Anda di halaman 1dari 16

KOSMOLOGI DALAM ARSITEKTUR TORAJA

Yulianto Sumalyo

Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin Makasar

ABSTRAK

Modernisme dalam arsitektur selalu menunjuk pada hal-hal yang bersifat konkrit, profan dan konsep
yang

jelas. Sebaliknya tradisional seperti arsitektur tradisional menunjuk pada hal-hal yang bersifat
abstrak, spiritual

dan bahkan konsep religius atau way of thinking. Toraja, sebuah kelompok etnik yang tinggal
disebelah utara

propinsi Sulawesi Selatan, mempunyai bentuk arsitektur tradisional yang unik dan indah, yang
merupakan

ekspresi dari Aluk Todolo, agama dan way of life nya. Pemikiran kosmologi dan Aluk Todolo

diekspresikan dalam arsitektur Toraja, baik dalam tata letak (site plan), orientasi, konstruksi, material
bangunan,

detail, ornamen dan aspek-aspek arsitektur lainnya. Tulisan ini merupakan hasil ringkasan dari riset,
seminar dan

studi kepustakaan arsitektur Toraja, yang dilakukan oleh jurusan arsitektur Universitas Hasanuddin,
Makasar di

tiga desa adat. Palawa (desa tradisional yang besar), Ketekesu (sebuah desa adat yang indah) dan
Siguntu (desa

adat yang kecil tapi mempunyai banyak bangunan arsitektur tradisional Toraja).
Kondisi Tana Toraja bahwa udara dingin adalah alasan untuk desain arsitektur rumah yang umumnya
didasarkan pada ukuran pintu dan jendela relatif kecil dan dinding dan lantai dari bahan kayu yang
dirancang lebih tebal. Demikian juga, atap, atap desain rumah adat Toraja yang terbuat dari struktur
bambu yang sangat kental. Tujuan dari ini tentu saja desain konstruksi yang suhu interior udara lebih
hangat.

Kearifan Budaya lokal Kosmologi

Orang Tana Toraja umumnya menggunakan konsep budaya kearifan-Kosmologi dalam membangun
sebuah rumah, yaitu konsep pusat rumah yang merupakan perpaduan dari kosmologi dan
simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, menurut masyarakat tradisional Toraja rumah adalah
mikrokosmos dari makrokosmos yang merupakan komponen lingkungan. Pusat rumah dapat
didefinisikan menjadi dua bagian khusus meraga. Dalam hal ini meraga pertama perapian terletak di
tengah ruangan dan atap yang naik di atas ruang tamu di mana atap menjadi satu dengan asap
(langit ayah). Sementara meraga kedua adalah meraga sebagai tiang utama atau pilar, misalnya ariri
possi di Toraja, balla pocci di Makassar, dan bola possi di Bugis, dimana pilar menyatu dengan ibu
bumi.

Membangun Rumah Dipandu Filosofi Kehidupan


Dalam membangun rumah, masyarakat Toraja tradisional juga dipandu oleh filososfi kehidupan yang
mana disebut Aluk Apa Otona. Filosofi ini memiliki empat makna pandangan hidup yaitu:
Kemuliaan Tuhan, kehidupan manusia, dan Budaya Adat, dan Sifat Kehidupan Leluhur. Keempat
filosofi ini kemudian menjadi dasar penciptaan tradisional denah rumah persegi panjang Toraja
dibatasi oleh dinding. Tembok pemisah juga memiliki makna yang melambangkan tubuh atau
kekuasaan.

Tata Letak Rumah Tradisional Toraja

Tata letak kustom rumah Tongkonan selalu berorientasi Utara dan Selatan, hal ini diperhitungkan
dalam membuat desain arsitektur. Secara rinci, bagian depan rumah harus berorientasi Utara atau
kebiasaan Toraja disebut arah Puang Matua Ulunna langi. Sementara rumah harus berorientasi ke
arah belakang Selatan, atau diyakini arah roh Pollona Langi . Sementara dua arah mata angin lainnya
Timur dan Barat melambangkan kehidupan dan pemeliharaan. Arah ke Timur diyakini arah DEA atau
Dewa yang memberikan hidup dan melestarikan dunia dan segala isinya. Sementara Barat diyakini
arah mana nenek moyang atau Todolo.

