Anda di halaman 1dari 19

3.

1 Asal-usul Masyarakat Suku Tana Toraja

3.1.1 Identitas Etnik

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa
pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali
berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama.
Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan
dataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan
Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran
rendah untuk penduduk dataran tinggi.

Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
(lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang
notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). (DR. C. Cyrut,2001).
Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya
Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang
diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun
pemukimannya di daerah tersebut.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di
negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya
(besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan
tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman
suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.

3.1.2 Sejarah Etnik

Pengertian sejarah itu sendiri yaitu ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa di masa lampau yang memiliki nilai sosial politik bagi
masyarakat, dipergunakan untuk analisis pada masa kini dan digunakan untuk
memprediksi peristiwa-peristiwa yang akan datang.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dihubungkan dengan sejarah yang ada di


Tana Toraja. Nama suku Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sindengreng dan
Luwu. Orang Sidengreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja
yang mengandung arti “Orang yang berdiam di pegunungan” sedang orang Luwu
menyebutnya To Riajang yang artinya “Orang yang berdiam di sebelah barat”
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam Utara dan Cina Selatan, dipercaya sebagai
tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di
Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik
di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).Selama dua abad,
mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja
tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada
akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku
Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga
menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar
lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang
saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah
agama menjadi Kristen.

Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim di dataran


rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi
dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan
politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis
dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun
tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum,
dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai
dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada
tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

3.2 Gambaran Umum Pola Kehidupan Masyarakat Suku Tana Toraja

3.2.1 Kondisi Sosial

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan tana Matari’allo.
Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja). Dengan jumlah penduduk kurang
lebih 458.000 jiwa. Kurang lebih 650.000 jiwa yang hidup merantau dan bekerja di
luar wilayah Tana Toraja. Suku Toraja juga memiliki satu bahasa lokal yaitu Bahasa
Toraja. Namun untuk pergaulan secara umum mereka menggunakan Bahasa
Indonesia; di samping itu sebagian juga dapat berbahasa Inggris, Belanda, Jerman,
Jepang dan Mandarin. Mereka yang masuk kategori ini adalah putra-putra Toraja
yang bertugas sebagai guide-guide untuk tourist.

Sampai saat ini budaya luar tidak cukup kuat mempengaruhi cara hidup sehari-hari
orang Toraja yang begitu ramah, hidup rukun, damai dan harminis serta dengan
tangan terbuka menyapa tamu-tamunya untuk datang menyatu di dalam pesta-
pesta adat Toraja baik pesta Rambu Tuka maupun pesta Rambu Solo.

3.2.2 Sistem Pemerintahan

Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi.
Daerah Toraja dibagi menjadi 5(lima) daerah yang terdiri atas :

1. Makale
2. Sangala
3. Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat.

Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh


seorang bangsawan yang bernama Puang. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan
yang bernama Parengi, sedangkan .daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan
bernama Madika.

Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada


semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh
Puang dengan daerah yg dipimpin oleh Parengi dan Madika. Pada daerah yang
dipimpin oleh Puang masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi Puang,. sedangkan
pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai
kedudukan Parengi atau Madika kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang
menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan
perkembangan yang terjadi di Makale.

3.2.3 Sistem Kepercayaan


Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik
yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.
Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan
surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja
lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan),
dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa
(seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk
bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah
peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika
ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan
menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual
kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

3.2.4 Sistem Kekerabatan

Siulu (keluarga batih) merupakan unsur terkecil dalam sistem kekerabatan


masyarakat Toraja. Di samping itu di kenal pula keluarga luas extendedyang terdiri
dari beberapa keluarga batih, yang masih seketurunan. Hubungan kekerabatan
dapat terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu:
1. Adanya pertalian darah (kandappi)
2. Melalui perkawinan (rampean)

Untuk menjaga kelangsungan hubungan kekerabatan dilakukan dengan cara


menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Misalnya hak
penguasaan atas tanah, harta, kedudukan, dan sebagainya. Di samping itu
kewajiban-kewajiban dari setiap kelompok kekearabatan harus dilaksanakan,
misalnya yang dapat diketahui pada saat pembuatan rumah tongkonan secara
bergotong royong, saling bantu dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat
terutama upacara rambu solo’, mengerjakan sawah, panen, dan lain-lain. Dalam hal
ini fungsi utama suatu keluarga adalah menanamkan nilai-nilai budaya yang berlaku
kepada para anggotanya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya.

