
hal.
Gambar 2.2. Berbagai macam elemen dan hiasan pada bangunan candi 13
Gambar 3.4. Mesjid yang mendapat pengaruh arsitektur candi dan arsitektur vernakular 29
Gambar 4.2. ArsitekturVernakular Indonesia yang menggunakan tanduk kuda dan atap pelana 38
Gambar 4.7. Pembagian ruang pada rumah Batak Toba dan Jawa 44
Gambar 4.9. Proses Pendirian Tiang dan Balok pada rumah Batak Toba 46
Gambar 4.11. Penopang batang silang pada rumah Nias Utara dan Selatan 47
Gambar 4.12. Pemasangan piringan kayu besar menjadi ciri khas konstruksi lumbung Indonesia berasal 47
dari Austronesia
Gambar 5.3. Ibukota Kerajaan Banten abad ke-16, berdasarkan Willem Lodewiyckz 55
Gambar 5.4. Kediaman Reine de Klerk di Batavia, sekarang kantor Arsip Nasional 56
Gambar 5.6. Rumah Pedalaman gaya Hindia Belanda di pemukiman Arab, Semarang 57
Gambar 5.7. Kantor Gubernur Pemerintah Hindia Belanda di Surabaya dirancang arsitek W.Lemei 59
Gambar 5.11. Kantor Pusat Bank Jawa, arsitek Hulswit Fermont dan Cuypers,1909 63
Gambar 5.12. Gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (1914), Batavia, arsitek P.A.J.Mooijen 64
Gambar 5.13. Kantor Pusat Perusahaan Jawatan Kereta Api Hindia Belanda, Semarang, 1902-1907 65
untuk Asuransi Jiwa dan Cagak Hidup), Surabaya, H.P. Berlage 1900
Gambar 6.6. Tugu Park Hotel, karya trio arsitek DCM, B.Hendropurnomo, S.Sutanto, dan D. Hendrasto 73
Gambar 7.2. Persebaran Wilayah Kerajaan Hindu di India abad ke-5 sampai dengan abad ke-13 78
Gambar 7.4. Garbha griha, inti dari sebuah kuil Hindu dalam Vimana 80
Gambar 7.7. Pemandangan kompleks kuil Tiruvarur dengan beberapa lapis gopura 82
Gambar 7.9. Persebaran Tinggalan Sejarah pada masa awal Budha (abad ke-4 SM - 5 M) 84
Gambar 7.10. Tugu Prasasti Maurya, bagian dari kebijakan kerajaaan Ashoka 85
Gambar 7.14. Berbagai macam tipikal Chaitya dari persebarannya di seluruh India 89
Gambar 8.9. Tipe rumah siheyuan yang tedapat di wilayah Cina utara 102
Gambar 8.10. Bentuk dan dimensi ruang dari rumah gua 103
Gambar 9.2. Kronologi Perkembangan Arsitektur Jepang mulai masa pra-sejarah hingga modern 111
Gambar 9.8. Kompleks Kuil Budha Horyu-ji di Nara dengan satu pagoda 118
Gambar 9.9. Teknik konstruksi bangunan pagoda dan kuil Budha 119
Gambar 9.10. Kuil Budha yang mendapat pengaruh Arsitektur Budha dari Cina 119
Gambar 9.12. Berbagai macam variasi tipe rakyat biasa (minka) 122
Gambar 9.13. Berbagai macam tipe puri digunakan sebagai benteng pertahanan dalam masa 124
Gambar 9.14. Berbagai macam variasi tipe rumah/tempat minum teh 126
Gambar 9.15. Tatami sabagai konsep ukuran dan bentuk ruang 127
D aftar Isi
Hal.
Kata Pengantar
Daftar Isi ii
Daftar Gambar v
A.Sejarah Nusantara 1
B.Arsitektur Candi 10
B.1. Fungsi 10
B.Arsitektur Hindu 76
C.Arsitektur Budha 84
C.1. Stupa 87
C.3.Vihara (Monasteries) 90
10 PENUTUP 128
CATATAN 133
D aftar Tabel
hal.