Semua orientasi arah mata angin tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam keseimbangan. Jika
diterjemahkan arsitektur, keseimbangan dapat diterapkan dalam bentuk bangunan simetris. Dari
diskusi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada tiga prinsip dasar desain arsitektur rumah adat
Toraja yang lampiran, orientasi, dan simetris.

Ruang Tertutup Dalam Desain Arsitektur Rumah Tradisional Toraja

Dalam masyarakat tradisional Toraja lebih percaya pada kekuatan diri sendiri atau Egocentrum.
Keyakinan ini tercermin dalam konsep desain arsitektur rumah yang mendominasi ruang pribadi yang
tertutup. Jika ada ruang terbuka, dan bahkan kemudian cukup sempit. Konsep desain arsitektur
rumah tradisional Toraja menerima pengaruh yang signifikan dari etos budaya yang disebut tallang
simuane atau sering disebut filosofi harmoni. Yaitu dua potong bambu perpecahan dan dirancang
masing-masing tertutup, seperti pemasangan belahan bambu dalam membangun lumbung atau
rumah adat.
Asal mula dan identitas

Teluk tonkin yang terletak antar vietnam utara dan cina selatan dipercaya sebagai asal suku toraja.
Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi..Sebetulnya,
orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut
tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.Kata toraja berasal dari
bahasa Bugis atau bahasa pesisr , to riaja,to yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi. Pertama
kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya,
pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luarseperti suku
Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesidaripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran
tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini
tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, SulawesiSelatan memiliki empat
kelompok etnis utamasuku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan
pelauttsuku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi
melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan
wilayah dataran tinggi Sulawesi selatan (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan yang produktif.Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap
pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk
dikristenkan.Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan
dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana
Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah
tersebut.Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap,dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Agama suku toraja

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animismepoliteistik yang disebut
aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja
datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai
cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi
menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di
dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap
berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-
Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian
maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).Aluk bukan hanya
sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk
mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa
berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa
ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual
tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual
kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan
sudah mulai jarang dilaksanakan.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena
penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah
dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan
pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit
orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah
agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak
orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis
dan Makassar yang beragama Islam. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan
seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan
suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Jadi agama yang ada di toraja yaitu protestan 65.15%,
16.97 %, islam 5,99%, dan aluk to dolo 5.99%.

Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek
bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan
oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan,
dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat
geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh
bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.

Keragaman dalam bahasa Toraja

Denominasi

ISO 639-3
Populasi (pada tahun)

Dialek

Kalumpang

kli

12,000 (1991)

Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).

Mamasa

mqj

100,000 (1991)

Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-
Paki-Batetanga-Anteapi)

Ta'e

rob

250,000 (1992)

Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.

Talondo'

tln

500 (1986)

Toala'

tlz

30,000 (1983)

Toala', Palili'.

Torajan-Sa'dan

sda

500,000 (1990)

Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya
upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka
cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit . Bahasa Toraja mempunyai banyak
istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu
katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan
karena duka cita itu sendiri.
Sistem organisasi dan kekerabatan

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu
keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut
memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya)
adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan
dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling
membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi
berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan
atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama
bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa
melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui
darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa
yang menuangkan tuak,siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat
setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan
bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga
tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909
oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara
rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak
tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh
menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk
menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah
kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa
dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan
mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai
perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual
dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Upacara pernikahan

Pernikahan bagi orang Toraja harus dengan restu kedua pasang orang tua, jika itu dilanggar maka pria
dan wanita yang menikah tersebut akan diasingkan atau tidak diakui sebagai anak. Pada jaman
dahulu pernikahan tentu belum seperti sekarang, pria dan wanita belum bebas berinteraksi dan
orang tua serta keluarga besar memegang kendali dalam proses perjodohan tersebut.

Perjodohan atau pernikahan diawali dengan sebuah hantaran sirih dari keluarga pria ke keluarga
calon mempelai wanita.Ini sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah ada jalan untuk
meneruskan ke jenjang berikutnya atau tidak. Keluarga pria akan mengutus orang yang dipercaya
untuk membawa sirih ke rumah perempuan. Bila diterima dengan baik maka artinya keluarga pihak
pria bisa melanjutkan dengan acara lamaran.