3.2.5 Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan yang berorientasi pada lapisan sosial masyarakat. Seorang


wanita dari golongan Tana’ Bulaan tidak diperkenankan kawin dengan pria yang
berasal dari golongan lebih rendah. Apabila perkawinan itu tetap berlangsung,
mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa demikian disebut Untekaq Palandian
atau Untekaq Layuk (melangkahi turunan). Sedangkan bagi seorang pria boleh saja
beristri seorang wanita yang golongannya lebih rendah, akan tetapi mereka tidak
bisa dinikahkan secara adat dan keturunan mereka tidak berhak mendapat warisan
atau gelar Tana’ Bulaan.

3.2.6 Sistem Perkampungan/ Organisasi Sosial

Dalam kehidupan masyarakat Toraja, dikenal adanya pelapisan sosial yang disebut
dengan Tana’ (kasta) yang sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat dan
kebudayaan Toraja . Menurut L.T. Tangdilintin (1974, 75) mengatakan bahwa
pelapisan sosial membedakan masyrakat atas empat golongan masyarakat, yaitu:

1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi sebagai
pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan hidup dan
memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan Sokkong bayu (siambeq).
2. Tana’ bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat
menerima maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang ditugaskan
mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.
3. Tana’ Karurunge adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka, tidak
pernah diperintah langsung. Golongan ini sebagai pewaris yang menerima Pande,
yakni ketrampilan pertukangan, dan menjadi Pembina aluk todolo untuk urusan
aluk petuoan, aluk tanaman yang dinamakan Toindoq padang (pemimpin upacara
pemujaan kesuburan).
4. Tana’ Kua-kua adalah golongan yang berasal dari lapisan hamba sahaya, sebagai
pewaris tanggung jawab pengabdi kepada tana’ bulaan dan tana’ bassi. Golongan
ini disebut juga tana’ matuqtu inaa (pekerja), juga bertindak sebagai petugas
pemakan yang disebut tomebalun atau tomekayu (pembuat balun orang mati).
Lapisan tana’ kua-kua ini dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Namun
kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara adat golongan ini masih terlihat.

Keempat golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang
dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama
dalam interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara
perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya.
Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang pemimpin, yang menjadi penilaian
utama adalah dari golongan apa orang yang bersangkutanberasal. Kedudukan dalam
sistem kepemimpinan tradisional berkaitan dengan sistem pelapisan sosial yang
berlaku dalam serta kepemilikan tongkonan (rumah adat).

Demikian pula Dalam sistem perkawinan, dan pembagian warisan juga berorientasi
pada lapisan sosial masyarakat. Seorang wanita dari golongan tana’ bulaan tidak
diperkenankan kawin dengan pria yang berasal dari golongan lebih rendah. Apabila
perkawinan itu tetap berlangsung, mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa
demikian disebut unteqaq palansian atau untekaq layuq (melangkahi turunan).
Sedangkan bagi seorang pria boleh saja beristeri seorang wanita yang golongannya
lebih rendah, akan tetapi mereka tidak bisa dinikahkan secara adat, dan keturunan
mereka tidak berhak mendapat warisan atau gelar sebagai tana’ bulaan.

Dalam pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya hewan yang akan
dipotong sebagai korban bergantung disesuaikan dengan golongan sosial yang
menyelenggarakan upacara. Misalnya golongan tana’ bulaan, sebagai lapisan sosial
tertinggi, harus mengorbankan lebih banyak hewan dibandingkan golonagan sosial
lainnya. Hewan yang akan dipotong harus dalam keadaan sehat, tubuhnya
besar/gemuk, dan tanduknya panjang.