Table 2.1. Tinggalan Sejarah Kerajaan-kerajaan selama era Hindu Budha 9
Tabel 2.2. Perbedaan bentuk dan langgam candi Jawa tengah dan Jawa Timur. 19
file:///D|/E-Learning/Sejarah%20Dan%20Teori%20Arsitektur%203/Textbook/daftar%20tabel.htm5/8/2007 3:33:06 PM
Kata Pengantar
K ata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Karunia-Nyalah buku ajar ini
dapat tersusun. Buku ajar ini disusun merupakan salah satu hasil pengembangan program E-learning
yang sedang dilakukan di Universitas Sumatera Utara yang dimaksudkan untuk peningkatan proses
belajar mengajar yang dpat diakses dimana saja dan kapan saja.
Buku ini ditujukan sebagai salah satu bahan ajar untuk mata kuliah untuk mata kuliah Sejarah Teori
Arsitektur 03, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Secara garis besar,
buku ajar ini berisi dua bagian, pertama yaitu perkembangan sejarah arsitektur Indonesia, dan kedua,
sejarah perkembangan atsitektur di Asia khususnya di India, China dan Jepang. Selain itu buku ini juga
ditujukan untuk mengisi keterbatasan pustaka yang sangat diperlukan oleh mahasiswa dalam mempelajari
sejarah perkembangan arsitektur di tanah air. Buku ini menggambarkan secara singkat dan padat
tentang sejarah perkembangan arsitektur di India, China dan Jepang khususnya arsitektur vernakular di
Mengingat waktu pengerjaan yang singkat sekitar 6 (enam) minggu, tentu banyak terdapat
kekurangan pada buku ajar ini sehingga kami sebagai penulis dengan segala kerendahan hati
mengharapkan kesediaan reviewer dan pembaca memberikan kritikan dan saran bagi perbaikan buku ajar
ini di masa yang akan datang. Untuk itu kepada pengelola program pengembangan E-learning, jajaran
pimpinan Universitas Sumatra Utara, rekan-rekan di departemen Arsitektur, serta pembaca kami ucapkan
terima kasih yang tak terhingga, harapan kami agar buku ini dapat mencapai sasaran dan dimanfaatkan
secara optimal.
Penulis,
file:///D|/E-Learning/Sejarah%20Dan%20Teori%20Arsitektur%203/Textbook/Kata%20Pengantar.htm5/8/2007 3:33:06 PM
KEPUSTAKAAN DAN SUMBER GAMBAR
Ananda K. Coomaraswamy, 1965, History of Indian and Indonesian Art, Dover Publication, Inc.,
New York,
Atmadi, Parmono, 1990, Arsitektur Candi Indoensia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Cribb, Robert, 2000, Historical Atlas of Indonesia, Curzon press, New Azian Library.
Crouch, P. Dora et al, 2001, Tradition in Architecture, Oxford University Press, New York,
Dawson, Barry & Gillow, John, 1994, The Traditional Architecture of Indonesia, Thames and
Hudson, London.
Zurich;Institut Gaudenz/ETH.
Eryudhawan,Bambang dkk (ed), 1990, Karya Arsitektur Muda Indonesia, , PT Subur, Jakarta.
Fergusson, James, 1859, Handbook of Architecture, John Murray Albemarble Street, London.
Frampton, Kenneth et al, 1997, Japanese Building Practice; From Ancient Times to the Meiji Period,
Hanafi, Zulkifli, 1985, Kompendium Sejarah: Seni Bina Timur, USM Press, P.Pinang.
Inoue, Matsuo, (1985), Space in Japanese Architecture, Hiroshi Watanabe trans. New York; John
Weatherhill Inc.
G. Knapp, Ronald, 2003, Asias Old Dwelling; Tradition, Resilience, and Change, Oxford University
Press, Hongkong.
Guillot, Claude (ed), 2002, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
G. Knapp, Ronald, 2003, Asias Old Dwelling; Tradition, Resilience, and Change, Oxford University
Press, Hongkong.
Lombard Denys, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku 1, Batas-batas Pembaratan, Gramedia
________, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku 2, Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
________, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku 3, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris,
Miksic, John (ed), 1993, Indonesian Heritage, vol.2 : Sejarah awal , Archipelago Press, Singapura,
1993.
Morse, Edward S., 1961, Japanese Homes and Their Surroundings, Dover Publication Inc., New
York.
Nishi Kazuo et al, 1985, What is Japanese Architecture?, Kodansha International Ltd, Tokyo,
Oliver, Paul (ed), 2003, Dwellings; The vernacular House world wide, Phaidon Press Limited,
London,
______________, 1986, Dwellings; The house across the world, University of Texas Press, Austin..
Rapoport, Amos, , 1969, House form and Culture, Prentice Hall, London.