Pelamaran

Pada waktu melamar disebutkan tentang ganti kerugian yang nilainya juga akan disebutkan pada
upacara resmi perkawinan. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau. Dalam adat pernikahan
orang Toraja tidak ada disebutkan tentang mas kawin, kecuali jika sang wanita menikah dengan pria
yang tidak disetujui orang tuanya. Si pria harus membayar mas kawin yang terdiri dari:

Untuk wanita golongan puang 1-12 ekor kerbau.

Wanita golongan tumakaka 1-3 ekor kerbau.

Wanita golongan hamba 1 ekor kerbau.

Upacara pernikahan di Toraja sangat sederhana, tidak seperti yang dilakukan oleh orang Bugis atau
Makassar.Keseluruhan upacara pernikahan hanya berlangsung beberapa hari saja.Adat dan upacara
pernikahan orang Toraja terdiri tiga tingkatan, meski itu juga tidak mengikat karena semua
tergantung pada kemampuan dan keinginan kedua belah pihak calon mempelai.

Pernikahan dengan upacara Rompo Bobo Bannang.

Pernikahan dengan adat Rompo Bobo Bannang ini adalah upacara pernikahan yang paing sederhana.
Utusan dari pihak pria akan menyampaikan lamaran, jika disetujui maka disampaikanlah waktu
kedatangan mereka. Waktu kedatangan rombongan mempelai pria biasanya malam hari.

Ketika waktu yang ditentukan tiba, datanglah rombongan mempelai pria yang terdiri dari mempelai
pria dengan 2 atau 4 pengikut yang naik ke atas rumah. Mereka akan mendapatkan pertanyaan dari
orang tua mempelai wanita dengan bahasa Toraja:

To lendu konronan roomika batuto lempong kaboangian rokomiko (Adakah kamu ini singgah karena
hujan atau karena kemalaman?)

Kemudian dijawab oleh salah satu perwakilan mempelai pria dengan:

Toeroka lendu to konronan batu toeroki lempang to kabuangin apa lamu ulu rukon olukna rompo
kopa loma luntun roku bicarana pasuelle allo. (kami tidak singgah karena kehujanan, tapi kami akan
datang untuk mengadakan pernikahan sesuai aturan dari dahulu kepada nenek moyang kita).
Orang tua wanita membuka pintu dan mempelai pria beserta rombongannya naik ke atas
rumah.Mereka kemudian dijamu makan dan minum.Sesudah makan, tamu-tamu pulang ke rumah
sementara mempelai pria tetap tinggal di rumah mempelai wanita.Dengan resmi upacara pernikahan
secara Bobo Bannang dianggap selesai.

Pernikahan dengan upacara Rompo KaroEng.

Pernikahan dengan upacara Rompo KaroEng sesungguhnya hampir sama urutannya dengan upacara
Rompo Bobo, hanya ada sedikit tambahan pada detail pelaksanaannya. Upacara dimulai dengan
lamaran yang ditandai dengan utusan pria yang membawa sirih. Jika lamaran diterima maka keluarga
wanita akan menentukan hari pernikahan.

Di hari yang disepakati, mempelai pria akan datang bersama rombongan pengiring yang terdiri dari
kerabat dan handai taulan. Semua pengiring adalah pria juga. Tiba di pekarangan rumah, iring-iringan
ini akan disambut oleh keluarga mempelai pria dengan sambutan dan tanya jawab yang sama dengan
upacara Rompo Bobong. Setelah selesai maka rombongan pria akan dipersilakan duduk di lumbung.

Ketika malam tiba, rombongan mempelai pria akan dipersilakan naik ke atas rumah. Di sana mereka
dijamu makan dan minum. Setelah makan dan minum, orang tua wanita akan membacakan hukum
pernikahan. Dalam adat Toraja, jika terjadi sesuatu yang membatalkan pernikahan atau terjadi
perceraian maka pihak yang dianggap bersalah harus membayar denda atau disebut Kapa sesuai
tingkatannya.Denda tersebut dinilai dengan kerbau.

Sesudah pembacaan hukum pernikahan maka rombongan mempelai pria akan meninggalkan rumah
mempelai wanita meninggalkan mempelai pria sendirian. Dengan itu secara resmi upacara Rampo
KaroEng dianggap selesai.