3.3 Gambaran ekonomi, budaya dan seni tradisional masyarakat suku Tana Toraja.

3.3.1 Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan
adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya
adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk
berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah
pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak
dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di
perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua
untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi
sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan
dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata.
Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an
(termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja
menurun secara drastis.

3.3.2 Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal
dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan
dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh
karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat
Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan


dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah
tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan”.
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di
tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu
membangun tongkonan yang besar.

3.3.3 Ukiran kayu

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa’ssura (atau “tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman
yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel
tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan
kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan
air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja , selain
itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai
dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang
teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini
hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.

3.3.3.4 Upacara pemakaman

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling


penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga
bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak
berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,


berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah
orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai,
setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa


seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja
percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik
dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu
panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena
hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam
batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung
dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum
membusuk dan membuat petinya terjatuh.

3.3.6 Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma’badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman,
tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.

Tarian Manganda’ ditampilkan pada ritual Ma’Bua’.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama
musim panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur
dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan
kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur
kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara Toraja yang penting ketika
pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

3.3.7 Alat musik tradisional Toraja

. Adapun musik tradisional Toraja meliputi Passuling, Pa’pelle, dan Pa’pompang.


Musik tersebut pada umumnya terbuat dari bahan baku alam, seperti bambu, batang
padi, daun enau, dan tempurung kelapa yang dimainkan pada upacara adat. (Said,
2004:41-45)
Pa’suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian
Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari
dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Pa’pelle dimainkan pada waktu
panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

3.3.8 Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan
Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi
di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam
bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara
kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan
duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi,
dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat
secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal
tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka
cita itu sendiri.

3.3.9 Komersialisasi

Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada
tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya
400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan
tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di
beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja
dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.
“Tanah raja-raja surgawi di Toraja”, seperti yang tertulis di brosur pameran, telah
menarik minat dunia luar..

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja


sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai “perhentian
kedua setelah Bali”. Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985,
terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000
turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000
orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja,
banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan
udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang


eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk
mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat
bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang
liar dan “belum tersentuh”. Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan
berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan
mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa
bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap
sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah
menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai “objek
wisata”. Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut,
misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman
mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena
mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar.
Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang
ditunjuk sebagai “objek wisata” menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun
penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa
sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual
yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan
demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra
masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki
tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti
sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak
mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu
menikahi perempuan bangsawan.

A. Pengertian Suku Toraja


Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri
atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual
pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja,
yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai
suku ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-
kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Suku Toraja terkenal akan
ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah
mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

B. Sejarah Suku Toraja


Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan,
adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture
bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun
akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku
Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif.
Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja
yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-
an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial
Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut
Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim
wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan
Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957. Misionaris Belanda yang
baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur
perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke
dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya
sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja
yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang
dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin
banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk
menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu
dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo
dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

C. Unsur-unsur Kebudayaan Suku Toraja


1. Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi
dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah
dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' ,
Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan
resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab
utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Contoh : BAHASA INDONESIA > BAHASA
TORAJA > ENGLISH
Bangun = milik = to build .
rokok= pelo = cigarette .
merokok= mapello= smoking .
sirih= pangngan= betel
topi = songko'= hat
panas = malassu = hot

Berikut Keragaman Bahasa Toraja :


