Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa
pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali
berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama.
Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan
dataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan
Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran
rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
(lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang
notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). (DR. C. Cyrut,2001).
Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya
Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang
diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun
pemukimannya di daerah tersebut.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di
negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya
(besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan
tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman
suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.
Pengertian sejarah itu sendiri yaitu ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa di masa lampau yang memiliki nilai sosial politik bagi
masyarakat, dipergunakan untuk analisis pada masa kini dan digunakan untuk
memprediksi peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik
di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).Selama dua abad,
mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja
tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada
akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku
Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga
menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar
lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang
saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah
agama menjadi Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum,
dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai
dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada
tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan tana Matari’allo.
Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja). Dengan jumlah penduduk kurang
lebih 458.000 jiwa. Kurang lebih 650.000 jiwa yang hidup merantau dan bekerja di
luar wilayah Tana Toraja. Suku Toraja juga memiliki satu bahasa lokal yaitu Bahasa
Toraja. Namun untuk pergaulan secara umum mereka menggunakan Bahasa
Indonesia; di samping itu sebagian juga dapat berbahasa Inggris, Belanda, Jerman,
Jepang dan Mandarin. Mereka yang masuk kategori ini adalah putra-putra Toraja
yang bertugas sebagai guide-guide untuk tourist.
Sampai saat ini budaya luar tidak cukup kuat mempengaruhi cara hidup sehari-hari
orang Toraja yang begitu ramah, hidup rukun, damai dan harminis serta dengan
tangan terbuka menyapa tamu-tamunya untuk datang menyatu di dalam pesta-
pesta adat Toraja baik pesta Rambu Tuka maupun pesta Rambu Solo.
Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi.
Daerah Toraja dibagi menjadi 5(lima) daerah yang terdiri atas :
1. Makale
2. Sangala
3. Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa
(seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk
bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah
peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika
ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan
menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual
kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, dikenal adanya pelapisan sosial yang disebut
dengan Tana’ (kasta) yang sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat dan
kebudayaan Toraja . Menurut L.T. Tangdilintin (1974, 75) mengatakan bahwa
pelapisan sosial membedakan masyrakat atas empat golongan masyarakat, yaitu:
1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi sebagai
pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan hidup dan
memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan Sokkong bayu (siambeq).
2. Tana’ bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat
menerima maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang ditugaskan
mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.
3. Tana’ Karurunge adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka, tidak
pernah diperintah langsung. Golongan ini sebagai pewaris yang menerima Pande,
yakni ketrampilan pertukangan, dan menjadi Pembina aluk todolo untuk urusan
aluk petuoan, aluk tanaman yang dinamakan Toindoq padang (pemimpin upacara
pemujaan kesuburan).
4. Tana’ Kua-kua adalah golongan yang berasal dari lapisan hamba sahaya, sebagai
pewaris tanggung jawab pengabdi kepada tana’ bulaan dan tana’ bassi. Golongan
ini disebut juga tana’ matuqtu inaa (pekerja), juga bertindak sebagai petugas
pemakan yang disebut tomebalun atau tomekayu (pembuat balun orang mati).
Lapisan tana’ kua-kua ini dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Namun
kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara adat golongan ini masih terlihat.
Keempat golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang
dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama
dalam interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara
perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya.
Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang pemimpin, yang menjadi penilaian
utama adalah dari golongan apa orang yang bersangkutanberasal. Kedudukan dalam
sistem kepemimpinan tradisional berkaitan dengan sistem pelapisan sosial yang
berlaku dalam serta kepemilikan tongkonan (rumah adat).
Demikian pula Dalam sistem perkawinan, dan pembagian warisan juga berorientasi
pada lapisan sosial masyarakat. Seorang wanita dari golongan tana’ bulaan tidak
diperkenankan kawin dengan pria yang berasal dari golongan lebih rendah. Apabila
perkawinan itu tetap berlangsung, mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa
demikian disebut unteqaq palansian atau untekaq layuq (melangkahi turunan).
Sedangkan bagi seorang pria boleh saja beristeri seorang wanita yang golongannya
lebih rendah, akan tetapi mereka tidak bisa dinikahkan secara adat, dan keturunan
mereka tidak berhak mendapat warisan atau gelar sebagai tana’ bulaan.
Dalam pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya hewan yang akan
dipotong sebagai korban bergantung disesuaikan dengan golongan sosial yang
menyelenggarakan upacara. Misalnya golongan tana’ bulaan, sebagai lapisan sosial
tertinggi, harus mengorbankan lebih banyak hewan dibandingkan golonagan sosial
lainnya. Hewan yang akan dipotong harus dalam keadaan sehat, tubuhnya
besar/gemuk, dan tanduknya panjang.
3.3 Gambaran ekonomi, budaya dan seni tradisional masyarakat suku Tana Toraja.
3.3.1 Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan
adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya
adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk
berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah
pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak
dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di
perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua
untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi
sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan
dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata.
Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an
(termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja
menurun secara drastis.
3.3.2 Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal
dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan
dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh
karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat
Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa’ssura (atau “tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman
yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel
tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan
kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan
air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja , selain
itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai
dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang
teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini
hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma’badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman,
tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama
musim panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur
dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan
kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur
kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara Toraja yang penting ketika
pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
3.3.8 Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan
Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi
di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam
bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara
kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan
duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi,
dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat
secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal
tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka
cita itu sendiri.
3.3.9 Komersialisasi
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada
tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya
400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan
tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di
beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja
dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.
“Tanah raja-raja surgawi di Toraja”, seperti yang tertulis di brosur pameran, telah
menarik minat dunia luar..
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah
menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai “objek
wisata”. Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut,
misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman
mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena
mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar.
Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang
ditunjuk sebagai “objek wisata” menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun
penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa
sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual
yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan
demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra
masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki
tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti
sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak
mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu
menikahi perempuan bangsawan.
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya
jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
9. Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus
menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum
semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk
mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan
tarian ceria yang disebut Ma'dondan.