Pernikahan degan upacara Rompo Allo.

Pernikahan dengan upacara Rompo Allo adalah upacara tingkat ketiga dari pernikahan suku
Toraja.Pernikahan dengan upacara ini berlangsung beberapa hari dengan upacara yang lebih
besar.upacara ini biasanya hanya dilakukan oleh mereka dari golongan bangsawan.

Pernikahan diawali dengan paingka kada atau menyelidiki calon mempelai wanita.Penyelidikan ini
dilakukan untuk mencari tahu apakah calon mempelai wanita itu belum ada yang melamar ataukah
memang ada peluang bagi calon mempelai pria untuk meminangnya.

Jika penyelidikan telah selesai dan ternyata wanita yang diincar belum ada yang melamar dan
keluarganya berkenan untuk menerima sang pria, maka berikutnya dilakukan umbaa pangan atau
melamar secara resmi. Pinangan ditandai dengan sirih pinang yang diantar utusan dari calon
mempelai pria kepada orang tua calon mempelai wanita. Pengantar sirih pinang ini terdiri dari
beberapa orang wanita dan pria yang berpakaian adat.

Setelah pinangan diterima, utusan mempelai pria akan datang lagi untuk membicarakan waktu yang
tepat untuk upacara pernikahan. Setelah hari pernikahan disepakati maka kedua pihak akan
mengadakan persiapan. Keluarga mempelai wanita akan memotong babi sebagai isyarat yang akan
disajikan pada upacara peresmian pernikahan. Seekor babi juga dipotong untuk peresmian pinggan
adat (dulang).Dulang ini dijejer sebanyak-banyaknya 12 buah dan sekurang-kurangnya 8
buah.Disiapkan sebelum rombongan pengantin datang.

Di hari yang telah disepakati, rombongan pria akan datang jam 7 malam. Jumlah rombongan tidak
terbatas, terdiri dari kerabat dan handai taulan.Upacara ini disebut Topasulau atau mengantar
mempelai pria, sementara rombongannya sendiri disebut Topasolan.
Rombongan ini berurutan mulai dari penunjuk jalan paling depan, kemudian pemikul kayu bakar,
beberapa laki-laki, mempelai pria, pengiringnya serta sering pula rombongan penari Paburak yang
menari sepanjang jalan. Ada pantangan yang berlaku dalam iring-iringan ini, di antaranya adalah
anggota rombongan tidak boleh saling bersentuhan pada waktu berjalan. Jika iring-iringan mereka
bertemu ular atau lipan maka mereka harus kembali dan tidak boleh meneruskan perjalanan.

Setiba di rumah mempelai wanita, rombongan awalnya akan disuruh menunggu di lumbung atau
tempat terbuka lainnya untuk disuguhi sirih pinang. Setelah itu rombongan akan dipersilakan naik ke
atas rumah dan mengambil tempat yang sudah ditentukan. Mempelai wanita akan keluar dari
sombung (kamar tertentu yang sudah disediakan) dan duduk berdampingan dengan mempelai pria
diapit oleh imam masing-masing.

Setelah duduk berhadap-hadapan maka dimulailah upacara makan bersama. Kedua mempelai akan
makan dari dulang yang sama yang sudah diisi dengan buku leso (kaki belakang babi). Makan
bersama ini sebagai prosesi peresmian pernikahan yang diikuti dengan dialog kapa dilampok antara
imam kedua belah pihak.

Setelah selesai maka rombongan pengantar mempelai pria akan meninggalkan rumah mempelai
wanita sekaligus pertanda usainya upacara pernikahan tersebut.

Tiga hari setelah upacara pernikahan diadakanlah kunjungan balasan yang disebut pasule barasang
ke rumah mempelai pria. Keluarga mempelai pria akan memotong seekor babi untuk jamuan kepada
pihak mempelai wanita.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang upacara pernikahan orang Toraja.Jaman sekarang upacara-
upacara tersebut sudah disempurnakan dengan upacara keagamaan. Mayoritas orang Toraja
beragama nasrani sehingga upacara pernikahan mereka kemudian akan disempurnakan dengan
upacara pernikahan di gereja.