S.P. Napitupulu, et al, 1986, Arsitektur Tradisional Sumatra Utara, Jakarta, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Sures, Thomas, 1999, Early Mapping of Southeast Asia, Periplus Edition, Singapore.
Sumalyo, Yulianto, 1993, Arsitektur Masjid Kuno, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
_________________, 2000, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, Gadjah Mada
Yogyakarta,
Tadgell, Christopher, 1990, The History of Architecture in India, Phaidon Press Limited, Singapore.
Tjahyono, Gunawan (ed), 1993, Indonesian Heritage, vol.6 : Arsitektur, Archipelago Press,
Singapura.
Uka, Tjandrasasmita, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari abad
XIII hingga abad ke XVIII, Menara Kudus, Kudus.
Viaro, M.Alain, 1980, Urbanisme et architecture tradisionnels du sud de lle de Nias, UNESCO.
Waterson, Roxane, 1991, The Living House, Oxford Univ. Press, Singapore.
Yuan, Lim Jee, 1987, The Malay House Rediscovering Malaysias Indigenous Shelter System,
Catatan
Bab 1
1. Guillot, Claude, Lobu Tua, Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor, Jakarta, 2002, hal 51-53.
2. Sures, Thomas, 1999, Early Mapping of Southeast Asia, Periplus Edition, Singapore, hal.122, 147
3. Lombart, Nusa Jawa : Silang Budaya, 1996, hal 14.
Bab 2
1. Miksic, John, 1993, Indonesian Heritage, vol.2 : Sejarah awal, hal.58, Archipelago Press,
Singapura, 1993.
2. ibid
3. ibid
Bab 3
1. Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, volume 3, hal.K 43-48, Kanisius,
Yogyakarta.
2. Miksic, John, 1993, Indonesian Heritage, vol.2 : Sejarah awal, hal. 88, Archipelago Press,
Singapura, 1993
3. Uka, Tjandrasasmita, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari
abad XIII hingga abad ke XVIII, hal.45
4. Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, volume 3, hal., Kanisius, Yogyakarta.
5. Miksic, John, 1993, Indonesian Heritage, vol.2 : Sejarah awal, hal. 88, Archipelago Press,
Singapura, 1993
6. Uka, Tjandrasasmita, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari
abad XIII hingga abad ke XVIII, hal. 168
7. lihat Domenig 1981 hal. 162
Bab 4
1. Tjahyono, Gunawan (ed), 1993, Indonesian Heritage, vol.6 : Architecture , Archipelago Press,
Singapura hal. 9
2. Rapoport, Amos, , 1969, House form and Culture, Preentice Hall, London
3. Bernard Rudofsky, dirangkum dari Architecture without Architects, 1964, Academy Editions,
London.
6. Tobing (1963:p.78), raga-raga adalah benda yang dikeramatkan dari daun-daunan diletakan
dalam keranjang kemudian digantungkan ke struktur atap rumah. Raga-raga ini dipercayai sebagai
spirit untuk mengusir roh jahat atau gangguan dari luar yang mengancam keselamatan rumah.
Bab 5
1. Ir. Handinoto dalam bukunya Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya)
2. Ir. Handinoto dalam bukunya Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya)
3. Tjahyono, Gunawan (ed), 1993, Indonesian Heritage, vol.6 : Architecture , Archipelago Press,
Singapura hal. 9
4. Ir. Handinoto dalam bukunya Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya)
Bab 6.
1. Suryono Herlambang dalam tulisannya pada buku AMI, Penjelajahan 1990-1995, sekaligus
merupakan generasi ketiga arsitek Indonesia?, hal.34-39):
Bab 7
1. Budaya dan arsitektur Veda memberi pengaruh yang besar dalam arsitektur India, banyak
manuscript yang ditulis dalam bahasa Veda menceritakan tentang benteng yang terbuat dari batu dan
metal. Suku veda memiliki sejumlah kata-kata yang mengungkapkan berbagai jenis rumah termasuk
chhardis (rumah dengan atap alang-alang), harmyam (rumah dari batu dengan court yard pada
tengah-tengah bangunan dan gotra (multi-dwelling complex dengan kandang untuk binatang).