Denominasi ISO 639-3
Populasi (tahun) Dialek
Kalumpang kli
12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa mqj
100,000 (1991) Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang,
Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e rob
250,000 (1992) Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo' tln
500 (1986)
Toala' tlz
30,000 (1983) Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan sda
500,000 (1990) Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat,
Mappa-Pana).
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas
menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga
ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
2. Religi (Agama) Suku Toraja
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja,
leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian
digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.
Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan
dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah,
dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan
tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi
umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya. Agama: mayoritas penduduk memeluk agama Krtisten selebihnya merupakan
pemeluk agama Katholik, Islam, dan Alukta. Adapun perincian tempat ibadah ialah sebagai
berikut: Gereja Kristen: 11buah, Gereja Katholik: 1 buah, Mesjid : 1 buah.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan
pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk
bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual
keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku
Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para
misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
3. Sistem Kemasyarakatan
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada
tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada
tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status
pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut
banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka.
Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan
pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak
dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.
Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.Budak dalam masyarakat Toraja
merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena
terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang,
dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi
anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai
perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan
seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman
mati.
4. Sistem Pengetahuan
Di Tanah Toraja terdapat beberapa kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan
secara tak langsung tentang adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah Toraja.
Diantaranya kesenian upacara Rambu Tuka’.
Upacara syukuran atau Rambu Tuka’, antara lain adalah upacara perkawinan, maupun
selamatan rumah (membangun rumah, merenovasi atau memasuki rumah baru). Upacara
selamatan rumah disebut juga upacara pentahbisan rumah. Upacara jenis ini harus
dilaksanakan pagi hari dan diharapkan selesai di sore hari. Pemotongan hewan korban juga
dilakukan, namun jumlahnya tidak sebanyak saat upacara kematian. Itu juga yang
menyebabkan banyak anggapan bahwa upacara kematian di Tator memang lebih meriah
dibandingkan upacara lainnya
5. Mata Pencaharian
Para perajin parang tersebar di berbagai wilayah Toraja. Namun kalau Anda ingin melihat
proses pembuatannya, maka datanglah pada hari pasaran (6 hari sekali) yang digelar di
Rantepao. Hari pasaran ini merupakan pasar terluas di Toraja, dengan keistimewaan
perdagangan kerbau dan babi yang sangat besar.
Tanah lapang luas yang menampung kerbau dengan para penjualnya bersisian dengan kios-
kios para perajin parang. Sistem pembuatan parang tradisional yang cukup cepat
pengerjaannya bisa disaksikan di sini. Anda juga bisa menemukan perajin parade di Desa La’
Bo’, Kelurahan Sangga Lange (terusan arah Kete’ Kesu), yang selain bertani, mereka juga
membuat parang dan dengan senang hati mereka akan memperlihatkan cara pembuatannya.
Tentu saja, sebagai rasa terima kasih, selayaknya Anda memberikan penghargaan berupa tips
(min. Rp. 10.000,-) atas peragaan yang mereka sajikan, atau beli parangnya dengan harga
sekitar Rp. 65.000,-. Namun harus diakui, parang dan pedang yang dijual di pasar permanen
Rantepao lebih halus buatannya, tentu dengan harga yang lebih variatif, sesuai dengan model,
ukuran dan motif yang ada.
Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Perlu
pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh budaya asing.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya. Seperti halnya kain
tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan
tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga,
diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan jaman.
Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis
budaya, maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu sendiri
6. Sistem Teknologi
Perubahan Teknologi Pertanian Pembahasan tentang Teknologi Pertanian dibatasi pada teknik
budidaya atau pra panen dan pascapanen yang dilakukan oleh masyarakat tani di lokasi
penelitian. Hasil survei menunjukkan bahwa pada era desentralisasi sekarang telah terjadi
perubahan komponen-komponen teknologi pertanian di Tana Toraja. Komponen - komponen
tersebut meliputi: pengolahan tanah (pariu), jenis benih (banne), penanaman (mantanan),
pemeliharaan (ma’tora), pemanenan (mepare), pengangkutan (diba’a), pengeringan
(mangalloi), penyimpanan dan pengolahan. Dari sisi waktu kapan mulai terjadi perubahan,
jawaban responden cukup beragam. Tujuh responden menyatakan perubahan telah
berlangsung sejak 10 tahun yang lalu, 10 respoden menyatakan sejak 15 tahun yang lalu, 13
responden menjawab 20 tahun yang lalu dan hanya 5 responden yang mengatakan perubahan
telah terjadi sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.