Tongkonan

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan
ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.Kata tongkonan berasal dari bahasa Toraja tongkon
(duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja.Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota
keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur
mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat
tiang.Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara
yang besar.

Dalam kisah yang lain, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam
jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan Upacara Adat besar
yang dinamakan MABUA tanpa melalui musyawarah adat dan upacara memotong babi. Kemudian
Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang
dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75).Kemudian bercerai-
berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara.

Sementara kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang
dinamakan Tondok Puan, mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan yang dinamakan
Tongkonanartinya Balai Musyawarah. Tongkonan tersebut diberi namaBanua Puanartinya Rumah
yang berdiri tempat yang bernama Puan. Tongkonan tersebut merupakan Tongkonan pertama di
Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama ToTangdilinoartinya pemilik bumi yang
diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).

Tongkonan merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu.Bangunannya terdiri atas 3
bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki
rumah).Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin
dengan 4 nilai ritual tertentu.Tongkonan harus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit
dengan kepala langit (ulunna langi) sebagai sumber kebahagiaan.

Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan
dengan bantuan keluarga besar.Ada tiga jenis tongkonan.Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat pemerintahan.Tongkonan pekamberan adalah milik
anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah
lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan
yang besar.

Jadi tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat.Dan setiap tongkonan terdiri
dari; Tongkonan (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri.Deretan
Tongkonan dan Alang saling berhadapan, Tongkonan menghadap ke utara dan Alang ke
selatan.Halaman memanjang antara Tongkonan dan Alang disebut Ulubabah.

Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau
bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk : sebagai pusat kekuasaan adat, tempat membuat
peraturan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan : tempat untuk melaksanakan peraturan dan
perintah adat. Tongkonan Batu Ariri : tempat pembinaan keluarga serumpun dengan pendiri
Tongkonan.

Tongkonan:

Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi
pasak (knock down)

Beberapa keistimewaan tongkonan di Kete Kesu adalah:

-Katik, bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang dan ramping.

-Sedangkan tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7 buah, berjajar pada bagian lebar
bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya berjumlah 8 buah, dengan 2 kolom berjajapada
bagian lebar bangunan dan 4 kolom ke arah belakang/ bagian panjang bangunan.

-Bangunan/Tongkonan yang tertua mempunyai struktur bangunan yang lebih rendah daripada
tongkonan yang baru dengan bentuk tiang kolom empat persegi.

Bentuk dari Tongkonan dapat dibagi menjadi:

a.Bagian kolong rumah (sulluk banua)

Tampak Depan:

Pondasi: pondasi yang digunakan adalah dari batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan
tanpa pengikat antara tanah, kolom dan pondasi itu sendiri.
Kolom/tiang (ariri): tiang terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung,
sejenis pohon palem. Bentuk kolomnya persegi empat, pada alang bentuknya adalah
bulat.Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan
untuk manusia, sedangkan alang untuk barang (padi).Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar
tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat licin.

Balok: sebagai pengikat antara kolom-kolom digunakan balok-balok dengan fungsi seperti sloof, yang
dapat mencegah terjadinya pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom
digunakan sambungan pasak, disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut.Bahan yang
digunakan adalah kayu uru.Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang hanya 1 buah, yaitu
sebagai pengikat pada bagian bawah.Tangga menggunakan kayu uru.

b.Bagian Badan rumah

Lantai: pada Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai.
Disusunya pada arah memanjang sejajar balok utama.Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu
banga.

Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan
dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding.

Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu kecapi.Sedangkan dinding
pengisinya menggunakan kayu enau.

c.Bagian kepala

Atap: pada Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih yang dikait
oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bamboo/rotan. Fungsi dari susunan demikian adalah
untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celahnya. Fungsi lain adalah sebagai ventilasi,
karena pada Tongkonan tidak terdapat celah pada dindingnya.

Susunan bambu di taruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap.Susunan tampak (overstek)
minimal 3 lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun atap dengan banyak lapis yang tidak ditentukan,
hanya mengikuti bentuk rangka atap sehingga membentuk seperti perahu.

Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk menunjang/menopang agar Longa tidak
runtuh/turun.Sangkinan Longa adalah sebagai keseimbangan dari Longa.Semakin panjang Longanya
maka jumlah Sangkinan Longanya pun semakin banyak.

Dinding: susunanya seperti dinding pada bagian kepala badan.

Tata Ruang Dalam

Pola tata ruang dalam pada badan rumah (Kale Banua) pada Tongkonan di Kete terbagi atas 3 ruang
utama. Ruang-ruang tersebut mempunyai fungsi sesuai dengan urutan daru Utara ke Selatan,
masing-masing:

a.Tangdo: ruang ini terletak di sebelah Utara berfungsi sebagai ruang tidur nenek, kakek, dan anak
laki-laki. Ruang ini terletak di Utara karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih
terjaga.Orang tua/kakek-nenek sebagai orang yang dituakan.

Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah yang menghadap Utara. Peil lantai pada ruang Tangdo
sama dengan ruang sumbung dan tidak terdapat ornamen.
b.Sali: ruang ini terletak di tengah bangunan yang berfungsi sebagai ruang tamu, dapur, wc,
tempat/ruang persemayaman jenazah, dan ruang keluarga.

Ruang Sali: yang diperbolehkan masuk hanya kerabat dekat dari keluarga dan tetua-tetua adat. Pada
ruang Sali ini dindingnya berwarna hitam, disebabkan oleh jelaga yang timbul pada waktu memasak
dan asap yang berasal dari tungku, jelaga ini bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu.

WC: terbuat dari batu yang berbentuk oval dan agak cekung, lalu diberi lubang, terletak di sebelah
Timur, di samping kanan tungku. WC ni berfungsi untuk buang air kecil bagi ibu-ibu dan anak-anak di
malam hari.

Ruang persemayaman jenazah: ruang Sali ini berfungsi juga sebagai ruang persemayaman jenazah di
letakan disini menunggu urusan yang ditinggalkan si mati selesai.

Peletakkan pintu masuk di sebelah Utara atau Timur karena nenek moyang mereka berasal/dating
dari arah Utara, juga arah angin yang dating selalu dari arah Utara, Utara mempunyai arti
kebaikan.Pintu yang terletak disebelah Timur mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan
dengan arah terbitnya matahari, dari sebelah timur.Fungsi pintu selain sebagai tempat keluar masuk
manusia/penghuni juga dipakai sebagai jalan keluar bagi jenazah pada saat pemakaman.

c.Sumbung: fungsinya sebagai ruang tidur orang tua dan anak-anak yang masih menyusui serta anak-
anak gadis, dan tempat menyimpan alat-alat serta harta pusaka. Peil lantai ditinggikan, yang
menandakan bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi pada
wilayah tersebut.

Sumbung berada di Selatan karena anak gadis dan anak yang masih kecil perlu pengawasan yang
ketat, dengan perlindungan dari anak laki-laki yang bertempat di Tangdo dan orang tua.

Ornamen dan Warna

Motif-motif ornament pada bangunan Toraja mengambil bentuk-bentuk dasar: hewan, tumbuhan
dan benda langit, demikian pula di Kete Kesu ini.

Motif hewan melambangkan kekuatan dan kekuasaan, contoh:

Ayam jantan: berkokok jam 5 pagi melambangkan kehidupan

Kepala kerbau: menunjukan prinsip yang kokoh.

Motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, contoh:

Lumut: menandakan sawah sebagai sumber kehidupan

Motif benda langit melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh:

Matahari: sebagai sumber cahaya (terang) dalam kehidupan

Sedangkan warna dasar (kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu:

Merah: berani berkorban

Kuning: keagungan

Hitam: berani berbuat baik

Putih: mandiri
Jumlah motif ornament yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis, akrena motif-motif
yang lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan. Contoh: Pa Kadang Sepru (beras)
melambangkan putusnya hubungan kekerabatan

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati
arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-
tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit
Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria
melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai
ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi
menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan
tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian
ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian
Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan
ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian
Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua
hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka
agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah sulingbambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini
dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga
mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daunpalem dan dimainkan pada
waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]

Upacara pemakaman

alam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin
mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman
yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga
sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan
ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.] Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu,
jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati
dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka
semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang
dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan
perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para
pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.[26]

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau
biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan
tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat
petinya terjatuh.

Filosofi Tau

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan
masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi
manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja.
Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk
menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki
nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena
memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi
manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.

Anda mungkin juga menyukai