Untuk pertanyaan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan, hanya 4
responden yang menyatakan bahwa perubahan teknologi pertanian merupakan inisiatif petani
sendiri (faktor internal). Jawaban atas pertanyaan yang lebih mendalam (depth interview),
kira-kira apa yang mendorong munculnya inisiatif sendiri tersebut adalah:
1) tayangan televise
2) pengalaman melihat dari daerah lain yang lebih maju
3) ada kebutuhan dari diri sendiri untuk meningkatkan diri dengan memperbarui teknologi
yang ada.
Deskripsi perubahan teknologi pertanian telah terjadi perubahan mendasar pada berbagai
kegiatan budidaya pertanian di Tana Toraja terutama yang menyangkut berbagai upacara adat.
Berbagai bentuk upacara seperti mangkaro kalo’ (sebelum tanam), menamu (ketika padi
sudah mulai berisi), mepase (ketika padi akan dipotong, manglika (menaikkan padi ke
lumbung), dan buka allang (mengambil padi dari lumbung) sekarang sudah tidak dilakukan
lagi. Hal ini terkait dengan semakin sempitnya waktu masyarakat tani dan perhatian terhadap
upacara tersebut yang semakin menurun. Beberapa kegiatan teknologi pertanian lainnya,
baik pra panen dan pasca panen juga telah mengalami perubahan seperti ditunjukkan pada
Tabel 1. Jika diamati, perubahan teknologi pertanian yang terjadi di Desa Lembang Turunan
saat ini keadaannya tidak jauh berbeda dengan daerah pertanian dataran rendah lain. Tetapi
dari wawancara mendalam diketahui bahwa perubahan tersebut lebih lambat dibanding
dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena hasil pertanian padi bukan merupakan satu-
satunya tumpuan bagi keluarga di Toraja, meskipun padi merupakan lambang kemakmuran
bagi keluarga, yang ditandai dengan banyaknya lumbung yang dimiliki.
7. Sistem kesenian
a. Rumah Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa
Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual
yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku
Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah
milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal
sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan
atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan
yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada empat jenis tongkonan.
1. Tongkonan layuk atau tongkonan pesio’ Aluk, Tongkonan tempat menciptakan dan
menyusun aturan-aturan social keagamaan. Tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan
sebagai pusat “pemerintahan”.
2. Tongkonan pekamberan atau pekaindoran adalah tongkonan yang berfungsi sebagai
tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’
Aluk. Selain itu, Tongkonan Pekanbera merupakan milik anggota keluarga yang memiliki
wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di
tongkonan batu.
3. Tongkonan Batu A’riri adalah tongkonan yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.
Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina
warisan tongkonan.
4. Tongkonan Marimbunna yaitu Tongkonan yang terletak di kelurahan Tikala, sekitar 6 km
arah utara rantepao. Marimbunna merupakan nama dari orang pertama yang datang di daerah
ini. Peninggalannya berupa rumah sekaligus tempat mandi yang letaknya berada di atas
karang, liang batu yang proses pembuatannya di pahat dengan menggunakan kayu serta ada
juga kuburan marimbunna yang di ukir berbentuk perahu dan kerbau berdiri. Di sini terdapat
jasad marimbunna yang tinggal tulangnya saja, namun rambutnya tetap menempel di
dahinya.
b). Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep
keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran
memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan
kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan.
contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.
Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah
harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti
barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras,
seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan
akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Beberapa motif Ukiran Toraja
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran
kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja
dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya
meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku
Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
8. Upacara pemakaman

Tempat penguburan Toraja yang diukir.


Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi,
tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya
jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
9. Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus
menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum
semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk
mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan
tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.


Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim
panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian
Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian
perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh
tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan
menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang
enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini
dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian Suku Tana Toraja
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri
atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.
Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya
(besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi
Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
2. Sejarah Suku Tana Toraja
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan,
adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture
bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun
akhirnya pindah ke dataran tinggi.
3. Unsur-unsur Kebudayaan Suku Tana Toraja
a) Bahasa
b) Religi
c) Sistem Kemasyarakatan
d) Sistem Pengetahuan
e) Sistem Teknologi
f) Sistem Kesenian
g) Mata Pencaharian
h) Upacara pemakaman
i) Musik dan Tarian

Anda mungkin juga menyukai